Rabu, 30 Januari 2008

Catatan Perjalanan ke Malaysia (7)

Everyone Can Fly, But You

Yusriadi
Borneo Tribune

Hanya dua hari kami berada di kampus UKM. Sore kami berangkat ke lapangan udara, karena akan ikut penerbangan Air Asia pukul delapan malam. Dua jam sebelum keberangkatan kami bertolak dari kampus menuju stasiun komuter UKM. Selanjutnya berhenti di stasiun komuter Nilai.
Kami berhenti makan di sini. Karena mengira masih ada waktu Dedy Ari Asfar, teman saya dalam perjalanan ini, mampir ke mini market dekat stasiun bis Nilai. Dia mencari sesuatu.
Saya yang semula menunggu di kedai makan dekat terminal, “terbujuk” juga ingin masuk mini market itu. Saya juga memang mau cari sesuatu.
Tidak lama, kami keluar dari mini market dan melanjutkan perjalanan dengan bis menuju lapangan terbang Kuala Lumpur International Airport (KLIA). Perjalanan hampir satu jam. Tiba di KLIA. Pikir-pikir masih ada waktu lebih satu jam sebelum keberangkatan. Jadi kami agak santai ketika turun dari bis Nilai.
Lantas kami berniat menuju ke counter check in Air Asia yang kami bayangkan di lantai paling atas dari bangunan terminal KLIA.
Kami pergi ke tempat counter biasa (yang kami pakai 3 tahun lalu). Tetapi kosong. Tak ada check in untuk Air Asia. Yang ada hanya check in untuk penumpang MAS saja. Tentu saja saya dan Dedy jadi panik. Kami bertanya petugas, dan petugas mengatakan check in Air Asia bukan di KLIA tetapi di LCC –tempat kami mendarat dua hari lalu. LCC adalah terminal biaya rendah, khusus dibangun untuk penumpang kelas bawah. Jarak LCC dari KLIA 20 kilometer.
“Ncek boleh pakai teksi ke sana,” kata petugas menasehati.
Seperti orang mencari dukun beranak, kami bergegas menuju lantai bawah bangunan KLIA, mencari teksi. Ternyata ada calo di sana yang melihat gelagat kami. Dia menawarkan jasa teksi menuju LCC. Tarif ke sana RM 50.
Kalau dalam keadaan normal pasti kami menolak. Tetapi dalam keadaan darurat mana mungkin. Proses tawar menawar memakan masa lagi. Sekurangnya ada 5 menit. Sedangkan penerbangan hanya tersisa 1 jam lagi.
Sopir menghibur bahwa kami tidak akan terlambat. Sistem penerbangan Air Asia berbeda dibandingkan dengan MAS.
“Kalau nanti yu (you) turun, yu boleh naik terus,” katanya, selembe.
Ya, kami terhibur. Dia lantas menceritakan soal pendapatan seorang sopir taksi yang sekarang makin kurang. Beberapa di antara syarikat teksi bangkrut setelah penerbangan Air Asia dipindahkan. “Penurunan penumpang hampir 50 per sen,” ungkapnya.
Pukul 19.10 kami tiba di LCC. Kami melompat dari taksi, berlari membawa masing-masing dua tas. Terminal LCC ternyata cukup ramai. Kami terpaksa sedikit antri melalui pos pemeriksaan X-ray bandara. Setelah itu berbaris antri menuju counter check in yang tidak nampak plang nomor pesawatnya. Tetapi seorang petugas bandara memberitahu untuk tujuan ke Kuching, check in memang di situ.
Ketika tiba giliran, petugas Air Asia menatap kami sambil geleng kepala. “Boardingnya sudah ditutup. Tak boleh,” katanya.
“Cuba ke counter ujung,” katanya menunjuk counter yang terdapat di bagian pojok. Di counter ada dua petugas –wanita Melayu tak berkerudung dan seorang lelaki India. Dedy menyerahkan tiket dan paspor kami.
Terjadi percakapan antar mereka dalam bahasa Inggris. Bahasa Inggris Dedy memang lebih lancar.
Tetapi, tiada ampun. Tiket yang kami beli seharga RM 180 itu hangus. Untuk mendapatkan penerbangan berikutnya kami harus membeli tiket baru, harganya RM 220 –kalau dirupiahkan sekitar Rp 572 ribu. Dedy berusaha menjelaskan masalahnya adalah karena kami tidak tahu counter check ini Air Asia sudah pindah dari KLIA ke LCC.
“Sepatutnya ejen kasi tau,” katanya.
Seingat saya waktu beli tiket Air Asia di sebuah biro perjalanan di Pontianak, memang tidak diberitahu soal perpindahan terminal ini.
Dengan berat hati kami berdua mengangsur uang ringgit kepada mereka. Ya, dari pada tidak terbang. Kami memilih penerbangan pagi, biar tidak perlu lagi bermalam di Kuching. Kami memilih bermalam di kursi tunggu LCC. “Nikmati saja,” ujar saya.
Saya mengingatkan Dedy soal motto Air Asia. Everyone can fly. Ternyata slogan itu masih ada lanjutnya. Everyone can fly, but you. Ya, udah terima saja. Nasib!

Baca Selengkapnya...

Catatan Perjalanan ke Malaysia (6)

Seminar ATMA; Gemanya Besar, Kemasannya Sederhana

Yusriadi
Borneo Tribune

Senin, 25 Juni 2007. Seminar untuk memperingati ulang tahun ke-35 Institut Alam dan Tamadun Melayu Universiti Kebangsaan Malaysia (ATMA, UKM).
Ada lima pembicara: Saya dan Dedy Ari Asfar, MA dari Kantor Balai Bahasa Pontianak. Prof Dr Bambang Kaswanti Purwo dari Universitas Atmajaya Jakarta, Dr. Abdul Rajab Johari dari Universitas Negeri Makasar, Dr Yabit Alas dari Universiti Brunei Darussalam.
Selain itu ada tiga pembahas makalah yang dibentangkan, yaitu Prof. Dr. Awang Sariyan dari Universiti Malaya, Prof. Dr. Teo Kok Seong dan Dr. Karim Harun dari Universiti Kebangsaan Malaysia.
Saya sangat tertarik dengan cara panitia penyelenggara mengorganisasi seminar. Dr. Chong Shin dan Prof Dr James T Collins yang dipercaya sebagai pelaksana. Anggota panitianya hanya beberapa orang saja.
Sangat sederhana, sekalipun pembicara berasal dari berbagai negara dan pesertanya juga terdiri dari para profesor dan doktor dari berbagai disiplin ilmu.
Seminar dilaksanakan di Sudut Wacana, ruang seminar milik ATMA. Ruang ini dapat menampung 30-40 orang. Ber-AC dan fasilitasnya representatif. Sudah banyak seminar internasional dilaksanakan di sini.
Pembukaan yang disampaikan Pengarah (Direktur) ATMA Prof Dr. Che Husna Azhari hanya beberapa menit saja. Walau begitu bukan berarti Direktur langsung pergi dari ruangan –seperti karenah para pejabat kita di kampus. Direktur memperlihatkan minatnya mendengarkan pembentangan makalah. Sesekali saya lihat dia terangguk-angguk.
Pemandu acara Nasrun Ilyas mengambil alih. Saya kebetulan dapat giliran pertama, dilanjutkan pembicara lain, sampai selesai.
Setelah itu, dua profesor dan satu doktor memberikan tanggapan terhadap makalah-makalah kami. Hari itu makalah kami sudah dicetak dalam bentuk proseding. Percetakannya seperti cetakan buku. Baguslah pokoknya.
Penanggap sudah membaca makalah itu di rumah. Mereka siap dengan catatannya meneropong dari perspektif ilmu masing-masing. Tidak mencoba masuk ke wilayah orang lain. Tidak serba bisa seperti kebanyakan kalau kita menyaksikan seminar di Indonesia.
Dan justru itulah, berkali-kali menjadi pembicara dalam seminar di Malaysia selalu mengesankan saya. Apapun yang kita sampaikan selalu diberikan apresiasi. Pembicara selalu sangat pandai melihat kelebihan, informasi penting dari makalah. Kalau di Indonesia, bagaimanapun bentuk makalah disajikan selalu ada kurangnya. Tidak saja di Pontianak, tetapi juga di Jakarta. Bayangkan orang yang tidak pernah mengerti apa-apa soal lapangan, ketika memberikan tanggapan seakan-akan sangat ahli. Waktu ikut seminar di Jakarta tahun 2005, saya sempat geram. Seorang profesor melakukan penelitian di Lampung. Banyak temuan dilaporkan. Tetapi menurut seorang penanggap: makalah profesor tidak ada apa-apanya.
Di Pontianak dalam sebuah seminar, seorang doktor dari Untan sempat dicela oleh seorang peserta seminar –saat sesi tanya jawab. Kata peserta yang cuma lulusan S-1 itu: “Saya tidak mendapatkan apa-apa dari makalah Bapak”. Bayangkan!
Makanya ada teman saya yang doktor dalam bidang sosiologi agama bilang kalau seminar di Indonesia dia merasa seperti ujian skripsi. Padahal ujian skripsi sebenarnya tidak boleh juga menjadi ajang pengadilan yang membuat mahasiswa cun. Seharusnya forum ujian skripsi juga diciptakan sebaik mungkin untuk mendorong mahasiswa agar cinta dengan kegiatan penelitian. Tapi, susah. Karena dosen-dosen yang menguji dengan killer itu juga kebanyakan bukan orang yang mencintai dan meresapi nikmatnya sebagai peneliti.
Dalam percakapan dengan penyelenggara, saya mendapat informasi untuk seminar sebesar itu mereka hanya mengeluarkan sekitar RM 6000 atau Rp 15,5 juta. Biaya itu termasuk tiket, penginapan dan honor pembicara, pengadaan prosiding, dan makan.
Saya yakin kalau di Kalbar, untuk seminar sebesar itu pasti tidak akan dapat mendatangkan pembicara dari luar negeri, dan memberikan mereka fasilitas menginap, transportasi dan makan. (Bersambung).

Baca Selengkapnya...

Catatan Perjalanan ke Malaysia (5)

Terbang Murah, Nginap Juga Murah

Yusriadi
Borneo Tribune

Tidak hanya bagian depan terminal udara yang berubah. Bagian dalam juga. Kami –saya dan Dedy Ari Asfar sempat bertanya-tanya di mana Pintu A (Gate A). Setelah toleh sana sini, baru kami tahu rupanya Pintu A berada paling ujung.
Tempat naik pesawat Air Asia dan MAS beda. Kalau Air Asia bagian naiknya di bagian kiri, sedangkan kalau naik pesawat MAS pintu masuknya di arah kanan. Air Asia dikenal sebagai pesawat dengan penerbangan murah. Tiket yang kami beli harga totalnya RM 180-an. Selisihnya lebih dari RM 50 -100 dibandingkan naik MAS untuk sekali jalan.
Semakin cepat beli tiket semakin murah. Orang banyak memilih naik pesawat ini karena biaya sangat terjangkau. Mungkin perbandingannya –berdasarkan rasio gaji, naik Air Asia sama dengan naik bis luar kota di Kalbar. Slogannya “Every one can fly”. Lagian, beli tiket Air Asia bisa lewat internet. Bayarnya, cukup dengan gesek kartu kredit.
Untuk naik ke badan pesawat kami turun dulu dari bangunan terminal (tempat menunggu). Lalu naik pesawat pakai tangga. Sama seperti naik pesawat di bandara Supadio Pontianak. Tetapi kalau naik pesawat MAS biasanya penumpang tidak turun lagi. Body pesawat langsung terhubung dengan ujung lorong bangunan terminal. Ya, itulah kalau naik pesawat murah seperti Air Asia.
Tetapi bukan itu saja pelayanan sederhana Air Asia. Kalau naik pesawat bisa rebutan, mau duduk di depan atau di belakang. Tiketnya tidak pakai nomor.
Selama 1 jam 40-an menit penerbangan Kuching – Kuala Lumpur penumpang tidak diberikan makanan atau snack. Kalau mau makan, penumpang bisa order, tapi harus bayar. Harga makanan di pesawat bisa dua kali lipat dibandingkan harga di kantin biasa. Saya tidak memesan makanan di pesawat ini, selain memang sudah makan di kantin lapangan terbang –jadi tidak lapar, juga karena seram lihat harga yang dua kali lipat itu. Saya menghabiskan waktu dengan tidur, walau tidur sambil duduk tidak terlalu nyaman. Kalau naik pesawat MAS penumpang disediakan makan. Biasanya ada pilihan makanan di sini.

***

Pesawat mendarat di lapangan terbang Antarabangsa (Internasional) Kuala Lumpur. Mulus.
Tetapi tempat turun sekarang berbeda dibandingkan tiga tahun lalu. Saya lihat pesawat bergerak menuju terminal paling ujung (samping) landasan pacu pesawat. Bukannya menuju terminal utama yang paling dibanggakan Malaysia –KLIA (Kuala Lumpur International Airport).
Beberapa waktu kemudian setelah turun dari pesawat, saya baru tahu tempat turun ini baru difungsikan satu tahun lalu. Air Asia memiliki tempat menurunkan dan menaikkan penumpang tersendiri, terpisah dari tempat pesawat-pesawat dari maskapai penerbangan lain –sebut misalnya MAS. Kata orang sewa di KLIA per jam sangat mahal. Air Asia tidak mau sewa mahal, karena sewa mahal itu kemungkinan juga akan membebani konsumen.
Turun dari pesawat, kami berjalan cukup jauh menyusuri koridor, dengan hembusan angin dan deru pesawat. Hingga sampailah di tempat tunggu bagasi. Dari tempat tunggu bagasi kami memilih naik bis menuju Nilai –salah satu stasiun kereta api listrik. Orang di Malaysia menyebut kereta api ini sebagai komuter. Rupanya bis dengan simbol N ini berhenti dahulu di KLIA –tempat tunggu biasa. Sopir –di sini disebut drebar (driver) menyuruh kami turun ganti bis. Bah, lumayan juga repot karena masing-masing kami bawa dua tas.
Kami lebih suka memilih bis karena biayanya murah. Kalau pakai teksi biayanya bisa mencapai RM 70 baru sampai Kajang –kota cukup besar di negara bagian Selangor. Tetapi kalau pakai bis plus komuter biayanya hanya sekitar RM 7 saja. Hemat banyak.
Cuma, kalau naik taksi waktunya bisa 1-2 jam tambah macet, tetapi kalau naik komuter bisa lebih lama karena campur jalan kaki dan menunggu jam keberangkatan. Baik bis maupun komuter bergerak sesuai dengan jam keberangkatan yang sudah diatur.
Kami pilih menginap di Sungai Wang. Tarifnya sangat murah untuk ukuran orang Malaysia. Per malam cuma RM 60. Bandingkan dengan hotel-hotel lain biaya menginap ratusan ringgit.
Kamarnya memang sempit dan penginapannya sudah tidak baru. Tetapi di kamar ini ada kran mandi air panas, ada AC, ada TV. ‘Bulu’ handuknya sudah dimakan mesin cuci. Sudah tembus pandang.
Teman saya bercanda, kalau orang tanya di mana bermalam, bilang saja di Sungai Wang Ambasador. “Kalau sebut Ambasador agak keren dikit,” katanya sambil tertawa. (Bersambung).

Baca Selengkapnya...

Catatan Perjalanan ke Malaysia (4)

Lapangan Terbang Kuching, Alamaaak!

Bis yang kami tumpangi sudah sampai di terminal Batu Tiga Kuching. Terminal ini tidak cukup besar dibandingkan terminal Batu Layang Pontianak. Terminal ini juga tidak cukup ramai. Tidak ada pedagang yang buat tenda di sini. Sejak tahun 1996 saya lihat tidak ada yang berubah di terminal ini. Pedagangnya tidak nambah jumlahnya. Bangunan tidak jadi lebih kusam, dll. Keadaannya cukup baik.
Kami turun dari bis. Di bawah depan pintu bis yang terbuka ada beberapa penjemput. Tetapi tidak ada calo yang menawarkan jemputan, teksi (taksi). Penumpang leluasa melakukan apa yang dia mau. Jujur saja, saya selalu merasa nyaman turun di terminal ini. Tidak takut ditarik-tarik, tidak takut juga menghadapi ‘ajakan’ penawar jasa angkutan.
Taksi terparkir di samping bangunan terminal. Sedangkan sopirnya menunggu di bagian ujung bangunan. Berbicara dengan sesama. Kalau mau naik teksi, penumpang cukup berjalan menuju teksi yang terparkir paling depan. Nanti dengan sendirinya sopir yang sedang duduk akan datang berlari.
Bangunan di terminal berlantai 2. Lantai bawah tempat penjualan tiket; baik tiket bis antar kota, maupun bis ke luar negeri –ke Pontianak.
Saya dan Dedy Ari Asfar menuju counter penjualan tiket, bertanya tiket ke Betong, salah satu kota besar di wilayah Sarawak. Anak muda itu memberitahukan kami bisa bertanya ke counter STC paling ujung. STC adalah singkatan dari Sarawak Transport Co salah satu perusahaan bis di Sarawak.
Tapi kami hanya mau tahu saja, sebab hari itu tujuan perjalanan kami ke Kuala Lumpur (KL). Setelah dari KL baru kami akan ke Betong –menurut rencana. Setelah dapat informasi kami berjalan ke luar terminal, menuju kedai makan. Penumpang selalunya singgah di kedai makan di sini. Dibandingkan harga makanan di lapangan terbang. Harga makanan di sini agak murah. Kali selalu membandingkan, makan di sini cuma RM 4 (sekitar Rp10 ribu). Sedangkan di lapangan terbang makan RM 8 belum tentu kenyang. Dua kali lipat harganya.
Tukang masaknya orang Melayu. Jadi untuk ukuran lidah orang Kalimantan Barat biasanya tidak ada masalah. Lewat. Apalagi kalau lagi lapar setelah naik bis dari Pontianak semalam-malaman.

***

Selesai makan kami ke lapangan terbang. Kami naik teksi, kebetulan sopirnya orang China. Dia, seperti umumnya sopir-sopir teksi yang pernah saya tumpang, cukup ramah melayani berbagai pertanyaan kami.
Route yang dilalui kali ini berbeda dengan route yang biasa ditempuh –tiga tahun lalu. Kali ini kami melewati jalan baru. Sangat cepat. Mungkin hanya 10-20 menit saja. Kami sampai di lapangan terbang.
Lapangan terbang Kuching juga sudah berubah jauh. Dibandingkan 3 tahun lalu. Tiga tahun lalu lapangan terbang Kuching hanya bagus sedikit –mungkin dua kali lipat, dibandingkan lapangan terbang Supadio. Tetapi sekarang, alamak! Bagusnya mungkin 10 kali lipat. Modelnya, sangat keren. Bagi saya, jauh lebih keren dibandingkan lapangan terbang Jakarta. Bagi saya, sangat sesuai kalau Kuching membanggakan lapangan terbang ini sebagai lapangan terbang antarabangsa.
Kami menuju counter penjualan tiket Air Asia. Dedy yang menuju counter. Kami mau minta jadwal lebih awal. Kalau minta tunda memang tidak bisa. Lambat sedikit tiket bisa hangus.
“Kalau dahulu bisa,” kata Dedy.
Tetapi sekarang ternyata tidak bisa. Peraturan sudah beda.
Tapi tak apalah. Kami menunggu sampai siang. Jadwal penerbangan jam 12 lewat. Hitung-hitung kami bisa menikmati suasana lapangan terbang. (Bersambung).

Baca Selengkapnya...

Catatan Perjalanan ke Malaysia (3)

SPBU Layan Sendiri

Saya memasuki wilayah Imigresen Tebedu. Ada dua counter pelayanan dibuka. Saya dan Dedy Ari Asfar, MA peneliti dari Kantor Balai Bahasa Pontianak memilih counter kedua. Counter 1 agak ramai. Tak lama kemudian counter 3 dibuka.
Nasib. Kami antri cukup lama. Dibandingkan counter 1 dan counter 3, antrian counter 2 bergerak lambat. Nampaknya petugas di situ --seorang anak muda, cukup teliti melihat paspor yang disodorkan pelintas. Sesekali saya melihat dia bertanya. Entah apa yang ditanyakan.
Lama antri, kami sempat dipanggil sopir bis. Agaknya dari semua penumpang bis tadi, hanya kami yang lambat. Selalunya sopir bis memang punya perhatian besar terhadap ‘nasib’ penumpangnya –asal penumpang punya paspor tentu saja.
Saya masih ingat dahulu ada sopir yang menyesalkan ada penumpang yang harus bersusah payah masuk ke Kuching. Katanya: “Lain kali Pak, kalau ragu-ragu, minta tolong”. Saya juga pernah melihat ada sopir yang membawa paspor penumpangnya ke kantor Imigresen Tebedu.
Pagi itu, pun saya melihat ada orang yang membawa beberapa paspor masuk ke ruangan yang terdapat di samping kiri counter. Sedangkan orang yang dibawa paspornya berdiri di bagian luar kawasan antri. Saya menduga mereka TKI.
Untung, ketika giliran saya, petugas tidak banyak bertanya. Saya angsurkan paspor, memperlihatkan tiket pesawat pergi pulang dan surat undangan seminar dari UKM. Dia merasa cukup melihat semua itu dan mencop –mencapkan paspor saya. Cap di paspor memperlihatkan saya diberi izin masuk ke Malaysia selama sebulan. Visa yang diberikan adalah visa sosial. Teman saya, Dedy juga diberikan izin yang sama.
Lepas dari pos Imigrasi, saya bergegas menuju bis yang sudah menunggu di luar pagar Imigresen, di wilayah Sarawak. Seorang petugas menegur, menyuruh saya membawa tas ke ruang pemeriksaan. Saya agak terkejut karena perintah itu. Sebab tiga tahun lalu prosedur ini belum ada. Maksud saya, tiga tahun lalu pemeriksaan masih manual. Barang kita dibawa ke hadapan petugas. Kemudian kita buka barang-barang itu sendiri. Petugas bertanya satu-satu: “Ini apa?”
Repotnya minta ampun. Saya sering kali tidak mau menyerahkan tas untuk diperiksa. Caranya menjauhi tempat pemeriksaan. Atau berlindung di balik bis. Saya pikir, diperiksa atau tidak, tidak ada bedanya.
Sekarang, pemeriksaan dilakukan melalui alat X-Ray, seperti yang terdapat di lapangan terbang. Saya hanya meletakkan tas di tempat pemeriksaan tanpa harus membukanya.
Setelah selesai pemeriksaan, tas diberi tanda.
Tak lama kemudian bis bergerak menuju Kuching. Beberapa kilometer kemudian bis berhenti. Ada pemeriksaan Polis (Polisi). Kondektur turun dari bis membawa sebungkus rokok gudang garam. Dan meletakkan rokok di atas meja Polis. Tak terdengar apa yang mereka bicarakan.
Kondektur masuk lagi. Sambil tertawa. Saya lihat dia menempelkan telunjuk ke mulutnya memperlihatkan isyarat merokok. Memang mujarab, bis kami lewat tanpa pemeriksaan. Tak perlu susah payah menunjukkan paspor kepada mereka. Waktu kami jadi lebih singkat. Maklum pemeriksaan paspor biasanya cukup memakan waktu juga.
Saya masih penasaran dengan apa yang saya lihat. Sayangnya saya tidak lihat dari dekat siapa polis-polis itu.
“Kok dikasih rokok?” tanya saya.
“Orang kita juga,” kata sopir menjawab.
Saya tidak berusaha bertanya apa maksudnya.
“Pak, tadi, rokok itu udah dibuka atau belum?” tanya saya lagi.
Kali ini mereka tidak menjawab. Saya ingin bertanya karena saya ingat dahulu saat lewat di sebuah pos pemeriksaan di Anjung, sopir atau kondektur truk melemparkan kotak rokok atau kotak korek api kepada petugas. Kononnya isi kotak itu adalah uang.
Jika sopir dan kondektur bis menjawab saya ingin mengetahui apakah hal ini sama terjadi.
“Kalau ngasih-ngasih gini, duitnya dari mana Pak? Dari kantor pusat di Pontianak?” tanya saya lagi.
“Ya, ndak-lah. Mana kantor mau. Dari kocek pribadi-lah,” sahut sopir.
Saya bilang Dedy, sungguh kasihan. Mengapa bukan orang Indonesia yang belajar dari Malaysia soal pemberantasan kolusi. Soal bersih. Mengapa Polis mau belajar hal jelek dari orang Indonesia. Entah apa jadinya nanti.

***

Setelah itu perjalanan dilanjutkan. Perjalanan yang nyaman. Jalan di Malaysia cukup licin. Sejak tahun 1996 saya melalui jalan ini, rasanya tidak ada yang berubah. Tidak ada pelebaran. Tidak ada lubang di tengah jalan. Tak ada bagian yang sempat bersemak. Lempang.
Saya tertidur. Pulas.
Saya bangun ketika bis berhenti mengisi bahan bakar di sebuah SPBU. Saya senyum mendengar celetukan: “Bis ngisi minyak, penumpang malah buang air”. Ada WC bagus disediakan di SPBU ini.
Kondektur menuju tempat pembayaran. Membayar jumlah minyak yang dia perlukan. Lantas kembali lagi.
Di SPBU ini orang yang ingin mengisi bahan bakar menekan tombol sendiri yang menunjukkan jumlah liter dan memasukkan nozel ke tanki minyak. Tiada petugas yang melayani. Pagi itu saya lihat hanya ada dua orang di sana. Satu orang berjaga-jaga, membantu bila ada pelanggan yang kesulitan. Tidak ada juga pelanggan yang antri. Apalagi sampai panjang seperti di Pontianak. (Bersambung). □

Baca Selengkapnya...

Catatan Perjalanan ke Malaysia (2)

Pengecopan Lancar, Calo Berkeliaran Dekat Counter

Yusriadi
Borneo Tribune, Pontianak

Menjelang pukul 05.00 suasana di depan pintu masuk pos Imigrasi mulai ramai. Penumpang-penumpang bis turun. Saya, seperti juga mereka membaur di depan pintu pagar.
Seorang lelaki berbadan tegap dengan topi, menawarkan jasanya. “Cop paspor?”
Namun saya tidak memperdulikannya. Saya hanya memandang. Sembari meneruskan perjalanan.
“Ringgit, ringgit. Tukar ringgit,” seorang lagi pemuda menghampiri saya. Saya taksir umurnya 20-an. Sekepal uang ringgit diacungkan.
Saya tersenyum. Lantas menggelengkan kepala sambil berlalu.
Saya dengar dia terus menawarkan jasa penukaran kepada orang lain.

***

Ketika petugas membuka rantai dan gembok pintu pagar, ketika itu suasana jadi kalut. Orang-orang yang semula bertumpuk di depan pagar berjalan cepat menuju tempat pengecopan (maksudnya tempat pengecapan) paspor dalam bangunan Imigrasi.
Pagi itu ada dua counter yang dibuka. Pelintas lantas membentuk barisan di depan dua counter itu. Saya memilih sebelah kanan.
Para pelintas yang ada di depan saya nampak tertib. Namun di dekat counter sebelah kiri, saya melihat ada orang yang membawa cukup banyak paspor. Saya agak dia seorang calo. Dia nampak berbicara dengan beberapa pemuda yang mungkin paspornya dipegang oleh calo itu.
Sang calo meninggalkan pemuda-pemuda itu. Dia masuk ke ruang petugas yang berada di belakang counter tempat saya antri.
Urusan mengecop paspor pagi itu saya rasa sangat lancar. Petugas melayani dengan cepat, tanpa basa basi. Hanya beberapa menit saja paspor saya sudah distempelnya. Padahal paspor saya baru –belum ada cop. Saya ingat dahulu waktu saya pertama kali ke Kuala Lumpur tahun 1996, petugas Imigrasi Indonesia mengajukan beberapa pertanyaan sebelum mencop paspor saya.
Beres. Saya kemudian memasuki lorong di belakang counter. Di sana saya bertemu lagi dengan penukar uang yang tadi menawarkan jasanya. Saya berbasa-basi dengan dia bertanya nilai tukar.
“Nilai tukar sekitar 2500 rupiah. Bisa diatur,” katanya.
“Kamu punya berapa?,” dia bertanya.
Saya tidak menjawab pertanyaan itu. Saya berpikir, pintar mereka!
“Di Pontianak satu ringgit 2600-an (rupiah).”
Dia lantas menceritakan seluk-beluk penukaran uang di perbatasan. Saya tidak tahu ceritanya benar, atau karangan saja.
Lama-lama saya jadi ingin bertanya tentang biaya cop paspor. Namun tidak jadi. Sebab penukar uang itu hanya menawarkan jasanya pada pelintas yang lain.
Saya melanjutkan perjalanan ke arah Tebedu, pos Imigresen Malaysia. Saya melihat lelaki yang menawarkan jasa cop paspor tadi, sedang berusaha menawarkan jasanya pada pelintas lain. Saya bersyukur bisa melintas dengan tenang. Tidak ada penukar uang yang memburu-buru seperti tiga tahun lalu, saat terakhir saya melalui perbatasan ini. (bersambung). □

Baca Selengkapnya...

Catatan Perjalanan ke Malaysia (1)

“Yang mau cop, tiga puluh”

Yusriadi
Borneo Tribune, Pontianak

Saya melihat jam. Waktu baru pukul 04.20 ketika bis yang saya tumpangi berhenti di mulut gerbang perbatasan Entikong – Tebedu. Penumpang yang duduk di sebelah saya memberitahukan:
“Kita sampai di Entikong”.
Ya, bagi pelintas batas, kata Entikong bukan saja merujuk kepada nama daerah perbatasan, tetapi juga merujuk kepada pos Imigrasi. Di sini, orang harus turun dari bis menyerahkan paspornya kepada petugas agar bisa dicop. Dicop maksudnya distempel sebagai tanda keluar (atau masuk) melalui pintu masuk resmi.
Jadi, kalau melalui pos ini seseorang harus mengisi formulir keberangkatan dan formulir kedatangan. Tidak banyak yang harus diisi dalam formulir itu. Lebih kurang berisi keterangan tentang pelintas, misalnya nama, nomor paspor, tujuan.
Tetapi selalunya tidak semua orang dapat mengisi formulir itu. Kadang-kadang dijumpai ada orang yang mempercayakan kepada orang lain untuk mengisi formulir ini. Di perbatasan ada calo yang menawarkan jasa untuk mengisi formulir tersebut.
Jika dari Pontianak, formulir keberangkatan akan dicop lebih dahulu oleh Imigrasi. Bagian yang dicop harus disimpan. Karena bagian itu akan menjadi bukti mengenai kedatangan dan keberangkatan. Kalau hilang memang bisa diurus, sebab ada buktinya di paspor. Tetapi, ya, kena denda.
Saya menyalakan lampu baca di atas kepala saya. Bis bagus seperti yang saya tumpangi memiliki fasilitas lampu dan AC, serta WC.
Formulir itu belum saya isi. Saya mengisi dengan agak cepat. Saya mematikan lampu. Sambil menunggu saya menyandarkan badan, mau tidur. Kebanyakan penumpang juga tidur. Tetapi tidak bisa.
Saya ingat hanya ada beberapa orang saja penumpang yang sudah turun dari mobil. Mencari hawa. Maklum hawa di mobil tidak cukup nyaman. AC terlalu dingin sedangkan badan tidak bisa bergerak sesuka hati. “Mau melengkung saja susah” kata teman saya.
Di luar walaupun agak sejuk, tetapi hawanya pasti lebih segar. Entikong berada di kawasan pegunungan. Kiri kanan bukit. Banyak hutan. Lagian, kalau sudah di luar bisa gerak-gerak badan.
Saya melihat keluar jendela. Ada beberapa orang lalu lalang di dekat mobil. Pakai topi, baju jaket, dan atas tas kecil. Mereka adalah pekerja perbatasan. Ada yang menjadi penukar uang, tukang isi formulir.
“Yang mau cop, tiga puluh” terdengar teriakan dari luar. Teriakan itu jelas ditujukan kepada kami.
Saya terkejut. Pasal tukang isi formulir, penukar uang sudah lama saya dengar. Saya pun pernah berurusan dengan mereka. Salah satu kejadiannya, beberapa tahun lalu saya pulang dari Kuala Lumpur. Setelah paspor saya dicop keluar, ada tiga orang penukar uang mendatangi saya. Biasanya saya tidak pernah hirau. Mereka mengejar, memepet atau menghalang jalan saya. Tetapi kalau terus maju ya tidak jadi apa. Memang apa yang terjadi menakutkan. Saya sering lihat penumpang terbirit-birit menghindari penukar uang. Saya juga pernah melihat penumpang seperti akan dirampok.
Namun kali itu saya melayani mereka. Saya tanya nilai tukar, dan saya serahkan beberapa puluh ringgit. Namun ternyata apa yang mereka katakan sebelumnya tidak sama dengan kenyataan. Saya sempat berdebat dengan salah satu dari mereka.
Tetapi soal jasa pelayanan mencop paspor baru saya dengar setelah tiga tahun tidak ke Malaysia. Saya pun tidak ada bayangan layanan itu dalam bentuk tiga puluh ribu rupiah atau tiga puluh ringgit. Atau apakah maksudnya cop tiga puluh hari?
Saya juga tidak tahu apakah layanan itu untuk Imigrasi Indonesia atau Malaysia? Atau untuk kedua-duanya. Saya sempat berpikir jika tembok Imigrasi Malaysia bisa ditembus dengan cop tiga puluh, tentu parah. Selama ini saya cukup respek dengan Imigresen negara tetangga. Walaupun ada cerita soal sogok kain batik, ikan asin, dll tetapi saya belum pernah lihat.
Sealiknya kalau bicara Imigrasi Indonesia, saya tidak terlalu heran. Entahlah! Yang saya pikirkan siapa orang yang akan terkena (menggunakan layanan jasa mereka ini).
Saat saya sedang membayangkan situasi ini, seseorang membuka pintu mobil dari luar. Tukang tukar duit.
“Belum Lay. Ajan belum sembayang,” teriak sopir bis melarang penukar duit masuk mobil.
Kami yang mendengar teriakan itu tertawa. Tertawa dengan cara sopir melarang dia masuk. Bagi saya panggilan Lay membayangkan siapa yang dia hadapi. Biasanya Lay adalah sapaan untuk orang-orang Batak. Entahlah, apakah penukar uang itu orang Batak?
Perkataannya “ajan belum sembayang” juga cukup lucu. Memangnya “ajan” bisa sembahyang?
Penukar uang undur. Tak ada suara. (bersambung).

Baca Selengkapnya...

Catatan Menjelang Mubes MABM Kalbar (2)

Diperlukan Kemauan Kuat

Yusriadi
Borneo Tribune, Pontianak

Kemauan saja, entah apa gunanya. Syahdan, itu nafsu namanya.
Raja yang bernama, agung letaknya. Raja yang berwaktu, itu pemimpin namanya.
Kalau tak ada pilihan, sekarat agaknya. Syahdan, pintalah orang lain menyampaikan hajatnya.

Kalau orang lain yang dipercaya, sadarkah tuan, mengapa meributkannya.

Untuk mewujudkan hal itu memang memerlukan kemauan kuat.
Di kalangan orang Melayu soal semangat mewujudkan gagasan besar sudah tak perlu dikatakan lagi. Jangankan hal sekecil itu, upaya besar membangun rumah Melayu yang memerlukan biaya lebih kurang Rp 6 M itu bisa terwujud dengan kerjasama. Kebersamaan sudah terbukti. Bukti ini menunjukkan kreativitas yang wujud di tengah orang Melayu.
Pada tingkatan awal terpacaknya rumah Melayu ini menunjukkan keberhasilan pemimpin meletakkan landasan. Bangunan ini menjadi monumen yang tidak pernah dilupakan. Tetapi pada tingkatan selanjutnya, yang diperlukan lebih dari itu.
Pertama, kekuatannya adalah pada organisasi. Organisasi MABM perlu dievaluasi lagi: apakah mencukupi? Apakah berlebihan? Apakah semua agenda sudah bisa digarap melalui struktur-struktur yang ada? Apakah tertundanya keberhasilan menggarap semua agenda yang ada itu berkaitan dengan struktur ini?
Kedua, pada pengurus. Pengurus mestilah orang-orang yang memang siap mengembangkan adat dan budaya Melayu.
Mereka juga mempunyai waktu untuk itu. Kelemahan selama ini adalah banyak orang yang ditunjuk jadi pengurus, namun mereka tidak punya waktu mengurus organisasi. Biasa orang yang ditunjuk untuk jabatan ini justru mereka yang banyak terlibat dalam organisasi. Terlalu banyak sehingga mereka tidak fokus. Pada akhirnya tidak ada satu pun organisasi yang maju dengan cara ini.
Kalau penunjukan didasarkan pertimbangan ‘bagi-bagi’ jabatan karena MABM dinilai sebagai lembaga sosial budaya yang sangat tajir dalam politik aliran, maka seharusnya orang disadarkan bahwa MABM ke depan adalah organisasi yang didirikan untuk memelihara adat dan budaya Melayu. Tetapi juga tidak cukup baik kalau pertimbangannya: jabatan di MABM karena hendak memberikan ‘mainan’ pada orang yang tidak punya posisi.
Tidak mudah meyakinkan hal itu. Tetapi ke depan, harus ada upaya. Kalau MABM terus terkonstruksi untuk pertimbangan politis ini, adat dan budaya Melayu tidak pernah tersentuh dengan baik. MABM akan menjadi organisasi politik berselubung adat.
Kalau belajar dari pengalaman selama ini, orang yang menangani banyak organisasi jarang sekali mampu membawa organisasi yang dipimpinnya maju pesat. Organisasi tidak cukup maju, mungkin dia sendiri yang maju. Dia mungkin akan berhasil dalam karir politik sosialnya—sekalipun orang mungkin bertanya-tanya apakah orang seperti itu cenderung memikirkan karir dirinya dibandingkan organisasi budaya Melayu ini.
Senyampang dengan itu, kegagalan ini akan menimbulkan kesan: Melayu tidak bisa berorganisasi. Sungguh malu kalau kita mendengar kesan: Kita ini “nafsu besar namun tenaga kurang!”
Alangkah indahnya jika orang Melayu sendiri pandai berbagi-bagi. Kalau sudah memimpin di satu tempat, memimpinlah dengan benar dan serius. Berikanlah perhatian secara maksimal. Toh, di mana pun memimpin tujuannya adalah untuk perbaikan dan kemajuan Melayu, kemajuan masyarakat Kalbar. Sudah seharusnya dibuang kesan, kalau bukan si A yang memimpin MABM tidak akan maju! Pandangan ini secara tersirat menunjukkan bahwa ada banyak orang Melayu yang dapat memimpin. Hanya belum diberikan kesempatan.
Tak bisakah dicari orang yang benar-benar sesuai menyandang tugas mulia ini?
Kalau hanya ada satu orang saja, berarti tidak banyak orang Melayu yang bisa memimpin. Kalau begitu Melayu mengalami krisis kader! Kalau orang Melayu merasa begitu, seharusnya mereka sejak awal legowo jika mereka dipimpin oleh orang Dayak, Cina, bahkan Madura atau Batak sekalipun! Tak perlu ribut!
Memang politik juga menarik. Apalagi kalau mau membayangkan bahwa MABM bisa menjadi batu loncatan untuk kepentingan-kepentingan politik tertentu. Namun, perlu juga diingat nafsu politik juga bisa menjerembabkan. Politik cenderung dikaitkan untung rugi. Penuh spekulasi. Pembinaan adat dan budaya tidak bisa spekulasi. Harus pasti. Sekalipun perlahan.
Sekarang ini adat dan budaya Melayu menuntut perhatian. ■

Baca Selengkapnya...

* Catatan Menjelang Mubes MABM Kalbar (1)

Pelestarian Budaya di Rumah Tua

Yusriadi
Borneo Tribune

Rumah Melayu orang Kalbar sangat indah dan megah. Besar. Hatta, ratusan bahkan ribuan orang berkumpul pun cukup agaknya. Anak cucu, kakek buyut, tujuh turunan, menanggar agaknya. Kalau mau, saprahan atau keramaian pun dapat cukup tertampung di sana. Berpencak silat, bergendang tari, tak ada aral rintangannya. Tapi, bilakah jelata dapat menyaksikannya?

Lima tahun lalu. Tahun 2003. Tiang pertama Rumah Melayu Kalimantan Barat (Kalbar) ditancapkan. Ketika itu, 17 Mei 2003 Gubernur Usman Ja’far menyampaikan petuah dan harapan. Dua tahun kemudian, 9 Nopember 2005 rumah idaman orang Melayu itu diresmikan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Berita mengenai pembangunan Rumah Melayu itu menyebutkan, ada 7 bangunan dalam ‘paket Rumah Melayu Kalbar’ yaitu; Balairung (tempat pameran dan pertemuan), Balai Kerja (sekretariat pertemuan), Balai Rakyat (taman bermain dan kios penjualan), Balai Pustaka (tempat kajian budaya dan perpustakaan), Balai Budaya (ruang pertemuan, sanggar tertutup, dan ruang pengelola), Panggung Terbuka (ruang persidangan, panggung terbuka, Amphitheatre, dan gudang), serta Pesanggrahan (Penginapan, pertemuan, dan pelatihan).
Sungguh megah! Ada kebanggaan yang luar biasa. Harapan pun bermunculan. Mulai gagasan menjadikan Rumah Melayu sebagai "Centre of the Malay Culture" atau pusat kebudayaan Melayu daerah Kalimantan Barat, bangunan ini juga diharapkan dapat menjadi objek wisata baik bagi wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara.
Ya, hasil rekagrafis Ir Ari Januarif, sangat megah. Bahkan sangat mewah. Jika rumah ini dianggap representasi rumah Melayu, saya tidak bisa memikirkan rumah Melayu mana yang sehebat ini. Benar-benar mimpi kalau ada orang Melayu memiliki rumah seperti ini. Dilihat ekonomi sekarang, jangankan 7 turunan, 70 turunan mungkin belum tentu mampu mewujudkannya.
Tanah tempat bangunan terpacak cukup luas 1,4 hektar. Bahan bangunan yang dipakai kelas 1. Desain indah memikat. Semuanya. Melihat kegagahan rumah Melayu itu, mengingatkan saya pada kegagahan legenda Melayu – Hang Tuah. Hang Tuah adalah pahlawan bangsa Melayu yang kerap dirujuk pada ungkapan patriotiknya: “Takkan Melayu hilang di dunia”. Cuma kali ini, “Takkan Melayu hilang di Kalbar”. Rumah Melayu ini menjadi simbolisasi eksistensi Melayu kampung –bukan bangsawan/keraton, di Kalimantan Barat, yang lepas dari perdebatan apakah Melayu asli atau menjadi Melayu.
Kebesaran rumah Melayu bukan cuma kalau dilihat dari jauh. Dari dekat, dari dalam, rumah Melayu memperlihatkan cita rasa seni yang tinggi dan layak dijadikan sebagai obyek lihat-lihat (bahasa yang khusus untuk pariwisata). Aula atau Balai pertemuan yang luas. Lantainya yang licin mengkilat. Panggungnya yang kokoh. Lampu hias di depan panggung. Semuanya. Tidak heran banyak orang yang tertarik menggunakan aula ini untuk berbagai acara mereka. Baik untuk acara seremonial – umum maupun acara keluarga. Sering kali resepsi pernikahan dilaksanakan di tempat ini. Bak kata, ibarat rumah Melayu ini benar-benar menjadi rumah keluarga.
Senyampang dengan itu ruang sekretariat yang sejuk juga sangat nyaman dan teduh, seteduh jika berada di bawah naungan pohon-pohon rindang yang dahulunya sering ditanam di halaman depan rumah orang kampung.

***

Walaupun eksistensi yang diharapkan itu telah terpacak, namun, cita-cita awal agaknya belum terwujud dengan sempurna. Rumah Melayu belum mendatangkan daya tarik cukup besar untuk wisata budaya. Gagasan sebagai pusat budaya (kebudayaan) agaknya terlalu sukar dilaksanakan.
Sejauh ini memang rumah Melayu yang sering dijadikan sebagai tempat sewa kegiatan kebudayaan – budaya kawin mawin. Tetapi sepanjang yang diketahui persewaan tempat berhenti hanya di situ. Rumah Melayu belum dapat menyediakan paket persembahan kesenian Melayu, kesenian yang sering muncul dalam tradisi perkawinan orang Melayu di kampung.
Kalau melihat gagasan awal semestinya setiap orang yang menyewa Balairung Rumah Melayu itu dia akan menyewa paket persembahan Melayu –selain band atau musik yang dia sewa sendiri. Entah mungkin paket tanjidor, jepin, hadrah, atau lain-lain yang biasa dipersembahkan dalam perkawinan Melayu tradisional.
Paket ini akan seirama dengan paket tontonan. Maksudnya, orang yang menikah dengan cara adat istiadat Melayu diurus oleh ‘panitia’ dari kalangan pemelihara budaya Melayu Rumah Melayu, dan terbuka untuk umum, khususnya orang-orang yang berminat pada budaya Melayu.
Hasilnya tidak terlalu muluk. Namun, jika hal ini bisa dilaksanakan, rumah Melayu secara tidak langsung akan menghidupkan kesenian dan adat istiadat Melayu. Akan banyak orang yang bisa bersetiar dalam kesenian Melayu –selain hobby mereka. Hal ini memungkinkan orang mendirikan sanggar kesenian Melayu. Pada gilirannya akan memudahkan orang yang tertarik pada kesenian Melayu bergabung dalam kelompok ini. Pokoknya, ingin belajar seni budaya Melayu, datang saja ke rumah Melayu, gabung saja dengan sanggar-sanggar kesenian Melayu.
Kalau kelompok-kelompok ini berkembang, berarti misi pembangunan Rumah Melayu, bahkan misi pembentukan Majelis Adat dan Budaya Melayu Kalbar, akan terwujud.
Selain itu, hal ini juga akan membantu menyediakan pilihan bagi orang yang ingin bernostalgia melaksanakan resepsi dengan kebesaran raja-raja ‘sehari’ atau kebesaran kebangsawanan Melayu. Bagi mereka ini, biaya sedikit mahal namun jika dikemas dengan ciri khas yang eksotik, pasti tidak akan jadi masalah.
Bagi pengelola Rumah Melayu, selain pengembangan budaya, perhatian pada hal seperti ini akan menjulang mereka ke arah ‘bisnis kreatif’ – sesuatu yang juga diimpikan oleh para interpreneur Melayu. (Bersambung). ■






Baca Selengkapnya...

Kubu, Kampung Sejarah dalam Kenangan (3)

Membuat Artifak Baru, Menunggu Raja Baru

Yusriadi
Borneo Tribune, Pontianak

Setelah mengamati pohon asam kecil, kami melanjutkan perjalanan ke arah hulu. Rus mengajak melihat keraton.
Kami melewati jalan semen yang juga mulai rusak. Motor seharusnya lebih hati-hati melalui jalan itu. Tetapi, Rus tidak. Dia tetap membawa motor dengan gayanya seakan jalan kecil itu adalah jalan besar. Beberapa kali saya menepuk pundaknya agar memelankan laju motor –walaupun sebenarnya tidak laju.
Sepanjang jalan saya melihat beberapa rumah masih menggunakan arsitektur lama, khas rumah Melayu. Bahan bangunan dari kayu, yang diberi ukiran.Atap bangunan dari kayu. Tetapi banyak juga rumah yang sudah memperlihatkan cita rasa modern. Beratap seng dan berdinding semen. Ada juga rumah yang beratap daun. Kelihatannya ekonomi penduduk tidak cukup baik. “Susah sekarang,” kata Jit, warga setempat.
Kami melintasi jembatas yang melintang di atas Sungai Terus. Melewati jalan semen yang lebih kecil ke arah hilir, hingga sampai di bangunan baru. Letaknya agak di tengah lahan kosong di ujung kampung –yang kini disebut Teluk Nangka. Jalan semen yang baru dibangun khusus untuk keraton ini. Ada satu rumah di seberang jalan. “Inilah Keraton Kubu,” kata Rus.
Bangunannya besar. Bertiang, agak tinggi dibandingkan rumah di seberang jalan. Dindingnya dari papan. Atapnya seng.
Rus mengaku tidak tahu banyak mengapa keraton megah ini dibangun di lokasi sekarang. Yang dia tahu lokasi sekarang adalah bekas sawah. Beberapa meter dari lokasi sekarang kononnya pernah berdiri keraton. Tetapi tidak jelas sultan ke berapa yang bertahta di sana. Keraton terakhir yang mereka kenal berada di lokasi kanan mudik Sungai Terus, bukannya di kiri.
Rus juga tidak dapat memberikan informasi apakah keraton lama bentuknya seperti yang dibangun sekarang. Dia hanya memberi tahu: “Ada gambar,” katanya. Maksudnya ada bestek yang dijadikan panduan tukang dalam bekerja.
Beberapa saat setelah kunjungan itu saya bertanya kepada Tok Alang, mantan kepala kampung Kubu soal lokasi dan bentuknya. Sesepuh Kubu ini mengakui bentuk bangunan sekarang juga tidak mirip dengan bangunan keraton yang lama. Katanya, gambar yang digunakan sekarang adalah gambar dari pemerintah. Mengapa? “Tak tahu saya. Heran,” ungkapnya.
Begitu juga pilihan lokasi pembangunan keraton memang menimbulkan pertanyaan. Sebab dua raja terakhir –yakni raja ke-7 dan ke-8 berada di sebelah kanan mudik Sungai Terus. Bahkan lebih besar lagi masalahnya adalah penetapan raja Kubu. Penetapan raja Kubu ke-9 tidak seperti yang biasa dilakukan.
Kubu tidak menyisakan keraton karena dahulu bangunan keraton dibuat dari daun nipah. Bukan dari bahan kayu. Atap daun nipah hanya bertahan 3 tahun. Setelah itu rusak dan bocor. “Mungkin ada kepercayaan, pantang mengganti atap nipah dengan kayu atau seng,” katanya.








Baca Selengkapnya...

* Kubu, Kampung Sejarah dalam Kenangan (2)

Tanda Sejarahnya Mana?

Yusriadi
Borneo Tribune

Setelah makan, saya mencari penginapan. Teman saya di motor air tadi memberitahukan di Kubu ada sebuah penginapan. Letaknya di pasar.
“Penginapan di ujung... tempat yang ada jual pulsa,” kata ibu di rumah makan itu. Dia menunjuk arah kiri bangunan.
Berbekal petunjuk itu saya mencari penginapan. Celingak-celinguk mencari penginapan. Tidak ada plang.
Di bagian ujung ada dua rumah makan. Tempat jual pulsa diletakkan di antara dua rumah makan ini. Saya jadi bingung yang mana satu?
“Maaf, numpang tanya, apakah di sini ada penginapan?”
“Penginapan di sebelah,” penjaga rumah makan menunjuk ke arah belakang. Maksudnya rumah makan di sebelah kanannya, yang saya lewati tadi.
Saya mengikuti petunjuknya.
Seorang ibu membenarkan ketika saya tanya soal penginapan. “Penginapan di atas,” ujarnya.
Dia juga bertanya berapa lama saya menginap.
“Bawa apa?”
Saya terperangah. Bah, saya dikira pedagang keliling. Ah, mungkin dia mengira tas saya berisi barang –entah apa.
Tetapi sepanjang kegiatan pengumpulan data lapangan pertanyaan seperti itu memang kerap muncul. Orang-orang di lapangan sudah biasa berhadapan dengan orang asing yang berprofesi sebagai pedagang. Entah dagang obat, pakaian, dll.
“Saya mau membuat tulisan tentang Kubu.”
Kali ini saya jawab pertanyaan ini dengan menjelaskan tujuan kedatangan saya. Untuk kunjungan yang ‘agak lama’ memberitahukan tujuan kunjungan akan banyak manfaatnya. Mungkin dia bisa membantu mencarikan informasi yang dibutuhkan atau menunjuk orang lain yang dapat membantu.
Dan memang benar, kemudian dia menawarkan kalau perlu bantuan ke sana ke marin ada orang yang bisa mengantar. Soal ongkos bisa dibicarakan.
Ketika ‘basa-basi’ itu sudah cukup dia menunjuk kamar untuk saya.
“Kamarnya di atas, paling ujung. Masuknya lewat situ,”
Ada tangga menuju lantai dua. Letaknya di tengah bangunan antara dapur dan warung. Di dapur sejumlah gadis kecil sedang memasak. Ada yang berusia SMP dan SMA. Ada kompor dan ada api yang menyala di anglo. Bau makan dan bau asap bercampur. Nikmat juga!
Saya melewati kamar di lantai 2. Satu, dua, tiga, empat. Ada lima kamar. Ukurannya 2 meter, lebih sedikit. Setengah dari kamar itu adalah tempat tidur (ranjang) kayu. Ada jendela kecil.
Saya merasa beruntung mendapat kamar paling ujung. Ukurannya lebih besar. Ada dua ranjang; satu ranjang kayu dan satu lagi ranjang lipat dari besi. Ada jendela besar yang yang bagian atas dari kaca. Walaupun tidak bisa dibuka, jendela ini membuat kamar jadi sangat terang. Saya bisa melihat sungai dari dalam kamar.
Saya akan tidur di sini dua malam.

***

Namanya Rus, umurnya 37 tahun. Dia mengaku orang Melayu asli Kubu.
Kulitnya agak gelap. Rambutnya lurus. Bibirnya nampak hitam, bekas rokok. Dia memakai topi hitam yang bagian depannya ada gambar. Tetapi gambar itu sudah tidak utuh.
Bajunya kaos warna putih dibungkus jaket warna hitam dengan lis merah di tangan. Ada tulisan TOSS. Jaket ini menjadi topik pembicaraan saat kami berkenalan. Kesan saya dia orang penting dalam Tim Sukses Calon Gubernur Kalbar Oesman Sapta, di Kubu ini. Kalau kaos bertuliskan OSO pasti semua orang bisa pakai. Tetapi kalau yang bisa dapat jaket, pasti terbatas. Tetapi dia merendah, walau mengakui sebagai pendukung OSO. Jaket itu selalu dipakainya. Maklum cuaca memang lagi sejuk. Sejak tengah hari tadi hujan turun. Sore ini pun hujan masih turun. Setelah agak reda kami berangkat.
Rus dengan motornya hondanya, membawa saya menuju pusat sejarah Kubu. Kami melalui Jalan Suparto, di pinggir sungai kota kecamatan Kubu. Jalan dari semen ukuran 2 meter (atau 1,5 meter?). Sebagian dari semen itu sudah bolong dan miring. Ada bagian jalan berupa jembatan kayu. Saya mengingatkan Rus agar hati-hati.
Lewat gerbang selamat datang di depan kantor Camat Kubu kami berhenti. Letaknya di persimpangan Sungai Kapuas – Sungai Terus.
“Di sinilah kubu,” katanya.
Saya terpana. Tidak ada tanda. Kononnya saya berada di kubu yang besar dalam sejarah, tetapi bekasnya .... entah. Dia memahami keraguan saya.
Sekarang tidak ada lagi Kubu.
“Dahulu ada pohon asam di sini. Tetapi sekarang sudah ditebang,” tambahnya.
Saya bertanya dalam hati, apakah dahulu orang berkubu di bawah pohon asam?
“Fotolah,” Rus mengingatkan saya.
Saya memilih sudut. Melihat bentangan sungai.
Seseorang lelaki peroh baya keluar dari rumah di samping kantor Camat. Seorang petugas kesehatan. Kata Rus, namanya Pak Lipur.
Rus memperkenalkan saya dan memberitahu apa tujuan saya.
“Dulu ada pohon asam. Sekarang sudah ditebang,” katanya menunjuk bekas tunggul pohon asam yang terlindung rumput.
Saya menaksir ukuran diameter tunggul 30 cm saja. Pasti umur pohon asam ini tidak tua-tua amat. Takkan pohon yang ditanam abad ke – 19 bisa bertahan sampai abad ke -21 dengan ukuran begitu kecil, kata hati saya.
“Kini saya tanam kembali pohon asam baru sebagai gantinya. Untuk mengingatkan letak Kubu,” tambah Pak Lipur.
Dia bercerita bahwa dahulu di sini adalah kubu yang dibangun untuk menghambat laju pasukan Siak yang akan menyerang penduduk di sini.
Tok Alang, mantan kepala desa Kubu, yang saya wawancarai kemudian mengatakan gundukan tanah kubu dahulunya mereka ratakan. “Kubu di sini dibikin dari tanah. Diruntuhkan jadi padang badminton, tahun 1973,” ujarnya.
“Sewaktu membuat lapangan badminton anak-anak dapat pelor dalam tanah. Besar ini,” katanya sambil merentangkan jempol dan jari manis, kiri – kanan, membentuk lingkaran. Bersambung.




Baca Selengkapnya...

Kubu, Kampung Sejarah dalam Kenangan (1)

Perjalanan ke Kubu

Yusriadi
Borneo Tribune

Kubu memiliki nama besar dalam lintasan sejarah pantai barat pulau Borneo. Tetapi kebesaran itu telah punah. Usaha membangun kebesaran itu mulai dirintis. Apakah semuanya akan berjalan lancar?

Saya mendengar nama Kubu sejak puluhan tahun lalu. Tetapi ketika itu, nama Kubu yang saya kenal hanyalah sebagai sebuah kampung biasa. Kebetulan ada teman yang berasal dari daerah ini.
Lalu, ketika saya menjadi asisten peneliti (RA) di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) tahun 1997, saya ditugaskan mengumpulkan semua bahan tentang Kalimantan Barat yang ada di perpustakaan Tun Sri Lanang dan Perpustakaan Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA).
Secara mendapatkan bahan yang cukup lumayan. Bahan tentang Kalbar dalam bahasa Melayu, bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan bahasa Belanda; entah itu dalam bentuk buku, tesis dan disertasi, artikel jurnal, ataupun microfilm.
Di antara sekian banyak bahan itu ada beberapa bahan bercerita tentang Kubu. Sebut misalnya buku PJ. Veth (1854). Borneo’s Wester Afdeeling. Geographisch, statistisch, historisch. Terbitan Joh. Noman en Zoon. Cerita buku ini sangat lengkap menggambarkan kebesaran Kubu dan kekuasaan dinasti Alydrus. Beberapa lagi tulisan lain melengkapi gambaran bahwa Kubu adalah kerajaan besar -- setidaknya menurut ukuran Kalimantan Barat. Kerajaan Kubu kerap kali disebutkan sejajar dengan kerajaan lain di pantai barat; kerajaan Pontianak, kerajaan Mempawah, kerajaan Landak, kerajaan Sambas, kerajaan Matan, dll.
Selama ini saya belum pernah melihat pusat kerajaan Kubu. Pontianak, Mempawah, Sambas, saya sudah kunjungi. Tidak ada kesempatan. Lagi, saya membayangkan Kubu letaknya jauh di tepi pantai Laut Cina Selatan.
Pertengahan November lalu, kesempatan itu tiba. Saya berkesempatan mengunjungi Kubu. Ternyata, bayangan saya mengenai Kubu meleset. Kubu yang jauh, ternyata dekat. Jauh lebih dekat dibandingkan Sambas. Pengangkutan ke sini juga relatif lancar. Dari Pontianak ke Rasau Jaya, selanjutnya dari Rasau Jaya menumpang motor air selama beberapa jam sudah tiba. Mau lebih cepat lagi bisa menggunakan speed terbang. Tentu saja dengan biaya yang berbeda.

***

Saya berangkat ke Kubu menjelang siang. Menumpang sebuah motor air. Ukurannya cukup besar –hampir sama besar dengan motor air yang melayani rute Pontianak - Putussibau.
Hari itu motor agak kosong. Penumpang lebih kurang 20 orang. Barang yang dibawa juga tidak banyak. Kelihatannya barang penumpang. Yang membuat motor agak berisi, di deknya terdapat sebuah mobil. Mobil menumpang motor.
Deru mesin diesel memekak telinga. Namun penumpang motor masih bisa berkomunikasi dengan yang lain. Yang bicara berteriak. Lawan bicara menyorongkan kupingnya. Gantian. Lucu juga. Sesekali telinga terpercik air ludah lawan bicara. Tetapi mana peduli.
Saya sempat berkenalan dengan seorang pemuda Kubu. Dia baru pulang dari Sanggau, tempatnya bekerja. Lantas kemudian tiga penumpang mobil –seorang dari Kaltim, seorang dari Kalsel dan seorang dari Jawa Barat yang sebelumnya duduk tak jauh dari saya merapat. Dia memulai bertanya tentang berapa jauh dan jam berapa sampai di Telok Melano. Lalu percakapan berlanjut. Dia bercerita soal proyek pemasangan listrik dan AC di beberapa tower baru di daerah Kalbar. Proyek ini membawa mereka bertiga keliling Kalbar.
Setelah itu saya juga sempat berkenalan dengan seorang penumpang tua yang duduk tidak jauh dari kami. Saya ingin mendapat informasi tentang Kubu beberapa puluh tahun lalu. Tetapi, sedikit.
Agaknya kakek lebih suka bercakap tentang filosofi kehidupan. Asyik juga. Sayangnya suara mesin –dan kemudian air hujan, lebih nyaring dibandingkan suara kakek tua itu.
“Kubu di depan tu. Anak turun di pasar ‘kan,” kakek itu mengingatkan saya ketika kami melewati sebuah SPBU Apung.

***

Sekitar 3 jam perjalanan. Motor menepi. Awak motor meloncat menarik tali dan menambatnya. Semula saya kira tempat motor berhenti adalah rumah apung seperti perhentian di sepanjang Sungai Kapuas. Namun, rupanya bukan. Tempat perhentian adalah rumah panggung tepian sungai. Tiang panjang terpacak di dasar sungai. Agak ke tengah.
Setelah pamit pada teman di perjalanan, saya meloncat turun. Mencari makanan. Saya masuk ke sebuah rumah makan yang letaknya tidak jauh dari tambatan motor. Langkah saya sempat terhenti, mata pemiliknya agak sipit, kulitnya putih.
Saya mencari simbol halal. Ada kaligrafi.
“Makan pake’ apa?”
Ah, orang Jawa rupanya. Bersambung. ■





Baca Selengkapnya...

Spot Jantung di Angkutan Umum

Yusriadi
Borneo Tribune, Pontianak

“Bis terbakar”
Dug!
Saya terkejut. Badan yang semula menyandar di kursi, saya tegakkan. Secara replek, badan saya menjorong ke depan. Ke arah sopir. Saya ingin mendengar informasi lebih lengkap.
Sebelumnya saya tidur ayam –tidur tapi tidak nyenyak di kursi nomor 4 tepat di belakang sopir.
“Apa?”
“Ada bis terbakar,” sahut sopir.
Bis bergerak perlahan.
Saya menjulur kepala lewat jendela bis. Ya, di seberang jalan ada beberapa mobil berhenti –beberapa di antaranya truk.
Di sana saya lihat ada bekas ban terbakar. Bau sangit menyeruak.
“Bis Mudah ya,” teriak sopir pada temannya yang saat itu duduk di kursi nomor 1 dan 2.
“Bis ABM. Kalau ndak Pontianak-Sintang, Pontianak – Nanga Pinoh,” katanya.
Saya mengangguk saja. Memang tidak tahu.
“Agak-agak karena apa ya?” tanya saya lagi.
“Mungkin AC,” katanya.
Pikiran saya berkecamuk. Saya suka menumpang bus ber-AC dibandingkan tidak. Naik bus ber-AC bisa terhindar dari debu, karena tak ada jendela yang terbuka. Di bus ber-AC kita juga terhindar dari asap rokok, karena biasanya sopir dan penumpang tahu diri tidak merokok dalam bus ini. Sesekali kalau naik bus saja saya ketemu sopir yang nekat merokok. Biar tidak merebak ke dalam ruangan, kaca di samping kanannya dibuka lebar. Asap rokok yang dihembuskannya langsung ke luar bus, tak sempat mengharu biru penumpang. Jadi, masih aman juga.
Bus ber-AC agak lapang. Kursi yang di dalamnya agak jarang. Kadang masih bisa mengunjur bila sandarannya dimundurkan sedikit. Tidak ada juga kursi cadangan dalam bus ber-AC.
Tentu untuk semua kelebihan itu, penumpang harus membayar sedikit mahal. Sewajarnyalah.
Selain itu, bus ber-AC biasanya relatif bersih terawat. Kursinya jarang ada yang kumal. Baunya kadang juga agak wangi. Bandingkan dengan bus biasa, termasuk yang saya tumpang malam itu dalam perjalanan dari Putussibau ke Pontianak.
Baunya minta ampun. Kadang ada bau rokok. Kadang tercium aroma asam, bau muntahan. Kadang tercium aroma ayam (bau manuk), kata orang kampung. Kumalnya tak usah disebut. Tas kami, sudah tebal oleh debu jalan yang masuk lewat pintu dan jendela yang terbuka. Alas sandaran kursi sudah retak-retak dan retakan itu membentuk garis, hitam.
“Ada yang mati ndak?”
Saya mengajukan pertanyaan bodoh. Bah, mana tahu mereka. ‘kan sama-sama kami dalam bus, bukannya menyaksikan kejadian. Tetapi replek saja pertanyaan ini muncul. Menurut sopir biasanya kebakaran bus yang terjadi karena AC tidak terjadi tiba-tiba. Didahului asap. Masih ada waktu penumpang untuk keluar sebelum benar-benar hangus.
Tetapi, asap juga bukan tidak mungkin membunuh. Jika terhidu asap seseorang bisa lemas dan matilah dia.

***

Saya membayangkan kondisi malam itu. Jika bus yang saya tumpangi terbakar, mungkin saya akan menjadi korban. Kalau tidak mati retung, hangus sedikit mungkin. Sebab pada posisi saya duduk banyak barang dan saya pasti tidak mudah keluar dari tumpukan barang tersebut. Lagi, kaki saya tidak nyaman sebab sebelumnya selama tujuh jam saya duduk di kursi cadangan. Kursi plastik. Pantat rasanya tepos. Punggung pegal-pegal karena tidak bisa menyandar. Menyumpah karena nasib malang ini, saya sudah tidak sanggup. Alahai. Nikmati sajalah.
Saya melihat kondisi bus yang ditumpangi. Kalau tiba-tiba terbakar mungkin akan ada yang mati. Sebab pintu tidak terbuka secara otomatis. Pintu bus sama dengan pintu rumah kayu – dikunci dengan slot besi. Mau membukanya susah minta ampun. Belum lagi di depan pintu diletakkan ban serep dan di atasnya diletakkan kursi cadangan (sebenarnya bantalan kursi) dari busa yang bisa dipakai baring. Slot besi digunakan karena kunci lama sudah tidak dapat digunakan lagi, keropos dimakan karat.
Pengalaman saya, apabila pintu ini sudah dikunci, untuk membukanya diperlukan waktu beberapa menit. Kursi cadangan harus disingkirkan lebih dahulu baru kemudian slot ditarik dan pintu bus yang berlipat harus ditarik. Baik kalau di belakang pintu tidak ada barang. Kalau ada barang waktu yang diperlukan bisa lebih lama lagi.
Saya juga tidak melihat pintu darurat di bus. Biasanya di tempat yang standar keselamatan terpantau, ada pintu darurat di bagian tengah atau belakang. Pintu ini untuk memudahkan penumpang keluar jika ada hal-hal darurat. Penumpang bisa keluar lebih cepat karena tidak perlu semua menumpuk pada satu atau dua pintu. Setahu saya ada juga bus dahulunya yang hanya pakai satu pintu saja.
Pilihannya memang dengan memecahkan kaca jendela. Tetapi apakah itu mudah? Kadang ada besi yang dipasang di tengah jendela. Kepala orang dewasa tidak akan bisa telus. Setakat yang saya tahu besi itu menjadi tempat penumpang yang diduduk di dekatnya berpegangan. Mungkin juga untuk menghindari masuknya pencuri ke dalam mobil melalui jendela.
Tetapi, dalam keadaan darurat besi ini bisa menjadi hambatan penumpang keluar melalui jendela, sekalipun penumpang bisa memecahkan kaca atau menggeser kaca yang mudah buka.
Di bus juga tidak ada tabung pemadam api. Jadi saya membayangkan jika bus terbakar hampir tidak ada alternatif untuk memadamkan api kecuali seperti memadamkan api yang membakar rumah warga di dalam gang. Air diambil pakai ember baru disiramkan. Mana dapat ember di bus? Mungkin pilihannya menggunakan kayu (ranting) yang dipukul-pukul ke sumber api.
Kalaupun ada racun api, siapa yang bisa menggunakannya? Saya sempat bertanya pada seorang kondektur apakah mereka pernah mendapatkan pembekalan untuk menjaga keselamatan penumpang? Dia menjawab, tidak pernah. Seorang kondektur lebih banyak bekerja berdasarkan apa yang dipikirnya patut dilakukan, sembari mengikuti perintah sopir, membantu penumpang.
Jadi kalau memang ada kejadian, mereka hanya membantu berdasarkan feeling. Apa yang patut dilakukan, dilakukan. Kalau mereka pikir tak patut, mereka mungkin tidak melakukan apa-apa. Mau mane duli juga tidak apa-apa! Tinggal penumpang yang panik sendiri. Mau jantungan, mau tidak, terserah!




Baca Selengkapnya...

Bahasa dan Masyarakat Kantuk di Ulu Kapuas, Kalimantan Barat

Yusriadi

Pendahuluan

Orang Kantuk tersebar di sekitar danau ranau di Kapuas Hulu berdekatan dengan wilayah persebaran orang Iban. Kedua kelompok ini hidup berdampingan, kadang kala sebagai mitra, tetapi pada saat lain mereka hidup sebagai musuh. Tragedi Mpanang Derayh (Empanang Deras) merupakan salah satu cerita lama mengenai hubungan kedua kelompok yang secara linguistic masih sangat dekat ini. Para peneliti meletakkan kedua bahasa ini dalam satu rumpun yang disebut rumpun Ibanik (Hudson, 1978; Collins 2005).

Tetapi dalam konteks Kalbar, tidak banyak cerita yang dikaitkan dengan orang Kantuk ini. Mungkin karena perhatian lebih tertuju kepada kelompok besar Dayak, sehingga Kantuk yang merupakan bagian kecil dari kelompok besar ini tidak nampak. Tulisan-tulisan awal mengenai Dayak di Kalimantan Barat amat jarang menyinggung tentang orang Kantuk ini (Yusriadi, 2006) . Tulisan yang dijumpai umumnya membahas tentang orang Kantuk seimbas lalu.

Lihat misalnya dalam Rahim Aman (2006) yang hanya membahas tentang fonologi dan morfologi bahasa Kantuk. Dalam Kadir (1991) ditampilkan sejumlah leksikon bahasa Kantuk. Begitu juga dengan King (1985) dan Tjilik Riwut (1958). Dari sejumlah tulisan itu, tulisan Dove (1985) boleh dianggap sebagai tulisan yang agak mendetiil mengenai orang Kantuk, namun keterbatasannya, tulisan ini hanya menyinggung tentang peladangan yang dicatatnya dari kampung sekitar Nanga Kantuk.

Karena keterbatasan ini tidak heran jika ada yang salah memberikan deskripsi mengenai orang Kantuk. Lihat misalnya dalam Zulyani Hidayah (1997: 115-116).

“Orang Kantu’ berdiam di sekitar hulu sungai Kapuas, di propinsi Kalimantan Barat. Jumlah populasinya 1000-2000 jiwa. Mereka tersebar di wilayah kecamatan Nanga Kantuk dan Semitau, di kabupaten Sanggau. Sebagian lain berdiam di wilayah kabupaten Sintang, di sebelah utara daerah aliran Sungai Kapuas, sampai ke perbatasan dengan Serawak.” (Zulyani 1997: 115).

Tulisan ini dianggap salah karena populasi Kantuk di Kalbar digambarkan cuma 1000-2000 jiwa. Jumlah itu sebanding dengan jumlah penduduk dua-tiga kampung saja. Padahal secara kasat mata kampung Kantuk cukup banyak dan mudah dijumpai di Kapuas Hulu. Jumlah orang Kantuk jauh lebih banyak dari jumlah itu.
Oleh karena itu, makalah yang sederhana ini akan berusaha mengungkap mengenai komunitas ini; khususnya mengenai bahasa dan keberadaan orang Kantuk di Kalbar. Maksud hati, ingin melengkapi tulisan yang sedia ada dan semoga tidak keliru seperti laporan Zulyani di atas.

Mengingat data yang diperoleh masih terbatas , maka deskripsi ini tentulah amat terbatas. Karena itu hanya dua aspek yang didiskusikan dalam tulisan ini. Yakni, pertama mengenai persebaran orang Kantuk, dan kedua mengenai variasi bahasa orang Kantuk di Ulu Kapuas.


Persebaran Orang Kantuk

Kantuk adalah salah satu komunitas penting dari masyarakat Ibanik di Kalimantan Barat. Penting bukan saja karena jumlah mereka cukup banyak –ada yang memprediksikan jumlahnya mencapai 16 ribu jiwa, menyebar di 7 kecamatan di Kapuas Hulu, tetapi juga karena kiprah social politik mereka. Sekarang, wakil gubernur Kalbar adalah orang Kantuk. Beberapa politisi adalah orang Kantuk. Mereka memiliki tiga orang perwakilan rakyat Daerah Kapuas Hulu. Selain itu, kedudukan mereka di pemerintahan daerah di kabupaten Kapuas Hulu juga cukup menonjol.

Kedudukan ini yang memudahkan mereka membentuk kaukus, dengan menyelenggarakan pertemuan adat, merumuskan konsep-konsep tentang adat istiadat Kantuk. Misalnya pada tahun 2000 pernah diselenggarakan pertemuan para temenggung suku Kantuk membahas hukum adat Kantuk. Dari laporan pertemuan itu dapat dilihat ada beberapa wilayah ketemenggungan Kantuk di Kapuas Hulu yakni di kecamatan Mandai (antara lain di Teluk Sindur, Sula, Empadi’, Kirin Sejahit, Ujung Ping, Ujung Tanjung, Bika’). Di kecamatan Kedamin, yakni di Sungai Uluk, Kedamin Darat, Jaras. Di kecamatan Embaloh Hilir di Kirin Nangka, Tanjung Beruang, Belatung. Bunut Hilir, di Penemur, Benit, dan Nanga Tuan. Di Seberuang, Nanga Beluis, Pala kota, Sebalang, Koyan, Sempadi’, Pala Hulu, Pala Hilir, dan Rinjai Hilir. Di Semitau (antara lain di Kenepai, Nanga Lemeda’, Sungai Asun, Nanga Seberuang, Ntipan). Kecamatan Silat Hilir di Sentabai, Setunggul. Kecamatan Empanang di Nanga Kantuk, Selupai,

Menurut sejarah lisan, asal orang Kantuk di daerah aliran Sungai Kantuk di Empanang. Namun, kemudian karena alas an keamanan, ekonomi, sebagian besar berpindah ke selatan . Sedikit saja orang Kantuk yang masih tinggal di daerah asal ini –misalnya di Telutuk, Kampung Lalang, Nanga Kantuk (Tikul Batu, Tikul Tebing), dan Selupai.
Para migrant ini pernah ingin kembali ke kampong asal ketika banjir besar terjadi di Kapuas lebih 50 tahun lalu, saat padi yang mereka tanam rusak binasa terendam air. Namun perpindahan dibatalkan karena tempat ini sudah ada penghuni baru, yaitu orang Iban.

Perpindahan dari tanah Empanang ini yang kemudian menyebabkan orang Kantuk berada di aliran sungai Kapuas, antara sekitar Semitau hingga Putussibau. Mereka ini di kemudian hari lebih dikenal sebagai orang Kantuk Kapuas.

Varian Bahasa Kantuk di Ulu Kapuas

Meskipun jumlah orang Kantuk cukup banyak dan mereka menyebar di delapan kecamatan di Kapuas Hulu namun bahasa Kantuk bukanlah bahasa utama (linguafranca) di Kapuas Hulu. Bahasa utama di sejumlah tempat adalah bahasa Melayu, atau di beberapa tempat lagi menggunakan bahasa Iban.

Namun, kebanyakan penutur bahasa Melayu, bahasa Iban, dan bahasa lain di Kapuas Hulu, tidak mengalami kesulitan jika berkomunikasi dengan penutur bahasa Kantuk. Sebab, sememangnya bahasa ini memiliki hubungan yang sangat dekat. Tidak jarang komunikasi antar penutur-penutur bahasa itu dilakukan dalam bahasa masing-masing, tanpa hambatan (Yusriadi 2006).

Komunikasi antara penutur bahasa Kantuk dan bahasa Melayu serta Iban dapat dilakukan dengan mudah karena banyak persamaan. Bahkan beberapa peneliti meletakkan bahasa ini dalam satu rumpun, yakni rumpun Melayik (Lihat penjelasannya dalam Collins 1999). Tidak saja dalam soal bunyi, namun juga dalam kosa kata. Di bawah ini akan ditampilkan perbandingan ketiga bahasa tersebut:

Kantuk Iban Melayu
Vokal Depan /i/ dan /e/ /i/ dan /e/ /i/ dan /e/
Vokal Tengah // dan /a/ // dan /a/ // dan /a/
Vokal Belakang /u/ dan /o/ /u/ dan /o/ /u/ dan /o/

Bahasa Kantuk dan Iban memiliki diftong dan konsonan yang sama. Terdapat empat geluncuran dalam dua bahasa ini, yaitu –ay, -aw, -oy, -iy, sedangkan konsonan yang dimiliki ada 19, yaitu: /b/, /p/, /m/, /t/, /d/, /n/, /k/, /g/, //, //, //, /c/, /j/, /s/, /l/, //, /h/, /w/ dan /y/. Adapun bahasa Melayu memiliki 3 geluncuran –tidak ada geluncuran /-iy/, serta 19 konsonan yang sama.

Perbedaan bahasa Kantuk dengan bahasa Iban dapat dilihat dari segi leksikal. Perbandingan itu antara lain:


Tabel
Perbandingan Bahasa Kantuk dan Iban

Kantuk Iban Arti
laut tasik Laut
dulaw suba Dahulu
crita gisah Cerita

Selain contoh di atas, ada beberapa catatan menarik tentang perbedaan bahasa Kantuk dan Iban, menurut persepsi orang Kantuk. Selama pengumpulan data beberapa informan menyebutkan dengan sukarela mana bahasa mereka yang berbeda dengan bahasa Iban. Namun meskipun demikian, kadang kala, bahasa yang di satu tempat dipisahkan dari bahasa Kantuk (bukan bahasa kami), namun di tempat lain digunakan oleh orang Kantuk dan dianggap sebagai bahasa mereka.

Tabel
Bahasa Kantuk dan Iban

Kantuk Iban Arti
kamar (LDU ) biliyk (IBN) kamar
bpikir (NG KTK) bruni (IBN) berpikir
tungki (TLK) tuku (IBN) tungku
pit (SLP) miyt (IBN) kecil
nmiyak (KDH) mit (IBN) muda
licin (KTK) licaw (IBN) licin
badayh (LDU) badas (IBN) bagus
uma (SLP) umay (IBN) ladang
ukuy (LDU) uduk (IBN) anjing
tumit(KDH) pansut (IBN) tumit


Menariknya, jika entri di atas dibandingkan dengan daftar kata yang dipungut di tempat lain, terlihat ada perbedaan. Misalnya untuk kata “kamar” penutur di Nanga Kantuk dan Kedamin Darat Hulu memberikan kata /biliyk/ selain /paki/ atau /pakin/ tanpa penjelasan tambahan apakah kata itu milik orang Kantuk atau Iban. Lebih lanjut lihat perbandingannya berikut ini:

Varian Entri No 398
Nanga Kantuk paki, biliyk
Kedamin DH biliyk, pakin
Jaras kamar
Selupai kama
Telutuk pakiyn

Begitu juga dengan entri kata “ladang”, yang dalam tabel di atas dibedakan antara /uma/ yang disebut penutur Selupai sebagai varian Kantuk, dan /umay/ yang disebut sebagai varian Iban. Kenyataannya, penutur di Nanga Kantuk, Landau, Kedamin Darat Hulu, Jaras dan Telutuk memberikan kata /umay/ juga sebagai bahasa mereka. Lebih lanjut lihat perbandingannya:

Varian Entri No 201
Nanga Kantuk umay
Kedamin DH umay
Jaras umay
Selupai uma
Telutuk lada, umay

Selain itu, data yang ada juga menunjukkan bahwa bahasa Kantuk memiliki beberapa varian. Berikut ditampilkan perbandingan bunyi dan kosa kata yang dipetik dari Nanga Kantuk, Kedamin Darat Hulu, Selupai, Telutuk, Landau dan Jaras.

No B.Indonesia Nanga Kantuk Telutuk Landau Mentail Selupai Kedamin DH Jaras
1 kuku siluw kukut kukuwt siluw kukut kukut
2 lutut pala patu patu pala patu pala patu pala patu patu
3 mandi maney maniy mandi maniy mani mani
4 pipi pipi kuyuw pipi pipi pipi kuyu
5 makan makan makay makay makan makay
6 timbul timul mlpu timul timul, mlpu timul timul
7 kotor kutur jaey kutur kamah kamah, jayie kamah
8 ketiak ktiak klkiak ktiak ktiak ktiak kltiak
9 bapak apak apay apay apay apay apay
10 ketel ciri kiri kirie kiey kiri kiri
11 tungku tuku tukiy tukiy tukiy tukiy tukiy
12 luka luka tliyh luka luka tliyh tliyh
13 sentil lntiy lntit lntiyk lntiyk lntiyk lntiy
14 daki dakiy dakey daki dakiy daki daki
15 pegang migay pgay mgay mgay mgay
16 patuk patuk patuw patuwk patuwk patowk patok
17 taji tada taji taji tada taji taji
18 sj. lipak kecil kmayar rmayar lmayar lmayar
19 cacing caci taci taciy taciy
20 tpt babi mandi plakan span mlakan span, plakan plakan plakan
21 agas rait rit kap kap rait rit
22 biawak buayak boyak mnarat buayak buyak buyak
23 paria lpa pare parie paie lpa, pari pari
24 putih bura burak burak buak burak burak
25 kencing kmih kmi kmiy kmiy kmiyh kmi

Dari sejumlah variasi yang ditampilkan di atas, nampaknya varian Kantuk ini memperlihatkan ciri yang cukup nyata untuk memisahkan antara satu dengan yang lain. Seperti juga orang Kantuk sendiri memang menyebutkan bahasa Kantuk di kampung mereka agak berbeda dengan bahasa Kantuk di kampung yang lain.

Varian Jaras dan Kedamin Darat Hulu

Jaras adalah nama kampung Kantuk yang terdapat di hulu kota Putussibau, sedangkan Kedamin Darat Hulu adalah kampung Kantuk yang terdapat di hulu Putussibau. Kampung Jaras berada di persekitaran kampung Kantuk yang lain, misalnya Bika’, Kirin, .. Sedangkan kampung Kedamin Darat Hulu berada di batas antara orang Kantuk dengan orang Taman. Orang Taman adalah kelompok yang menuturkan bahasa yang berbeda rumpunnya dengan bahasa Kantuk.

Untuk mencapai kampung ini dapat ditempuh dengan menggunakan jalan darat dan sungai. Bahkan untuk kampung Jaras selain dapat dijangkau dengan menggunakan kendaraan roda empat, letakknya yang di tebing sungai kapuas memungkinkan kapal motor singgah di kampung mereka. Sedangkan kampung Kedamin Darat Hulu agak jauh dari sungai Kapuas. Terdapat angkutan umum yang menghubungkan Jaras dengan Putussibau, bukan saja oplet tetapi juga ojek. Karena itu tidak heran jika orang Kantuk di sini mudah sekali bolak-balik ke kota Putussibau.

Kedua kampung ini umumnya dihuni oleh orang Kantuk. Hanya ada beberapa keluarga orang bukan Kantuk tinggal di kampung Jaras. Mereka adalah pendatang yang menjadi guru di sini.

Kedua varian Kantuk ini memperlihatkan hubungan yang agak dekat. Setidaknya secara geografis, keduanya berada di pinggiran aliran sungai Kapuas.
Penduduk di kedua kampung ini berjumlah sekitar … . Jumlah ini memungkinkan bahasa Kantuk menjadi bahasa utama di kampung. Namun demikian mereka juga dapat berbahasa bahasa yang lain, misalnya bahasa Indonesia atau bahasa Melayu. Singkatnya, masyarakat di sini adalah penutur bilingualisme.

Varian Telutuk

Telutuk adalah nama kampung yang terletak hulu sungai Kantuk. Kampung ini adalah kampung Kantuk yang paling hulu di sungai ini berbatasan dengan kampung Iban. Kampung ini bisa dihubungi lewat sungai, namun juga ada jalan darat dari Nanga Kantuk, walau jalannya masih jalan tanah. Pada masa awal, kendaraan roda empat bisa masuk ke kampung ini. Namun karena jalan tidak dipelihara, bekas-bekan ban menyisakan kubangan lumpur yang dalam sehingga sekarang tidak mungkin kendaraan roda empat masuk ke kampung ini. Bahkan, sepeda motor pun masuk dengan susah payah melalui titian sekeping papan di atas lumpur.

Penduduk kampung ini berjumlah 68 kepala keluarga atau sekitar 300 jiwa. Namun ketika kami ke kampung ini beberapa waktu lalu keadaannya agak sepi. Anak muda kebanyakan merantau ke Malaysia.

Varian Kantuk di kampung ini memperlihatkan ciri yang berbeda di bandingkan varian yang dituturkan di kampung lain. Perbedaan secara leksikal antara lain:

Varian Telutuk Varian Lain Arti

/mlpu/ Timbul
/klkiak/ Ketiak
/lntit/ Sentil
/rmayar/ Sejenis lipan kecil
/tasiyk/ Laut
/paaw/ Bantal
/tusu/ Menyusu

Selain perbedaan secara leksikal di atas, orang luar sendiri menganggap bahasa di Telutuk lebih ‘dalam’ dibandingkan varian Kantuk yang lain. Kesan ini agaknya muncul dari wujudnya bunyi geluncuran di beberapa kata di posisi akhir, tertutup. Misalnya pada kata:

Telutuk Arti

kuyuw Pipi
dakey Daki


Varian Nanga Kantuk

Nama Nanga Kantuk merujuk kepada letak kampung yang terletak di persimpangan sungai Nanga Kantuk – Empanang, walaupun sebenarnya letaknya tidak persis di tanjung persimpangan kedua sungai ini. Orang Kantuk tinggal di sini setelah mereka pindah dari kampung lama mereka di Tikul sekitar tahun 1980-an .

Nanga Kantuk sekarang ini menjadi kota kecamatan Empanang. Sebagai kota kecamatan, di kampung ini kini berdiam berbagai kelompok masyarakat, baik Melayu, maupun Iban. Interaksi dengan penutur bahasa lain ini menyebabkan varian di Nanga Kantuk memperlihatkan ciri yang agak berbeda dengan varian Kantuk lainnya.

Misalnya, wujudnya bunyi // sedangkan varian lain memperlihatkan bunyi /k/, pada kata: “putih” /bura/, varian lain memperlihatkan bentuk /burak/; atau pada kata “menangis” /aba/, varian lain memperlihatkan bentuk /abak/.

Varian ini memperlihatkan bentuk /ciri/ “ketel”, sedangkan varian lain memperlihatkan bentuk /cirik/. Atau kata /maney/ sedangkan varian lain memperlihatkan bentuk /maniy/, atau /mani/.

Kata “kotor” muncul dalam bentuk /kutur/ sedangkan varian lain memperlihatkan bentuk /jaey/ atau /kamah/. Begitu juga untuk kata “bapak”. Jika varian lain memperlihatkan bentuk /apay/, varian Nanga Kantuk memperlihatkan bentuk /apak/.

Varian Selupai

Nama Selupai merujuk kepada nama Sungai yang ada di hilir kampong Selupai sekarang. Kampung ini diberi nama Selupai karena sebelumnya, memang rumah penduduk di sekitar sungai itu. Pada mulanya, nama Selupai tidak disinggung informan di kawasan Kapuas, sekitar Putussibau. Namun kemudian ketika peneliti sampai Nanga Kantuk, barulah ada informan memberitahukan ada kampung Kantuk yang berada paling hilir, dekat kampung Melayu di Sungai Empanang. Dan, rupanya, kampung ini adalah kampung lama, yang namanya tercantum dalam peta yang kami miliki.

Kampung ini terletak di tebing Sungai Empanang. Untuk mencapai kampung ini –dari Nanga Kantuk, harus menggunakan angkutan sungai, melalui sungai Kantuk dan Empanang. Sedangkan melalui jalan darat sangat susah –kalau hampir tidak mungkin, karena jalan tersebut masih jalan tanah dan belum ada jembatan.

Kampung ini berbatasan dengan kampung Ntipan Hulu, Kenepai Komplek, Sekedau, dan Jelemuk 3. Jumlah penduduk Selupai adalah 335 jiwa, 102 kk. Keadaan kampung masih sederhana dalam arti belum tertata dengan rapi. Jalan kampung masih jalan tanah yang berumput tinggi. Ada babi, ayam, yang berkeliaran di kolong-kolong rumah.

Orang kerap menyebut nama Kantuk di sini sebagai Kantuk Ramay [amay], sedangkan beberapa literature menulisnya Rembay. Kadang kala disebut dengan Rembay saja, tanpa mencantumkan Kantuknya (Veth 1854).

Ciri yang paling penting dalam varian ini adalah wujudnya bunyia geseran lelangit lembut //, sedangkan pada varian lain wujud bunyi getaran. Contoh:

Nomor Selupai Arti
1 jai Tangan
2 maw Perahu bertolak
3  Rusuk
4  Kerongkongan
5  Berpikir
6  Ipar

Orang Selupai sendiri amat menyadari perbedaan itu. Karena itu bisa dimaklumi ketika pengumpulan data dilakukan, sejak awal percakapan mereka sudah menyebutkan perbedaan ini, dibandingkan varian Kantuk yang lain. Ihwal perbedaan ini, mereka menyebutnya sebagai “bunyi Melayu”.

Wujudnya bunyi ini dalam bahasa Kantuk belum pernah disinggung oleh peneliti terdahulu. (Lihat Rahim 2006). Oleh karena itu sukar diduga bagaimana kedudukan bunyi ini dalam bahasa Kantuk. Belum dipastikan apakah bunyi ini pinjaman atau pengaruh dari bahasa Melayu.

Selain itu, sebagai varian yang berdekatan dengan varian Melayu, varian Selupai memperlihatkan wujudnya kata /sba/ “seberang”, padahal varian Kantuk yang lain memperlihatkan kata /spiyak/. Wujud juga kata /mulah/ “membuat”, sedangkan kebanyakan varian Kantuk yang lain memperlihatkan kata /away/. Demikian juga kata /bguway/ “berlari” dalam varian ini memperlihatkan bentuk yang berbeda dengan varian Kantuk lain. Varian lain memperlihatkan kata /blawa/ yang berarti “berlari”.

Varian Landau

Landau Mentail adalah nama sebuah kampung Kantuk di aliran sungai Boyan, salah satu anak sungai Bunut yang muaranya ke sungai Kapuas. Letakknya lebih ke hilir dibandingkan letak Jaras. Dapat dikatakan, dengan posisi ini, Landau (dan Kantuk Ala’, Penemur) berada jauh dari kampung Kantuk yang lain, dan berdekatan dengan kampung Melayu.

Kampung ini pada mulanya hanya dapat dijangkau melalui sungai. Namun beberapa bulan lalu sudah dibangun jalan darat yang menghubungkan kampung ini dengan poros Nanga Boyan. Poros ini memungkinkan Landau bisa dijangkau dari Jalan Lintas Selatan. Sekitar 100 meter dari Putussibau.

Walhal jika musim kering, kampung ini bisa dijangkau dengan kendaraan roda dua. Kendaraan roda empat tidak dapat menjangkau kampung ini karena jembatan yang ada belum kokoh.

Tidak didapat berapa jumlah penduduk di sini. Namun, dipastikan penduduk kampung ini boleh dikatakan adalah orang Kantuk semua. Jadi, sekalipun ada di antara beberapa orang di kampung berasal luar, namun mereka sudah “menjadi Kantuk”. Orang yang berasal kampung luar antara lain berasal dari orang Suaid, Iban, menetap di sini, umumnya karena proses perkawinan.

Dari data yang ada, beberapa hal yang memperlihatkan varian Landau Mentail berbeda dengan varian Kantuk lainnya. Misalnya, kata /mnarat/ ”biawak”, sedangkan varian lain memperlihatkan bentuk /buyak/, atau /buayak/. Selain itu, dalam varian ini ditemukan bentuk /mandi/ “mandi” yang mengekalkan nasal homorganik sedangkan varian lain memperlihatkan hilangnya bunyi [d]; misalnya, /mani/.

Beberapa ciri memperlihatkan hubungannya yang dekat dengan varian Selupai –kecuali karena bunyi [], tetapi pada bagian yang lain varian ini memperlihatkan persamaan bentuknya dengan varian Kantuk di sekitar Kapuas, di antaranya terlihat pada kata:

Landau Mentail Selupai Arti

patuwk patuwk patuk
kap kap agas
parie parie buah pari
kmiy kmiy kencing


Penutup

Seperti dijelaskan di awal, Kantuk termasuk dalam kelompok Ibanik. Kedekatan orang Kantuk dengan orang Iban tidak saja dalam soal bahasa, tetapi juga dari segi persebaran. Kedua komunitas ini mendiami wilayah di sekitar Kapuas Hulu. Karena Kedekatan secara geografis juga ini memungkinkan mereka menjalin ikatan, kontak atau sebaliknya menimbulkan masalah.

Bahasa Kantuk memiliki beberapa varian. Setidaknya dari data yang diperoleh memperlihatkan ada lima variasi, yakni Kantuk Selupai, Kantuk Kapuas, Kantuk Empanang, Kantuk Telutuk, dan Landau. Masing-masing varian ini memiliki ciri yang berbeda dibandingkan yang lain, dan perbedaan itu sangat mudah dikesani.

Dari banyak varian itu, varian Selupai dianggap agak jauh berbeda dibandingkan varian Kantuk lainnya. Perbedaan ini ketara dengan wujudnya bunyi geseran lelangit lembut // sedangkan varian Kantuk lain memperlihatkan ciri getaran /r/.

Memang kedudukan variasi ini masih harus didalami lagi. Penelitian terbatas ini belum dapat mengungkap secara lebih detil ciri fonologi masing-masing. Karena itu klasifikasi ini harus diperhalusi lagi, dengan penelitian lanjutan. Tetapi, lepas dari kekurangan ini, data awal ini sudah memberikan gambaran mengenai wujudnya variasi dalam bahasa Kantuk.

Temuan ini sekaligus juga meyakinkan kita bahwa sebenarnya masih banyak yang belum kita ketahui tentang keragaman bahasa dan masyarakat di Kalimantan Barat. Dan, karena itu selayaknya penelitian dan upaya akademik mesti terus dilakukan.


Bibliografi

[Bagian Hukum]. 2000. Hukum Adat Suku Dayak Kantuk. Putussibau: Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu.

Collins, James T. 1999. Keragaman Bahasa di Kalimantan Barat. Makalah pada seminar Festival Budaya Nusantara Regio Kalimantan. Pontianak, 10 September.

Collins, James T. 2004. Ibanic Languages in Kalimantan Barat, Indonesia: Exploring Nomenclature, Distribution and Characteristics. Borneo Research Bulletin Vol 35: 17-47.

Dove, Michael. 1985. Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi (Penyt). Jakarta: Yayasan Obor.

Hudson, A.B. 1978. Linguistic Relations among Bornean Peoples with Special Reference to Sarawak: An Interim Report. Dlm M. Zamora, dkk (Eds.) Sarawak: Linguistic and Development Problem Hlm 1-44. Williamsburg: Departement of Anthropology, William and Mary Collage.

King, Victor T. 1992. The People of Borneo. Oxford: Blackwell.

Lontaan, JU. 1975. Sejarah – Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan – Barat. Pontianak: Pemda Tingkat I KalBar.

Rahim Aman. 2006. Perbandingan Fonologi dan Morfologi Bahasa Iban, Kantuk dan Mualang. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Yusriadi. 2006. Mengenal Masyarakat Kantuk di Kalimantan Barat. Equator, 16, 23, Juli 2006.

Zulyani Hidayah. 2003. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Gramedia.




Baca Selengkapnya...

Pembentukan Identitas Islam di Kapuas Hulu

Oleh Yusriadi

Pendahuluan

Islam berkembang pesat di Kapuas Hulu. Sejak lebih 150 tahun lalu agama samawi ini dterima oleh penduduk setempat. Menjadi anutan mendampingi kepercayaan lama yang mereka miliki.

Persentase jumlah pemeluk Islam mencapai 56 per sen dari jumlah penduduk Kapuas Hulu. Bahkan beberapa kawasan di aliran sungai utama di Kapuas Hulu, nisbah umat Islam mencapai 100 per sen.

”Keberterimaan” Islam di Kapuas Hulu tentu tidak jadi dengan sendirinya. Seperti dilaporan dalam beberapa tulisan terdahulu, salah satu strategi yang dipilih adalah pencitraan Islam. Islam dicitrakan dengan berbagai identitas positif sehingga menjadi lebih mudah diterima.

Tulisan ini hendak melihat bagaimana identitas itu dibentuk sejak awal Islam berkembang dan diterima masyarakat Kapuas Hulu. Serta bahan apa yang digunakan dalam konstruksi itu.

Membentuk Identitas

Para pengkaji identitas sependapat bahwa identitas itu sifatnya cair, tidak beku. Identitas bisa dibentuk. Identitas bisa berubah, bisa dinafikan dan bisa dibuang. Tergantung pilihan masing-masing –apakah identitas individu atau identitas kelompok.
Dalam kebanyakan contoh ditemukan bahwa pilihan biasanya diambil karena pertimbangan pragmatis. Masyarakat menilai identitas yang akan mereka pakai sesuai dengan mereka, dan akan mempertahankannya jika merasakan ada manfaat dari identitas yang mereka mau pilih. Sebaliknya jika tiada manfaat, mereka akan membuang identitas itu.

Menurut Shamsul Amri Baharuddin, dari segi asal pembentukan identitas itu bersumber dari dua sumber: dari dalam dan dari luar. Identitas yang berasal dari dalam disebutnya sebagai everyday defined. Yaitu identitas yang dipakai orang itu sehari-hari, dalam kehidupan mereka. Sedangkan identitas yang berasal dari luar disebut sebagai outhority defined. Maksudnya, identitas itu diciptakan pihak luar yang memiliki kekuasaan untuk menciptakan identitas kepada orang atau kelompok orang. Adakalah identitas dari sumber luar diterima langsung ada kalanya diterima melalui proses panjang. Identitas Dayak merupakan contoh ini. Dayak pada mulanya adalah diberi orang luar Dayak untuk penduduk pribumi bukan Islam di Kalimantan. Pada mulanya orang pribumi menolak identitas itu karena merasakan istilah ini berisi sindiran dan tidak baik bagi mereka. Tetapi lama kemudian mereka menerimanya. Mula-mula menerima dengan sebutan tanpa k (Daya) dengan tafsiran daya merujuk kepada kekuataan. Baru kemudian mereka menerima dengan k (Dayak) yang merujuk kepada kelompok masyarakat pribumi di pulau Kalimantan yang bukan Islam.


Contoh Dayak dan masih banyak contoh yang lain, memperlihatkan kenyataan bahwa kadangkala identitas yang diberikan orang luar bisa diterima orang dalam dan kemudian menjadi identitas mereka. Kadang kala pula ada contoh di mana identitas yang diberikan orang luar tidak sejalan dengan keinginan –dan dianggap tidak sesuai dengan orang dalam sehingga ditolak. Dalam konteks etnisitas di Kalimantan Barat, pemberian nama dan perubahan nama bila tidak cocok memperlihatkan situasi ini.

Bila cocok identitas itu akan bertahan. Identitas itu akan digunakan seterusnya sampai suatu ketika tidak lagi cocok. Untuk menciptakan agar identitas itu bertahan untuk waktu sekian lama kadang kala diperlukan usaha yang sistematis dari pemilik identitas itu. Ada usaha-usaha tertentu dilakukan agar identitas yang sudah dipilih tidak hilang begitu saja.
Tetapi, selain itu harus juga disadari bahwa identitas suatu komunitas (dan bahkan individu) tidak satu. Setiap orang, setiap kelompok memiliki banyak identitas. Saya lebih suka menyebutnya sebagai stock of identity, yang merujuk kepada fitur-fitur dalam mainset manusia (kelompok) tentang identitas mereka.

Kepelbagaian identitas itu terjadi karena identitas dibentuk berdasarkan pertimbangan pragmatis –kontekstual. Konteks kehidupan manusia banyak dan selalu berubah. Seperti juga tempat dan situasi di mana manusia berinteraksi –identitas sesungguhnya muncul karena adanya kontak sosial ini.

Sebab itu, untuk menyesuaikan diri dengan konteks ini setiap orang (kelompok) harus memiliki stok yang banyak agar bisa bernteraksi dengan baik (sesuai pilihan). Identitas itu dibentuk berdasarkan bahan agama, bahan budaya, bahan politik, bahan bahasa, bahan keturunan, bahan sejarah, bahan geografi, dll. Tidak heran jika kemudian seorang anak manusia pedalaman bisa diidentitifikasi sebagai Ahmad, Mmat, Llabi, Ungal, Abang, Urang Riam Panjang, Urang Ngkadan, Urang Embau, Urang Ulu, Urang Melayu, Urang Senganan, Urang Laut, Urang Dayak Islam, dll.

Seperti disebutkan di atas, pilihan mengaktifkan bentuk identitas ini dilakukan berdasarkan pertimbangan pragmatis, sesuai situasi dan kondisi sosial. Pilihan ini dilakukan berdasarkan pada pertimbangan mana yang lebih sesuai dengan mereka –atau lebih menguntungkan mereka.

Perkembangan Islam di Kapuas Hulu

Kerani Belanda, Van Kessel melawat ke Kapuas Hulu pertengahan abad ke – 19, atau sekitar tahun 1840. Waktu itu, dia melaporkan penduduk di Selimbau, Embau, Silat, dll (dalam wilayah Kapuas Hulu sekarang) sudah memeluk agama Islam. Ihwal mereka masuk Islam Van Kessel juga tidak pasti. Dia hanya menyebutkan diperkirakan orang-orang di sini masuk Islam beberapa tahun sebelum kunjungannya. (Veth 1854).
Situasi keislaman penduduk dilaporkan. Misalnya ketika dia melaporkan mengenai Islam di Pengaki –di selatan Selimbau, katanya masyarakat di sana disebut sebagai Islam transisi. Mereka sudah masuk Islam tetapi masih mengamalkan tradisi lama . Minum tuak, memelihara anjing.

Beberapa tahun lalu diperoleh data bahwa secara keseluruhan pendudukan Kapuas Hulu ditaksir 180 ribu jiwa. Dari jumlah itu, 100 ribu beragama Islam (56 %) sisanya beragama Katolik dan Kristen, serta Buddha.

Yang menarik, Islam tidak tersebar merata di Kapuas Hulu. Umumnya penduduk di pinggir sungai Kapuas beragama Islam. Mulai dari Silat, Semitau, Suhaid, Selimbau, Jongkong, Bunut, hingga Putussibau hampir semua beragama Islam. Di beberapa anak sungai Kapuas yang utama, misalnya Silat, Embau, Bunut, nisbah penduduk yang Islam juga lebih banyak. Di Embau, Islam dianut oleh 100 per sen dari hampir 20 ribu penduduk. Di sepanjang sungai Bunut, penduduknya juga lebih banyak yang beragama Islam. Nisbahnya diperkirakan mencapai 85 per sen. Di sungai Bunut hanya ada 3 kampung Kantuk yang terselit di antara kampung orang Melayu. Selain itu, ada lagi beberapa kampung orang Ulu Sungai dan Dayak Suruk di bagian hulu sungai Kelibang, anak sungai Bunut hampir berbatasan dengan wilayah Kalimantan Tengah.
Di kawasan utara sungai Kapuas, jumlah perkampungan Islam agak terbatas. Kebanyakan kampung-kampung ini adalah kampung yang baru dibangun. Penduduknya pindahan dari orang-orang di pinggiran Kapuas, atau orang-orang Dayak Iban dan Kantuk yang memeluk agama Islam. Misalnya di Badau (Ibrahim 2007) dan di Empanang (Yusriadi 2007).

Islam di kawasan Embau khususnya Jongkong memiliki citra tersendiri. Sekarang ini atau tepatnya sejak tahun 1950-an, Islam di sini identik dengan Islam yang taat dan alim (Hermansyah 2004). Kehadiran tokoh agama Islam H Ahmad HAB merupakan pelopor yang membuat Embau—khususnya Jongkong dianggap sebagai pusat Islam dan keber-Islamannya amat disegani.

Sekolah yang ditanganinya menjadi tempat belajar orang-orang yang ingin mendalami agama Islam secara formal. Tidak saja dari sekitar Embau sendiri tetapi juga dari Putussibau, Badau dan Silat. Bahkan pada tahun 1970-an dan 1980-an pelajar sekolah agama di sini datang dari Sintang dan Melawi. Sejak 50 tahun terakhir Jongkong dianggap sebagai pusat Islam di Kapuas Hulu. (Makalah ini disampaikan dalam Seminar Sejarah Islam di Kalimantan Barat yang diselenggarakan STAIN Pontianak 15 Agustus 2007).

Pencitraan Islam

Islam bisa diterima sebagai agama oleh masyarakat di pedalaman ini salah satu di antaranya adalah karena citra positif. Konsep masuk Islam sebagai masuk Melayu merupakan bagian dari proses pencitraan itu.

Seperti diketahui pada kurun abad ke- 19, dan abad ke-20 saat Islam mencapai puncak perkembangan (secara kuantitas), identitas Melayu dianggap sebagai identitas yang diterima pakai secara meluas. Seperti disebut dalam beberapa tulisan sebelum ini, Melayu berkaitan dengan citra yang lebih tinggi, umpamanya citra kebangsawanan. Penguasa-penguasa wilayah yang bertahta di muara sungai adalah raja-raja Melayu. Jadi jelas ada kebanggaan jika seorang rakyat jelata bisa masuk dalam ’komunitas’ bangsawan, sedangkan untuk peralihan identitas dapat dilakukan dengan mudah: masuk Islam. (Lihat misalnya dalam Veth 1854, Yusriadi 1999, 2006, Zainuddin Isman (2001), Hermansyah (2003), Wahyu Andika (2006)).

Sebaliknya identitas Dayak ketika itu membawa konotasi negatif dan bagi orang pribumi, sebutan Dayak ketika itu dianggap melecehkan. Pribumi yang disebut sebagai Dayak merasa malu ketika diidentifikasi sebagai Dayak. Identitas yang diberi orang luar ketika itu tidak diterima.
Selain itu, menjadi Melayu ketika itu juga berarti bebas dari kewajiban pajak. Pajak hanya berlaku untuk orang yang bukan Islam. Jikapun ada kewajiban membayar (mengeluarkan) sesuatu kewajiban, itu hanya berlaku sesekali saja –yakni kewajiban zakat.

Identitas Laut juga digunakan sebagai alternatif dari Melayu. Penggunaan Laut adalah untuk menyebut orang pribumi yang masuk Islam. Biasanya dipakai di kalangan orang pribumi yang belum Islam terhadap saudara mara yang sudah Islam. Istilah ini berbanding terbalik dengan istilah Darat, yang merujuk kepada pribumi yang bukan Islam. Meskipun dua istilah itu pada mulanya netral sifatnya, namun kemudian secara tersirat mengalami pelebaran makna. Ada makna tambahan yang kemudian justru menyebabkan identitas ini bernuansa positif dan negatif.

Citra yang dibawa dari identitas Laut – Darat kemudian adalah bahwa Laut melambangkan kemajuan dan Darat melambangkan ketertinggalan. Jika dibandingkan dengan keadaan sekarang perbandingannya adalah citra antara kota dan kampung. Lambat laun ada kesan minder di kalangan orang Darat apabila mereka menggunakan terminologi ini.

Seperti yang disebutkan di atas untuk mencapai citra ini seseorang cukup masuk Islam. Cara yang ditempuh sangat mudah. Seseorang cukup belajar mengucap dua kalimat syahadat, mandi srotu, sunat bagi lelaki, mengganti (menambah) nama, dan berbahasa Melayu. Ucapan dua kalimat syahadat bisa dipelajari dengan mudah karena lafaznya tidak cukup panjang. Sedangkan mandi srotu cukup dengan mandi di sungai yang airnya keruh, atau mandi dengan air yang bercampur dengan air tanah.

Mungkin yang agak repot adalah ketika mereka harus bersunat bagi lelaki. Bersunat adalah memotong bagian kulup pada ujung kemaluan. Tetapi, sesetengah sumber di lapangan menyebutkan bahwa ada juga yang beranggapan bukan dipotong tetapi cukup diiris saja. Sebesar biji padi pun memadailah.

Agaknya untuk kewajiban bersunat ini, ’pencitraan’ terbatas. Karena jika bersunat dan tidak bersunat digunakan untuk memberi penanda sebagai Islam dan bukan Islam, sesungguhnya beberapa kelompok pribumi bukan Islam juga yang mengamalkan tradisi bersunat.

Nama dan Bahasa

Sementara itu untuk mengganti atau menambah nama juga bisa dilakukan dengan mudah. Kebanyakan nama yang dipilih adalah nama yang berbau Arab, nama-nama dari bacaaan Al-Quran, nama para nabi, atau nama yang sudah dipakai sebelumnya oleh orang Melayu. Temuan di sebuah kampung di Kapuas Hulu memperlihatkan pilihan itu.

Perubahan Nama

Pra-Islam Pasca-Islam

Lelaki
dana dahlan
manur mat nur
pangul palil
ucam umar

Perempuan
bunut masnut
sengai seniah
leja halijah

Selain itu dalam Yusriadi (2006) juga dicatat penggunaan Muhammad, Nur dan Siti untuk menambah nama yang ada. Misalnya Muhamat Agut sebelumnya bernama Agut saja.

Mengingat peralihan itu harus melalui proses kebanyakan orang di kampung-kampung di Kapuas Hulu memiliki nama panggilan yang mengesankan rumus fonotaktik bahasa mereka, atau lebih tepat kebiasaan bunyi yang mereka ucapkan dan mereka dengar.

Nama Formal Nama Panggilan

Maimunah Muna’
Samsul Bahri Kumung
Rusli Ebong

Untuk memudahkan mereka melewati proses transisi itu mereka juga mengenal nama panggilan sesuai identifikasi lingkungan atau fisikal –sesuatu yang sebelumnya juga lazim dipakai dalam keseharian mereka saat sebelum memeluk Islam:

Nama Panggilan

Muyang Sawah “Nenek yang lebih banyak berdiam di sawah”
Ayi Gomuk “Kakek yang memiliki badan sangat gemuk”
Ayi Tempel ”Kakek yang memiliki motor air”

Yang juga menarik dalam konteks ini, mereka juga mengenai nama gelaran yang cenderung jelek untuk seseorang, selain nama panggilan. Masyarakat menyebutnya ’jonang’. Nama jelek ini misalnya merujuk kepada sifat dan gaya. Biasanya jonang ini dipakai pada saat mereka kurang suka pada yang bersangkutan.

Panggilan Gelaran

Amat Labi
Udin Kora’

Sedangkan dalam soal bahasa, perubahannya dapat dilihat sebagai berikut. Dalam Yusriadi (2006) dan Wahyu (2006) sudah disinggung mengenai terjadinya peralihan bahasa dalam masyarakat Iban yang menjadi Melayu. Bahasa Iban menjadi jarang digunakan setelah mereka masuk Islam. Orang tua Iban yang masuk Islam akan cenderung berbahasa Melayu dengan anaknya. Kosa kata Iban tertentu dihilangkan diganti dengan kosa kata bahasa Melayu.

Peralihan ini tidak cukup sulit karena antara bahasa Iban dan Melayu tidak cukup jauh berbeda. Pada beberapa kata tertentu, cukup dengan mengubah diftong diagnostik – bunyi -ay menjadi –an, -ang (Hudson 1970, Collins, 2002). Contoh:

Bahasa Iban Bahasa Melayu

Makay Makan
Pulay Pulang

Selain mengganti bunyi, apa yang terjadi di Riam Panjang bisa dianggap sebagai bagian dari strategi peralihan itu. Di Riam Panjang ada Jantuh Ingka’ (percakapan bertingkat). Percakapan ini merupakan bentuk peralihan bahasa antara bahasa lama dengan bahasa baru (Yusriadi 1999).

Jantuh Ingka’ Arti

Laut segara’ Laut
Makan nyumai Makan

Beberapa Pilihan

Islam juga dapat diterima karena para mubaligh berusaha mencitrakan Islam sebagai sesuatu yang mudah, tidak menyusahkan. Dalam laporan Van Kessel (Veth 1854) pada awal masuk Islam orang Melayu di selatan Selimbau masih ’dibolehkan’ melaksanakan kebiasaan lama mereka. Misalnya disebutkan, meskipun sudah Islam masih dijumpai ada yang minum tuak, memelihara anjing. Selain itu, dalam laporan Wahyu (2006) disebutkan pada masa awal memeluk agama Islam masyarakat di Sungai Buah boleh tidak puasa, atau boleh merokok meskipun sedang berpuasa. Hermansyah juga melaporkan ada kitab fiqh yang ditulis oleh Bilal Lombok –salah satu guru agama di Jongkong awal abad ke- 20 yang memberi toleransi kepada penduduk yang berladang. Dalam fiqh itu disebutkan boleh tidak berpuasa jika sedang bekerja di ladang karena sangat panasnya (Hermansyah 2005).

Menjadi Islam – Melayu juga tidak mengubah kepercayaan masyarakat secara drastis. Kepercayaan lama, kepercayaan kepada yang ghaib tetap saja dipakai masyarakat, sekalipun mereka sudah beragama Islam. Isu syirik –menduakan Allah tidak cukup menonjol –kalau tidak ada sama sekali pada masa awal ini. Jadi sejumlah kepercayaan lama tetap diamalkan masyarakat sebagai ‘pegangan’ mereka dalam menjalani kehidupan. (Laporan mengenai sinkretisme ini bisa dilihat dalam Hermansyah 2005).
Yang menarik kemudian adalah pada masyarakat pedalaman terminologi Islam – Melayu meskipun identitik tetapi tidak sama persis. Ada perbedaan antara Islam dan Melayu. Islam dianggap lebih taat, memiliki pengetahuan agama yang luas dan mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan Melayu, beragama Islam, tetapi boleh tidak taat, boleh percaya dan mengamalkan kebiasaan lama, dll.
Oleh sebab itulah ketika mereka menjadi Melayu mereka merasa nyaman karena tidak harus dibebankan dengan sejumlah kewajiban yang kadang kala dirasakan cukup berat juga.

Penutup

Kini situasi yang digambarkan di atas sebagiannya sudah berubah. Kalau dahulu toleransi diberikan sebagai bagian dari upaya untuk mengejar kuantitas, kini dalam soal akidah sesuatu sudah berjalan dengan rigid. Sesuatu yang berbau syirik telah ditinggalkan. Puasa, shalat, sudah disadari oleh semua orang sebagai suatu kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar. Upaya mewujudkan Melayu yang taat sudah dimulai sejak paroh abad ini seiring berakhirnya batas toleransi itu.
Apalagi situasi global dan regional sudah berubah. Masyarakat sudah terbuka terhadap informasi dan mengetahui perkembangan. Sebut misalnya, sedikit banyak ‘kebangkitan Dayak’ juga berpengaruh terhadap identitas mereka. Sebagai orang asli pedalaman, sebagai orang yang jelas masih bersaudara mara dengan orang Iban, Suwaid, dll kadang kala mereka dikenali sebagai orang Dayak juga, yaitu sebagai Dayak Islam.
Tetapi seperti disebutkan di awal, kita amat memahami bahwa identitas itu tidak beku. Identitas itu berubah. Rupanya identitas yang dibentuk pada mulanya itu, tidak berlaku lama. Hanya beberapa puluh tahun saja usianya.






Baca Selengkapnya...