Rabu, 30 Januari 2008

* Catatan Menjelang Mubes MABM Kalbar (1)

Pelestarian Budaya di Rumah Tua

Yusriadi
Borneo Tribune

Rumah Melayu orang Kalbar sangat indah dan megah. Besar. Hatta, ratusan bahkan ribuan orang berkumpul pun cukup agaknya. Anak cucu, kakek buyut, tujuh turunan, menanggar agaknya. Kalau mau, saprahan atau keramaian pun dapat cukup tertampung di sana. Berpencak silat, bergendang tari, tak ada aral rintangannya. Tapi, bilakah jelata dapat menyaksikannya?

Lima tahun lalu. Tahun 2003. Tiang pertama Rumah Melayu Kalimantan Barat (Kalbar) ditancapkan. Ketika itu, 17 Mei 2003 Gubernur Usman Ja’far menyampaikan petuah dan harapan. Dua tahun kemudian, 9 Nopember 2005 rumah idaman orang Melayu itu diresmikan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Berita mengenai pembangunan Rumah Melayu itu menyebutkan, ada 7 bangunan dalam ‘paket Rumah Melayu Kalbar’ yaitu; Balairung (tempat pameran dan pertemuan), Balai Kerja (sekretariat pertemuan), Balai Rakyat (taman bermain dan kios penjualan), Balai Pustaka (tempat kajian budaya dan perpustakaan), Balai Budaya (ruang pertemuan, sanggar tertutup, dan ruang pengelola), Panggung Terbuka (ruang persidangan, panggung terbuka, Amphitheatre, dan gudang), serta Pesanggrahan (Penginapan, pertemuan, dan pelatihan).
Sungguh megah! Ada kebanggaan yang luar biasa. Harapan pun bermunculan. Mulai gagasan menjadikan Rumah Melayu sebagai "Centre of the Malay Culture" atau pusat kebudayaan Melayu daerah Kalimantan Barat, bangunan ini juga diharapkan dapat menjadi objek wisata baik bagi wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara.
Ya, hasil rekagrafis Ir Ari Januarif, sangat megah. Bahkan sangat mewah. Jika rumah ini dianggap representasi rumah Melayu, saya tidak bisa memikirkan rumah Melayu mana yang sehebat ini. Benar-benar mimpi kalau ada orang Melayu memiliki rumah seperti ini. Dilihat ekonomi sekarang, jangankan 7 turunan, 70 turunan mungkin belum tentu mampu mewujudkannya.
Tanah tempat bangunan terpacak cukup luas 1,4 hektar. Bahan bangunan yang dipakai kelas 1. Desain indah memikat. Semuanya. Melihat kegagahan rumah Melayu itu, mengingatkan saya pada kegagahan legenda Melayu – Hang Tuah. Hang Tuah adalah pahlawan bangsa Melayu yang kerap dirujuk pada ungkapan patriotiknya: “Takkan Melayu hilang di dunia”. Cuma kali ini, “Takkan Melayu hilang di Kalbar”. Rumah Melayu ini menjadi simbolisasi eksistensi Melayu kampung –bukan bangsawan/keraton, di Kalimantan Barat, yang lepas dari perdebatan apakah Melayu asli atau menjadi Melayu.
Kebesaran rumah Melayu bukan cuma kalau dilihat dari jauh. Dari dekat, dari dalam, rumah Melayu memperlihatkan cita rasa seni yang tinggi dan layak dijadikan sebagai obyek lihat-lihat (bahasa yang khusus untuk pariwisata). Aula atau Balai pertemuan yang luas. Lantainya yang licin mengkilat. Panggungnya yang kokoh. Lampu hias di depan panggung. Semuanya. Tidak heran banyak orang yang tertarik menggunakan aula ini untuk berbagai acara mereka. Baik untuk acara seremonial – umum maupun acara keluarga. Sering kali resepsi pernikahan dilaksanakan di tempat ini. Bak kata, ibarat rumah Melayu ini benar-benar menjadi rumah keluarga.
Senyampang dengan itu ruang sekretariat yang sejuk juga sangat nyaman dan teduh, seteduh jika berada di bawah naungan pohon-pohon rindang yang dahulunya sering ditanam di halaman depan rumah orang kampung.

***

Walaupun eksistensi yang diharapkan itu telah terpacak, namun, cita-cita awal agaknya belum terwujud dengan sempurna. Rumah Melayu belum mendatangkan daya tarik cukup besar untuk wisata budaya. Gagasan sebagai pusat budaya (kebudayaan) agaknya terlalu sukar dilaksanakan.
Sejauh ini memang rumah Melayu yang sering dijadikan sebagai tempat sewa kegiatan kebudayaan – budaya kawin mawin. Tetapi sepanjang yang diketahui persewaan tempat berhenti hanya di situ. Rumah Melayu belum dapat menyediakan paket persembahan kesenian Melayu, kesenian yang sering muncul dalam tradisi perkawinan orang Melayu di kampung.
Kalau melihat gagasan awal semestinya setiap orang yang menyewa Balairung Rumah Melayu itu dia akan menyewa paket persembahan Melayu –selain band atau musik yang dia sewa sendiri. Entah mungkin paket tanjidor, jepin, hadrah, atau lain-lain yang biasa dipersembahkan dalam perkawinan Melayu tradisional.
Paket ini akan seirama dengan paket tontonan. Maksudnya, orang yang menikah dengan cara adat istiadat Melayu diurus oleh ‘panitia’ dari kalangan pemelihara budaya Melayu Rumah Melayu, dan terbuka untuk umum, khususnya orang-orang yang berminat pada budaya Melayu.
Hasilnya tidak terlalu muluk. Namun, jika hal ini bisa dilaksanakan, rumah Melayu secara tidak langsung akan menghidupkan kesenian dan adat istiadat Melayu. Akan banyak orang yang bisa bersetiar dalam kesenian Melayu –selain hobby mereka. Hal ini memungkinkan orang mendirikan sanggar kesenian Melayu. Pada gilirannya akan memudahkan orang yang tertarik pada kesenian Melayu bergabung dalam kelompok ini. Pokoknya, ingin belajar seni budaya Melayu, datang saja ke rumah Melayu, gabung saja dengan sanggar-sanggar kesenian Melayu.
Kalau kelompok-kelompok ini berkembang, berarti misi pembangunan Rumah Melayu, bahkan misi pembentukan Majelis Adat dan Budaya Melayu Kalbar, akan terwujud.
Selain itu, hal ini juga akan membantu menyediakan pilihan bagi orang yang ingin bernostalgia melaksanakan resepsi dengan kebesaran raja-raja ‘sehari’ atau kebesaran kebangsawanan Melayu. Bagi mereka ini, biaya sedikit mahal namun jika dikemas dengan ciri khas yang eksotik, pasti tidak akan jadi masalah.
Bagi pengelola Rumah Melayu, selain pengembangan budaya, perhatian pada hal seperti ini akan menjulang mereka ke arah ‘bisnis kreatif’ – sesuatu yang juga diimpikan oleh para interpreneur Melayu. (Bersambung). ■






0 komentar: