Rabu, 30 Januari 2008

Catatan Perjalanan ke Malaysia (1)

“Yang mau cop, tiga puluh”

Yusriadi
Borneo Tribune, Pontianak

Saya melihat jam. Waktu baru pukul 04.20 ketika bis yang saya tumpangi berhenti di mulut gerbang perbatasan Entikong – Tebedu. Penumpang yang duduk di sebelah saya memberitahukan:
“Kita sampai di Entikong”.
Ya, bagi pelintas batas, kata Entikong bukan saja merujuk kepada nama daerah perbatasan, tetapi juga merujuk kepada pos Imigrasi. Di sini, orang harus turun dari bis menyerahkan paspornya kepada petugas agar bisa dicop. Dicop maksudnya distempel sebagai tanda keluar (atau masuk) melalui pintu masuk resmi.
Jadi, kalau melalui pos ini seseorang harus mengisi formulir keberangkatan dan formulir kedatangan. Tidak banyak yang harus diisi dalam formulir itu. Lebih kurang berisi keterangan tentang pelintas, misalnya nama, nomor paspor, tujuan.
Tetapi selalunya tidak semua orang dapat mengisi formulir itu. Kadang-kadang dijumpai ada orang yang mempercayakan kepada orang lain untuk mengisi formulir ini. Di perbatasan ada calo yang menawarkan jasa untuk mengisi formulir tersebut.
Jika dari Pontianak, formulir keberangkatan akan dicop lebih dahulu oleh Imigrasi. Bagian yang dicop harus disimpan. Karena bagian itu akan menjadi bukti mengenai kedatangan dan keberangkatan. Kalau hilang memang bisa diurus, sebab ada buktinya di paspor. Tetapi, ya, kena denda.
Saya menyalakan lampu baca di atas kepala saya. Bis bagus seperti yang saya tumpangi memiliki fasilitas lampu dan AC, serta WC.
Formulir itu belum saya isi. Saya mengisi dengan agak cepat. Saya mematikan lampu. Sambil menunggu saya menyandarkan badan, mau tidur. Kebanyakan penumpang juga tidur. Tetapi tidak bisa.
Saya ingat hanya ada beberapa orang saja penumpang yang sudah turun dari mobil. Mencari hawa. Maklum hawa di mobil tidak cukup nyaman. AC terlalu dingin sedangkan badan tidak bisa bergerak sesuka hati. “Mau melengkung saja susah” kata teman saya.
Di luar walaupun agak sejuk, tetapi hawanya pasti lebih segar. Entikong berada di kawasan pegunungan. Kiri kanan bukit. Banyak hutan. Lagian, kalau sudah di luar bisa gerak-gerak badan.
Saya melihat keluar jendela. Ada beberapa orang lalu lalang di dekat mobil. Pakai topi, baju jaket, dan atas tas kecil. Mereka adalah pekerja perbatasan. Ada yang menjadi penukar uang, tukang isi formulir.
“Yang mau cop, tiga puluh” terdengar teriakan dari luar. Teriakan itu jelas ditujukan kepada kami.
Saya terkejut. Pasal tukang isi formulir, penukar uang sudah lama saya dengar. Saya pun pernah berurusan dengan mereka. Salah satu kejadiannya, beberapa tahun lalu saya pulang dari Kuala Lumpur. Setelah paspor saya dicop keluar, ada tiga orang penukar uang mendatangi saya. Biasanya saya tidak pernah hirau. Mereka mengejar, memepet atau menghalang jalan saya. Tetapi kalau terus maju ya tidak jadi apa. Memang apa yang terjadi menakutkan. Saya sering lihat penumpang terbirit-birit menghindari penukar uang. Saya juga pernah melihat penumpang seperti akan dirampok.
Namun kali itu saya melayani mereka. Saya tanya nilai tukar, dan saya serahkan beberapa puluh ringgit. Namun ternyata apa yang mereka katakan sebelumnya tidak sama dengan kenyataan. Saya sempat berdebat dengan salah satu dari mereka.
Tetapi soal jasa pelayanan mencop paspor baru saya dengar setelah tiga tahun tidak ke Malaysia. Saya pun tidak ada bayangan layanan itu dalam bentuk tiga puluh ribu rupiah atau tiga puluh ringgit. Atau apakah maksudnya cop tiga puluh hari?
Saya juga tidak tahu apakah layanan itu untuk Imigrasi Indonesia atau Malaysia? Atau untuk kedua-duanya. Saya sempat berpikir jika tembok Imigrasi Malaysia bisa ditembus dengan cop tiga puluh, tentu parah. Selama ini saya cukup respek dengan Imigresen negara tetangga. Walaupun ada cerita soal sogok kain batik, ikan asin, dll tetapi saya belum pernah lihat.
Sealiknya kalau bicara Imigrasi Indonesia, saya tidak terlalu heran. Entahlah! Yang saya pikirkan siapa orang yang akan terkena (menggunakan layanan jasa mereka ini).
Saat saya sedang membayangkan situasi ini, seseorang membuka pintu mobil dari luar. Tukang tukar duit.
“Belum Lay. Ajan belum sembayang,” teriak sopir bis melarang penukar duit masuk mobil.
Kami yang mendengar teriakan itu tertawa. Tertawa dengan cara sopir melarang dia masuk. Bagi saya panggilan Lay membayangkan siapa yang dia hadapi. Biasanya Lay adalah sapaan untuk orang-orang Batak. Entahlah, apakah penukar uang itu orang Batak?
Perkataannya “ajan belum sembayang” juga cukup lucu. Memangnya “ajan” bisa sembahyang?
Penukar uang undur. Tak ada suara. (bersambung).

0 komentar: