Rabu, 30 Januari 2008

Catatan Perjalanan ke Malaysia (2)

Pengecopan Lancar, Calo Berkeliaran Dekat Counter

Yusriadi
Borneo Tribune, Pontianak

Menjelang pukul 05.00 suasana di depan pintu masuk pos Imigrasi mulai ramai. Penumpang-penumpang bis turun. Saya, seperti juga mereka membaur di depan pintu pagar.
Seorang lelaki berbadan tegap dengan topi, menawarkan jasanya. “Cop paspor?”
Namun saya tidak memperdulikannya. Saya hanya memandang. Sembari meneruskan perjalanan.
“Ringgit, ringgit. Tukar ringgit,” seorang lagi pemuda menghampiri saya. Saya taksir umurnya 20-an. Sekepal uang ringgit diacungkan.
Saya tersenyum. Lantas menggelengkan kepala sambil berlalu.
Saya dengar dia terus menawarkan jasa penukaran kepada orang lain.

***

Ketika petugas membuka rantai dan gembok pintu pagar, ketika itu suasana jadi kalut. Orang-orang yang semula bertumpuk di depan pagar berjalan cepat menuju tempat pengecopan (maksudnya tempat pengecapan) paspor dalam bangunan Imigrasi.
Pagi itu ada dua counter yang dibuka. Pelintas lantas membentuk barisan di depan dua counter itu. Saya memilih sebelah kanan.
Para pelintas yang ada di depan saya nampak tertib. Namun di dekat counter sebelah kiri, saya melihat ada orang yang membawa cukup banyak paspor. Saya agak dia seorang calo. Dia nampak berbicara dengan beberapa pemuda yang mungkin paspornya dipegang oleh calo itu.
Sang calo meninggalkan pemuda-pemuda itu. Dia masuk ke ruang petugas yang berada di belakang counter tempat saya antri.
Urusan mengecop paspor pagi itu saya rasa sangat lancar. Petugas melayani dengan cepat, tanpa basa basi. Hanya beberapa menit saja paspor saya sudah distempelnya. Padahal paspor saya baru –belum ada cop. Saya ingat dahulu waktu saya pertama kali ke Kuala Lumpur tahun 1996, petugas Imigrasi Indonesia mengajukan beberapa pertanyaan sebelum mencop paspor saya.
Beres. Saya kemudian memasuki lorong di belakang counter. Di sana saya bertemu lagi dengan penukar uang yang tadi menawarkan jasanya. Saya berbasa-basi dengan dia bertanya nilai tukar.
“Nilai tukar sekitar 2500 rupiah. Bisa diatur,” katanya.
“Kamu punya berapa?,” dia bertanya.
Saya tidak menjawab pertanyaan itu. Saya berpikir, pintar mereka!
“Di Pontianak satu ringgit 2600-an (rupiah).”
Dia lantas menceritakan seluk-beluk penukaran uang di perbatasan. Saya tidak tahu ceritanya benar, atau karangan saja.
Lama-lama saya jadi ingin bertanya tentang biaya cop paspor. Namun tidak jadi. Sebab penukar uang itu hanya menawarkan jasanya pada pelintas yang lain.
Saya melanjutkan perjalanan ke arah Tebedu, pos Imigresen Malaysia. Saya melihat lelaki yang menawarkan jasa cop paspor tadi, sedang berusaha menawarkan jasanya pada pelintas lain. Saya bersyukur bisa melintas dengan tenang. Tidak ada penukar uang yang memburu-buru seperti tiga tahun lalu, saat terakhir saya melalui perbatasan ini. (bersambung). □

0 komentar: