Rabu, 30 Januari 2008

Catatan Perjalanan ke Malaysia (3)

SPBU Layan Sendiri

Saya memasuki wilayah Imigresen Tebedu. Ada dua counter pelayanan dibuka. Saya dan Dedy Ari Asfar, MA peneliti dari Kantor Balai Bahasa Pontianak memilih counter kedua. Counter 1 agak ramai. Tak lama kemudian counter 3 dibuka.
Nasib. Kami antri cukup lama. Dibandingkan counter 1 dan counter 3, antrian counter 2 bergerak lambat. Nampaknya petugas di situ --seorang anak muda, cukup teliti melihat paspor yang disodorkan pelintas. Sesekali saya melihat dia bertanya. Entah apa yang ditanyakan.
Lama antri, kami sempat dipanggil sopir bis. Agaknya dari semua penumpang bis tadi, hanya kami yang lambat. Selalunya sopir bis memang punya perhatian besar terhadap ‘nasib’ penumpangnya –asal penumpang punya paspor tentu saja.
Saya masih ingat dahulu ada sopir yang menyesalkan ada penumpang yang harus bersusah payah masuk ke Kuching. Katanya: “Lain kali Pak, kalau ragu-ragu, minta tolong”. Saya juga pernah melihat ada sopir yang membawa paspor penumpangnya ke kantor Imigresen Tebedu.
Pagi itu, pun saya melihat ada orang yang membawa beberapa paspor masuk ke ruangan yang terdapat di samping kiri counter. Sedangkan orang yang dibawa paspornya berdiri di bagian luar kawasan antri. Saya menduga mereka TKI.
Untung, ketika giliran saya, petugas tidak banyak bertanya. Saya angsurkan paspor, memperlihatkan tiket pesawat pergi pulang dan surat undangan seminar dari UKM. Dia merasa cukup melihat semua itu dan mencop –mencapkan paspor saya. Cap di paspor memperlihatkan saya diberi izin masuk ke Malaysia selama sebulan. Visa yang diberikan adalah visa sosial. Teman saya, Dedy juga diberikan izin yang sama.
Lepas dari pos Imigrasi, saya bergegas menuju bis yang sudah menunggu di luar pagar Imigresen, di wilayah Sarawak. Seorang petugas menegur, menyuruh saya membawa tas ke ruang pemeriksaan. Saya agak terkejut karena perintah itu. Sebab tiga tahun lalu prosedur ini belum ada. Maksud saya, tiga tahun lalu pemeriksaan masih manual. Barang kita dibawa ke hadapan petugas. Kemudian kita buka barang-barang itu sendiri. Petugas bertanya satu-satu: “Ini apa?”
Repotnya minta ampun. Saya sering kali tidak mau menyerahkan tas untuk diperiksa. Caranya menjauhi tempat pemeriksaan. Atau berlindung di balik bis. Saya pikir, diperiksa atau tidak, tidak ada bedanya.
Sekarang, pemeriksaan dilakukan melalui alat X-Ray, seperti yang terdapat di lapangan terbang. Saya hanya meletakkan tas di tempat pemeriksaan tanpa harus membukanya.
Setelah selesai pemeriksaan, tas diberi tanda.
Tak lama kemudian bis bergerak menuju Kuching. Beberapa kilometer kemudian bis berhenti. Ada pemeriksaan Polis (Polisi). Kondektur turun dari bis membawa sebungkus rokok gudang garam. Dan meletakkan rokok di atas meja Polis. Tak terdengar apa yang mereka bicarakan.
Kondektur masuk lagi. Sambil tertawa. Saya lihat dia menempelkan telunjuk ke mulutnya memperlihatkan isyarat merokok. Memang mujarab, bis kami lewat tanpa pemeriksaan. Tak perlu susah payah menunjukkan paspor kepada mereka. Waktu kami jadi lebih singkat. Maklum pemeriksaan paspor biasanya cukup memakan waktu juga.
Saya masih penasaran dengan apa yang saya lihat. Sayangnya saya tidak lihat dari dekat siapa polis-polis itu.
“Kok dikasih rokok?” tanya saya.
“Orang kita juga,” kata sopir menjawab.
Saya tidak berusaha bertanya apa maksudnya.
“Pak, tadi, rokok itu udah dibuka atau belum?” tanya saya lagi.
Kali ini mereka tidak menjawab. Saya ingin bertanya karena saya ingat dahulu saat lewat di sebuah pos pemeriksaan di Anjung, sopir atau kondektur truk melemparkan kotak rokok atau kotak korek api kepada petugas. Kononnya isi kotak itu adalah uang.
Jika sopir dan kondektur bis menjawab saya ingin mengetahui apakah hal ini sama terjadi.
“Kalau ngasih-ngasih gini, duitnya dari mana Pak? Dari kantor pusat di Pontianak?” tanya saya lagi.
“Ya, ndak-lah. Mana kantor mau. Dari kocek pribadi-lah,” sahut sopir.
Saya bilang Dedy, sungguh kasihan. Mengapa bukan orang Indonesia yang belajar dari Malaysia soal pemberantasan kolusi. Soal bersih. Mengapa Polis mau belajar hal jelek dari orang Indonesia. Entah apa jadinya nanti.

***

Setelah itu perjalanan dilanjutkan. Perjalanan yang nyaman. Jalan di Malaysia cukup licin. Sejak tahun 1996 saya melalui jalan ini, rasanya tidak ada yang berubah. Tidak ada pelebaran. Tidak ada lubang di tengah jalan. Tak ada bagian yang sempat bersemak. Lempang.
Saya tertidur. Pulas.
Saya bangun ketika bis berhenti mengisi bahan bakar di sebuah SPBU. Saya senyum mendengar celetukan: “Bis ngisi minyak, penumpang malah buang air”. Ada WC bagus disediakan di SPBU ini.
Kondektur menuju tempat pembayaran. Membayar jumlah minyak yang dia perlukan. Lantas kembali lagi.
Di SPBU ini orang yang ingin mengisi bahan bakar menekan tombol sendiri yang menunjukkan jumlah liter dan memasukkan nozel ke tanki minyak. Tiada petugas yang melayani. Pagi itu saya lihat hanya ada dua orang di sana. Satu orang berjaga-jaga, membantu bila ada pelanggan yang kesulitan. Tidak ada juga pelanggan yang antri. Apalagi sampai panjang seperti di Pontianak. (Bersambung). □

0 komentar: