Rabu, 30 Januari 2008

Catatan Perjalanan ke Malaysia (6)

Seminar ATMA; Gemanya Besar, Kemasannya Sederhana

Yusriadi
Borneo Tribune

Senin, 25 Juni 2007. Seminar untuk memperingati ulang tahun ke-35 Institut Alam dan Tamadun Melayu Universiti Kebangsaan Malaysia (ATMA, UKM).
Ada lima pembicara: Saya dan Dedy Ari Asfar, MA dari Kantor Balai Bahasa Pontianak. Prof Dr Bambang Kaswanti Purwo dari Universitas Atmajaya Jakarta, Dr. Abdul Rajab Johari dari Universitas Negeri Makasar, Dr Yabit Alas dari Universiti Brunei Darussalam.
Selain itu ada tiga pembahas makalah yang dibentangkan, yaitu Prof. Dr. Awang Sariyan dari Universiti Malaya, Prof. Dr. Teo Kok Seong dan Dr. Karim Harun dari Universiti Kebangsaan Malaysia.
Saya sangat tertarik dengan cara panitia penyelenggara mengorganisasi seminar. Dr. Chong Shin dan Prof Dr James T Collins yang dipercaya sebagai pelaksana. Anggota panitianya hanya beberapa orang saja.
Sangat sederhana, sekalipun pembicara berasal dari berbagai negara dan pesertanya juga terdiri dari para profesor dan doktor dari berbagai disiplin ilmu.
Seminar dilaksanakan di Sudut Wacana, ruang seminar milik ATMA. Ruang ini dapat menampung 30-40 orang. Ber-AC dan fasilitasnya representatif. Sudah banyak seminar internasional dilaksanakan di sini.
Pembukaan yang disampaikan Pengarah (Direktur) ATMA Prof Dr. Che Husna Azhari hanya beberapa menit saja. Walau begitu bukan berarti Direktur langsung pergi dari ruangan –seperti karenah para pejabat kita di kampus. Direktur memperlihatkan minatnya mendengarkan pembentangan makalah. Sesekali saya lihat dia terangguk-angguk.
Pemandu acara Nasrun Ilyas mengambil alih. Saya kebetulan dapat giliran pertama, dilanjutkan pembicara lain, sampai selesai.
Setelah itu, dua profesor dan satu doktor memberikan tanggapan terhadap makalah-makalah kami. Hari itu makalah kami sudah dicetak dalam bentuk proseding. Percetakannya seperti cetakan buku. Baguslah pokoknya.
Penanggap sudah membaca makalah itu di rumah. Mereka siap dengan catatannya meneropong dari perspektif ilmu masing-masing. Tidak mencoba masuk ke wilayah orang lain. Tidak serba bisa seperti kebanyakan kalau kita menyaksikan seminar di Indonesia.
Dan justru itulah, berkali-kali menjadi pembicara dalam seminar di Malaysia selalu mengesankan saya. Apapun yang kita sampaikan selalu diberikan apresiasi. Pembicara selalu sangat pandai melihat kelebihan, informasi penting dari makalah. Kalau di Indonesia, bagaimanapun bentuk makalah disajikan selalu ada kurangnya. Tidak saja di Pontianak, tetapi juga di Jakarta. Bayangkan orang yang tidak pernah mengerti apa-apa soal lapangan, ketika memberikan tanggapan seakan-akan sangat ahli. Waktu ikut seminar di Jakarta tahun 2005, saya sempat geram. Seorang profesor melakukan penelitian di Lampung. Banyak temuan dilaporkan. Tetapi menurut seorang penanggap: makalah profesor tidak ada apa-apanya.
Di Pontianak dalam sebuah seminar, seorang doktor dari Untan sempat dicela oleh seorang peserta seminar –saat sesi tanya jawab. Kata peserta yang cuma lulusan S-1 itu: “Saya tidak mendapatkan apa-apa dari makalah Bapak”. Bayangkan!
Makanya ada teman saya yang doktor dalam bidang sosiologi agama bilang kalau seminar di Indonesia dia merasa seperti ujian skripsi. Padahal ujian skripsi sebenarnya tidak boleh juga menjadi ajang pengadilan yang membuat mahasiswa cun. Seharusnya forum ujian skripsi juga diciptakan sebaik mungkin untuk mendorong mahasiswa agar cinta dengan kegiatan penelitian. Tapi, susah. Karena dosen-dosen yang menguji dengan killer itu juga kebanyakan bukan orang yang mencintai dan meresapi nikmatnya sebagai peneliti.
Dalam percakapan dengan penyelenggara, saya mendapat informasi untuk seminar sebesar itu mereka hanya mengeluarkan sekitar RM 6000 atau Rp 15,5 juta. Biaya itu termasuk tiket, penginapan dan honor pembicara, pengadaan prosiding, dan makan.
Saya yakin kalau di Kalbar, untuk seminar sebesar itu pasti tidak akan dapat mendatangkan pembicara dari luar negeri, dan memberikan mereka fasilitas menginap, transportasi dan makan. (Bersambung).

0 komentar: