Rabu, 30 Januari 2008

Kubu, Kampung Sejarah dalam Kenangan (1)

Perjalanan ke Kubu

Yusriadi
Borneo Tribune

Kubu memiliki nama besar dalam lintasan sejarah pantai barat pulau Borneo. Tetapi kebesaran itu telah punah. Usaha membangun kebesaran itu mulai dirintis. Apakah semuanya akan berjalan lancar?

Saya mendengar nama Kubu sejak puluhan tahun lalu. Tetapi ketika itu, nama Kubu yang saya kenal hanyalah sebagai sebuah kampung biasa. Kebetulan ada teman yang berasal dari daerah ini.
Lalu, ketika saya menjadi asisten peneliti (RA) di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) tahun 1997, saya ditugaskan mengumpulkan semua bahan tentang Kalimantan Barat yang ada di perpustakaan Tun Sri Lanang dan Perpustakaan Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA).
Secara mendapatkan bahan yang cukup lumayan. Bahan tentang Kalbar dalam bahasa Melayu, bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan bahasa Belanda; entah itu dalam bentuk buku, tesis dan disertasi, artikel jurnal, ataupun microfilm.
Di antara sekian banyak bahan itu ada beberapa bahan bercerita tentang Kubu. Sebut misalnya buku PJ. Veth (1854). Borneo’s Wester Afdeeling. Geographisch, statistisch, historisch. Terbitan Joh. Noman en Zoon. Cerita buku ini sangat lengkap menggambarkan kebesaran Kubu dan kekuasaan dinasti Alydrus. Beberapa lagi tulisan lain melengkapi gambaran bahwa Kubu adalah kerajaan besar -- setidaknya menurut ukuran Kalimantan Barat. Kerajaan Kubu kerap kali disebutkan sejajar dengan kerajaan lain di pantai barat; kerajaan Pontianak, kerajaan Mempawah, kerajaan Landak, kerajaan Sambas, kerajaan Matan, dll.
Selama ini saya belum pernah melihat pusat kerajaan Kubu. Pontianak, Mempawah, Sambas, saya sudah kunjungi. Tidak ada kesempatan. Lagi, saya membayangkan Kubu letaknya jauh di tepi pantai Laut Cina Selatan.
Pertengahan November lalu, kesempatan itu tiba. Saya berkesempatan mengunjungi Kubu. Ternyata, bayangan saya mengenai Kubu meleset. Kubu yang jauh, ternyata dekat. Jauh lebih dekat dibandingkan Sambas. Pengangkutan ke sini juga relatif lancar. Dari Pontianak ke Rasau Jaya, selanjutnya dari Rasau Jaya menumpang motor air selama beberapa jam sudah tiba. Mau lebih cepat lagi bisa menggunakan speed terbang. Tentu saja dengan biaya yang berbeda.

***

Saya berangkat ke Kubu menjelang siang. Menumpang sebuah motor air. Ukurannya cukup besar –hampir sama besar dengan motor air yang melayani rute Pontianak - Putussibau.
Hari itu motor agak kosong. Penumpang lebih kurang 20 orang. Barang yang dibawa juga tidak banyak. Kelihatannya barang penumpang. Yang membuat motor agak berisi, di deknya terdapat sebuah mobil. Mobil menumpang motor.
Deru mesin diesel memekak telinga. Namun penumpang motor masih bisa berkomunikasi dengan yang lain. Yang bicara berteriak. Lawan bicara menyorongkan kupingnya. Gantian. Lucu juga. Sesekali telinga terpercik air ludah lawan bicara. Tetapi mana peduli.
Saya sempat berkenalan dengan seorang pemuda Kubu. Dia baru pulang dari Sanggau, tempatnya bekerja. Lantas kemudian tiga penumpang mobil –seorang dari Kaltim, seorang dari Kalsel dan seorang dari Jawa Barat yang sebelumnya duduk tak jauh dari saya merapat. Dia memulai bertanya tentang berapa jauh dan jam berapa sampai di Telok Melano. Lalu percakapan berlanjut. Dia bercerita soal proyek pemasangan listrik dan AC di beberapa tower baru di daerah Kalbar. Proyek ini membawa mereka bertiga keliling Kalbar.
Setelah itu saya juga sempat berkenalan dengan seorang penumpang tua yang duduk tidak jauh dari kami. Saya ingin mendapat informasi tentang Kubu beberapa puluh tahun lalu. Tetapi, sedikit.
Agaknya kakek lebih suka bercakap tentang filosofi kehidupan. Asyik juga. Sayangnya suara mesin –dan kemudian air hujan, lebih nyaring dibandingkan suara kakek tua itu.
“Kubu di depan tu. Anak turun di pasar ‘kan,” kakek itu mengingatkan saya ketika kami melewati sebuah SPBU Apung.

***

Sekitar 3 jam perjalanan. Motor menepi. Awak motor meloncat menarik tali dan menambatnya. Semula saya kira tempat motor berhenti adalah rumah apung seperti perhentian di sepanjang Sungai Kapuas. Namun, rupanya bukan. Tempat perhentian adalah rumah panggung tepian sungai. Tiang panjang terpacak di dasar sungai. Agak ke tengah.
Setelah pamit pada teman di perjalanan, saya meloncat turun. Mencari makanan. Saya masuk ke sebuah rumah makan yang letaknya tidak jauh dari tambatan motor. Langkah saya sempat terhenti, mata pemiliknya agak sipit, kulitnya putih.
Saya mencari simbol halal. Ada kaligrafi.
“Makan pake’ apa?”
Ah, orang Jawa rupanya. Bersambung. ■





0 komentar: