Rabu, 30 Januari 2008

MASYARAKAT DAN BAHASA DI CUPANG GADING,

Oleh Yusriadi


Kalimantan Barat dikenal dengan keragaman masyarakat dan bahasanya. Di tengah keragaman ini, berbagai pihak berusaha memberikan generalisasi dengan memberikan batas hitam-putih. Padahal pandangan itu sudah banyak kali ditolak. Data lapangan menunjukkan bahwa ‘stigma’ mengenai batas geografi-etnik dan batas bahasa – etnik yang mempengaruhi pandangan dunia luar ketika menyoroti masyarakat pribumi Kalbar justru bertolak belakang.

Cupang Gading, sebuah kampung di pedalaman Kalimantan Barat, menegaskan bahwa orang Melayu bukan hanya penghuni pantai, dan orang Dayak bukan hanya penghuni pedalaman. Justru kenyataan ini menggambarkan bagaimana dua masyarakat etnik hidup berdampingan. Menggunakan bahasa Melayu sebagai alat komunikasi. Tentu saja, keadaan ini memberikan gambaran mengenai ciri khas komunitas ini. Yang berbeda tidak sama dengan ke-Melayuan orang Pontianak atau Malaysia.

Tulisan ini berusaha menggambarkan masyarakat Cupang Gading. Tulisan ini merupakan bagian dari laporan dan catatan kunjungan lapangan melaksanakan Proyek Penelitian Etnisitas, Identitas dan Kesatuan kerja sama Institut Alam dan Tamadun Melayu, UKM dan Pusat Kajian Budaya Melayu Universitas Tanjungpura Pontianak, April 2001. Proyek ini didanai SEASREP, The Toyota Foundation.

Deskripsi Wilayah

Cupang Gading adalah nama satu kampung Melayu di tepi Sungai Menterap, anak Sungai Sekadau. Kampung ini, luasnya mencapai 63.45 Km2, sekarang berada di bawah wilayah administrasi Desa Cupang Gading. Nama kampung ini dipakai karena waktu re-grouping desa tahun 1994 di Indonesia, kampung yang besar ini menjadi pusat desa pengembangan. Dan masyarakat dari kampung lain menerima begitu saja nama tersebut karena sudah ditetapkan Pemerintah.

Selain Kampung Cupang Gading yang berada di bawah administrasi Desa Cupang Gading, ada lagi kampung bukan Melayu, yakni, Cupang Belungai, Jopo, Kiata’, Kunsit, Odong. Dibandingkan kampung-kampung ini, Cupang Gading memang jauh lebih besar kampung dan jumlah penduduknya.

Keadaan kampung ini kelihatan masih seperti model kampung-kampung lama. Hampir semua rumah penduduk menghadap ke sungai –satu arah saja, kecuali satu dua rumah yang baru dibangun membelakangi sungai, berhadapan dengan rumah yang sudah dibangun sebelumnya. Pola pembangunan yang diatur begini, menyebabkan kampung ini sangat panjang. Lebih satu kilometer panjangnya antar ujung kampung paling hilir sampai ujung paling hulu.

Penduduk memilih mendirikan rumah di menghala satu arah ke sungai, karena sungai merupakan sumber penghidupan mereka. Meskipun ada jalan timuk –jalan di depan rumah yang lebarnya sekitar dua meter-, namun sejak kampung ini berdiri hingga tahun 1995, transportasi utama ke bandar atau kampung-kampung yang jauh menggunakan sungai.

Sungai yang jernih dan besar itu juga menjadi tempat mereka mandi, mencuci beras dan pakaian, dan tempat buang air. Untuk turun ke sungai Menterap itu, umumnya tidak dibuat tangga khusus, tetapi cukup dengan melalui tebing setinggi tiga meter itu. Penduduk membuat tangga alami dengan menebuk tanah sehingga membentuk landasan tempat berpijak. Di bawah, ada satu dua jamban –tempat mandi dari kayu bulat yang terapung. Tetapi selebihnya, pemandian hanya kayu atau batu sungai yang besar.

Rumah penduduk adalah bertipe rumah panggung dengan tiang setinggi antar setengah sampai satu meter dari atas permukaan tanah. Tidak nampak ada rumah yang berlantai tanah –sekurangnya seperti rumah di kota, sekali pun rumah dibangun di atas bagian tanah yang menyerupai bukit kecil di tengah kampung. Memang, menurut mereka yang memiliki rumah di bagian hilir, rumah harus bertiang karena sesekali juga banjir besar dan tingginya, sehingga tanah rendah sekitar kampung Cupang Gading tenggelam. Sedangkan yang lain mengatakan rumah bertiang perlu untuk menghindari kemungkinan rayapan ular atau binatang berbisa lainnya ke dalam rumah.

Umumnya rumah masih menggunakan bahan kayu, baik untuk dinding, untuk atap, lantai, juga jendela. Rumah yang menggunakan semen (rumah batu) dapat dihitung dengan telunjuk. Begitu juga dengan rumah yang beratap seng.

Persekitaran kampung Cupang Gading adalah hutan muda. Sejauh yang dapat disaksikan pohon-pohonnya relatif kecil. Kecuali di bagian tengah kampung –di bagian yang sedikit tinggi di bandingkan yang lain, ada beberapa pohon durian yang berdiameter sekitar satu meter. Begitu juga pohon yang terdapat di seberang sungai. Bambu munti’, merupakan jenis bambu yang banyak dijumpai di sini. Selain itu, pokok karet yang ditanam di belakang rumah penduduk. Karet banyak dijumpai karena pohon ini ditanam dan menjadi sandaran penghidupan mereka. Di sana sini juga ada pohon buah-buahan seperti tengkawang, cempedak, asam, rambutan, dan lainnya .

Tidak adanya hutan rimba, karena sememangnya penduduk di sini menebangnya suatu ketika dahulu. Selain menyadap karet, penduduk juga berladang di lahan kering. Jadi, di sekitar kampung semua lahan pernah menjadi ladang penduduk.



Transportasi

Untuk mencapai kampung ini dapat ditempuh menggunakan moda transportasi sungai. Tetapi belakangan ini jalur sungai sudah jarang digunakan. Seorang pedagang setempat mengaku sungai jarang digunakan sekarang ini karena sudah ada transportasi darat yang ringkas dan cepat. Untuk sampai ke Sekadau misalnya, bila menggunakan angkutan sungai memakan masa satu hari untuk milir, dan dua hari untuk mudik. Sedangkan bila menggunakan angkutan darat hanya perlu waktu sekitar tiga jam saja sudah sampai ke Sekadau.

Tetapi sekali-sekali jalur sungai digunakan juga. Sebab, jalur darat sangat terbatas, dan hanya mungkin dilalui sepeda motor saja. Jalan ini sukar digunakan untuk membawa hasil karet ke Sekadau, atau membawa makanan pokok yang akan dijual kepada penduduk di sini. Sedangkan motor air, dapat mengangkut sampai dua atau tiga ton. Karenanya, pedagang di sini mengaku bahwa meskipun lama, motor air digunakan juga. Begitu juga, ketika saya berada di Cupang Gading, peduduk memilih membawa kayu balok ke Sekadau melalui sungai yang dibuat rakit. Perjalanan berakit ini memakan masa selama dua hari. Agak lebih cepat jika air sungai meluap, dan mereka tidak singgah bermalam bila gelap.

Ada puluhan kampung yang dilalui untuk sampai di Sekadau. Kampung itu antara lain Cupang Belungai, Bau, Sungai Agung, Mondi, Bonti, Setawar, dan seterusnya sampai Sekadau.

Jalur darat menyajikan dua pilihan. Pertama, dapat melalui Jopo, ke arah barat, dan akan sampai di jalan beraspal di Nanga Taman. Jalur ini memakan masa perjalanan satu setengah jam dengan sepeda motor. Kedua, melalui Cupang Belungai dan Kiata’ akan sampai di jalan beraspal di Rawak. Menempuh jalur ini memakan masa sekitar dua jam bersepada motor, dan dari Rawak ini, akan dapat terus ke Sekadau atau pun ke Nanga Taman,Nanga Mahap.

Bedanya, laluan yang melalui Cupang Belungai ini adalah jalan kampung, dan sebagiannya menerobos bukit-bukit kecil, semak belukar, mengarungi lumpur, jembatan yang rusak. Terutama jalan antara Odong – Kiata’ dan setengah perjalanan dari Kiata’ – Rawak, adalah jalan kampung, yang dibuka masyarakat. Dan sesekali masyarakat sekitar bergotong royong membersihkan semak yang menutupi jalan. Di laluan ini, sebenarnya ada jalan besar. Jalan ini adalah jalan perusahaan, dibuka sebuah perusahaan sawit yang kini angkat kaki, dari Rawak.

Sedangkan jalan yang melalui Jopo, adalah jalan besar ukuran 6 meter, yang dikerjakan alat-alat berat beberapa tahun lepas. Jalan ini belum beraspal, dan banyak tanjakan yang tajam –ada yang mencapai tiga puluh derajat. Orang Cupang Gading, jarang sekali menggunakan jalur ini -- apalagi untuk jalan kaki menuju Sekadau. Selain jalan berbukit-bukit, dan melingkar, juga panas.

Laluan lain, yang ingin disebutkan di sini adalah laluan yang menghubungkan Cupang Gading dengan kampung di arah hulu Sungai Menterap, yakni mencapai Odong, Kunsit dan Penayun. Laluan ini meniti tebing sungai Menterap, lebarnya antara dua meter. Dahulu, jalan ini adalah jalan tikus. Namun sekarang, sudah dikerjakan secara gotong royong, sehingga nampak seperti jalan di dalam kampung Cupang Gading juga. Jalan ini di beberapa bagiannya becek, dan terdapat jembatan yang tidak kokoh. Tiap hari jalan ini digunakan orang Odong yang pergi ke Cupang Gading atau ke Rawak. Sekurang-kurangnya digunakan anak sekolah Odong yang belajar di Sekolah Dasar Cupang Gading.

Penduduk

Data sensus penduduk tahun 1993, menyebutkan bahwa di Cupang Gading terdapat 112 kepala Keluarga, dengan jumlah penduduk mencapai 400 jiwa. Tidak diperoleh data rinci berapa jumlah lelaki dan perempuan, atau jumlah orang tua, atau anak-anak.

Penduduk di sini semuanya beragama Islam, dan mereka dikenal sebagai orang Melayu. Kecuali satu ketika dahulu, 10 tahun lalu, ada dua keluarga Cina yang pernah tinggal di kampung ini. Masih ada rumah dan kebun milik orang Cina yang kini pindah dan berniaga di Sekadau itu.

Dari segi asal usul, mereka bukan berasal dari satu tandan . Ada yang berasal dari Sekadau, Sanggau, dan Rawak. Sebagian lagi adalah orang-orang turunan Saway Sesat dari beberapa kampung bukan Melayu yang ada di sekelilingnya. Mereka dari jauh ini, kawin dengan penduduk setempat, dan memeluk agama Islam.

Beberapa orang percaya jumlah yang turunan orang Saway di sini mencapai 30 per sen, turunan orang Taman mencapai 60 per sen dan 10 per sen lagi adalah pendatang dari Sekadau dan kampung Melayu lain.

Penampilan penduduk di sini, sebagaimana kebanyakan orang Melayu di pedalaman Kalimantan Barat. Perempuan tua-tua lebih banyak memakain kain, sedangkan yang muda menggunakan rok atau celana panjang. Mereka yang tua-tua nampak masih mengunyah sirih.

Penduduk di sini sangat ramah kepada orang luar. Meskipun kampung ini berada di laluan dan menjadi tempat sekolah anak-anak sekitarnya, namun kampung ini relatif jarang dimasuki orang luar. Sebagaimana data kependudukan yang terlihat dari buku tamu yang disodorkan kepada saya, kunjungan banyak dilakukan mereka yang melakukan survey tanah untuk perkebunan, dan mereka yang berdagang keliling. Dalam masa beberapa hari kala kunjungan pertama di sini, beberapa kali pedagang keliling membawa barang kelontongan dari plastik, dan alat-alat rumah tangga, serta permainan anak-anak. Sedangkan golongan lain, seperti golongan pejabat kecamatan, kabupaten, jarang-jarang sekali ke sini.

Data lain yang penting dilaporkan adalah bahwa di sini terdapat satu masjid. Masjid terdapat di tengah-tengah kampung. Bentuknya dengan kubah bawang, ukurannya mencapai 20 X 20 meter. Satu ukuran yang cukup besar sebenarnya dibandingkan jumlah penduduk. Bahkan sewaktu shalat jum’at masjid hanya terisi seperempat saja. Saya diberitahu, jika musim-musim tertentu misalnya saat sembahyang hari lebaran, masjid hampir penuh oleh penduduk kampung.

Masjid agak sepi pada hari Jumat, karena seperti akan dijelaskan di bahagian selanjutnya, kebanyakan anak muda pergi keluar kampung. Sebagian mereka bekerja kayu di Ketapang, ada yang bekerja emas di daerah sekitar Mandor, ada yang merantau ke Kapuas Hulu, dan sebagian lagi menjadi tenaga kerja, bekerja di luar negeri.

Hari-hari di Cupang Gading, memang pemuda nampak sedikit sekali. Malahan untuk mencari dua belas orang agar cukup bermain volly sukar. Main volly digabung antar pemuda dan pemudi. Sebagian adalah mereka yang sudah berumah tangga, dan beranak-pinak.


Mata Pencaharian

Mata pencaharian utama yang dilakukan banyak orang sehari-hari adalah menyadap karet. Berladang boleh juga disebut sebagai pekerjan tetap, yang dilakukan sekali dalam satu tahun. Sepanjang tahun dua pekerjaan tersebut dilaksanakan silih berganti.

Penduduk menanam karet dari biji yang mereka pungut atau mereka benih dari anak karet yang tumbuh sendiri. Tetapi, karet mereka kelihatan bukan kebun karet. Maksudnya, karet memang ditanam tetapi tidak dijaga secara khusus. Beberapa orang mengaku, mereka jarang menyiangi karet yang mereka tanam. Karet dibiarkan tumbuh sendiri, dan bila ada waktu yang luang barulah mereka menyianginya. Malahan, kadangkala, tiga atau empat kali saja karet disiangi, selama umur bertahun-tahun menjelang diambil getahnya.

Itu juga yang menjadi alasan mereka, kenapa karet alam lebih disenangi daripada menanam karet unggul. Karet unggul kabarnya memang menjanjikan hasil yang lebih banyak dan baik, tetapi karet itu juga menyusahkan mereka. Harus diberi pupuk, disiangi –tidak boleh bersemak belukar, dan lain sebagainya. Jika tidak dirawat demikian, maka karet akan mati.

Sebagai penyadap karet mereka sangat tergantung pada musim atau cuaca. Bila musim hujan mereka sukar bekerja. Karet tidak dapat disadap, karena getahnya akan tercampur air, dan membuat lelehan dari penampangan . Musim hujan juga menyebabkan bekas torehan tidak mengering dan menyebabkan pokok karet ditumbuhi jamur yang membuat bagian torehan jadi buruk. Tetapi sebaliknya, musim kering yang berkepanjangan juga tidak baik untuk mereka. Kemarau menyebabkan getah cepat mengering.

Pagi-pagi mereka sudah pergi ke kebun, malah kadang saat cuaca masih gelap. Pada keadaan begini mereka menggunakan tereng –lampu minyak tanah, yang lebih mirip pelita besar. Ada juga mereka yang menggunakan lampu senter. Saya diberitahu, ada yang tidak menggunakan lampu, dan berjalan dalam gelap . Pukul 08.00-09.00. WIB mereka selesai menyadapnya, dan kemudian mengambil air getah yang sudah ditampung dalam wadah dari tempurung atau bambu. Air getah itu dikumpulkan dan kemudian dibekukan dalam satu cetakan [tong] yang dibuat dari kayu. Sebagian kecil yang membeku di wadah, dibuat menjadi ‘kulat’. Sekitar pukul 10.00-11.00 WIB, hampir semua orang sudah pulang dari kebun karet mereka. Hasil yang bisa diperoleh satu hari bervariasi antara 2 – 10 kilogram per kali turun. Jika nilai jual getah per kilo Rp 2.300 maka ditaksir pendapatan mereka mencapai Rp 4.600 – 23 ribu.

Sesudah itu, penduduk bisa masa istirahat. Tetapi, kaum ibu sibuk di dapur, sedangkan lelaki pergi ke hutan.

Pekerjaan pokok lain, adalah berladang. Berladang masih dilakukan sekali dalam satu tahun di tanah tegalan, atau lahan kering. Karena terbatasnya lahan yang sesuai, sedikit saja mereka yang membuat sawah. Mereka juga tidak dapat berladang lebih dari satu kali dalam satu tahun karena kaitannya dengan musim dan hama. Menebas semak belukar dan membakar ladang dilakukan di musim kering, sedangkan musim tanam dilakukan di saat curah hujan banyak.

Usaha berladang merupakan tradisi yang diturunkan dari orang tua mereka. Pekerjaan ini tidak dilakukan sembarang waktu. Ada penanggalan khusus yang diikuti, selain syarat-syarat lain –termasuk pantang larang, yang mesti dijaga. Jika mau membuka ladang, penduduk menggunakan tanda bulan dan bintang di langit. Tanda alam ini jarang meleset, dan sesuai untuk musim bertanam padi. Maksudnya, perhitungan dengan tanda alam ini sesuai untuk masa membuka lahan, membakar lahan, dan menanam padi, masa padi mengandung, hampar dan panen. Siklus alam ini teratur setiap tahun.

Untuk mengetahui masa yang tepat penduduk merujuk kepada orang yang pandai di kampung. Mereka mungkin dukun, atau orang-orang lain yang dituakan. Mereka membicarakan hal ini, dari mulut ke mulut, dan mulailah musim menilik lahan. Seseorang diutus untuk mengambil tanah yang dipilih, sekaligus minta izin kepada penunggunya.

Setelah itu, mereka mulai menebas, menebang, membakar ladang, menugal, membuang rumput, masa padi muda, panen. Masa ini berlangsung seluruhnya sekitar sembilan bulan.

Tetapi, sungguh pun demikian, berladang memang tidak selamanya dapat menjadi andalan. Kadang-kadang bila musim kering berkepanjangan, atau adanya serangan hama, seperti walangsangit, dan lainnya, hasil yang mereka peroleh tidak sebanding dengan jerih payah dikeluarkan.

Tetapi, sepanjang yang diketahui, padi di sini tidak pernah dijual seperti di kawasan pertanian umumnya. Padi mereka simpan untuk mereka makan sendiri, sebagai cadangan sehingga tidak perlu membeli beras di warung. Hasil yang sesuai biasanya, padi panenan tahun ini cukup dimakan sampai panen tahun depan. Jadi, antara waktu tersebut, tidak perlu lagi membeli beras yang dijual di toko.

Hanya saja mereka yang berhasil panen seperti ini jumlah tidak banyak, dan sekali lagi seperti nasib saja. Perolehan padi banyak bergantung pada kemampuan tenaga membuka lahan. Semakin besar dan luas lahan, semakin besar kemungkinan memperoleh hasil yang banyak. Selain itu, perolehan ini juga bergantung pada tanah. Apakah tanah yang digunakan untuk berladang itu tanah tua atau muda, apakah pembakaran ladang itu baik atau tidak. Tanah tua –yang lama tidak diladangi, dan pembakaran yang baik lebih disukai .

Jika panenan tidak berhasil, penduduk –dan itu banyak terjadi, bertumpu pada hasil usaha lain. Jadi, untuk membeli kebutuhan dapur dan rumah tangga, diperoleh dengan menjual karet yang mereka hasilkan itu.

Atau kemungkinan lain, mereka bertumpu pada anak-anak mereka yang bekerja di luar kampung. Misalnya ada yang bekerja sebagai penebang kayu, bekerja sebagai penambang emas, bekerja sebagai buruh di kota.

Mereka sendiri merasakan kesulitan dalam hal ini. Tidak ada harapan yang besar untuk menyekolahkan anak mereka agar dapat bersekolah lebih tinggi. Tidak banyak harapan untuk memiliki pesawat televisi dan antena parabola, atau memiliki sepeda motor. Kecuali mengandalkan usaha di luar karet –seperti berdagang, atau bekerja di luar kampung .

Mereka belum dapat berkembang seperti orang di kampung tetangga, di Sungai Agung, yang sudah bisa mengembangkan perkebunan kopi dan pisang untuk menunjang pendapatan dari sektor karet.

Ada memang beberapa orang yang membuka usaha dagang. Mereka menjual kebutuhan harian masyarakat, yang ditukar dengan karet.


Pendidikan

Pendidikan di sini tidak dapat dikatakan maju. Hal ini disebabkan sekolah yang ada hanya sampai sekolah dasar (SD) saja . SD ini berdiri sejak tahun 1980-an. Sebelumnya hanya ada sekolah swasta. Sekolah yang ada di kampung ini juga menampung anak-anak sekolah kampung sekitarnya. Mereka yang bersekolah di sini datang dari Cupang Belungai, Kiata’ dan Odong.

Jumlah guru yang mengajar di sekolah ini ada enam orang, termasuk kepala sekolah. Guru-guru ini berasal dari berbagai tempat, dan tidak seorang pun berasal dari orang Cupang Gading. Kepala sekolah berasal dari Jawa, seorang guru dari Pontianak, ada dari daerah sekitar Nanga Taman.

Sedangkan untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, seperti Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Sekolah Menengah Atas (SMA), mereka dihadapkan oleh kenyataan harus mengeluarkan biaya ekstra. SMP yang terdekat ada di Kota Rawak dan Nanga Taman yang keduanya harus dijangkau dengan berjalan kaki selama 2-3 jam.

Meskipun jarak ini sebenarnya tidak terlalu jauh, sekitar 17 kilometer saja, tetapi seperti yang disebutkan di muka, jalan ini adalah jalan setapak, melalui semak belukar dan Natay yang curam. Laluan ini memang dapat dilalui oleh motor roda dua. Tetapi sepeda, sukar sekali.

Oleh sebab itu, bisa dipahami bahwa wajib belajar 9 tahun di sini masih belum dipenuhi. Umumnya, anak-anak putus sekolah, setelah menamatkan SD. Mereka yang bersekolah sampai ke SMP apalagi SMA atau perguruan tinggi dapat dihitung dengan telunjuk. Jumlah mereka yang bersekolah di SMP atau SMA ada 20-an orang. Mereka sekolah di Sekadau, Sintang, dan Pontianak. Pernah juga ada yang bersekolah sampai ke perguruan tinggi . Dari seluruh penduduk kampung, yang kini menjadi pegawai negeri ada empat orang, yang semuanya bertugas di luar daerah mereka sendiri.


Agama

Soal agama ini menarik sekali. Seperti yang umum dijumpai di Kalimantan Barat, agama merupakan sesuatu penentu identi di sini. Maksudnya mereka disebut sebagai Melayu, karena memang memeluk agama Islam. Sedangkan mereka yang tidak memeluk agama Islam disebut sebagai Dayak. Baik mereka yang beragama Katolik atau pun protestan (Lihat Yusriadi dan Haitami Salim, 2000).

Di Cupang Gading, seperti singgung di bahagian awal, semua penduduknya seratus persen beragama Islam. Sebagian beragama Islam sejak lahir –karena orang tuanya sudah beragama Islam, dan sebagian lagi adalah mereka yang memeluk agama Islam kemudian.

Memang, perpindahan agama (konversi agama) banyak terjadi di sini. Ada beberapa kes pindah agama. Kebanyakan memang mereka yang pindah agama, dari bukan Islam kepada agama Islam. Ada puluhan orang yang dapat ditunjuk sebagai contohnya.

Sedangkan perpindahan sebaliknya dari Islam menjadi bukan Islam, walau pun ada jarang terjadi. Malahan saya sempat berjumpa, ada orang Melayu Cupang Gading yang “pulang Dayak” .

Pindah agama, sekalipun dilakukan orang, tidaklah sederhana. Jika ingin memeluk agama Islam di sini, seseorang harus mengikuti upacara kecil. Dia, atau wakilnya menghadap penghulu, dan melaporkan keinginannya itu. Penghulu mempersiapkan beberapa kelengkapan, termasuk ember, air tanah, sendok atau gelas, serta surat menyurat sebagai syarat bentuk formal. Kemudian, orang yang akan memeluk agama Islam itu dibawa ke sungai, atau ke jamban. Dia dimandikan dengan air yang bercampur tanah. Setelah itu, dia juga minum ala kadarnya, air tersebut . Setelah itu barulah dia diajarkan bacaan-bacaan yang perlu, termasuk seuntai nasehat.

Penghulu setempat, yang selama ini memimpin upacara itu mengatakan bahwa mandi dengan air tanah merupakan sertu. Sertu ini, sama dengan sertu yang biasa dilakukan atas piring, kuali yang dijilat anjing –mungkin juga babi. Sebab kedua binatang ini merupakan binatang yang diharamkan dalam agama Islam, bukan saja memakannya, tetapi bekas dan jilatannya juga haram. Keduanya dikelompokkan pada najis berat (Mukhallazah)(Sabiq 1985). Dan untuk membersihkannya, harus menggunakan air bercampur tanah.

Jadi, analogi ini diterapkan dalam proses peng-Islaman ini. Mereka yang sebelumnya bukan Islam harus membersihkan diri luar dalam dengan air tanah. Sebab, mereka sebelumnya mungkin makan babi, atau bergaul rapat dengan anjing. Bersih di luar dilakukan dengan cara mandi air tanah, sedangkan bersih di dalam dengan cara meminumnya.

Yang menarik, jika tujuan pemelukan agama itu untuk seseorang yang akan kawin, dan dalam keseharian sebelumnya pasangan itu telah nampak rapat, maka pasangan yang muslim juga harus ikut minum air tanah. Penghulu mengatakan, minum air tanah bagi pasangan yang muslim ini juga untuk membersihkan, kemungkinan mereka telah dekat selama ini. Hanya saja dekat dalam konteks ini tidak jelas, apakah ciuman, atau hubungan badan . Mandi dan minum air tanah ini juga dikaitkan dengan ‘asal manusia’. Islam, katanya meyakini manusia dari tanah dan kembali ke tanah, jadi mereka yang masuk Islam juga harus memulai melalui pemandian air tanah.

Hal lain yang biasanya menarik dalam kaitan dengan proses pengIslaman ini adalah sunat. Sunat lelaki memang tidak aneh untuk alasan membersihkan. Tetapi di sini, perempuan yang masuk Islam kadang juga disunat. Sunatan ini dilakukan oleh bidan kampung. Caranya, seperti yang biasa terjadi pada anak-anak perempuan yang baru lahir menggunakan pisau, pangut, atau serpihan bambu .

Tidak hanya proses itu yang harus ditempuh seseorang yang akan memeluk agama Islam. Mereka yang sebelumnya Taman, misalnya, harus lebih membayr ‘pelepasan’ adat yang ditentukan oleh tetua adat kampung asal. Jumlah yang harus dibayar mencapai ratusan ribu rupiah.

Dalam soal agama, penghulu, dan sejumlah tokoh masyarakat setempat mengaku mereka sangat kurang. Penghulu mencontohkan, kadangkala mereka yang mau kawin kesulitan mengucapkan kalimah syahadat. Mereka –untuk anak-anak mereka, juga tidak ada guru agama. Sekarang ini, tidak ada kegiatan belajar mengajar baca Al-Quran. Sudah ada permohonan agar ada guru agama Islam di sana . Tetapi, permohonan itu tidak terpenuhi.

Ketika kunjungan dilakukan, tidak ada satu pun lulusan sekolah menengah agama (Madrasah Aliyah), yang biasanya –di berbagai tempat di pedalam, dapat menjadi andalan untuk bidang agama ini. Saya ditunjukan dengan satu anak yang sekarang sedang bersekolah menengah agama (Madrasah Tsanawiyah) di Sekadau.

Kegiatan shalat lima waktu –Isya, Subuh, Zohor, Asyar, dan Maghrib di masjid tidak nampak dilaksanakan sewaktu kunjungan lapangan. Masjid digunakan untuk shalat Jumat, satu kali seminggu. Tetapi, saya juga diberitahu, jika bulan ramadhan tiba, masjid akan ramai dikunjungi, terutama untuk shalat sunat taraweh.


Sejarah Singkat

Sukar mendapatkan catatan sejarah mengenai Cupang Gading. Seperti dalam kebanyakan kendala dalam mendapatkan maklumat mengenai Kalimantan Barat –umumnya, kita terpaksa bergantung pada informasi lisan. Sebenarnya bukan tidak ada informasi tertulis yang mungkin boleh dijadikan panduan. Hanya saja informasi tertulis tersebut masih berwujud serpihan yang perlu disusun dalam satu gambar .

Saya ingin menunjukkan betapa sulitnya merujuk kepada informasi lisan tersebut. Saya ditunjuk kepada seorang tetua kampung bernama Zakril. Zakril yang juga dikenal sebagai orang pintar (dukun) dikatakan sebagai orang asli Cupang Gading, dan Zakril membenarkannya. Menurutnya, mereka masih turunan Majapahit. Datok moyang mereka itu bernama Mas Yasa, salisilah berurai kepada Abdul Hakim, kemudian turun kepada Sultan Yahya, seterusnya kepada Dayang Lopakng, kepada Aji Ahmad, kepada Kiyai Ugam, kepada Ami, dan terakhir kepada Zakril yang kini berusia sekitar 60 tahun itu. Yang pertama kali diam di kampung ini adalah masa Kiyai Ugam. Sekali pun tidak disebutkan tahunnya, kita mengagak, jika peringkatnya hanya dua tingkat di atas Zakril, Kiyai Ugam ditaksir 100 tahun lalu.

Tetapi, beberapa orang membantah kalau perkampungan di Cupang Gading ini berusia 100 tahun. Mereka menunjuk bekas kampung lama yang terdapat di seberang kampung sekarang. Waktu itu nama kampung adalah Beranung. Lalu, kampung itu pindah ke bahagian darat dari kampung sekarang. Tempat itu disebut Cupang Melayu, dan kini hanya ada tonggak tiang dari kayu belian. Setelah itu, penduduk menempati lokasi baru di tepi sungai, sampai sekarang ini. Nama kampung mereka ini adalah Cupang Gading .

Tetapi, sebagian lagi menduga mereka masih ada hubungan dengan Cupang Belungai. Cupang Belungai adalah kampung lama, dan kampung asal sebenarnya. Bila telah memeluk agama Islam, sebagian orang memisahkan diri dan mendirikan kampung baru, sehingga sampai hari ini berkembang biak menjadi kampung Cupang Gading itu . Hal lain yang mendukung dugaan ini adalah adanya nama Cupang Melayu, untuk memisahkan diri daripada nama Cupang Belungai. Perlu penelitian mendalam untuk memastikan hal seperti ini.

Sementara itu, catatan tertulis mengenai Cupang kita peroleh dalam laporan Enthoven (Enthoven 1903:593) seratus tahun lalu. Menurutnya:

Hun voornaamste vestiging is het 105 m. lange huis te Tjoepang, met 35 pintoe’s en weinig stroomopwaarts van Bandan aan de S. Menterap gelegen, dat door een goed bruikbaar pad met het vroeger genoemde Merajoen aan de S. Taman verbonden is.

De voornaamste vestiging der Maleiers in Menterap en Kerabat, met een 8tal Maleische woningen en een kleine balai (logeergebouw) van den vorst van Sekadau, waar een der vorstentelgen verblijf houdt.

Tidak begitu jelas apa yang dimaksudkan Enthoven, bahwa Tjoepang termasuk dalam kelompok Dajaks Menterap. Seperti yang ditulisnya di halaman berikutnya. Enthoven (1903: 696), ketika menyinggung sedikit adanya suku Kerabat, Sawai, dan Jawan di aliran Sungai Menterap.

De Menterap Dajaks, die nog onderverdeeld kunnen worden in de Kerabat’s, de Sawai’s en de Djawan’s, tellen thans ongeveer 400 pintoe’s met 2000 zielen en bewonen het stroomgebied der Menterap.


Jika keberadaan mereka dikaitkan dengan Islamisasi (Melayuisasi) di Sekadau, maka informasi ini dapat kita kaitkan dengan salasilah Raja Sekadau yang ditampil dalam supplemen Enthoven (1903), untuk memperkuat gambaran masa lalu mengenai kawasan ini.

Tertulis pada salasilah Tjoeat (Cuat) ‘bigenaamd Siak Beroeloen, hoofd der Dajaks in de Boven –Sekadau’ berikutnya adalah Nan Mantang – Nang Loekis g.m. Dajang Sri Awan sebagai raja pertama Sekadau. Tetapi kita tidak tahu tahun berapa kerajaan ini bertapak dan informasi tahun beru nampak pada tingkat ke lima (5), yakni Dajang Sri Bunga yang berada di bawah salasilah Nang Loekis, raja ke dua –Kjia Dipati Soema Negara, raja ke tiga, Dajang Katjang kawin dengan Abang Itam (Kjai Dpati Toewa) raja Sekadau ke empat, Abang Karang atau Kjai Dpati Toembah Baj, raja Sekadau ke lima.
Nah, raja Sekadau ke enam Dajang Ineh, bersaudara dengan Abang Moenang atau Kjai Lalang dan Njai Anta yang tahun 1720 kawin dengan Sultan Mangkoerat, Radja Melamat (Matan).

Jadi dengan salasilah ini, kerajaan Sekadau sudah wujud sebelum tahun 1729. Sama ada 100 tahun atau 50 tahun tidak dapat dipastikan. Hanya saja, paling tidak abad ke-17 akhir kerajaan Sekadau telah wujud. Ini tentu saja dengan mengambil kira, misalnya setelah Njai Anta yang menikah dengan Sultan Matan (1720) yang hidup sezaman dengan Raja Sekadau ke enam.

Sampai tahun 1780 umpamanya, Sekadau di bawah pemerintahan raka ke tujuh, Abang Ingkang (pangeran Agoeng). Lalu tahun 1870 atau lebih kurang 100 tahun setelah Njai Anta, Sekadau diperintah oleh Abang Ipoeng atau Pangeran Koesoema Negara, raja ke sembilan, sampai tahun 1830.

Kenyataan ini membawa kita pada anggapan bahwa dalam kurun waktu 110 tahun tersebut, ada empat raja yang memerintah. Jadi purata, seorang raja berkuasa selama hampir 30 tahun. Jadi cukup munasabah jika kita membayangkan bahawa kerajaan Sekadau sudah bertapak sejak aban ke-17 awal.

Implikasi kepada Cupang Gading meski langsung tetapi boleh memberikan bayangan bahwa tiga ratus tahun lalu, sudah ada penguasa di muara Sungai Sekadau. Kehadiran keraton Sekadau di muara sungai Sekadau bukan merupakan ssesuatu yang kebetulan, tetapi istana ini menjadi pintu gerbang masuk ke lembangan sungai yang panjangnya mencapai 33 kilometer ini. (Enthoven 1903, Veth 1854, King 1994),

Keraton yang kemudian diperintah oleh raja yang beragama Islam, dan kemudian dikenal sebagai Melayu membawa implikasi nyata terhadap perubahan identiti di pedalam ini. Cupang Gading yang meskipun periperal, berada di hulu sungai, namun sungai itu bukan sungai yang kecil. Sungai Kerabat adalah sungai yang besar yang airnya dalam dan mudah dilalui perahu. Adanya sarana transportasi yang mudah seperti ini pasti memberikan implikasi mobilitas penduduknya.

Tetapi sekali lagi, ‘sejarah’ yang bercanggah seperti cuba ditampilkan di atas memerlukan penelusuran lebih jauh. Kita hanya memberikan bayangan bahwa dalam kurun satu abad lalu, Cupang Gading telah dikenal sebagai orang Melayu, mereka telah memeluk agama Islam.


Bahasa

Bahasa sehari-hari yang dipakai di Cupang Gading adalah bahasa Melayu Cupang Gading (BMCG) yang dekat dengan varian pertuturan di Sekadau. Tidak terdapat perbedaan dari segi Fonologi dan Morfologi. Terdapat beberapa ciri suprasegmental yang merupakan ciri tersendiri. Bahkan ada yang menganggap varian mereka sama dengan varian Sanggau.

Tidak seperti lazimnya orang Melayu di Kalimantan Barat yang tidak pandai bertutur varian lain selain varian mereka (Collins 2000), di sini rata-rata orang mampu menuturkan lebih dari satu varian. Boleh dikata mereka di sini multi lingual (multi dialektal). Sebut misalnya, mereka dapat bertutur bahasa Indonesia, berbahasa Melayu, dan mereka juga mengaku dapat ‘berbahasa Saway’.

Hal ini terjadi karena memang lokasi mereka yang dikelilingi oleh kampung yang menuturkan varian yang berbeda dengan yang mereka tuturkan. Ciri-ciri dialek lain mereka cam, dan penanda itu akan digunakan dalam berkomunikasi. Hampir semua orang dapat dengan mudah menyebutkan ciri varian orang lain.


Pandangan tentang Varian Lain

Hampir selalu dijumpai di sini, ada sikap negatif atas varian orang lain. Anggapan yang tersemai dalam benak masyarakat adalah masyarakat bahwa pertuturan mereka sederhana dan mudah. Sedangkan perturuan orang lain sukar dan berbelit-belit. Menariknya, mereka mengaku dapat meniru bunyi pertuturan kelompok lain. Dan apabila tiruan itu dilakukan, kita akan menangkap kesan ‘berlebihan’.

Jawaban seperti ini menarik, karena kesan ini melekat kepada dua kelompok varian ini. Bahkan mereka bisa menggambarkan dengan cara mereka, termasuk dalam mengelompokkan varian masing-masing kelompok.

Tetapi, lepas dari kesan negatif atas pertuturan orang lain, bahasa Melayu menjadi lingua franca di sini. Semua orang dapat berbahasa Melayu. Ini dikarenakan posisi bahasa Melayu yang dominan. Kalangan orang Saway misalnya, mengaku bahwa mereka menggunakan bahasa Melayu bila bertutur dengan orang Melayu. Mereka juga bertutur bahasa Melayu bila bertutur dengan orang Mentuka’, kelompok masyarakat yang bertutur bahasa dalam kelompok Malayik (Lihat juga dalam Chong Shin dan Collins 2001).

Jadi dengan kerajaan Melayu di muara sungai yang diperintah oleh mereka yang menuturkan bahasa Melayu, tentu kesan dan pengaruhnya juga kepada bahasa masyarakat. Lebih lagi apabila afiliasinya didasarkan agama, maka faktor magnetik itu semakin kuat.

Kenyataan ini dapat dipahami karena saat ini masyarakat sedang berusaha menunjukkan identiti sehingga nampak berbeza dengan orang lain. Sekalipun seperti yang dilaporkan, agama merupakan faktor pemisah yang tegas dan ini sudah diperkatakan dalam banyak tulisan (King 1993, Riwut 1978, Hanapi 1997, Yusriadi 2000), bahasa tetap menjadi alat kepada mereka untuk mempertegas pisahan ini. Collins (2000) sudah merasakan pengalaman bagaimana informan berusaha menunjukkan pisahan bahasa. Daftar kata yang sebenarnya dipakai dan juga dipahami oleh sekelompok masyarakat tidak diakui sebagai bahasa sendiri tetapi disebutkan sebagai milik kelompok lainnya, sekalipun mereka sendiri juga menggunakannya .

Pengamatan yang dilakukan penulis di Cupang Gading, juga menunjukkan pola serupa. Di sini, kelompok Melayu, Saway Sesat dan Taman Sesat hidup berdampingan sebagai kelompok masyarakat bahasa yang berbeza. Mereka menunjukkan diri berbeza dengan yang lain, sekalipun, tidak jarang terlontar pengakuan bahawa mereka berasal dari asal usul yang sama, atau masih memiliki hubungan kerabat. Jadi, dua atau tiga kelompok ini mempertegas perbedaan termasuk dengan mengidentifikasikan bahasa mereka berbeza satu dengan yang lainnya.

Lembah Sekadau ini cukup penting di era pra sejarah kawasan Borneo. Saat ini misalnya di daerah Kampung Pait di hulu sungai Sekadau terdapat batu tulis. Batu itu diduga merupakan peninggalan kerajaan Hindu Majapahit .


REFERENSI


[Angka] Kecamatan dalam Angka Tahun 1993, Sekadau Hulu. Biro Pusat Statistik, Kantor Statistik Kabupaten Sanggau.

Censee, A.A. dan E.M. Uchlenbeck. 1958. Critical survey of studies on the languages of Borneo
. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.

Chambers, J.K. dan P. Trudgill. 1990. Dialektologi. Terj. Anuar Ayub. Kuala Lumpur; Dewan Bahasa dan Pustaka.

Collins, James T. 1999. Keragaman Bahasa di Kalimantan Barat. Makalah yang dibentangkan dalam Festival Budaya Nusantara Regio Kalimantan, di Pontianak 23 September.

Collins, James T. 2000. Dayak Islam di Kalimantan Barat. Kertas Kerja Kollokium Dayak Islam di Pontianak, 12 September 2000

Collins dan Zaharani 2000. Language and Identity in Malay.

Collins, James T dan Chong Shin. 2001. Six varian Bidayuhic in Sekadau River. Data Papers Borneo Homeland Series 2.

Collins, James T. 2001. Catatan lapangan Cupang Gading. Naskhah.

Enthoven. J.J.K. 1903. Bijdragen tot de geographie van Borneo Westerafdeeling. Leiden: E.J. Brill.


Irwin, Graham. 1986. Borneo Abad ke-19. Terj. Moh. Nor Ghani dan Noraini Ismail. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

King Victor T. 1993. The People of Borneo. Oxford: Blackwell.

Sellato, Bernard. 1989. Hornbill and dragon – burung enggang dan naga. Kuala Lumpur: Elf Aquitaine Indonesie-Malaysia.

Sujarni Aloy, dkk. 1999. Keragaman bahasa Dayak di Kalimantan Barat Berdasarkan Epistimologi Tradisional. Makalah yang dibentangkan dalam Festival Budaya Nusantara Regio Kalimantan, di Pontianak 23 September.

Tjilik Riwut. 1979. Kalimantan Membangun. Palangkaraya: t.pt.

Veth P. J. 1854. Bornoes wester-afdeeling. Geografiphisch, statistisch, historicsh. Zaltbommel: Joh. Noman en Zoon.

Yusriadi. 2000. Dialek Melayu Ulu Kapuas. Tesis MA Jabatan Linguistik UKM.

Yusriadi. 2001. Catatan lapangan penelitian Etnik dan Identitas di Kalimantan Barat. Manuskrip.

Yusriadi dan Haitami Salim. 2001. Dayak Islam di Kalimantan Barat, Fenomena di Gerbang Abad ke-21. Pengantar Prosiding Kollokium Dayak Islam di Kalimantan Barat. STAIN Pontianak.

Zahri Abdullah. 1988. Riwayat Singkat Perkembangan Kerajaan Sangau dan Perkembangan Islam. Naskhah.





0 komentar: