Rabu, 30 Januari 2008

Orang Ulu di Pontianak

Oleh Yusriadi


Dari kenaikan sampai keturunan
tidak ada dapat kedudukan2

--- Omong Orang Ulu

Pendahuluan

Sebagai pusat pemerintahan, ekonomi, dan pendidikan di Kalimantan Barat (Kalbar), Pontianak memiliki daya tarik, bak magnet. Daya tarik ini mendorong terjadinya perpindahan (migrasi) kelompok masyarakat dari berbagai tempat. Ada kelompok orang Tionghoa yang datang dari Cina sejak ratusan tahun lalu, ada kelompok masyarakat Jawa, Sunda dan Madura yang datang dari Pulau Jawa, ada kelompok Batak, Minang yang datang dari Sumatera, ada kelompok masyarakat Bugis yang datang dari Sulawesi. Masing-masing kelompok ini berinteraksi pada ruang kota dalam pelbagai bentuk aktivitas dan suasana. Dalam suasana itu, pelbagai kelompok tetap memperlihatkan ciri kelompok masing-masing –atau setidaknya, masih tetap ditandai orang lain sebagai kelompok yang berbeda. Tidak adanya budaya yang dominan di Kalbar –setidaknya itu istilah yang sering digunakan, menyebabkan identitas masing-masing tetap diperlihatkan.
Selain kelompok pendatang dari luar pulau tersebut, di Pontianak juga terdapat kelompok pendatang dari pedalaman, dari hulu sungai Kapuas. Mereka disebut sebagai “Orang Ulu”. Berbeda dengan kelompok yang datang dari luar yang ditandakan berdasarkan identitas etnik seperti yang disebutkan di atas (Tionghoa, dll), kelompok Orang Ulu lebih merujuk kepada ciri geografis, yaitu lekok sungai Kapuas, sungai utama yang membelah Kalbar menjadi dua wilayah: utara dan selatan3.
Karena sudut pandangnya berpaksikan geografis, konsep Orang Ulu melewati batas etnis. Konsep Orang Ulu seperti yang disinggung dalam Yusriadi (2005) meliputi masyarakat etnik Melayu dan Dayak dalam wilayah geografis hulu sungai. Jadi, sekalipun mereka dalam berapa hal berbeda, namun identitas geografis ini dapat digunakan untuk menyamakan mereka dalam satu identitas bersama.
Orang Ulu datang ke kota Pontianak, berinteraksi dengan masyarakat ‘kota’ yang mereka sebut sebagai Orang Ili’, di tempat baru. Agar mereka dapat berinteraksi dengan baik, bahkan, dalam beberapa hal, Orang Ulu berusaha memperlihatkan bahwa mereka juga bisa seperti Orang Ili’.
Contoh petikan di atas merupakan bagian dari usaha itu –sekalipun tidak berhasil karena justru upaya itu secara tidak sadar memperlihatkan bahwa mereka memang bukan Orang Ili’, dan tidak sama dengan Orang Ili’.
Fenomena inilah yang hendak dibincangkan melalui tulisan ini. Bagaimana orang kampung ketika berada di kota, bagaimana mereka berinteraksi, bagaimana mereka dicirikan dan bagaimana pula mereka mencirikan diri di tengah pergaulan dan kontak dengan masyarakat lain akan coba dibahas.
Ada tiga bagian ditampilkan di sini. Pertama mengenai konsep Ulu di Kalbar; kedua, mengenai migrasi Orang Ulu ke kota; dan ketiga, mengenai identitas Orang Ulu di Pontianak, khususnya bagiamana penggunaannya dalam ruang wilayah kota.

Istilah Orang Ulu

Harus diakui bahwa meskipun istilah Orang Ulu cukup dikenal dalam keseharian masyarakat di Pontianak, namun sedikit sekali tulisan yang menyinggung mengenai hal itu. Agaknya, identitas Orang Ulu tidak cukup menarik perhatian peneliti, dibandingkan identitas Dayak atau Melayu. Peneliti tidak menganggap istilah ini penting.
Tidak mengherankan kalau dalam banyak tulisan, istilah Ulu ini tidak muncul –meskipun saat membicarakan masyarakat pedalaman. Kalaupun muncul istilah ini sudah diterjemahkan “up river” atau ‘boven’. Sesekali istilah ini muncul dalam bahasa lokal misalnya “Ot Danum” atau Ulu Ai’, atau Ulu Sungai. Ada ketikanya, istilah Dayak juga diberi makna “Ulu”, “Udik” dan “Pedalaman”.
Di antara sedikit informasi mengenai “Ulu di Kalbar” itu dijumpai dalam Stokhof (1986). Stokhof menerbitkan kembali daftar kata yang dipungut FJ Hips kerani Belanda dari Nanga Pinoh tahun 1936, kota kecil di persimpangan Sungai Pinoh-Melawi (anak sungai Kapuas). Daftar kata ini diperkenalkan sebagai daftar kata ‘Ulu Malay’ (Melayu Ulu). Daftar kata ini dengan istilah yang sama disebut-sebut juga dalam Cense dan Uhlenbeck (1958), Avé, King dan De Wit (1983), dan Collins (1990).
Dalam Yusriadi (1999, 2005) istilah ini kembali diperkenalkan. Penggunaannya tidak saja merujuk pada nama yang diberikan masyarakat sekarang, tetapi juga pada nama yang diperkenalkan Hips 3 itu. Dalam tulisan ini diperkenalkan konsep Ulu, Orang Ulu dan bahasa Ulu. Yusriadi menyebutkan bahwa istilah Ulu di Kalbar digunakan masyarakat yang merujuk kepada letak geografis, yaitu masyarakat yang mendiami hulu sungai Kapuas. Jadi, tidak berkonsep etnik.
Memang tidak dapat dijelaskan kapan sebenarnya orang-orang ini mendiami daerah hulu sungai Kapuas. Yang ada hanya mitologi. Mitologi masing-masing kelompok etnik yang berada di bagian hulu sungai ini dikatakan berasal dari langit kayangan (Lihat Sellato (1989) yang menyebutkan asal usul orang di hulu Kapuas berasal dari langit).
Konsep Ulu, sejalan dengan konsep Orang Ili’, yaitu orang kota, yang merujuk kepada masyarakat yang tinggal di kota Pontianak dan sekitarnya, yang datang ke daerah Orang Ulu dengan memudiki sungai Kapuas4.
Apa yang dijumpai di Kalbar, agak berbeda dibandingkan di Sarawak. Di Sarawak, istilah Orang Ulu dijumpai dalam berbagai tulisan. Rousseau (1990:14) menyebutkan bahwa orang Ulu adalah sebutan untuk orang di pedalaman Borneo, penduduk yang mendiami hulu sungai. Istilah ini katanya lebih pada geografis ketimbang budaya. Tetapi kenyataannya kemudian istilah ini membawa konotasi etnik.
Secara lebih terinci, Jehom menyebutkan bahwa di Sarawak Orang Ulu selain terkait faktor geografis, sosio-cultural dan linguistik, digunakan orang Melayu untuk menyebut kelompok Dayak yang bukan Iban, bukan Bidayuh dan bukan Melanau. Sebagaimana yang disebutkan dalam konstitusi asosiasi kebangsaan orang Ulu (OUNA), orang Ulu maksudnya adalah Kelabit, Kenyah, Bukitan, Bisaya, Kayan, Kajang, Lugas Lisum, Lun Bawang, Penan, Sian, Tabun, Ukit dan Saban (Jehom 1999: 90). Kelompok ini mendiami pedalaman Sarawak di wilayah Kapit, Bintulu, Miri dan Limbang.

Migrasi dan Persebaran
Orang Ulu tidak hanya berdiam di kampung halaman mereka di hulu sungai Kapuas. Mereka juga bermigrasi ke kota terutama untuk mobilitas sosial5; tetapi dibandingkan yang datang ke Pontianak mencari pekerjaan, lebih banyak Orang Ulu yang ke Pontianak karena alasan pendidikan6.
Pontianak sebagai pusat pendidikan dan segala aktivitas di Kalbar, menjadi daya tarik bagi Orang Ulu7. Informasi yang diperoleh menyebutkan Orang Ulu lebih cenderung memilih jurusan-jurusan yang teknikal sifatnya –jika masih punya pilihan, misalnya, ke sekolah teknik dan sekolah guru.
Pada masa-masa dahulu, Sekolah Pendidikan Guru (SPG), Pendidikan Guru Agama (PGA) atau Sekolah Guru Olahraga (SGO) merupakan sekolah favorit Orang Ulu.
Perguruan tinggi yang banyak dipilih Orang Ulu adalah perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan keguruan (pendidikan guru). Misalnya Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Untan, Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) Untan, Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan (STKIP), Fakultas Tarbiyah IAIN Pontianak (sekarang STAIN), Fakulta Pendidikan Universitas Muhammadiyah Pontianak (UMP). Bahkan, di lingkungan STAIN Pontianak, D-2 STAIN merupakan tempat tumpukan Orang Ulu. D-2 STKIP juga lebih banyak diisi oleh anak-anak dari Ulu8.
Pilihan ini didasarkan pertimbangan pragmatis, bahwa kalau lulus sekolah keguruan mereka tidak akan sulit mencari pekerjaan sebagai pegawai negeri. Mereka melihat, kebanyakan lulusan lembaga ini ‘laku’, sudah bekerja sebagai guru; beda dibandingkan jurusan lain. Kalaupun kemudian ada di antara mereka yang memilih jurusan non-keguruan, pilihan itu lebih banyak karena terpaksa, sebagai pelarian atau sebagai pilihan kedua.
Karena faktor pendidikan ini, pada akhirnya jumlah anak sekolah atau mahasiswa dari Ulu yang ada di Pontianak cukup ketara, walaupun data resmi tidak bisa ditampilkan di sini. Faktor pendidikan ini juga menjadi pintu mobilisasi vertikal Orang Ulu di Kalbar. Keberhasilan mereka dalam belajar, dan selanjutnya diterima bekerja di Pontianak, atau mereka yang menikah dengan orang-orang Ili’, dan lantas menjadi mereka warga Pontianak, malah kemudian menjadi pemimpin dalam berbagai level di Pontianak. Mereka juga menjadi faktor pendorong ‘membanjirnya’ Orang Ulu di Pontianak.
Mereka yang bermigrasi karena faktor lain semisalnya karena pekerjaan (ladang, buruh) diprediksikan relatif kecil. Malahan seiring sempitnya lahan untuk pertanian di Pontianak, migrasi karena faktor pertanian malah mungkin tidak lagi terjadi. Sedangkan sektor perburuhan masih bisa ditemui satu dua. Orang Ulu sulit bersaing dalam sektor kasar ini, karena biasanya pekerja kasar dari luar Kalbar jauh lebih kuat dibandingkan mereka. Lagian, Orang Ulu yang bekerja di sektor ini lebih menganggap kota terlalu keras bagi mereka, dibandingkan kampung halaman jauh lebih aman dan nyaman. Lagian, kayu, karet, emas, di sekitar kampung mereka masih cukup banyak, mudah diambil, dan bisa diandalkan untuk menyara hidup mereka sehari-hari.


Identitas

Dua hal disoroti dalam perbincangan identitas ini. Pertama, identitas yang digunapakai Orang Ulu sendiri untuk diri mereka; dan kedua, identitas yang digunapakai orang luar untuk mengindentifikasi Orang Ulu9.
Di kalangan Orang Ulu, kesadaran mengenai identitas bersama memang tumbuh. Seperti disebutkan di atas, identitas ini pada mulanya muncul dalam konteks mereka melihat hadirnya Orang Ili’ di sekitar mereka. Konsep ‘u(o)rang kita’ dan ‘sida’ menggambarkan kedalaman ikatan emosional itu. Dalam Yusriadi (2005) sudah disebutkan bagaimana Orang Ulu memandang diri mereka sendiri dan pada konteks apa ikatan geografis itu dipakai.
Menariknya, kedatangan ke Pontianak tidak mengubah cara pandang Orang Ulu secara signifikan, meskipun kadang kala kepentingan menyesuaikan diri dengan lingkungan perkotaan itu muncul. Di tempat “baru” yang jauh dari tempat asal mereka, setelah mereka berada di daerah “orang”, pandangan ini tetap dipertahankan.
Contohnya, ikatan geografis ini pernah digunakan untuk membentuk organisasi. Di tahun 1990-an awal, kelompok Orang Ulu membentuk ikatan: Pusasi (Putussibau, Sanggau, Sintang). Organisasi ini merupakan upaya menyatukan orang Ulu yang ada di Pontianak. Ada beberapa pertemuan sempat diselenggarakan, dan kegiatan halal bihalal sempat digelar. Namun, sayangnya akhirnya organisasi ini mengalami kevakuman, sampai hari ini tidak ada kabarnya. Orang-orang yang terlibat dalam organisasi ini sudah ke mana-mana. Selain itu sepanjang yang diketahui, tidak ada ikatan formal atas nama ulu yang pernah wujud. Kebanyakan hanyalah dalam bentuk tidak dilembagakan.
Seperti yang disebutkan di atas, istilah Ulu berkaitan dengan ciri bersama yang tanpa memandang batas apakah dari kalangan orang Dayak atau orang Melayu. Kesadaran bahwa mereka punya satu identitas mendorong mereka mengekalkan penggunaan ciri itu, tanpa melihat sekat agama dan etnik; karena sememangnya sekat yang berkaitan dengan agama dan etnik ditempatkan di tempat yang lain di luar identitas Ulu10. Ini juga yang agaknya membedakan istilah Orang Ulu di Kalbar ini dibandingkan dengan istilah Orang Ulu yang dikenal di Malaysia.
Sedangkan bagi Orang Ulu sendiri, identitas Orang Ulu lebih dikaitkan dengan penggunaan bahasa Ulu dalam berkomunikasi. Sebab identifikasi secara fisik misalnya: Orang Ulu putih-putih, tidak selamanya tepat. Karena proses kawin campur, proses menjadi Melayu dan menjadi Dayak, dalam banyak hal membuat tidak semua orang pada akhirnya berciri fisik sama11.
Identitas Orang Ulu di Pontianak yang paling mudah dikesani adalah ciri bahasa mereka. Pengaruh bahasa sehari-hari (bahasa Ulu) telah menyebabkan bahasa Indonesia mereka berbeda dibandingkan bahasa orang lain. Bisa diidentifikasi bahwa bahasa Ulu memiliki ciri tersendiri baik dari segi logat maupun kata-kata, yang secara linguistik ciri itu meliputi aspek fonologi, morfologi maupun leksikal. Ciri fonologi (berkaitan dengan tata bunyi) berkaitan dengan ciri bunyi vokal depan /A12/ pada posisi akhir. Sering dicontohkan:

/apa/ [apA]
/siapa/ [siapA]

Namun, tentu saja kesan itu berbeda dengan kesan Orang Ulu sendiri tentang bahasa mereka. Karena Orang Ulu tidak menganggap mereka bertutur seperti itu, dan mereka menganggap bentuk itu agak janggal. Bentuk [A] muncul karena upaya imitasi orang luar13.
Petikan di awal tulisan ini menggambarkan betapa pengaruh morfologi bahasa Ulu muncul pada seseorang yang mencoba berbahasa Indonesia. Kata /kenaikan/, /kedudukan/ dan /keturunan/ serta /keputihan/ merupakan bentuk bahasa Ulu [nait(k)], [duduk], [tur(_)un], [putih]. Lihat perbandingan berikut ini:

Buat table////

TUTURAN MAKNA SEBENAR PENGERTIAN
/kenaikan/ “n, perihal naik, peningkatan14” [nait(k)] “k, naik”
/kedudukan/ “n, tingkat, martabat15” [duduk] “k, duduk”
/keturunan/ “n, anak cucu, generasi16” [tur(_)un] “k, turun”
serta,
/keputihan/ “n, penyakit tt kelamin wanita yg [putih] “n, putih”
ditandai dgn keluar lendir putih yg menyebabkan rasa gatal17” .

Orang Ulu menganggap teks ini lucu karena penggunaan bentuk imbuhan ke-an –lebih khusus lagi sebenarnya akhiran –an. Orang Ulu yang tidak bisa berbahasa Indonesia menganggap bahwa penggunaan imbuhan –akhiran, akan serta merta membuat bahasa yang mereka gunakan menjadi bahasa Indonesia (standar). Di sini, mereka bisa mentertawakan diri mereka sendiri karena mereka merasa bunyi itu janggal18. Karena sememangnya dalam bahasa Melayu varian Ulu tidak dijumpai adanya bentuk akhiran seperti yang disebutkan di atas.
Lebih dari itu, makna perkataan ini dalam bahasa standar juga lucu. Bayangkan saja bagaimana orang berbicara soal mau minum air keputihan. Tentu saja tidak mungkin. Dan mungkin saja membingungkan.
Selain contoh di atas, sesungguhnya beberapa lagi ciri yang dikaitkan dengan Orang Ulu. Misalnya penggunaan partikel negasi dan sapaan orang kedua tunggal, kata:
/nesi/ “tidak ada”
/jom/
/mada/
/nuan/ “kamu (hormat)”
/duan/
/sida_/ “mereka”

Kata /nuan/ atau /duan/ merupakan salah satu ciri leksikal bahasa Orang Ulu yang memang sangat mudah dikesani, dibandingkan bahasa standar dan bentuk pertuturan orang Ili’. Bahkan kerap kali Orang Ulu sukar mencarikan padanan kata ini dalam bahasa standar. Sebab bagi mereka bentuk /kamu/ adalah bentuk tidak hormat. Selain /nuan/ bentuk pertama /aku/ juga kadang kala dianggap ciri penutur bahasa Ulu –yang kedudukannya sebaliknya dari /nuan/. Beberapa penutur bahasa bukan Melayu kadang kala memperlihatkan ketidakterimaan mereka pada bentuk ini, karena dianggap tidak santun.
Seperti yang disebutkan di atas memang dalam suasana tertentu Orang Ulu kerap kali dituntut untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Misalnya ketika di Pontianak, mereka dituntut untuk berbahasa Pontianak juga, atau paling tidak berbahasa standar. Bahkan seperti yang ditunjukkan dalam Yusriadi (2005) Orang Ulu yang tidak berbahasa Ulu ketika bertemu dengan Orang Ulu dianggap sebagai orang sok, sombong.
Ada ungkapan yang menyinggung perasaan sering diucapkan Orang Ulu kepada sesama mereka yang sok: “Memang temunik ditanam di mana?” (Memang tembuni (ari-ari) dikuburkan di mana?).
Anggapan ini bisa dianggap merupakan salah satu bentuk wujudnya kesetiaan Orang Ulu pada bahasa mereka. Dalam konteks identitas mereka, Orang Ulu menganggap identitas bahasa mereka harus dipertahankan dengan cara terus bertutur bahasa Ulu sesama mereka. Kesetiaan yang kadang kala menimbulkan persoalan ketika dalam komunitas tutur itu terdapat penutur lain yang tidak memahami pertuturan Ulu dengan baik.

Penutup

Identitas merupakan pilihan hidup manusia untuk membangun ciri bersama yang berbeda dengan orang lain. Pilihan itu sifatnya fluid (cair) dan berlaku pragmatis. Setiap orang punya banyak stok pilihan identitas dalam mindanya (stock of knowledge) yang bisa digunakan satu saat dan disimpan pada saat yang lain.
Memang ada banyak alasan mengapa satu identitas ini dipergunakan atau kadang tidak dipergunakan. Identitas “Orang Ulu” yang berpaksikan geografis, digunakan orang pedalaman Dalam cerita rakyat yang diperoleh di Sambas misalnya, juga memperlihatkan kesan ini. Lihat saja bagaimana pencerita menampilkan kesan lucu Pak Saloi yang meniru bahasa Arab ketika mengorat anak dara Pak Haji di lanting.
Ketika itu Pak Saloi memerintah temannya: “Kibarun jalalun” (Tebarkan jala). “Ana watakuti wayahya” (Saya takut dengan buaya). Pola ini juga sebenarnya sering muncul dalam lawakan di televisi, misalnya humor yang menggunakan logat Madura, Melayu Pontianak, atau loghat (telor) Cina.
Untuk mempertahankan diri dari terpaan dominasi orang kota: yang mereka sebut Orang Ili’, melangkaui batas identitas etnik mereka.
Dalam tampilan itu, bahasa sangat penting. Bagi Orang Ulu, bahasa Ulu menjadi bagian penting untuk menampilkan identitas mereka. Karena itu mereka menuntut adanya kesetiaan anggotanya pada bahasa Ulu tersebut.
Orang luar juga menganggap bahasa Ulu penting untuk menandakan kelompok ini, karena penanda fisik tidak cukup munasabah.
Tentu amat disadari identitas belasan tahun lalu tidak sama dengan identitas pada hari ini, dan di hari yang akan datang. Namanya juga dunia fana: lagi, identitas memang bisa berubah sesuai selera pemiliknya dan selera orang lain yang menggunakannya. Pasti identitas yang diperlihat Orang Ulu di Pontianak sekarang ini tidak sama dengan kesan yang mereka perlihatkan sepuluh, dua puluh tahun lalu. Dan sudah pasti akan berubah di tahun-tahun mendatang. Bahkan sebenarnya tidak saja Orang Ulu dirantau, tetapi Orang Ulu di kampung halaman sendiri juga memperlihatkan perubahan-perubahan itu.
Lepas dari bagaimana bentuk perubahan itu dan kelemahanan penggambaran dalam tulisan sederhana ini, kiranya dari perspektif yang lain, tulisan ini dapat dijadikan sebagai bahan untuk melihat bagaimana keadaan orang kampung kalau pergi ke kota. “Urang ulu memang bekeya’”. **

Bibligografi

Ave, Jan, V. King dan J. De Wit 1983. West Borneo, a bibliography. Dordrecht: Foris Publication.
Cense, AA dan EM Uchlenbeck. 1958. Critical survey of studies on the languages of Borneo. s’- Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Collins, James T. 1990. Bibliografi dialek Melayu di Pulau Borneo. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Collins, James T. 1999. Keragaman bahasa di Kalimantan Barat. Kertas kerja yang dibentangkan pada Festival Budaya Nusantara Regio Kalimantan. Pontianak, 10 September.
Jehom, Welyne Jeffrey. 1999. Ethnicity and Ethnict Identity in Sarawak. Akademika 55 (Julai): 83- 98.
[KBBI]. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional- Balai Pustaka.
King, Victor T. 1979. Ethnic classification and ethnic relations: a Borne case study. Occasional papers No 2 Center for South-East Asian Studies, University of Hull.
Mesthrie, R dan A Tabouret-Keller. 2001. Identity and language. Dlm Mesthrie, R. Concise encyclopedia of sociolinguistics. Amsterdam: Elsevier.
Rousseau, J. 1990. Central Borneo, Ethnic identity and social life in a stratified society. Oxford: Clarendon Press.
Schane, Sanford A. 1992. Fonologi Generatif. Terj. Zaharani Ahmad dan Nor Hashimah Jalaluddin. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Sellato, Bernard. 1989. Hornbill and Dragon – Burung enggang dan naga. Kuala Lumpur: Elf Aquitaine Indonesie – Malaysia.
Shamsul Amri Baharuddin. 2001. Identiti dan etnisiti: Tinjauan teoritis. Dlm. Yusriadi dan Haitami Salim (Ed.) Proseding Koloqium Dayak Islam di Kalimantan Barat. Pontianak: STAIN Pontianak- FUI-MABM.
Stokhof, WAL (Ed). 1986. Holle lists: Vocabularies in languages of Indonesia, Kalimantan (Borneo). Pasific Linguistics D-69 (8). Canberra: The Australian National University.
Trudgil, Peter. Sosiolinguistik, satu pengenalan. Terj. Nik Safiah Karim. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Yusriadi. 1999. Dialek Melayu Ulu Kapuas. Tesis MA, Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi.
Yusriadi. 2005. Bahasa dan Identiti di Riam Panjang, Kalimantan Barat (Indonesia). Disertasi Ph.D Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi.
Yusriadi. 2006. Perkawinan Melayu Embau: Laporan dari Riam Panjang. Dlm Dedi Ari Asfar, Yusriadi dan Hermansyah (Ed). Budaya Melayu di Kalimantan Barat. Pontianak: STAIN Pontianak Press.

Endnote:

1 Tulisan ini disampaikan untuk Konferensi Antar Universitas ke-2 Untan (Pontianak) – Unimas Sarawak, Agustus 2006. Terima kasih kepada urusetia konferensi yang memberikan kesempatan kepada saya untuk berpartisipasi. Saya juga menyampaikan terima kasih kepada rekan-rekan di Pusat Studi Bahasa dan Masyarakat Borneo. Juga kepada SEASREP The Toyota Foundation, yang memberi bantuan untuk penelitian mengenai bahasa dan ideniti di Kapuas Hulu dan Sarawak. Sebagian data yang digunakan dalam tulisan ini diperoleh pada saat penelitian itu.
2 PSBMB lahir sejak tahun 2005 di Pontianak. Tujuannya menghimpun akademisi dan peneliti yang tertarik pada studi mengenai masyarakat Borneo. Kegiatan dalam bentuk penelitian, seminar dan publikasi. Dua seminar sudah digelar dan hasilnya sudah diterbitkan: Etnisitas di Kalimantan Barat (2005) dan Budaya Melayu di Kalimantan Barat (2006).
3 Cerita ini ada lanjutannya: karena capek bergantungan di bis, akhirnya orang Ulu ini minta air putih kepada seorang ibu. “Saya haus, bisa minta air keputihan Ibu”.
4 Walaupun menjadi sungai utama dalam konteks administrasi pemerintahan, keberadaan sungai Kapuas tidak mempengaruhi pembagian wilayah administrasi secara keseluruhan. Justru pembagian wilayah lebih mengacu pada wilayah tradisional –dengan beberapa variasi: misalnya Pontianak, Mempawah, Landak, Sambas, Ketapang, Sanggau, Sintang. Uniknya, kabupaten Pontianak (Mempawah) justru melingkupi wilayah delta Kapuas baik bagian selatan maupun bagian utara Kapuas. Kesadaran mengenai wilayah utara selatan di kabupaten Pontianak baru muncul ketika ramai-ramai terlontar wacana pembentukan Kubu Raya. Pada tataran yang lebih luas, pada tingkat Kalbar, pembagian wilayah utara – selatan hanya muncul sesekali: misalnya ketika muncul wacana pembentukan Kalbar Utara yang meliputi wilayah Sambas, Singkawang, Bengkayang, atau wilayah pantai selatan untuk menyebut Kabupaten Ketapang. Tetapi, pada saat yang sama juga muncul wacana pembentukan provinsi Kapuas untuk merangkumi wilayah hulu sungai Kapuas –yaitu Sanggau, Sekadau, Sintang, Melawi, dan Kapuas Hulu.
5 Agak menarik, menurut informasi yang diperoleh bahwa di Ngabang istilah Ulu juga dikenal, namun penggunaannya berbeda. Istilah Orang Ulu, secara parsial untuk menyebut “Orang Darat” atau “Orang Kampung”, yaitu orang Dayak. Jadi, di Ngabang, orang Melayu tidak termasuk dalam kelompok Ulu. Pola pemakaian ini mengingatkan kita dengan istilah “Senganan” yang dipergunakan di banyak daerah di Kalbar. Istilah “Senganan” yang dalam Sutini Ibrahim (1995) adalah nama untuk orang Dayak yang masuk Islam di Sintang, Kapuas Hulu, ternyata lebih dari itu, penggunaannya juga terbatas. Di kalangan orang Dayak, istilah Senganan lebih dikaitkan dengan orang Islam yang berdekatan dengan kampung mereka. Sedangkan orang yang jauh dari kampung mereka tidak disebut Senganan , tetapi disebut sebagai Melayu. (Yusriadi 2005). Sebaliknya, orang Riam Panjang misalnya, tidak suka disebut sebagai Senganan, tetapi mereka lebih suka disebut sebagai Melayu.
6 Orang Ulu hafal benar pantun yang menyindir keterbelakangan mereka –sebaliknya digunakan untuk mendorong motivasi meningkatkan taraf hidup biasanya diungakapkan dalam kampanye:
Bubu tungak kulu (Bubu diarahkan ke hulu)
Bulih langkung dua belas (Memperoleh Langkung (sj. ikan) dua belas (ekor)
Urang ulu banyak budu (Orang Ulu banyak (yang) bodoh)
Sikuk dua yang awas (Seorang dua yang cerdas)

Penggunaan istilah Urang Ulu dalam teks ini juga memperlihatkan wujudnya kesadaran di kalangan Orang Ulu mengenai identitas geografis ini.
7 Mobilisasi Orang Ulu ke kota sesungguhnya seiring dengan berubahnya pandangan Orang Ulu tentang pendidikan. Pada awalnya, Orang Ulu yang melanjutkan pendidikan ke kota terbatas pada anak-anak lelaki atau anak perempuan dari keluarga yang terpandang yang memiliki pelindung (dititipkan di keluarga) selama di kota. Banyak orang tua yang tidak berani melepaskan anak perempuan mereka karena takut terjadi sesuatu di rantau orang.
Dahulu orang tua juga cemas kalau melepaskan anaknya ke kota karena kesulitan mengirim ongkos. Jumlah bank yang memungkinkan transfer uang, dan lalu lintas orang yang memungkinkan untuk menitipkan bekal sekolah, tidak selancar sekarang ini. Bayangkan saja perjalanan dari kampung ke Pontianak ketika itu membutuhkan waktu setidaknya satu pekan. Belum lagi kenyataan, mungkin tidak sebulan sekali ada orang yang dikenal bisa menjadi perantara untuk mengirimkan ongkos tersebut.
8 Memang harus juga diakui ada banyak orang Ulu yang belajar di Jawa, terutama mereka yang memiliki modal yang kuat untuk belajar di perguruan tinggi di sana.
9 Kesan ini kerap kali disampaikan. Salah satu ciri Orang Ulu yang dikesani oleh orang lain adalah ketika mereka berkumpul menggunakan bahasa Ulu.
10 Identitas dapat dilihat dari berbagai aspek. Lebih lanjut kajian soal ini sila rujuk Mesthrie, R dan A Tabouret-Keller. (2001), dan Shamsul Amri Baharuddin (2001).
11 Keadaan ini terjadi berkaitan dengan ada stock of knowledge dalam pikiran mereka mengenai set identitas. Karena banyaknya pilihan dalam minda mereka menyebabkan mereka dapat memilih identitas mana yang dapat dipakai dalam keadaan bagaimana.
12 Tren kawin dengan pendatang sekarang ini meningkat di kalangan orang pedalaman. Di Riam Panjang misalnya, perkawinan dengan orang Jawa menempati urutan teratas (Yusriadi 2006). Kawin dengan orang Jawa yang biasanya berkulit hitam ini menyebabkan ada kecenderungan anak-anak campuran ini juga berkulit hitam.
13 Bunyi yang dimaksud adalah bunyi vokal belakang hampar bundar [a]. Namun, kesan orang luar bunyi yang muncul adalah bunyi vokal belakang hampar tengah [A]. Perihal kedudukan bunyi itu lihat Schane (1992).
14 Sejauh data lapangan yang dikumpulkan bahasa Orang Ulu memperlihatkan banyak variasi bunyi vokal [a] pada posisi akhir. Varian Riam Panjang, Piasak, Melawi, Sanggau, memperlihatkan bunyi [a], sebagai vokal belakang hampar rendah. Bahasa-bahasa kelompok Melayik seperti Iban, Kantuk –yang memang dekat dengan bahasa Melayu juga memperlihatkan bunyi itu.. Kecuali misalnya bahasa Melayu di Hulu Embau memperlihatkan bunyi vokal [a] sebagai vokal belakang bundar rendah [o]. Lantas, mengapa kesan orang muncul sedemikian? Apakah hal ini terkait dengan apa yang disebut Collins (1999) sebagai kecenderungan prilaku “Emblemmatic Disambiguition” –yaitu kecenderungan orang memilah bahasa diri dan bahasa orang lain secara tegas, sekalipun sebenarnya kosa kata itu mereka pakai sehari-hari? Perlu kajian lebih lanjut soal ini.
15 KBBI 2001: 772
16 KBBI 2001: 278
17 KBBI 2001: 1229
18 KBBI 2001: 913
19 Perihal penggunaan bahasa lain untuk melucu-lucu dapat dilihat dalam Yusriadi (2005). Di sini ditampilkan contoh bagaimana sekelompok pemuda bermain volly dan mereka menggunakan bahasa Indonesia untuk bikin lelucon.