Rabu, 30 Januari 2008

Pembentukan Identitas Islam di Kapuas Hulu

Oleh Yusriadi

Pendahuluan

Islam berkembang pesat di Kapuas Hulu. Sejak lebih 150 tahun lalu agama samawi ini dterima oleh penduduk setempat. Menjadi anutan mendampingi kepercayaan lama yang mereka miliki.

Persentase jumlah pemeluk Islam mencapai 56 per sen dari jumlah penduduk Kapuas Hulu. Bahkan beberapa kawasan di aliran sungai utama di Kapuas Hulu, nisbah umat Islam mencapai 100 per sen.

”Keberterimaan” Islam di Kapuas Hulu tentu tidak jadi dengan sendirinya. Seperti dilaporan dalam beberapa tulisan terdahulu, salah satu strategi yang dipilih adalah pencitraan Islam. Islam dicitrakan dengan berbagai identitas positif sehingga menjadi lebih mudah diterima.

Tulisan ini hendak melihat bagaimana identitas itu dibentuk sejak awal Islam berkembang dan diterima masyarakat Kapuas Hulu. Serta bahan apa yang digunakan dalam konstruksi itu.

Membentuk Identitas

Para pengkaji identitas sependapat bahwa identitas itu sifatnya cair, tidak beku. Identitas bisa dibentuk. Identitas bisa berubah, bisa dinafikan dan bisa dibuang. Tergantung pilihan masing-masing –apakah identitas individu atau identitas kelompok.
Dalam kebanyakan contoh ditemukan bahwa pilihan biasanya diambil karena pertimbangan pragmatis. Masyarakat menilai identitas yang akan mereka pakai sesuai dengan mereka, dan akan mempertahankannya jika merasakan ada manfaat dari identitas yang mereka mau pilih. Sebaliknya jika tiada manfaat, mereka akan membuang identitas itu.

Menurut Shamsul Amri Baharuddin, dari segi asal pembentukan identitas itu bersumber dari dua sumber: dari dalam dan dari luar. Identitas yang berasal dari dalam disebutnya sebagai everyday defined. Yaitu identitas yang dipakai orang itu sehari-hari, dalam kehidupan mereka. Sedangkan identitas yang berasal dari luar disebut sebagai outhority defined. Maksudnya, identitas itu diciptakan pihak luar yang memiliki kekuasaan untuk menciptakan identitas kepada orang atau kelompok orang. Adakalah identitas dari sumber luar diterima langsung ada kalanya diterima melalui proses panjang. Identitas Dayak merupakan contoh ini. Dayak pada mulanya adalah diberi orang luar Dayak untuk penduduk pribumi bukan Islam di Kalimantan. Pada mulanya orang pribumi menolak identitas itu karena merasakan istilah ini berisi sindiran dan tidak baik bagi mereka. Tetapi lama kemudian mereka menerimanya. Mula-mula menerima dengan sebutan tanpa k (Daya) dengan tafsiran daya merujuk kepada kekuataan. Baru kemudian mereka menerima dengan k (Dayak) yang merujuk kepada kelompok masyarakat pribumi di pulau Kalimantan yang bukan Islam.


Contoh Dayak dan masih banyak contoh yang lain, memperlihatkan kenyataan bahwa kadangkala identitas yang diberikan orang luar bisa diterima orang dalam dan kemudian menjadi identitas mereka. Kadang kala pula ada contoh di mana identitas yang diberikan orang luar tidak sejalan dengan keinginan –dan dianggap tidak sesuai dengan orang dalam sehingga ditolak. Dalam konteks etnisitas di Kalimantan Barat, pemberian nama dan perubahan nama bila tidak cocok memperlihatkan situasi ini.

Bila cocok identitas itu akan bertahan. Identitas itu akan digunakan seterusnya sampai suatu ketika tidak lagi cocok. Untuk menciptakan agar identitas itu bertahan untuk waktu sekian lama kadang kala diperlukan usaha yang sistematis dari pemilik identitas itu. Ada usaha-usaha tertentu dilakukan agar identitas yang sudah dipilih tidak hilang begitu saja.
Tetapi, selain itu harus juga disadari bahwa identitas suatu komunitas (dan bahkan individu) tidak satu. Setiap orang, setiap kelompok memiliki banyak identitas. Saya lebih suka menyebutnya sebagai stock of identity, yang merujuk kepada fitur-fitur dalam mainset manusia (kelompok) tentang identitas mereka.

Kepelbagaian identitas itu terjadi karena identitas dibentuk berdasarkan pertimbangan pragmatis –kontekstual. Konteks kehidupan manusia banyak dan selalu berubah. Seperti juga tempat dan situasi di mana manusia berinteraksi –identitas sesungguhnya muncul karena adanya kontak sosial ini.

Sebab itu, untuk menyesuaikan diri dengan konteks ini setiap orang (kelompok) harus memiliki stok yang banyak agar bisa bernteraksi dengan baik (sesuai pilihan). Identitas itu dibentuk berdasarkan bahan agama, bahan budaya, bahan politik, bahan bahasa, bahan keturunan, bahan sejarah, bahan geografi, dll. Tidak heran jika kemudian seorang anak manusia pedalaman bisa diidentitifikasi sebagai Ahmad, Mmat, Llabi, Ungal, Abang, Urang Riam Panjang, Urang Ngkadan, Urang Embau, Urang Ulu, Urang Melayu, Urang Senganan, Urang Laut, Urang Dayak Islam, dll.

Seperti disebutkan di atas, pilihan mengaktifkan bentuk identitas ini dilakukan berdasarkan pertimbangan pragmatis, sesuai situasi dan kondisi sosial. Pilihan ini dilakukan berdasarkan pada pertimbangan mana yang lebih sesuai dengan mereka –atau lebih menguntungkan mereka.

Perkembangan Islam di Kapuas Hulu

Kerani Belanda, Van Kessel melawat ke Kapuas Hulu pertengahan abad ke – 19, atau sekitar tahun 1840. Waktu itu, dia melaporkan penduduk di Selimbau, Embau, Silat, dll (dalam wilayah Kapuas Hulu sekarang) sudah memeluk agama Islam. Ihwal mereka masuk Islam Van Kessel juga tidak pasti. Dia hanya menyebutkan diperkirakan orang-orang di sini masuk Islam beberapa tahun sebelum kunjungannya. (Veth 1854).
Situasi keislaman penduduk dilaporkan. Misalnya ketika dia melaporkan mengenai Islam di Pengaki –di selatan Selimbau, katanya masyarakat di sana disebut sebagai Islam transisi. Mereka sudah masuk Islam tetapi masih mengamalkan tradisi lama . Minum tuak, memelihara anjing.

Beberapa tahun lalu diperoleh data bahwa secara keseluruhan pendudukan Kapuas Hulu ditaksir 180 ribu jiwa. Dari jumlah itu, 100 ribu beragama Islam (56 %) sisanya beragama Katolik dan Kristen, serta Buddha.

Yang menarik, Islam tidak tersebar merata di Kapuas Hulu. Umumnya penduduk di pinggir sungai Kapuas beragama Islam. Mulai dari Silat, Semitau, Suhaid, Selimbau, Jongkong, Bunut, hingga Putussibau hampir semua beragama Islam. Di beberapa anak sungai Kapuas yang utama, misalnya Silat, Embau, Bunut, nisbah penduduk yang Islam juga lebih banyak. Di Embau, Islam dianut oleh 100 per sen dari hampir 20 ribu penduduk. Di sepanjang sungai Bunut, penduduknya juga lebih banyak yang beragama Islam. Nisbahnya diperkirakan mencapai 85 per sen. Di sungai Bunut hanya ada 3 kampung Kantuk yang terselit di antara kampung orang Melayu. Selain itu, ada lagi beberapa kampung orang Ulu Sungai dan Dayak Suruk di bagian hulu sungai Kelibang, anak sungai Bunut hampir berbatasan dengan wilayah Kalimantan Tengah.
Di kawasan utara sungai Kapuas, jumlah perkampungan Islam agak terbatas. Kebanyakan kampung-kampung ini adalah kampung yang baru dibangun. Penduduknya pindahan dari orang-orang di pinggiran Kapuas, atau orang-orang Dayak Iban dan Kantuk yang memeluk agama Islam. Misalnya di Badau (Ibrahim 2007) dan di Empanang (Yusriadi 2007).

Islam di kawasan Embau khususnya Jongkong memiliki citra tersendiri. Sekarang ini atau tepatnya sejak tahun 1950-an, Islam di sini identik dengan Islam yang taat dan alim (Hermansyah 2004). Kehadiran tokoh agama Islam H Ahmad HAB merupakan pelopor yang membuat Embau—khususnya Jongkong dianggap sebagai pusat Islam dan keber-Islamannya amat disegani.

Sekolah yang ditanganinya menjadi tempat belajar orang-orang yang ingin mendalami agama Islam secara formal. Tidak saja dari sekitar Embau sendiri tetapi juga dari Putussibau, Badau dan Silat. Bahkan pada tahun 1970-an dan 1980-an pelajar sekolah agama di sini datang dari Sintang dan Melawi. Sejak 50 tahun terakhir Jongkong dianggap sebagai pusat Islam di Kapuas Hulu. (Makalah ini disampaikan dalam Seminar Sejarah Islam di Kalimantan Barat yang diselenggarakan STAIN Pontianak 15 Agustus 2007).

Pencitraan Islam

Islam bisa diterima sebagai agama oleh masyarakat di pedalaman ini salah satu di antaranya adalah karena citra positif. Konsep masuk Islam sebagai masuk Melayu merupakan bagian dari proses pencitraan itu.

Seperti diketahui pada kurun abad ke- 19, dan abad ke-20 saat Islam mencapai puncak perkembangan (secara kuantitas), identitas Melayu dianggap sebagai identitas yang diterima pakai secara meluas. Seperti disebut dalam beberapa tulisan sebelum ini, Melayu berkaitan dengan citra yang lebih tinggi, umpamanya citra kebangsawanan. Penguasa-penguasa wilayah yang bertahta di muara sungai adalah raja-raja Melayu. Jadi jelas ada kebanggaan jika seorang rakyat jelata bisa masuk dalam ’komunitas’ bangsawan, sedangkan untuk peralihan identitas dapat dilakukan dengan mudah: masuk Islam. (Lihat misalnya dalam Veth 1854, Yusriadi 1999, 2006, Zainuddin Isman (2001), Hermansyah (2003), Wahyu Andika (2006)).

Sebaliknya identitas Dayak ketika itu membawa konotasi negatif dan bagi orang pribumi, sebutan Dayak ketika itu dianggap melecehkan. Pribumi yang disebut sebagai Dayak merasa malu ketika diidentifikasi sebagai Dayak. Identitas yang diberi orang luar ketika itu tidak diterima.
Selain itu, menjadi Melayu ketika itu juga berarti bebas dari kewajiban pajak. Pajak hanya berlaku untuk orang yang bukan Islam. Jikapun ada kewajiban membayar (mengeluarkan) sesuatu kewajiban, itu hanya berlaku sesekali saja –yakni kewajiban zakat.

Identitas Laut juga digunakan sebagai alternatif dari Melayu. Penggunaan Laut adalah untuk menyebut orang pribumi yang masuk Islam. Biasanya dipakai di kalangan orang pribumi yang belum Islam terhadap saudara mara yang sudah Islam. Istilah ini berbanding terbalik dengan istilah Darat, yang merujuk kepada pribumi yang bukan Islam. Meskipun dua istilah itu pada mulanya netral sifatnya, namun kemudian secara tersirat mengalami pelebaran makna. Ada makna tambahan yang kemudian justru menyebabkan identitas ini bernuansa positif dan negatif.

Citra yang dibawa dari identitas Laut – Darat kemudian adalah bahwa Laut melambangkan kemajuan dan Darat melambangkan ketertinggalan. Jika dibandingkan dengan keadaan sekarang perbandingannya adalah citra antara kota dan kampung. Lambat laun ada kesan minder di kalangan orang Darat apabila mereka menggunakan terminologi ini.

Seperti yang disebutkan di atas untuk mencapai citra ini seseorang cukup masuk Islam. Cara yang ditempuh sangat mudah. Seseorang cukup belajar mengucap dua kalimat syahadat, mandi srotu, sunat bagi lelaki, mengganti (menambah) nama, dan berbahasa Melayu. Ucapan dua kalimat syahadat bisa dipelajari dengan mudah karena lafaznya tidak cukup panjang. Sedangkan mandi srotu cukup dengan mandi di sungai yang airnya keruh, atau mandi dengan air yang bercampur dengan air tanah.

Mungkin yang agak repot adalah ketika mereka harus bersunat bagi lelaki. Bersunat adalah memotong bagian kulup pada ujung kemaluan. Tetapi, sesetengah sumber di lapangan menyebutkan bahwa ada juga yang beranggapan bukan dipotong tetapi cukup diiris saja. Sebesar biji padi pun memadailah.

Agaknya untuk kewajiban bersunat ini, ’pencitraan’ terbatas. Karena jika bersunat dan tidak bersunat digunakan untuk memberi penanda sebagai Islam dan bukan Islam, sesungguhnya beberapa kelompok pribumi bukan Islam juga yang mengamalkan tradisi bersunat.

Nama dan Bahasa

Sementara itu untuk mengganti atau menambah nama juga bisa dilakukan dengan mudah. Kebanyakan nama yang dipilih adalah nama yang berbau Arab, nama-nama dari bacaaan Al-Quran, nama para nabi, atau nama yang sudah dipakai sebelumnya oleh orang Melayu. Temuan di sebuah kampung di Kapuas Hulu memperlihatkan pilihan itu.

Perubahan Nama

Pra-Islam Pasca-Islam

Lelaki
dana dahlan
manur mat nur
pangul palil
ucam umar

Perempuan
bunut masnut
sengai seniah
leja halijah

Selain itu dalam Yusriadi (2006) juga dicatat penggunaan Muhammad, Nur dan Siti untuk menambah nama yang ada. Misalnya Muhamat Agut sebelumnya bernama Agut saja.

Mengingat peralihan itu harus melalui proses kebanyakan orang di kampung-kampung di Kapuas Hulu memiliki nama panggilan yang mengesankan rumus fonotaktik bahasa mereka, atau lebih tepat kebiasaan bunyi yang mereka ucapkan dan mereka dengar.

Nama Formal Nama Panggilan

Maimunah Muna’
Samsul Bahri Kumung
Rusli Ebong

Untuk memudahkan mereka melewati proses transisi itu mereka juga mengenal nama panggilan sesuai identifikasi lingkungan atau fisikal –sesuatu yang sebelumnya juga lazim dipakai dalam keseharian mereka saat sebelum memeluk Islam:

Nama Panggilan

Muyang Sawah “Nenek yang lebih banyak berdiam di sawah”
Ayi Gomuk “Kakek yang memiliki badan sangat gemuk”
Ayi Tempel ”Kakek yang memiliki motor air”

Yang juga menarik dalam konteks ini, mereka juga mengenai nama gelaran yang cenderung jelek untuk seseorang, selain nama panggilan. Masyarakat menyebutnya ’jonang’. Nama jelek ini misalnya merujuk kepada sifat dan gaya. Biasanya jonang ini dipakai pada saat mereka kurang suka pada yang bersangkutan.

Panggilan Gelaran

Amat Labi
Udin Kora’

Sedangkan dalam soal bahasa, perubahannya dapat dilihat sebagai berikut. Dalam Yusriadi (2006) dan Wahyu (2006) sudah disinggung mengenai terjadinya peralihan bahasa dalam masyarakat Iban yang menjadi Melayu. Bahasa Iban menjadi jarang digunakan setelah mereka masuk Islam. Orang tua Iban yang masuk Islam akan cenderung berbahasa Melayu dengan anaknya. Kosa kata Iban tertentu dihilangkan diganti dengan kosa kata bahasa Melayu.

Peralihan ini tidak cukup sulit karena antara bahasa Iban dan Melayu tidak cukup jauh berbeda. Pada beberapa kata tertentu, cukup dengan mengubah diftong diagnostik – bunyi -ay menjadi –an, -ang (Hudson 1970, Collins, 2002). Contoh:

Bahasa Iban Bahasa Melayu

Makay Makan
Pulay Pulang

Selain mengganti bunyi, apa yang terjadi di Riam Panjang bisa dianggap sebagai bagian dari strategi peralihan itu. Di Riam Panjang ada Jantuh Ingka’ (percakapan bertingkat). Percakapan ini merupakan bentuk peralihan bahasa antara bahasa lama dengan bahasa baru (Yusriadi 1999).

Jantuh Ingka’ Arti

Laut segara’ Laut
Makan nyumai Makan

Beberapa Pilihan

Islam juga dapat diterima karena para mubaligh berusaha mencitrakan Islam sebagai sesuatu yang mudah, tidak menyusahkan. Dalam laporan Van Kessel (Veth 1854) pada awal masuk Islam orang Melayu di selatan Selimbau masih ’dibolehkan’ melaksanakan kebiasaan lama mereka. Misalnya disebutkan, meskipun sudah Islam masih dijumpai ada yang minum tuak, memelihara anjing. Selain itu, dalam laporan Wahyu (2006) disebutkan pada masa awal memeluk agama Islam masyarakat di Sungai Buah boleh tidak puasa, atau boleh merokok meskipun sedang berpuasa. Hermansyah juga melaporkan ada kitab fiqh yang ditulis oleh Bilal Lombok –salah satu guru agama di Jongkong awal abad ke- 20 yang memberi toleransi kepada penduduk yang berladang. Dalam fiqh itu disebutkan boleh tidak berpuasa jika sedang bekerja di ladang karena sangat panasnya (Hermansyah 2005).

Menjadi Islam – Melayu juga tidak mengubah kepercayaan masyarakat secara drastis. Kepercayaan lama, kepercayaan kepada yang ghaib tetap saja dipakai masyarakat, sekalipun mereka sudah beragama Islam. Isu syirik –menduakan Allah tidak cukup menonjol –kalau tidak ada sama sekali pada masa awal ini. Jadi sejumlah kepercayaan lama tetap diamalkan masyarakat sebagai ‘pegangan’ mereka dalam menjalani kehidupan. (Laporan mengenai sinkretisme ini bisa dilihat dalam Hermansyah 2005).
Yang menarik kemudian adalah pada masyarakat pedalaman terminologi Islam – Melayu meskipun identitik tetapi tidak sama persis. Ada perbedaan antara Islam dan Melayu. Islam dianggap lebih taat, memiliki pengetahuan agama yang luas dan mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan Melayu, beragama Islam, tetapi boleh tidak taat, boleh percaya dan mengamalkan kebiasaan lama, dll.
Oleh sebab itulah ketika mereka menjadi Melayu mereka merasa nyaman karena tidak harus dibebankan dengan sejumlah kewajiban yang kadang kala dirasakan cukup berat juga.

Penutup

Kini situasi yang digambarkan di atas sebagiannya sudah berubah. Kalau dahulu toleransi diberikan sebagai bagian dari upaya untuk mengejar kuantitas, kini dalam soal akidah sesuatu sudah berjalan dengan rigid. Sesuatu yang berbau syirik telah ditinggalkan. Puasa, shalat, sudah disadari oleh semua orang sebagai suatu kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar. Upaya mewujudkan Melayu yang taat sudah dimulai sejak paroh abad ini seiring berakhirnya batas toleransi itu.
Apalagi situasi global dan regional sudah berubah. Masyarakat sudah terbuka terhadap informasi dan mengetahui perkembangan. Sebut misalnya, sedikit banyak ‘kebangkitan Dayak’ juga berpengaruh terhadap identitas mereka. Sebagai orang asli pedalaman, sebagai orang yang jelas masih bersaudara mara dengan orang Iban, Suwaid, dll kadang kala mereka dikenali sebagai orang Dayak juga, yaitu sebagai Dayak Islam.
Tetapi seperti disebutkan di awal, kita amat memahami bahwa identitas itu tidak beku. Identitas itu berubah. Rupanya identitas yang dibentuk pada mulanya itu, tidak berlaku lama. Hanya beberapa puluh tahun saja usianya.






0 komentar: