Jumat, 15 Februari 2008

Bahasa di Sungai Laur Bagian Hilir

Oleh : Yusriadi

Pengantar

Banyak tempat di kawasan Kalimantan Barat Daya yang telah direkodkan dalam catatan sejarah nusantara. Tanjungpura merupakan nama populer, khususnya sejarah yang dikaitkan dengan Kalimantan Barat. Dalam Kitab Negera Kretagama, karangan Mpu Prapanca, nama Tanjungpura disebut-sebut sebagai salah satu kawasan taklukan empayar Majapahit. Hikayat Banjar bercerita panjang lebar mengenai hal ini. Selain Tanjungpura itu, Matan dan Sukadana merupakan tempat yang banyak diceritakan naskah Melayu lama, Tuhfat Al-Nafis.


Tulisan Nothofer (1997) juga memberikan bayangan mengenai persebaran bahasa dari kawasan ini. Meskipun hanya sudut linguistik yang diperikan, tetapi kita berhadapan dengan konsep migrasi bahasa yang tersebar dari Ketapang ke Bangka. Demikian juga tulisan Collins (1997 [yg di jurnal dewan bhs] dan Collins (2002) memberikan bayangan mengenai kepelbagaian bahasa dan masyarakat penuturnya.

Meskipun beberapa tulisan terdahulu membayangkan dinamika sejarah kawasan ini, tetapi pengetahuan kita mengenai kawasan ini sangat nadhir. Malah, di tataran lokal, Ketapang masih dianggap sebagai kawasan yang tidak penting, kerana sudah ada bayangan preskriptif mengenai masyarakat dan bahasa di kawasan ini. Sehingga, tempat ini kurang mendapat perhatian.

Baru belakangan ini dengan sokongan dana Southeast Asian Studies Regional Exchange Program (SEASREP), Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA) Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) dan Pusat Kajian Budaya Melayu (PKBM) Universitas Tanjungpura Pontianak, nampak berusaha untuk mendokumentasikan khazanah bahasa dan sastra lisan dari kawasan selatan ini. Kedua lembaga penelitian ini mulai menyentuh bagian Sungai Laur, salah satu anak Sungai Pawan, sungai utama di Kabupaten Ketapang, yang terdapat di bahagian barat daya Pulau Borneo. Lihat Peta 2. Tulisan ini merupakan catatan awal dari kegiatan lapangan proyek tersebut.

Sepintas Pengumpulan Data

Data yang digunakan untuk tulisan ini dikumpulkan dalam kunjungan lapangan 26 Februari – 6 Maret 2002. Data yang diperoleh pada beberapa kunjungan di bagian hulu Sungai Laur yang dilakukan sebelumnya; yakni bulan Juli (Yusriadi, Chong Shin, Derensius), bulan September (James T. Collins dan Derensius), bulan Oktober (Dedy Ari Asfar) semuanya pada tahun 2001, dan data yang diperoleh James T Collins pada kunjungannya beberapa kali di tahun 1999, juga dimanfaatkan.

Dua anggota Tim yang berangkat pada kunjungan terakhir ini, Yusriadi dan Dedy Ari Asfar. Tugas anggota Tim dibagi dua : Pertama, Dedy yang merekamkan sastra lisan. Semua sastra lisan yang bisa dihimpun dari rakyat akan direkam; baik yang berupa dongeng, mitos, mahupun naratif biasa. Tujuannya, selain ingin mendapatkan maklumat mengenai sastra lisan masyarakat Melayu di Ketapang, juga melengkapi maklumat sosial dan linguistik. Data yang direkam kemudian ditranskripsikan, dengan bantuan informan setempat.

Kedua, Yusriadi bertugas mencatat data bahasa. Program pencatatan data bahasa dilakukan dengan menggunakan daftar kata asas yang berjumlah 477 patah kata, yang diubah suai dengan kondisi lokal oleh James T. Collins. Daftar kata yang sama telah dipakai dalam mengumpulkan data linguistik di Sungai Sekadau, Sungai Kedukul, Sungai Biang, dan beberapa tempat di Sungai Pawan, Laur, Kualan, dan lainnya. Usaha ini selain untuk pemetaan geografi bahasa dalam kerangka dialektologi, juga mencatat info sosiolinguistik.

Pengumpulan data bahasa diarahkan ke kampung-kampung di bagian hilir sungai Laur saja. Kerana kampung pada bagian hulu sudah dikumpulkan maklumat bahasa dan sastra lisannya pada kunjungan sebelumnya. Lihat Peta 3.

Catatan Awal Mengenai Laur Hilir

Harus dikemukakan bahawa catatan linguistik –termasuk sosial budaya, mengenai Laur bagian hilir belum dijumpai. Tulisan yang cukup populer seperti King, Veth, juga tidak menyentuh kawasan ini.

Sekedar membandingkan, dalam Stokhof (1986), hanya disebutkan adanya daftar kata yang dipungut dari Matan, kawasan agak ke utara dari Sungai Laur. Daftar kata ini dipetik dari seorang pedagang Minangkabau yang pandai berbahasa setempat. Dalam Collins (2002) disebutkan mengenai bahasa di Sungai Laur yang diagihkan kepada dua kelompok bahasa Austronesia; Bidayuhik dan Malayik. Kampung yang menggunakan bahasa Bidayuhik sebagai bahasa ibunda agak terbatas. Ertinya, sebaliknya secara umum kampung-kampung di Sungai Laur ini yang menggunakan varian Malayik. Kelompok Malayik ini dibagi dua; yakni Melayu, dan Laur yang meliputi Sungai Dakar, Kepari, dan lain-lain. Ada beberapa tulisan lain yang dibuat James T. Collins (1997, 1999) dan Nothofer (1997) mengenai bahasa di Ketapang secara ringkas; dan belum menyentuh varian bahasa yang dituturkan masyarakat di Laur bagian hilir ini.

Selain itu, pengumpulan data lain di Sungai Pawan memang pernah dilakukan kelompok Institut Dayakologi. Tetapi penelitian mereka terbatas pada bahasa yang dituturkan orang Dayak. Karena di hilir Sungai Laur ini tidak ada orang Dayak, maka daerah itu tidak dikaji mereka.


Sepintas Geografi dan Demografi Laur Hilir

Apa yang kita sebut sebagai kawasan Laur bagian hilir dalam tulisan ini adalah perkampungan penduduk dari kuala Sungai Laur, hingga kampung Bayur Rempangi . Kampung-kampung di bagian dekat kuala ini adalah kampung Kuala Laur, Jago, Sempurna, Bayur Rempangi. Ada kampung juga di tebing Sungai Lekahan, anak Sungai Laur, yakni Kampung Pangkalan Jihing dan Kampung Cali, serta Bayang (Bayangan). Lebih jelas sekiranya Peta 2.

Semua kampung ini –kecuali Cali dan Bayang, dapat dijangkau dengan jalan sungai. Jalan darat terbatas. Kuala Laur bisa dijangkau jalan darat, kerana ada jalan yang tembus dari jalur jalan Trans Kalimantan. Sedangkan Jago bisa ditempuh melalui jalan setapak ke Sandai selama tiga jam, dan ke Sempurna sekitar 20 menit. Kampung Sempurna dan Bayur Rempangi, dapat dijangkau dengan jalan darat melalui jalan perusahaan kelapa sawit. Sedangkan jalur Pangkalan Jihing, Cali dan Bayangan bisa dijangkau dengan jalan darat ke kampung di arah barat dan utara. Misalnya menuju Pangkalan Teluk dan sekitarnya. Ada juga jalan tembus yang menghubungkan Pangkalan Jihing dengan Sempurna. Sekali lagi, semua jalur ini bukan jalan yang mudah.

Salah satu faktor yang menyebabkan satu kampung dengan kampung yang lain masih terisolasi selain kerana keadaan jalan dan pengangkutan yang belum memadai, adalah kerana pembagian wilayah administrasi pemerintahan. Kuala Laur dan Jago masuk dalam satu desa di bawah wilayah administrasi Desa Penjawaan, Kecamatan Sandai. Sempurna dan Bayur Rempangi di bawah wilayah administrasi Desa Sempurna, Kecamatan Aur Kuning. Dan, kampung Pangkalan Jihing serta Cali masuk dalam wilayah desa Pangkalan Teluk, kecamatan Nanga Tayap. Pembagian enam kampung ini dalam tiga kecamatan yang berbeza sangat mengurangkan interaksi dan kemungkinan bertemu.

Sekalipun agak terpencil, tetapi beberapa kampung seperti Pangkalan Jihing, Sempurna dan Bayur Rempangi dihuni oleh banyak pendatang. Kehadiran pendatang –kebanyakan penebang kayu ini, menyebabkan pertambahan jumlah penduduk yang cepat. Pangkalan Jihing, sebuah kampung yang semula kecil saja kerana hanya ditempati pindahan orang Cali yang ingin tinggal agak ke muara sungai, sekarang nampak besar dan ramai. Jumlah penduduk kini mencapai 400 lebih jiwa. Bandingkan dengan kampung tua Cali, yang hanya dihuni 227 jiwa penduduk. Perhitungan lengkap mengenai penduduk di bagian hilir Laur, seperti dalam Tabel 1 berikut ini :

Tabel 1
Jumlah Penduduk di Laur Bagian Hilir

Kampung Jumlah Jiwa Jumlah Keluarga
Jago 340 130
Sempurna 500 300
Bayur Rempangi 500 150
Kuala Laur 300 100
Pangkalan Jihing 429 106
Cali 227 51

Sementara itu jumlah masjid ada enam buah sesuai dengan jumlah kampung yang ada. Maksudnya, setiap kampung ada satu masjid. Sedangkan surau, ada satu yakni di Sempurna. Begitu juga dengan jumlah sekolah dasar, sama dengan jumlah kampung. Setiap kampung ada satu sekolah dasar; meskipun jumlah kelas tidak sama. Kampung Jago misalnya, jumlah ruang kelas tidak sampai enam. Bahkan sekarang Kelas 5 tidak ada. Siswa yang belajar di Kelas 1-6 juga relatif sedikit sekitar 10 orang saja per kelasnya. Keadaan ini tidak jauh berbeza dengan keadaan di Cali. Di sini, bukan saja jumlah siswanya sedikit, tetapi guru yang ada hanya dua orang saja. Berbeza dengan jumlah siswa yang belajar di SD Sempurna yang ramai.


Semua masyarakat Laur hilir ini beragama Islam, dan mereka dikenal dan mengaku diri sebagai orang Melayu. Tidak jelas asal usul mereka ini. Secara umum terdapat berbagai tradisi tentang asal usul mereka. Misalnya, orang Cali mengatakan mereka adalah keturunan suku yang berpindah dari Gunung Palong ketika mereka diburu lanun beberapa generasi lalu. Sebaliknya orang Sempurna dan Jago mengatakan mereka berasal dari kampung kecil di hilir kampung mereka sekarang ini.

Sekolah Menengah, tempat melanjutkan pelajaran bagi lulusan SD hanya ada di Bayur Rempangi saja. Itupun hanya SMP Terbuka, yang gedungnya menumpang di bangunan SD setempat. Sebagai SMP Terbuka, pelajar tidak dituntut datang ke sekolah setiap hari, dan tidak belajar penuh di kelas seperti kewajiban pelajar SMP yang biasa. Siswa yang belajar di sini, berasal dari Jago, Sempurna, dan Bayur Rempangi, yang jumlahnya hanya belasan saja. Sebagian pelajar yang orang tuanya relatif mampu, bersekolah di SMP Sandai atau pun ke Ketapang.

Bahasa di Sungai Laur Hilir

Seperti yang dipaparkan di atas, pada umumnya bahasa di Sungai Laur bagian hilir ini tidak diketahui orang luar. Kerana itu, bayangan yang diperoleh Tim SEASREP sebelum turun ke lapangan hanya berdasarkan pengetahuan awam. Menurut pengetahuan ini, bahasa di bahagian hilir sama dengan bahasa di bahagian hulu yang sudah didokumentasi sebelumnya.

Pada kunjungan lapangan awal, varian yang dituturkan masyarakat di bahagian hulu Sungai Laur menunjukkan adanya kepelbagaian. Misalnya bahasa masyarakat di Jelemuk, berbeda dengan perututuran masyarakat di Sungai Dakar yang jaraknya hanya beberapa meter saja. Bukan saja nampak perbedaan fonologi, morfologi dan leksikal, tetapi juga nama yang diberikan kepada bahasa ini juga berbeda. Bahasa yang dituturkan orang Jelemuk dinamakan bahasa Melayu, dan dikabarkan sama dengan bahasa yang dituturkan di kota Ketapang, sedangkan bahasa yang dituturkan orang Sungai Dakar bukan bahasa Melayu. Masyarakat Sungai Dakar sendiri menyebutnya sebagai bahasa orang Dayak, dan dikabarkan sama dengan bahasa Dayak di Kalam, beberapa kilometer di hulu anak Sungai Dakar. Lihat Peta 3.

Jika bahasa Melayu di Jelemuk dan bahasa Dayak di Sungai Dakar tidak terlalu berbeza, karena kedua-duanya digolongkan ke dalam cabang Malayik, tidak demikian dengan bahasa yang dituturkan orang Kenanga, sebuah kampung di hulu Sungai Laur. Varian Kenanga cukup berlainan dengan kedua bahasa ini –yaitu bahasa Melayu Jelemuk dan Dayak Sungai Dakar memang tidak dipahami. Orang baru mengerti bahasa orang Kenanga jika mereka memang belajar bahasa tersebut, atau belajar bahasa yang serumpun dengannya, seperti bahasa Balai Semandang, karena varian Kenanga seperti varian Semandang masuk dalam kelompok Bidayuhik itu, yang berbeza dengan cabang Malayik tersebut di atas.

Berbeza dengan keadaan di hulu Sungai Laur, bahasa penduduk di bahagian hilir tidak menunjukkan kepelbagaian yang terserlah. Di bahagian hilir, mulai dari Bayur Rempangi,
Sempurna, hingga Kuala Laur, semuanya orang Melayu menuturkan bahasa Melayu. Namun, data yang dikumpulkan menunjukkan bahawa sekurangnya wujudnya dua varian bahasa Melayu yang dituturkan masyarakat di sini; yakni varian Kuala Laur dan varian Lekahan.

Varian Kuala Laur

Yang dimasukkan dalam kelompok varian Kuala Laur adalah varian pertuturan di Bayur Rempangi, Sempurna, Jago, Kuala Laur. Sebenarnya masyarakat lebih mengenal varian pertuturan ini sebagai omong Pantai Pawan, maksudnya, gaya pertuturan orang yang tinggal di tebing Sungai Pawan. Menurut mereka, bahasa yang mereka tuturkan sama dengan pertuturan orang Sandai.

Sedangkan dengan pertuturan kampung Melayu di bagian hulu, informan memberikan informasi yang berbeza. Sebagian mengatakan bahawa varian mereka tidak berbeza, dan yang lain mengatakan ada perbedaan gaya pertuturan dengan orang Jelemuk, Sukaramai, dan kampung-kampung lain di hulu.

Beberapa ciri varian Kuala Laur yang dikenal pasti :

1. Terdapat bunyi //, geseran lelangit lembut, sebagaimana yang terkesan dalam kebanyakan dialek Melayu. Contoh :
usuk ‘rusuk’
ambut ‘rambut’
kii ‘kiri’
put ‘perut’
lehe ‘leher’
peli ‘kemaluan laki-laki’

2. Bunyi /a/ pada posisi akhir disebut sebagai [], contoh :
mat ‘mata’
dad ‘dada’
ap ‘apa’
tuw ‘tua’

3. Pada posisi praakhir / / tetap dibunyikan sebagai [], seperti pada kata :
put ‘perut’
ln ‘tangan’
dpa ‘depa’
ka ‘kera’

4. Wujudnya diftong asal *ay dan *aw sebagai monoftong seperti pada kata :
se ‘serai’
pte ‘petay’
pulw ‘pulaw’
limw ‘limaw’

Varian Lekahan

Varian Lekahan, yang dituturkan di Cali dan Pangkalan Jihing menampilkan perbedaan yang agak mencolok dibandingkan dengan varian Pantai Pawan. Malahan, orang dari Jago, dan Sandai khususnya dapat dengan mudah menandakan perbedaan varian ini. Tidak ada kampung lain yang pertuturan mirip dengan varian Lekahan ini.

Ciri-ciri varian Cali dapat digambarkan sebagai berikut :

1. Terdapat /r/ getaran hujung lidah, yang berbeza dengan // yang wujud dalam dialek Melayu di sekelilingnya. Contoh :

rusuk ‘rusuk’
rambut ‘rambut’
kiri ‘kiri’
prut ‘perut’
leher ‘leher’
pelir ‘kemaluan laki-laki’

2. Vokal /a/ pada posisi akhir kata terbuka wujud sebagai alofon [e]. Contoh :

mate ‘mata’
dade ‘dada’
ape ‘apa’
tue ‘tua’

3. Pada posisi pra akhir, bunyi // biasanya dibunyikan sebagai alofon /o/. Contoh :

porut ‘perut’
l ‘tangan’
dopa ‘depa’
kora ‘kera’


4. Diftong akhir /-ay/, /-aw/, dikekalkan. Contoh :

soray ‘serai’
potay ‘petai’
pulaw ‘pulau’
limaw ‘limau’

Selain ciri yang disebutkan di atas, dalam varian Lekahan juga wujudnya klitik /be-/ sebagai bentuk penegas. Contohnya: /ape be/, ‘apa’. Wujudnya klitik ini bagi orang Cali sendiri dianggap kelebihan dibandingkan dengan varian Kuala Laur. Justru bentuk ini wujud dalam bahasa orang lain yang sudah dikenal seperti Sambas.

Beberapa ciri leksikal; lain yang khas pada varian ini adalah penggunaan kata ganti ganti : /ikapm/ ‘kamu’. [a] diganti dengan –ay, pada kata tanya : /sopay/ ‘siapa’, /di monay/ ‘di mana’. Kata yang ditampilkan itu merupakan kata khas yang hanya digunakan di Cali dan dikenal juga di Pangkalan Jihing. Varian Melayu di sekitarnya tidak memiliki ciri ini. Ciri ini nampak pada

Ciri Bersama Varian Kuala Laur dan Lekahan

Tetapi, meskipun ada perbedaan yang nampak di atas, namun kedua penutur varian ini masih bisa berkomunikasi. Selain seperti dikenal bahawa kedua varian ini memang varian Melayu, juga ada ciri yang dikongsi bersama antar mereka. Ciri itu antara lain :

1. Sekatan konsontal homorganik. Pada data yang dikumpulkan menunjukkan bahawa, wujudnya bunyi nasal yang titik artikuliasinya sama pada kata yang terdapat bunyi konsonan. Misalnya, sekatan lelangit keras [k] akan wujud pada kata yang vokal akhirnya sengau lelangit keras.

smilatn ‘sembilan’
datakng ‘datang’

Sejauh ini belum dapat dipastikan apakah antar varian itu ada perbedaan kualitas sekatan nasal homorganik tersebut.

2. Sisipan konsonan nasal homorganik pada bunyi frikative alveolar /s/, misalnya pada kata :

mansak ‘masak’
nyunsu ‘menyusu’

Perlu dicatat bahawa bentuk ini sepintas lebih banyak wujud dalam wacana sastra lisan. Misalnya yang direkam di Jago menunjukkan wujudnya sisipan ini. Tetapi dalam kosa kata, bentuk ini hanya muncul sesekali saja. Mereka mengatakan dua-dua bentuk (dengan disisipan atau tidak) sama dipakai.

3. Nasal homorganik baik yang bersuara maupun yang tidak bersuara dipertahankan di tengah suku kata, misalnya :

mb sembab, mbun
mp tampi
nd tanduk
nt bintakng, munti
ngg tangga, pinggakng

4. Partikel mah. Yang bertugas sebagai kata penegas dalam percakapan, sejajar dengan teh. Contoh :

aku mah lapa(r) “aku memang lapar”

Lain-lain ciri yang dimiliki bersama, seperti hentian glotis yang fonemik, ciri morfologi dengan nasal homorganik, tidak diuraikan kerana ciri ini juga dimiliki hampir semua varian Melayu di Kalbar, ciri yang oleh linguis dikatakan sebagai ciri varian Borneo (Nothofer 1993).

Penutup

Sepintas lalu kita berkenalan dengan varian yang dituturkan di Laur bagian hilir. Sekurang-kurangnya ada dua varian di sini; yakni varian Kuala Laur yang meliputi Kuala Laur, Jago, Sempurna dan Bayur Rempangi; serta varian Lekahan termasuk Cali dan Pangkalan Jihing. Kedua varian mempunyai ciri yang khas yang dengan ciri itu, masing-masing bisa mengenal kelompok lain.

Secara singkat dapat digambarkan ciri khas dua varian Kuala Laur dan Lekahan, dengan melihat pola retensi dan inovasi :

Kuala Laur Lekahan
Retensi
* >[] / 0
* aw, *ay > [aw], [ay] 0 /
*  > [] / 0

Inovasi
*  > [o] 0 /
* aw, *ay > [o], [e] / 0
*  > [r] 0 /
* a>  /_# / 0
* a > e /_# 0 /

Laporan sederhana ini hanya menyentuh seimbas lalu varian Lekahan. Padahal varian ini menunjukkan ciri yang tidak lazim dalam varian Melayu di bagian Selatan Kalbar ini. Dalam beberapa segi justru menunjukkan hubungan dengan beberapa varian di aliran Sungai Kapuas. Dan pada sisi lain mengindikasikan hubungan dengan varian yang dituturkan orang bukan Melayu. Hanya dengan penelitian yang lengkap dan mendalam kita bisa menilai hubungan-hubungan tersebut.

Alasan lain membuat kita perlu memperhatikan varian Lekahan dengan segera, kampung Cali yang memang periferal dan sebuah kantong Melayu lain di bagian Laur hilir ini. Tentu perubahan yang terjadi di kampung lain yang lalu lintasnya lancar, lambat berlaku di sini.
Sebab itu kesan arkaik bisa disecepatnya dikesani. Karena jika tidak, perubahan mengancam di sini, lebih-lebih lagi dengan masuknya para penebang kayu dari Sandai, dan Ketapang. Walhal, jika terlambat berarti kita gagal memberikan dokumentasi bentuk pertuturan yang agak lain dibandingkan dengan pertuturan di sekitarnya.

Arah menuju kepunahan sudah jelas. Sekarang ada kesan di kalangan orang Cali sendiri, varian mereka jelek (rendah). Beberapa informan memberitahukan bahawa bahasa mereka kerap diolok oleh penutur dari kampung lain yang berturur varian Kuala Luar, termasuk orang-orang di Sandai, tempat mereka membeli keperluan sehari-hari. Pokoknya karena dituding sebagai jelek inilah, sikap orang Cali terhadap bahasanya negatif.

Penduduk pindahan dari Cali ke Pangkalan Jihing sudah membuktikan hal ini. Banyak orang dari Cali yang pindah ke sini namun mereka tidak lagi setia bertutur varian Cali. Benil, informan di Pangkalan Jihing, mengatakan kebanyakan keluarga orang Cali sendiri bertutur varian Kuala Laur dalam lingkungan mereka. Sedangkan varian Lekahan hanya dituturkan jika mereka berhadapan dengan orang tua dari Cali saja. Karena itu, varian Lekahan dibayangkan akan menghadapi kepunahan, dan perlu dilakukan usaha mendokumentasikan bahasa mereka dengan lebih baik.

Usaha meneliti varian yang akan hilang bukan semata kerja dokumentasi, tetapi dalam kasus varian Lekahan ini akan memberikan implikasi yang luas. Sekurang-kurangnya jika hal ini dikaitkan dengan beberapa ciri berbeza varian ini dengan varian sekitarnya. Dokumentasi ini justru memberikan panduan bagi sejarah bahasa, dalam melihat hubung kait ciri inovasi dan retensi varian-varian itu. Sedangkan bagi bidang sosiolinguistik, dokumentasi ini juga bisa menjadi panduan untuk melihat ciri bahasa dan etnik. Karena bagaimanapun ada bayangan sepintas, bahawa varian ini mungkin akan disebut sebagai “bahasa Dayak” jika orang Cali bukan beragama Islam. Karena mereka beragama Islamlah maka varian ini disebut bahasa Melayu. *



Bibliografi

[Biro Pusat Statistik]. 1987. Ketapang dan Angka. Ketapang: BPS
Collins J. T. 2002. Bahasa dan Etnisiti di Pulau Borneo : Tinjauan Awal di Kalimantan Barat. Jurnal Dewan Bahasa, April 2002 : 29-35.
Enthoven, JK. 1903. Bijdragen tot de Geographie van Borneo’s Wester-Afdeeling. Leiden: EJ Brill.
Hooker, Virginia M. 19. Tuhfat Al-Nafis. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
King. V. 1993. The People of Borneo. Blackwell: Oxford
Nothofer, B.
Nothofer, B. 1993. Migrasi Awal. Jurnal Sari,
Stokhof, W.A.L. 1986. Holle List: Vocabularies in Languages of Indonesia, Kalimantan (Borneo). Pacific Linguistic D-69 (8). Canberra: The Australian National University.
Sujarni Aloy, dkk. 1999. .................. Seminar Festival Budaya Nusantara, Pontianak 1999.
Veth. P.J. 1854. Borneo Wester Afdeeling. Zalt Bomel. Norman en Zon.
Yusriadi. 2002. Catatan Lapangan Pengumpulan Data di Ketapang. Manuskrip




0 komentar: