Minggu, 24 Februari 2008

Catatan Perjalanan 3 : Mengenal Masyarakat dan Bahasa Kantuk di Kalbar

Kamis (29/6) pagi saya merekam cerita mitologi orang Kantuk dengan Jami (Jambi), orang tua Kantuk di kampung yang sama. Pak Jami demikian disapa, pernah menjadi pejabat desa. Sekarang tidak lagi karena umurnya sudah lanjut. Masa muda dia sering ke mana-mana, baik untuk urusan dinas, untuk urusan adat istiadat Kantuk, atau untuk mengunjungi kaum kerabatnya di tempat lain. Beberapa pejabat penting di Putussibau dan di Pontianak di antaranya anak pangkat ponakan Pak Jami.


Ceritanya sungguh menarik. Tidak saja karena isinya tetapi cara dia bertutur, sangat kemas. Seakan-akan kata demi kata meluncur dari hafalan. Padahal sebelumnya dengan merendah Pak Jami mengatakan dia tidak pandai bercerita. Apa yang dia ceritakan hanya yang pokok-pokoknya saja. Bagi saya, orang seperti Pak Jami jarang dijumpai.
Nama Pak Jami juga aneh. Bagi saya, nama itu tidak biasa dalam rumus fonotaktik bahasa Kantuk. Dan memanglah ketika saya tanyakan, Pak Jami mengakui bahwa namanya itu diambil dari nama kapal Belanda dahulu: Kapal Jambi. Pemberian nama ini untuk mengingat bahwa dia dilahirkan ketika ibunya menumpang kapal itu.

Lantas, setelah agak siang, saya ke Telutuk, kampung Kantuk di Sungai Empanang paling hulu, berbatasan dengan kampung Iban. Saya jalan bersama Jaka, menggunakan motor. Jalannya sangat parah. Beberapa bagian adalah kubangan lumpur. Untuk melewati bagian itu, diletakkan papan kayu. Sawan juga, khawatir jatuh. Untung Jaka terampil. Kakinya yang kukuh menjadi tongkat yang baik, sehingga kalaupun motor sempat sekali dua terpeleset, namun tidak sampai jatuh.

“Sewaktu usaha kayu masih jalan ini lumayan bagus. Sekarang tidak lagi. Sekarang agak bagus. Kalau musim hujan tidak ada yang bisa lewat,” katanya.
Sekitar satu jam kemudian kami sampai di Telutuk. Mula-mula tampak bangunan sekolah dasar, kemudian terlihat rumah-rumah penduduk. Kampung ini tampak sepi. Saya hanya melihat satu dua penduduk di depan rumah, atau melongok di depan pintu melihat motor kami lewat. Mungkin karena kami datang siang, entahlah!

Jaka kemudian menghentikan motor di depan seorang wanita paroh baya yang sedang berjalan searah perjalanan kami. Dia menyapa dengan bahasa Kantuk, bertanya di mana rumah kepala dusun. Wanita dengan ambenan ini menjawab ramah, menunjuk sebuah rumah di arah depan, seraya mengatakan bahwa mungkin kepala dusun tidak ada di rumah.
Jaka bertanya lagi di mana rumah tokoh adat, dan wanita itu kemudian menunjuk ke arah rumah bercat hijau yang tidak jauh dari tempat kami berhenti.
Kemudian kami menuju rumah hijau itu. Mula-mula kami bercakap-cakap dengan Paulus Nyangin, tak lama kemudian datang warga lain, misalnya Petrus Begili, Abdur Rasak dan Masing, serta beberapa anak muda dan wanita. Masing adalah kebayan di Telutuk, umurnya sudah lanjut 72 tahun. Dia termasuk saksi sejarah konfrontasi Indonesia Malaysia. Pada saat konfrontasi dia sempat menjadi penunjuk jalan bagi tentara Indonesia.

Selain itu, nama Abdur Rasak menarik perhatian saya karena nama itu berbau nama Islam atau Melayu. Sudah banyak kali sebenarnya keadaan seperti ini ditemui di lapangan. Namun, bagi saya ‘fakta’ ini tetap saja menarik. Membayangkan pengaruh Islam (Melayu) atas orang Kantuk, sekaligus membayangkan hubungan yang rapat antar komuniti Islam-bukan Islam, Melayu - bukan Melayu. Fakta ini menunjukkan bahwa pada suatu ketika nama bukan bagian yang penting dalam penanda identitas orang di sini. Tidak seperti sekarang, dari nama orang sudah langsung memastikan dari kelompok mana seseorang berasal dan bagaimana harus memperlakukannya.

Di sini proses wawancara pengisian daftar kata berlangsung menarik. Mereka yang ada di sana memperlihatkan antusiasme mereka. Memberikan penjelasan atau keterangan tambahan hampir pada setiap entri kata.

Cerita mengenai asal usul Kantuk Telutuk, perpindahan rumah panjang, konflik dengan Iban, serta adat istiadat, sungguh menarik disimak. Rasanya, perjalanan sulit ke Telutuk tidak terasa dibandingkan data dan informasi yang diperoleh.

Menjelang sore kami kembali ke Nanga Kantuk. Singgah di warung sekejap, kemudian saya rehat di penginapan. Menjelang maghrib, Andi muncul. Kami mentranskripsikan rekaman cerita yang saya buat di Nanga Kantuk. Kami bekerja hingga larut malam.

***

Pagi Jumat (30/6). Saya agak bingung. Mulanya saya mau pergi ke wilayah Jelemuk, di sana ada beberapa perkampungan orang Kantuk. Letaknya di bagian utara Nanga Kantuk masuk dalam wilayah kabupaten Sintang. Informasi yang masuk mengatakan bahasa di beberapa kampung di sana beda dengan bahasa di Nanga Kantuk.
Tetapi, last minute, saya mengubah rencana. Saya membatalkan rencana ke Jelemuk dengan risiko kehilangan kesempatan mengetahui bahasa Kantuk yang beda. Saya menghibur diri: ah, Jelemuk bukan dalam wilayah aliran sungai Empanang!

Saya mengubah rencana karena mendengar cerita ada kampung Kantuk lain di bagian hilir sungai Empanang, yaitu Selupai. Saya melihat peta, dan, Puji Tuhan, Selupai ada dalam peta yang saya bawa. Untung saya melihat itu. Kalau tidak, sudah tentu Selupai akan tercicir dari kunjungan saya. Dan sudah pasti saya akan menyesal. Bayangkan, sebuah kampung Kantuk yang tua terletak di bagian paling hilir berbatasan dengan kampung-kampung Melayu, sudah pasti kampung yang istimewa. Biasanya kampung-kampung seumpama ini akan memperlihatkan perbedaan dibandingkan kampung-kampung yang terpencil (terisolasi) atau kampung yang dikelilingi penutur bahasa yang sama.

Saya berangkat ke Selupai sekitar pukul 08.00 WIB, setelah sarapan dan pemilik sampan bersiap-siap. Saya pikirkan, sekitar pukul 09.00 WIB sudah sampai dan menjelang shalat Jumat sudah bisa sampai di Nanga Kantuk lagi. Bagaimanapun sebelumnya, pemilik perahu mengatakan Selupai tidak terlalu jauh dari Nanga Kantuk.
Saya diberi tahu perahunya dengan speed 3,5 PK sudah siap menunggu di tepian. Ada orang yang akan mengantarkan saya ke sana –pemilik perahu memberitahukan yang akan membawa saya ke Selupai itu ponakannya. Sampai di tepian, saya lihat ada anak muda menjongkong di tebing sungai. Badannya gempal dan rambutnya berkuncir. Kulitnya agak gelap. Saya menyapanya dan bertanya tentang perahu yang akan ke Selupai. Dia lantas menunjuk pada sebuah perahu yang ditambat di lanting (tempat mandi yang terbuat dari batangan kayu besar). Dia memberi tahu akan ikut mengantar ke Selupai, bersama temannya bernama Nuar.

Saya agak tertarik dengan pemuda itu ketika dia memberi tahu namanya: Budin dan nama temannya Nuar. Ya, nama itu familier di telinga saya. Banyak teman punya nama seperti itu. Bagi saya, lagi-lagi nama itu mengingatkan pada identitas Melayu atau Islam. Tetapi saya menduga pemuda itu bukan Melayu dan bukan Islam. Dia mungkin Iban atau Kantuk, dan dia umat Kristiani. ‘Fakta’ ini sama seperti nama Abdur Rasak yang saya temui di Telutuk.

“Nama Japari Budin, Antonius Japari Budin,” katanya. Nama ini diberikan oleh orang tua karena mengingatkan pada nama Bupati Kapuas Hulu AM Japari. “Waktu saya dilahirkan, Pak Japari pas berkunjung ke kampung kami,” katanya.

Tak lama kemudian datang Nuar. Saya tidak bertanya lagi soal nama Nuar. Karena memperkirakan Nuar itu orang Iban atau Kantuk. Lagi, sebelumnya pemilik perahu sudah memberi tahu bahwa pengantar itu adalah ponakannya. Jadi kesimpulan saya kalau pemiliknya orang Iban, ya, ponakannya orang Iban juga. Jadi tak perlulah banyak tanya.

Beberapa kali komunikasi antara Budin dan Nuar dalam bahasa Iban. Kadang juga dalam bahasa Melayu. Sesekali saya juga nyeletuk, masuk dalam pembicaraan mereka.
Saya sempat cun juga ketika perahu mulai bergerak. Aliran sungai berkelok-kelok, kayu di mana-mana. Sungainya juga kecil. Saya membayangkan keadaannya seperti sungai Pengkadan bagian hilir – anak Sungai Embau. Pada waktu kecil saya sering hilir mudik melalui sungai Pengkadan bersama bapak kalau hendak ke Jongkong. Saya mulai ragu kalau perjalanan bisa ditempuh dalam waktu satu jam.

Sepanjang perjalanan kami berpapasan dengan banyak orang. Ada yang pulang dari kebun mereka, ada yang mencari ikan, ada yang mudik membawa barang. Setiap bertemu orang Nuar menyapa mereka dalam bahasa Iban (mungkin juga Kantuk) dan Melayu. Ini yang membuat saya agak yakin bahwa Nuar itu orang Iban.

Memang, kampung-kampung di aliran sungai Empanang adalah kampung Iban. Kampung Kantuk hanya di Telutuk Batu, itu pun agak jauh dari sungai. Nuar dengan antusias memberikan penjelasan ketika ditanya kampung-kampung yang dilewati itu. Dia tahu karena sering berkunjung ke kampung tersebut dan dia kerap kali membawa barang-barang orang kampung itu.

Setelah hampir 2 jam perjalanan, kami sampai di Selupai. Perahu berhenti di sebuah stigher dan gerbang bertuliskan ‘Selamat Datang di Selupai”. Tulisan dan gerbang itu menarik karena bisa menunjukkan tradisi keberaksaraan masyarakat setempat. Jadi, jangan kira masyarakat kampung tidak bisa membaca. Jangan kira masyarakat kampung tidak menganggap penting tulisan.

Yang juga menarik, ada motor air di sana. Motor air ini sekaligus mengingatkan saya mengenai image orang terhadap orang Dayak. Biasanya orang menganggap orang Dayak itu orang gunung, orang pedalaman, orang Darat. Tetapi, orang Kantuk ini, bukan orang Darat. Mereka orang sungai. Mereka buat perahu sendiri, dan mereka punya motor air. Jelas image seperti itu tidak bisa diterima. Saya pun bisa menunjukkan ada orang Melayu yang membuat kampung agak jauh di darat, berladang di atas gunung, tinggal terisolasi di pedalaman.

Kami mencari rumah kepala desa, sebagai bentuk ‘permisi’. Namun kepala desa tidak ada. Yang ada hanya orang tuanya Demung, 75. Kami berbincang-bincang. Ternyata dia asalnya orang Desa yang kawin dengan orang Kantuk. Mungkin dia dapat memberikan informasi, namun, jelas tidak bisa dijadikan informan untuk mengisi daftar kata. Sebab untuk daftar kata harus penutur asli Kantuk. Beruntung tak lama kemudian muncul Idau, 43. Idau adalah termasuk pengurus desa. Dia memang orang Kantuk.

Proses pengumpulan daftar kata dimulai. Idau sangat antusias membantu, padahal siang itu dia berencana pergi ke ladang. Dia juga sangat ramah. Bahkan sesekali terlontar dari mulutnya keheranan dengan apa yang saya cari. Sebelum ini dia tidak pernah membayangkan ada orang datang untuk belajar bahasa Kantuk! “Panjang-panjang umur, bertemu juga dengan hal seperti ini,” katanya dalam bahasa Kantuk, sambil tertawa.
Tidak cuma dia, tetapi Demung dan sejumlah orang yang mendengarkan pernyataan itu juga tertawa. Mereka juga tertawa jika pertanyaan yang saya ajukan aneh. Misalnya, ketika saya bertanya tentang struktur tubuh manusia, mulai rambut sampai ujung kaki. Sampai pada pertanyaan tentang kemaluan lelaki dan perempuan, mereka kembali tertawa, seraya tampak agak malu-malu menjawab. –Biasanya sepanjang pengumpulan data, memang bagian ini yang membuat orang tertawa-tawa.

Yang juga agak menarik, saat pengumpulan data, beberapa kali Nuar, Budin, dan Demung berusaha membantu menjelaskan apa sebenarnya yang saya maksudkan, atau kadang kala mereka memberikan jawabannya. Tetapi, sering juga jawaban itu diperbaiki. “Itu bahasa Melayu. Kantuk bukan begitu”, atau “Itu bahasa Iban, bukan Kantuk”.

Cara menjawab seperti ini menunjukkan betapa meskipun mereka bergaul tetapi identitas bahasa masing-masing cukup tegas. Saya kira menarik kalau diteliti lebih jauh bagaimana proses pertembungan bahasa di sini, antara bahasa Melayu, Iban dan Kantuk. Kedudukan Selupai yang diapit kampung Melayu (di hilir) dan Iban di hulu, sudah pasti berpengaruh pada perkembangan bahasa dan identitas mereka. Saya waktu yang tersedia tidak cukup untuk melakukan itu.

Sememangnya, saya menemukan salah satu ciri Kantuk Selupai yang berbeda dibandingkan Kantuk di Nanga Kantuk, Telutuk atau di Kedamin. Ciri itu adalah bunyi ‘r’ yang mirip dengan bunyi ‘r’ Melayu atau bunyi ‘r’ bekarat. Sebab biasanya, bunyi ‘r’ Kantuk adalah ‘r’ getaran. Bahkan teman saya Dr. Chong Shin yang pernah mengumpulkan data di Sintang menemukan bunyi ‘flap’ atau tamparan, yaitu agak mirip getaran namun getarannya singkat, hanya satu kali saja.

***

Lewat tengah hari kami kembali. Saya sangat senang dengan kunjungan ini. Namun walau begitu perjalanan memudiki sungai Empanang tetap saja terasa susah. Speed kecil mengarungi sungai yang alurnya sempit dan cukup deras, membuat perjalanan terasa lamban. Apa lagi sesekali kipas speed terbentur kayu. Nuar dan Budin harus mengganti pin yang patah.

Di tengah perjalanan, saya bertanya pada Nuar mengenai asal usulnya. Dan ternyata, dugaan saya salah. Sebab, Nuar rupanya orang Islam. Dia orang Melayu Suhaid. Lahir di kampung Melayi di pinggir sungai Kapuas. Kakeknya dahulu memang Iban, tetapi ayahnya Islam dan menikah dengan orang Melayu di Suhaid. Nuar dibesarkan dalam lingkungan Melayu. Kemudian, dia merantau ke Nanga Kantuk dan bekerja pada pamannya yang Iban.

Ya, saya salah. Ternyata nama, kemampuan bahasa, tidak selalu mencerminkan suku dan agama. Semakin jauh perjalanan semakin banyak fakta yang ditemukan.



0 komentar: