Jumat, 22 Februari 2008

Identitas Tionghoa di Kalbar

Oleh: Yusriadi

Sejumlah tulisan menempatkan Tionghoa sebagai etnik utama di Kalbar. Bahkan dalam dalam bidang ekonomi mereka dianggap sebagai kelompok paling utama dan berkuasa. Tapi bagaimana identitas mereka? Berikut catatannya.




Pendahuluan

Diskursus tentang identitas etnis melibatkan banyak hal. Pertanyaan-pertanyaan memang tidak sesederhana menyoal apa identitas satu kelompok, tetapi juga persoalan menyangkut bagaimana identitas itu dibentuk, digunakan dan dipertahankan, atau sebaliknya ditolak dan dibuang. Oleh sebab begitu kompleksnya persoalan identitas ini, maka diskusi mengenai hal ini tidak pernah berakhir dan kebenarannya selalu relatif.

Apalagi bila dikaitkan dengan kenyataan bahwa penggunaan identitas ini melibatkan ‘selera’ dan pertimbangan pragmatisme. Seperti yang dianut oleh banyak peneliti, identitas sifatnya fluid, cair dan terus berubah. (Lihat Mesthrie, R & A Tabouret-Keller. 2001. Identity and language. Dlm. Mesthrie, R. Concise encyclopedia of sociolinguistics. hlm. 165-168. Amsterdam: Elsevier; Shamsul Amri Baharuddin. 2001. Identiti dan etnisiti: Tinjauan teoritis. Dlm Yusriadi & Haitami Salim (pnyt.). Proseding Koloqium Dayak Islam di Kalimantan Barat. hlm. 11-30. Pontianak: STAIN Pontianak- FUI-MABM; Abdul Rahman Embong. 1999. Identiti dan pembentukan identiti. Akademika 55: i-xii; Yusriadi. 2005. Bahasa dan Identiti di Riam Panjang, Kalimantan, Indonesia).

Tulisan ini juga tidak lepas dari konseptualisasi seperti ini. Justru tinjauan yang ringkas ini berusaha menggambarkan bagaimana identitas Tionghoa dipilih, dan bagaimana dibentuk. Tentu harus diakui, tulisan ini terlalu dangkal untuk melihat dinamika identitas orang Tionghoa di Kalbar. Tetapi untuk membuka ruang pengetahuan mengenai Tionghoa di Kalbar tentu apapun analisis, dan setipis apapun data, penulisan ini harus dimulai. Setidaknya secara perlahan, keluhan mengenai minimnya penelitian, tulisan dan publikasi mengenai masyarakat etnik di Kalimantan Barat bisa dijawab.

Identitas Tionghoa: Pembentukan

Istilah Tionghoa1 harus dikaitkan dengan sejarah panjang perantauan orang Cina ke Indonesia. Beberapa tulisan awal menyebutkan istilah ini muncul secara resmi pada tahun 1901 ketika sekelompok orang Cina Indonesia mendirikan organisasi bernama Tiong Hoa Hwee Kwan, dan kemudian pada tahun 1939 muncul Partai Tionghoa Indonesia. Penggunaan nama ini dilatarbelakangi oleh hasrat sejumlah orang Cina yang tidak ingin diidentifikasi sebagai Cina, sebab Cina ketika itu memiliki konotasi negatif. Istilah Cina ini mengingatkan orang pada kelompok yang berkolaborasi dengan penjajah, dagang berkolusi dan culas, judi, dll.

Penggunaan ini memang tidak serta merta menghilangkan ‘identitas Cina’. Sebab, orang luar tetap saja menggunakan sebutan ini, terutama untuk hal-hal yang buruk. Puncaknya, ketika pemerintah mengeluarkan Inpres No 14 tahun 1967, yang isinya melarang semua yang berbau Cina di Indonesia2. Adat-istiadat, kepercayaan tidak boleh ditampakkan lagi. Kemudian, pada tahun yang sama dikeluarkan Surat Edaran No. 06/Preskab/6/67 yang memuat perubahan nama. Edaran itu mengharuskan semua masyarakat keturunan Cina harus mengubah namanya yang berbau Indonesia3.

Keadaan mulai memperlihatkan perubahan yang signifikan setelah Presiden Indonesia KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Presiden Gus Dur mencabut segala macam pembatasan itu. Namun walau kemudian dilihat dari perspektif kebebasan orang Tionghoa bebas memperlihatkan ciri etnisitas mereka, namun, stigmatisasi Cina dan Tionghoa tidak lantas berubah. Dari luar, orang di luar Tionghoa tetap memiliki sejumlah stigma atau stereotipe. Misalnya: Cina kaya, Cina banyak duit, Cina gampang, dan lain-lain.
Memang tidak cukup banyak bahan yang tersedia untuk tulisan ini. Pun, juga diakui bahwa saya sendiri tidak pernah melakukan studi khusus mengenai China atau Tionghoa, melainkan seimbas lalu berkaitan dengan tugas-tugas saya sebagai seorang jurnalis. Tetapi, sejauh data yang ada memperlihatkan bahwa istilah Tionghoa digunakan merujuk pada kelompok masyarakat Cina di Indonesia. Di negara lain, istilah ini tidak muncul; atau paling tidak, di tempat lain –katakanlah di Malaysia, sebutan Cina (kadang-kadang Chinese) tetap dipergunakan.

Istilah Tionghoa muncul dari kalangan orang Cina di Kalbar (Indonesia) sendiri, atau dari dalam. Mereka diperkenalkan mengganti istilah Cina yang menurut kalangan tertentu sebagai sesuatu yang negatif. Sehingga mereka menolak disebut sebagai Cina.
Seperti pernah dilaporkan Equator, kalangan orang Tionghoa di Kalbar sangat tidak suka disebut sebagai Cina (Equator 14, 15 Agustus 2003). Bagi mereka istilah Cina negatif mengandung konotasi buruk bagi pencitraan mereka. Istilah Cina bagi mereka merujuk pada paling tidak, dua hal: pada dosa-dosa sejarah pertengahan tahun 196o-an. Seperti diketahui, aktivitas PGRS/Paraku dikaitkan dengan komunis dan komunis dikaitkan dengan Cina. Pada tahun 1967 di Kalbar terjadi gerakan anti Cina yang dikenal dengan peristiwa demostrasi. Ketika itu banyak orang Cina terbunuh, terusir dari kampung halaman dalam keadaan menyedihkan (Davidson, Jamie S & Douglas Kammen. 2002. Indonesia’s unknown war and the lineages of violence in West Kalimantan. Indonesia 73: 53-87).

Peristiwa ini merupakan gerakan massa yang melakukan pengusiran terhadap orang Cina. Gerakan anti Cina pada masa itu masih menyisakan trauma pada mereka sendiri; termasuk anak cucunya44 Saya sempat berkenalan dengan keluarga korban kerusuhan tahun 1967. Dia kami panggil “akong”, kini tinggal di Pontianak; mengungsi dari daerah Mandor ke Kubu. Pada mulanya, di Mandor, menurut Akong dia memiliki rumah, tanah, kebun yang luas serta kolam ikan. Tetapi kerusuhan telah menyebabkan mereka lari dari rumah mereka meninggalkan harta benda. Sejak saat itu kehidupan mereka agak susah, sampai sekarang ini. Harta yang hilang belum tergantikan. Sementara mereka sendiri masih trauma dengan kejadian buruk itu. Lebih jauh mengenai aksi demonstrasi ini lihat Davidson dan Kammen (2002), atau van Hulten (Hulten, Herman Josef van. 1987. Catatan seorang missionaris di tengah suku Daya. Grassindo: Bandung).

Harus diakui bahwa identitas Tionghoa yang dipakai orang Tionghoa dalam banyak contoh masih belum ‘diterima’ kalangan luar secara menyeluruh. Dalam beberapa contoh orang luar masih juga menggunakan istilah Cina untuk menyebut kelompok ini. Bahkan sebenarnya hampir menyeluruh di kalangan bawah, kampung, bukan terpelajar, mereka masih menggunakan istilah Cina ketimbang Tionghoa. Baik untuk hal yang positif maupun negatif. Kesan ini memperlihatkan bagi masyarakat bawah istilah Tionghoa tidak membawa konotasi positif atau negatif, tetapi netral.

Selain itu harus juga diakui, di kalangan menengah terpelajar, tampaknya masih menggunakan dua-dua istilah (Tionghoa dan Cina). Lihat misalnya ungkapan Dosen Untan saat menceritakan pengalamannya di sebuah forum seminar, seperti dikutip dari Equator (15 Agustus 2003):

“Isteri saya juga masih keturunan Cina,” aku Firman Susilo,M.Hum, dosen Untan yang menghadiri pertemuan tersebut. Dan tidak sedikit tokoh di Kalbar baik formal maupun informal menjalani kawin campur dengan harmonisasi turun temurun beberapa generasi.
Pengakuan ini mengingatkan saya pada temuan-temuan lapangan selama penelitian di berbagai daerah di Kalbar. Ada yang mengaku dirinya orang Dayak, kemudian bila disusuri generasinya ternyata salah satu orangtua mereka adalah orang Tionghoa. Ada juga orang Melayu, dan setelah disusuri silsilahnya salah satu dari orangtua mereka adalah orang Tionghoa.

Proses asimilasi ini hasilnya sesuai dengan lingkungannya. Wanita Tionghoa yang kawin dengan lelaki Dayak dan hidup dalam komunitas dan budaya Dayak, akan melahirkan anak-anak Dayak. Sebaliknya, pria Tionghoa yang menikahi perempuan Dayak akan melahirkan anak-anak dalam budaya dan komunitas Tionghoa. Begitu juga wanita Tionghoa yang kawin dengan lelaki Melayu dan hidup dalam komunitas budaya Melayu, akan melahirkan anak-anak Melayu.

Walaupun proses ini telah berlangsung sejak lama dan terus terjadi, namun seperti tidak disadari dalam anggapan umum, masyarakat Cina tetaplah dianggap sebagai masyarakat yang eksklusif, tertutup. Apa sebabnya?

Dr Dede melihat proses ini ada kaitannya dengan dua kebijakan. Pertama kebijakan Belanda. Sewaktu datang di Indonesia, Belanda menghadapi perlawanan yang sengit dari masyarakat Indonesia. Waktu itu kelompok masyarakat Cina bersama dengan masyarakat pribumi melakukan perlawanan.

Belanda kemudian membuat siasat untuk memecah belah kekuatan yang sudah ada. Caranya, memisahkan antara pribumi dan Cina itu dengan berbagai aturan menyangkut hak-hak sosial dan ekonomi. Batas etnik diperjelas. Dan akhirnya, kekuatan ini memang pecah.

Kedua, kebijakan penguasa orde baru. Sekitar tahun 60-an, setelah pemberontakan PKI, Cina dicurigai, dan kemudian dibatasi. Gerakan masyarakat Cina terus dipantau dan dikontrol. Kondisi ini membuat masyarakat pribumi menutup diri terhadap masyarakat Cina.

Hasilnya, karena komunikasi kurang terjalin, pengetahuan tentang budaya masyarakat perantauan ini juga jadi kurung. Akibatnya, pengetahuan awam mengenai orang Tionghoa lebih berlandaskan praduga-praduga (stereotipe).
Pada Equator (14/8/2003) tukar ganti istilah ini juga dapat disimak.

Ketika tampil sebagai pembicara dalam lokakarya Dialek Melayu di ATMA, pekan lalu, Chong Shin buka cerita. “Orang Cina di Kalbar berbeda dengan orang Cina perantauan di tempat lain,” katanya.

Chong kemudian menyinggung sepintas empat perbedaan. Pertama, ketika orang Cina mandi kembang memperingati kematian salah satu Pujangga Besar Cina. “Di Kalbar orang Cina mandi kembang bersama lelaki dan perempuan. Mereka mandi di sungai pakai pelampung dari hulu ke hilir sungai,” katanya.

Kedua, mistik orang lokal juga mempengaruhi orang Tionghoa ini. Kata Chong, kepercayaan kepada angka 13 juga sangat terasa. Orang Cina di Kalbar tidak mau dengan angka 13 yang dianggap angka sial. “Kalau bisa mereka hindari angka 13,” katanya.

Ketiga, masih soal mistik lokal, orang Tionghoa di Kalbar juga sangat percaya dengan kemponan. Chong kemudian mencontohkan seorang Cina yang harus menjamah makanan sebelum pergi biar tidak kemponan. “Saya lihat mereka menjaga betul hal itu. Biar sedikit, dia harus menjamah makanan yang sudah ditawarkan. Katanya mereka takut kemponan,” ujar Chong.

Keempat, yang agak menarik menurut Chong, adalah makanan onde-onde yang di Kalbar disebut ie pada hari besar pang cot bulan 11 Imlek . “Saya lihat onde-ondenya di Kalbar diberi air gula,” katanya. Harap diketahui, makanan itu hampir persis dengan bubur candil pada penduduk setempat.

Tidak hanya itu, Chong yang memang ketika mengikuti program masternya (MA/S2) meneliti penggunaan bahasa Cina di sebuah kota di Selangor, Malaysia ini, mengatakan kalau orang Tionghoa di Kalbar juga pandai bahasa lokal.

Berbeda dengan temuan Dr. Dede Oetomo, Chong yang sudah berkenalan dengan bahasa Cina di Sekadau (Sanggau) menyebutkan kalau bahasa di sana agak berbeda dengan bahasa di Singkawang. “Bahasa khek di Sekadau mirip dengan bahasa orang Cina di Sungai Cua, yang terletak di antara Kajang-Kuala Lumpur. Saya pun mulanya susah mengerti,” aku Chong.

Informasi Chong ditanggapi Firman Susilo, M.Hum. “Orang-orang Tionghoa di Kalbar memang unik. Saya punya pengalaman juga,” komentarnya ketika diminta memberikan tanggapan.

Dikatakan Firman, orang Cina di Kalbar lebih suka disebut sebagai Tionghoa, daripada disebut sebagai orang Cina. Ini mencerminkan semangat asimilasi mereka dengan budaya masyarakat Kalbar. “Banyak juga mereka yang kawin dengan penduduk lokal,” terangnya.

Firman kemudian menceritakan pengalamannya selama ini kontak dengan orang-orang Tionghoa di Pontianak. Bahkan, kalau orang Tionghoa Kalbar berkunjung wisata ke daratan Cina, mereka disebut Fan nyin alias Indonesia.

Sementara itu, Dede yang sudah satu kali ke Pontianak membenarkannya. Katanya, dalam banyak fakta orang Tionghoa memang berasimilasi dengan pribumi. Ketika kedatangan gelombang pertama, perkawinan antara pribumi dengan orang Cina banyak terjadi.
Ada juga sementara pihak yang mempertahankan sebutan Cina dengan maksud sinis terhadap kelompok Tionghoa ini. Meski tahu bahwa sebutan Cina tidak disukai orang Tionghoa, sebutan itulah yang mereka pilih. Alasannya, sekali Cina tetap Cina, dan karena itu mengapa harus diganti sebutannya. Alasan sejarah berkaitan dengan terbitnya Surat Tanda Penerimaan (STP) sekitar tahun 1960, bahwa sebenarnya banyak orang Cina di sini yang membanggakan kecinaannya dia dibandingkan sebagai bangsa Indonesia5.

Pemertahanan Identitas

Ada beberapa upaya yang dapat dilihat sebagai bentuk pemertahanan identitas mereka sebagai orang Tionghoa di Kalbar, bahkan dalam konteks Indonesia secara luas. Beberapa waktu lalu pernah dibentuk sebuah organisasi yang diberi nama Indonesia Tionghoa (INTI). Organisasi ini merupakan sebuah wadah yang dipakai oleh kalangan Tionghoa untuk melegitimasi diri sebagai kelompok tersendiri yang disebut sebagai Tionghoa.

Selain itu kalangan Tionghoa yang sudah memeluk agama Islam membentuk satu perkumpulan yang diberi nama Perkumpulan Islam Tionghoa Indonesia (PITI). PITI, walaupun kehadirannya mengundang beberapa pertanyaan, namun, tetap saja menyajikan gambaran menarik mengenai upaya mereka untuk mempertahankan identitas sebagai orang Cina. Secara tersirat, organisasi ini memperlihatkan bahwa sekalipun sudah Islam namun mereka tetap Tionghoa6.

Pembentukan Majelis Adat Budaya Tionghoa (MABT) juga dapat dilihat dari konteks ini. Keinginan tokoh-tokoh Tionghoa untuk melestarikan adat dan budaya Tionghoa –termasuk kekhawatiran mengenai kehilangan adat budaya, merupakan refleksi dari keinginan mereka untuk mempertahankan identitas mereka sebagai orang Tionghoa. Keinginan ini tentu saja jauh lebih utama dibandingkan respon mereka terhadap pembentukan organisasi adat di kalangan orang Dayak dan Melayu77 Reaksi yang diperlihatkan kalangan Tionghoa terhadap tulisan Equator “MABT Hendak Dibawa Kemana?” (Equator 4 Juli 2005) memperlihatkan kepada publik bahwa tokoh-tokoh Tionghoa memang tidak memiliki pretensi politik dalam mendirikan MABT. Mereka, murni akan melakukan pendekatan budaya, menyelamatkan budaya yang hampir punah. Equator (5/7/2005):

Bersama Membangun Kalbar
MABT Bukan Organisasi Politik Praktis

Majelis Adat Budaya Tionghoa (MABT) bukanlah organisasi politik praktis, tujuan utamanya bersama-sama mencari gagasan membangun Kalbar tentunya untuk kepentingan seluruh masyarakat Kalimantan Barat.
Hal itu diungkapkan Anggota MABT, Setiawan Lim SH dikonfirmasi Equator, Senin (4/7) malam kemarin via telepon seluluer.
“Dibentuknya MABT ini bukan bertujuan ingin ada pemisahan, namun menegaskan masyarakat Tionghoa merupakan bagian dari masyarakat Kalimantan Barat tanpa adanya perbedaan,” jelasnya.
Tujuan utamanya tambah Setiawan Lim tentunya untuk bersama-sama dengan masyarakat Kalimantan Barat membangun Kalbar.
“Tidak ada konotasi persaingan atau sejenisnya karena dengan dibentuknya ini bagaimana ada persamaan persepsi yang jelas,” terangnya.
Hal ini katanya juga didukung dengan keadaan masyarakat Tionghoa yang tak hanya berprofesi sebagai pedagang saja.
Saat ini sudah banyak cendikiawan-cendikiawan Kalbar yang berasal dari ethnis Tionghoa dari segala disiplin ilmu, sehingga kumpulan tersebut tentunya bisa membawa satu konsep bagaimana membangun Kalimantan Barta ke arah yang jauh lebih baik.
“Tentunya hasil pemikiran tersebut digabung dengan pemikiran seluruh masyarakat kalbar yang diharapkan bisa dijadikan sebagai bahan pemikiran dalam pengambilan suatu kebijakan oleh pengambil kebijakan,’ jelasnya.
Selain melalui organisasi formal seperti yang disebutkan di atas, pemertahanan identitas Tionghoa juga dapat dilihat dari kegiatan budaya: misalnya pertunjukan seni budaya Tionghoa pada setiap momentum tertentu. Sebut misalnya perarakan naga dan barongsai pada musim Imlek dan Cap Go Me, pelaksanaan sembahyang kubur, dll.
Kesetiaan orang Tionghoa pada bahasa ibu merupakan bentuk lain dari upaya mereka untuk mempertahankan identitas sebagai orang Tionghoa (bahkan mungkin lebih spesifik sebagai orang Khek, Tiocu, dll). Orang-orang tua tetap mengajarkan anak mereka dalam bahasa ibunda, penggunaan bahasa ibunda saat berkomunikasi pada sesama dalam pelbagai ranah dan domain, mencerminkan keinginan mereka memelihara salah satu ciri ketionghoaan.


Pengajaran bahasa Mandarin di Kalbar bagaimanapun dapat dilihat dalam konteks ini. Kalangan orang Tionghoa berusaha membuka kelas bahasa Mandarin. Pada mulanya ketika tekanan dari pemerintah Orda Baru sangat kuat, mereka membuka kelas secara diam-diam. Kemudian ketika era Reformasi, pembukaan kelas dilakukan secara leluasa dan kelas Mandarin menjamur di mana-mana. Minat mendalami bahasa Mandarin dan graf Cina menjamur, sekalipun harus diakui bahwa kedudukan bahasa Mandarin ini sebenarnya hanyalah sebagai bahasa kedua (secondry language).

Sejauh ini memang belum ada sekolah formal berasaskan Tionghoa. Yang tampak memang ada kecenderungan orang Tionghoa memasukkan anaknya ke sekolah tertentu –terutama sekolah Katolik atau Protestan, sehingga sekolah-sekolah tersebut kadang dianggap sekolah Tionghoa. Karena kecenderungan ini, di sekolah tertentu, bahasa Mandarin diajarkan untuk murid-murid di sana.

Pemanfaatan media juga memperkuat upaya pemertahanan identitas Tionghoa di Kalbar juga begitu ketara –sekalipun mungkin upaya itu belum dilakukan secara sistematis. Sejauh ini, upaya yang ada sifatnya masih ‘kerinduan’ individu terhadap budaya sendiri dan beberapa pertimbangan lain8. Sebut misalnya terbitnya koran bergraf Cina, Kun Dian Ri Bo, ketersediaan space untuk Tionghoa di Harian Equator, kekerapan penggunaan bahasa Cina di sejumlah radio swasta dan TVRI Kalbar, khususnya dalam rubrik karaoke.

Faktor lain yang cukup penting dalam proses pemertahanan identitas Tionghoa di Kalbar adalah karena adanya sikap masyarakat Kalbar sendiri yang memang cenderung sukuis –primordialis. Banyak hal dalam kehidupan sosial mereka dilihat dari perspektif etnik. Seperti diketahui kecenderungan primordialisme Dayak atau Melayu muncul dalam berbagai ranah dan level. Ini kiranya yang mendorong orang Tionghoa juga mau tidak mau harus memperkuat identitas mereka. Ketika orang Melayu atau Dayak, atau etnik lain menyebut mereka sebagai Tionghoa atau Cina, maka ketika itu mereka mencari-cari: apa yang membuat mereka Tionghoa atau tetap dianggap Tionghoa, dan cap itu akan melegitimasi identitas mereka perlahan tapi pasti. Sesungguhnya yang terjadi itu sebenarnya tidak hanya pada kelompok etnik ini, karena kelompok lain juga muncul. Sebut misalnya bagaimana identitas Dayak dilabelkan oleh orang luar, yang kemudian terpaksa harus mereka terima. Dan, pada hari ini justru identitas itu mereka terima dengan kebanggaan.

Pada akhirnya, seperti yang terjadi pada orang Dayak, ada banyak orang Tionghoa yang mulai merasa mereka atau anak-anak mereka kurang Cina atau kurang Tionghoa. Kerinduan ini sering diungkapkan dalam percakapan. Kerinduan ini membuat mereka prihatin dan karena itu mereka memilih melakukan pelbagai pendekatan agar kepunahan (kelunturan) tidak berterusan, agar kekhawatiran tidak jadi kenyataan.

Penentu Perubahan: Sebuah Diskusi

Seperti yang disebutkan di awal, identitas bukanlah sesuatu yang kaku. Perubahan identitas merupakan bagian dari hukum alam yang juga mesti dialami semua kalangan, termasuk kalangan Tionghoa. Pelbagai upaya mempertahankan identitas di satu sisi seperti yang disebutkan di atas, tetapi di sisi lain tuntutan perubahan merupakan salah satu bentuk tekanan yang akan mendorong terjadinya perubahan itu. Soalnya hanya pada: apakah perubahan itu terjadi drastic, atau perlahan-lahan mencari bentuk yang sesuai.

Kita melihat ada tekanan politik. Sekalipun dalam beberapa hal sekarang ini dianggap sudah mereda namun dalam bentuk lain tetap akan muncul. Jika sebelumnya tekanan dilakukan pemerintah dengan mengedepankan pelbagai isu (misalnya komunis, dll), ke depan tekanan yang mendorong perubahan identitas muncul dari dalam diri orang Tionghoa.

Sekarang orang Tionghoa sedang bangkit dan berusaha mengejar ketertinggalan dibandingkan Melayu dan Dayak dalam ranah politik. Kemungkinan, karena dukungan yang padu (?) dan dana yang mencukupi orang Tionghoa akan dapat sejajar dengan Melayu-Dayak. Kesejajaran ini sudah pun diakui oleh Sekretaris MABM Dr. Chairil Effendy dengan mengumpamakan Melayu-Dayak-Tionghoa sebagai sebuah tungku yang sama-sama menyangga Kalbar. Dalam pelbagai event budaya, kehadiran budaya Tionghoa kerap kali melengkapi atraksi budaya Melayu dan Dayak Karena itu tidak berlebihan jika ada yang memprediksikan bahwa suatu ketika orang Tionghoa akan mampu melampaui kedua etnik itu dalam percaturan politik, seperti yang terjadi di Singapura, karena berbagai alasan.

Tetapi, ada juga kemungkinan lain, justru kebangkitan identitas Tionghoa akan berhenti dan kemudian surut. Asumsi berangkat dari kemungkinan kebangkitan identitas Tionghoa akan menjadi tumbal bagi kelompok Melayu atau Dayak. Memang sekarang Melayu – Dayak, sedang menguasai puncak politik di tempat tertentu. Ironinya, pencapaian pembangunan yang diperoleh secara kolektif tidak cukup membanggakan. Sehingga di sana sini muncul ketidakpuasan dari dalam. Lantas karena para elit tidak ingin disalahkan, mereka menyublimasi kekecewaan massa arus bawah dengan mencari sasaran bersama. Dalam dalam situasi seperti itu, Tionghoa sangat mungkin dipilih. Kesenjangan sosial, jarak budaya, sejarah, dll pun sangat mendukung pilihan menjadi Tionghoa sebagai sasaran bersama9.

Ini hanya prediksi. Namun hal yang buruk juga bisa dihindari jika saja kalangan elit Tionghoa berusaha mencari cara agar jarak-jarak sejarah, budaya dan kesenjangan ekonomi dijembatani dengan cara tertentu. Jembatan ini akan membuat suku lain tidak akan menempatkan Tionghoa sebagai sasaran karena tidak cukup variable pendukung untuk menempatkan orang Tionghoa pada tempat tersendiri. Tidak cukup alasan untuk membuat klasifikasi yang ekstrem antara identitas Tionghoa dan bukan Tionghoa.
Apa yang dikatakan Coser (bahwa konflik bisa dihindari dengan cara membuat Fenomena seperti ini pernah terjadi pada Cina di Jawa dan Kelantan, Malaysia (Lihat Teo, Kok Seong. 2003. The peranakan Chinese of Kelantan. London: Asean Academic Press). Lalu, secara khusus Dede Oetomo (1987. The Chinese of Pasuruan : Their language and identity. Pacific Linguistics D63: 1-12) memperlihatkan bagaimana identitas Tionghoa di Jawa yang menjadi ‘Sangat Jawa”, ketika mereka merasa bangga bisa berbahasa Jawa, dibandingkan kemampuan mereka berbahasa Cina. Laporan lain juga memperlihatkan bagaimana orang-orang Tionghoa di Surakarta membanggakan diri dengan nama Indonesia, yang mereka pilih. Sebab umumnya, nama-nama yang mereka gunakan adalah nama-nama kelas bangsawan, bukan nama orang biasa.

Pada situasi seperti ini, apa yang dapat dikatakan adalah bahwa mereka tidak bangga sebagai Tionghoa karena kesadaran bahwa menjadi Tionghoa justru berhadapan dengan hambatan-hambatan sosial, psikologis, dan lain-lain. Jadi, tidak menjadi Tionghoa (murni –jika ada istilah demikian) tidak membuat mereka merasa kurang.

Penutup

Jika dilihat dari konteks identitas, jelas bahwa identitas Tionghoa yang muncul sekarang dan dipertahankan, dipengaruhi dua faktor: faktor eksternal (orang luar) dan faktor internal (orang dalam). Contoh yang ada memperlihatkan kadang kala penggunaannya selaras, kadang kala juga bertentangan. Kadang-kadang sesuai dengan keinginan pemilik identitas itu, kadang juga tidak. Kadang-kadang digunakan untuk kepentingan positif, kadang juga negatif. Ada kalanya juga netral, tanpa konotasi itu.

Menarik kiranya, melihat ungkapan bijak yang disampaikan Rinto Jiang (2005 China (Zhi1 Na4) : Penghinaan atau Bukan? — http://www.budaya-tionghoa.org/share/katachina.htm.): “Sebenarnya, menurut saya sendiri, kata apapun bila diucapkan dengan niat menghina maka kata itu akan mengandung nilai sentimentil penghinaan. Tidak usaha mencari kata2 yang memang mengandung makna tertentu yang menghina. Sama saja seperti kata Cina yang sengaja dimaklumatkan untuk menggantikan kata Tionghoa pada tahun 1966 di Indonesia. Masalahnya adalah niat daripadanya. .... Orang Cina di Malaysia dan Singapura juga menyebut diri mereka sebagai orang Cina. Bila saya bertemu dengan TKW Indonesia sering ditanya “anda orang Cina yah?”. Bagi saya mereka tidak berniat yang bukan2 dalam pertanyaan tersebut, maka juga tidak perlu ada prasangka yang bukan2...”.

Endnotes
1 Selain istilah ini, ada juga istilah yang sepadan dengan Tionghoa, yaitu Tionghua. Seorang aktivis yang giat memperjuangkan keberadaan budaya Tionghoa di Kalbar mengatakan di antara dua istilah ini mereka lebih cenderung dengan istilah Tionghua. Di sini, istilah Tionghoa digunakan karena istilah inilah yang biasa dipakai di Equator.
2 PP No 10 tahun 1959 tentang kewarganegaraan Cina mungkin juga harus disebutkan punya pengaruh dalam persoalan identitas dan pengunaan simbol ini.
3 Sebuah penelitian pernah dilakukan terhadap pilihan nama orang Cina di Jawa, menemukan bahwa perubahan ini disikapi orang Cina dengan memilih nama-nama yang berbau nama bangsawan Jawa. Misalnya: Hadinata, Suryajaya, dll.
5 Sekitar tahun 1960-an pemerintah menawarkan pilihan warga negara bagi orang Cina di Indonesia. Sebagian besar memilih kembali ke negaranya, dan kepada mereka diberikan STP itu. Kapal di Tiongkok sempat dipersiapkan untuk mengangkut mereka ini. Tetapi kapal yang ditunggu tidak pernah sampai. Dalam sejarah mereka yang mendapatkan STP dikelompokkan sebagai kelompok stateless yaitu orang yang tidak punya warga negara. Di Kalbar, khususnya di Singkawang, jumlah kelompok ini mencapai 70 per sen, dibandingkan dengan orang Cina yang punya status sebagai warga negara Indonesia (Hari Poerwanto, 2004). Jadi, seperti diungkapkan salah satu saksi sejarah yang merespons tulisan ini, Tedy Topany, seharusnya sejarah ini terus diingat, tidak dilupakan ketika melihat kelompok Tionghoa. Toh (Minggu satu/sepuluh/2006), mereka sendiri memperlihatkan sikap mendua (Dalam soal ini sebenarnya Hari Poerwanto menjelaskan setidaknya ada tipikal orang Cina yang loyal terhadap Indonesia, terhadap Cina). Isu mengenai tokoh Tionghoa Kalbar yang mengibarkan bendera Cina ketika kunjungan ke Cina merupakan salah satu isu penting berkaitan dengan sikap ini. Sikap ini dianggap sebagai sikap yang tidak nasionalis.
6 Kehadiran PITI menjadi sangat menarik jika dikaitkan dengan dinamika perubahan identitas etnik di Kalbar. Secara umum orang yang masuk Islam disebut sebagai masuk Melayu. Jadi, Dayak yang memeluk Islam disebut Melayu. Bahkan dalam Yusriadi (2005) disebutkan orang Tionghoa yang masuk Islam disebut juga sebagai Melayu; ada juga orang Tionghoa yang menjadi Dayak (Yusriadi 2005). Tetapi, Hermansyah (2005) juga melihat ada istilah “masuk Cina” untuk orang Melayu yang menikah dengan orang Cina dan kemudian hidup dalam lingkungan keluarga Cina. Dibentuknya MABT ini sama sekali bukan bertujuan ke arah politik dan organisasi ini bukanlah organisasi politik praktis. “Tujuan utama kita dalah sebagai organisasi masyarakat dan tidak ada bertujuan untuk politik praktis bahkan kita akan menjadikan ini sebagai ormas,” jelasnya. Memang diakui atau tidak setiap organisasi yang muncul seringkali membawa dampak ke arah sana namun tujuan utamanya bergerak dibidang sosial kemasyarakatan.“Budaya itukan cakupannya luas termasuk bagaimana kegigihan dan motivasi bersama seluruh masyarakat membangun Kalbar dan itu arah dan tujuan kita,” tambahnya. (luh)
8 Pada seminar sastra dan pembentukan identitas yang diselenggarakan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Kalimantan Barat beberapa waktu lalu, tampil tokoh masyarakat Tionghoa XF Asali. Asali –seperti juga pembicara yang lain yang mewakili Dayak dan Cina, mengungkapkan kegalauannya: ciri budaya yang luhur mulai hilang.
9 Perkembangan terbaru di Singkawang sangat menarik. Menjelang Pemilihan Walikota, tidak ada orang Tionghoa (murni) yang digadang-gadang menjadi Walikota, sekalipun dari segi jumlah mereka sangat signifikan. Justru yang muncul calon dari kelompok Melayu atau Dayak. Kalaupun ada orang Tionghoa yang muncul mereka sudah dianggap tidak murni Tionghoa, antara lain karena mereka Tionghoa muslim. Sikap orang Tionghoa yang menarik diri dalam pertarungan ini bisa jadi merupakan pilihan karena tidak ingin membuka front dengan kelompok etnik lain.

0 komentar: