Senin, 18 Februari 2008

Menyoal Rencana Penyelenggaraan Kongres Kebudayaan Kalbar

Oleh: Yusriadi

Lisyawati Nurcahyani mengembangkan senyum. Apresiasi tokoh masyarakat Kalbar terhadap gagasan penyelenggaraan kongres kebudayaan Kalbar yang diprakarsai Lisyawati, Kepala Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Kalimantan, sangat positif. Para tokoh menyambut gagasan itu dengan antusias. Kongres kebudayaan yang digagasnya mendapat dukungan.

“Pancingan mengena,” kata Kepala Dinas Pariwisata Kalbar, Rihat Nasir Silalahi yang memimpin sesi dialog antara tokoh mengenai penyelenggaraan Kongres Kebudayaan yang dilaksanakan di aula BPSNT, Jalan Sutoyo Pontianak, Kamis (14/2) kemarin.




Sejak Gusti Suryansyah, Ketua Forum Keraton Kalimantan Barat, memulai tanggapannya, hingga M. Zien, Kepala Taman Budaya Pontianak, semuanya menyatakan dukungannya.
Bahkan pemerhati sejarah Kalbar Drs. H. Soedarto, saat menyampaikan pendapatnya setelah Gusti Suryansyah dengan tegas menyatakan dukungannya. “Kongres Kebudayaan penting dilaksanakan di tengah situasi sekarang ini,” katanya.

Alasan lain, dia ingin mencari jawaban: seperti apa budaya Kalbar. Maklum selama ini dia kerap kali merasa bingung ketika ditanya orang, budaya Kalbar seperti apa? “Selama ini saya tidak bisa menjawabnya,” katanya.

Kristianus Atok, tokoh muda Kalbar, juga memperlihatkan antusiasmenya. Banyak gagasan disampaikannya. Bahkan penulis produktif ini secara teknis merinci langkah-langlah yang dapat dilakukan agar kongres bisa diselenggarakan dengan maksimal.
“Kongres ini harus dibuka untuk masyarakat luas. Siapa yang ingin berpartisipasi kita berikan ruang. Kita undang mereka menjadi pembicara,” katanya.
Bahan yang dihasilkan dari kegiatan ini akan menjadi bahan pertimbangan dalam kongres atau penyusunan langkah-langkah ke depan.

Alhasil, ada yang menganggap penting karena kondisi keragaman di Kalbar, ada yang menganggap penting karena masalah pewarisan dan pembinaan budaya Kalbar yang kian hari kian mundur, ada juga yang melihat kepentingan untuk perlindungan budaya yang pelan tapi pasti hilang dan bahkan sebagian diambil orang. Ada yang menginginkan rekomendasi, khususnya untuk pemerintah agar kebijakan yang diambil pro-budaya. Ada yang menyatakan keinginan untuk melihat aksi pasca kongres. Harapannya sangat besar, bahkan sebagiannya sangat-sangat tinggi.

***

Tetapi, pada hari itu tidak selamanya Lisyawati bisa tersenyum sumringah. Sesekali dia harus berpikir keras untuk menjawab beberapa pertanyaan dan bantahan. Misalnya, dia harus bermain kata untuk menjawab kritikan sebab kongres ini terkesan dari atas. Ada juga yang menyorot: kesannya kongres tidak dilaksanakan dengan serius.

Rancangannya terlalu sederhana. Pembicaranya dari kalangan birokrat. Tidak semua orang dilibatkan. Out put dan out come tidak memadai.

Namun Rihat yang mendampingi Lisyawati dapat menjembatani keberatan-keberatan itu. Jika krititan pedas, Rihat akan mengatakan, “Proposal hanya rancangan, sekadar pancingan”.

Pada saat lain, Rihat mengatakan: “Proposal masih harus disempurnakan,”
“Bapak akan kami minta masukannya,”

Dalam proposal yang disusun BPSNT setebal 5 halaman itu latar belakang penyelenggaraan kongres menekankan perlu payung pelindung, pembinaan dan pelestarian, perlunya penyelamatan khazanah budaya.

Proposal ini antara lain dikritik karena melibatkan pembicara yang terbatas dari kalangan birokrat, sedang pembicara dari kalangan pemilik budaya, akademisi, tidak jelas.


0 komentar: