Jumat, 15 Februari 2008

PENGUMPULAN DATA : Kasus Penyelidikan di Kalimantan Barat

Oleh Yusriadi


Pendahuluan

Kerja lapangan merupakan inti dari kegiatan penelitian empiris (Collins 2001). Manusia yang memiliki keterbatasan jangkauan: penglihatan, pendengar, tidak akan dapat memperoleh data yang memadai, yang sesuai dengan tujuan penelitiannya, jika tidak pernah melakukan studi lapangan.

Cukup banyak cemuhan mengenai kegiatan penelitian bahasa yang hanya terbatas di atas kertas, di kamar kerja, atau di kamar hotel. Di tempat ini, peneliti hanya memperoleh data dari tangan kedua, tidak mendapatkan sendiri secara langsung.

Penyelidikan lapangan bidang bahasa melibatkan sekurang-kurangnya isu : di mana data dapat diperoleh, bagaimana memperoleh data, alat apa yang digunakan untuk mencungkil maklumat dan bagaimana mengorganisir data itu.

Tulisan ini memberikan informasi mengenai penelitian kerja yang dilaksanakan di Kalimantan Barat dalam upaya mendapatkan data bahasa. Pengalaman dalam projek penelitian : Identittas, Etnisitas dan Kesatuan, di bawah projek ATMA-UKM, PKBM UNTAN yang didanai projek SEASREP, Yayasan Toyota, akan menjadi landasan dalam tulisan ini .

Gambaran Lokasi Penelitian

Penelitian proyek IEK di Kalimantan Barat ditetapkan berazaskan lembangan sungai. Dua sungai utama yang dipilih, yakni Sungai Sekadau, anak Sungai Kapuas, yang kira-kira 300 Km di arah timur ibukota provinsi, Pontianak, dan Sungai Laur, anak Sungai Pawan yang berada di arah selatan. Kedua sungai ini bagian ujungnya hampir bertembung di sekitar bukit Lubang Kijang dan jajaran bukit lainnya.

Penentuan lokasi penelitian ini yang berlandaskan sungai ini didasarkan pada hakikat bahawa jaringan komunikasi, dinamika penduduk tradisional di sini khususnya, Asia Tenggara umumnya, banyak ditentukan oleh laluan sungai. Melalui sungailah, barang-barang diangkut: bukan saja oleh penduduk di sekitar Matan, Sukadana, Sambas, tetapi juga oleh penduduk di Tanjung Maju, atau Pantong, dekat Balai Semandang, atau oleh penduduk di Cupang Gading, di hulu Sungai Sekadau, Sanggau.

Sungai memang menjadi pilihan sejak zaman dahulu kala. Pengangkutan melalui sungai tidak memerlukan tenaga besar. Beberapapun berat barang bawaan dapat dibawa, asalkan perahu muat. Tenaga hanya akan banyak diperlukan jika memudiki sungai, mengarungi sungai ke hilir boleh bergantung arus. Tak perlu turun naik gunung, atau tidak juga perlu menyeberangi, mengarungi sungai.

Pengangkutan melalui sungai menghindari mereka dari berbagai kemungkinan buruk, seperti ular berbisa, dan lain sebagainya. Alam Kalimantan yang penuh dengan semak belukar, dan rimba-rimba perawan, yang menjadi rumahnya binatang buas dan berbisa yang berbahaya bagi manusia.

Karena itulah ibarat bernostalgia, pemungutan data mesti mempertimbangkan pergerakan sejarah sosial kawasan tersebut. Ini nantinya akan berguna untuk merekonstruksi data yang diperoleh, berguna untuk memahami perubahan demi perubahan bahasa, dan lain sebagainya.

Setelah sungai yang dipilih ditentukan dan diketahui gambaran kasar geografi dan demografinya, peta kawasan merupakan panduan yang penting sekali. Dalam menyusun rencana lapangan, kami agak banyak bersandarkan peta yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Kalimantan Barat. Banyak pengalaman bahawa peta lain yang beredar tidak begitu memuaskan; jarang-jarang sekali mereka membuat gambaran mengenai aliran sungai dengan jelas, dan nama-nama kampung dengan tepat. Walau tidak sempurna, peta BPN ini memberikan gambaran agak memadai nama-nama kampung, letaknya, dan jarak tempuhnya.

Tetapi itu tidak cukup, masih perlu mencari informasi tambahan dari penduduk setempat atau minimal orang yang sudah pernah mengunjungi kawasan tersebut. Informasi tambahan yang biasanya diperlukan menyangkut varian bahasa yang digunakan, jarak tempuh perjalanan, pengangkutan, penduduk, dan lain sebagainya. Informasi umum mengenai geografi dan demografi juga dapat dibandingkan dengan data di Biro Pusat Statistik (BPS), yang biasanya menerbitkan juga monograp kecamatan, atau profil kabupaten. Di sinilah kita tahu mengenai mana tempat yang berkedudukan sebagai desa pengembangan, mana lagi dusun, dan pedukuhan saja. Pada data ini boleh juga diperoleh data kalkulasi jarak sebenar antara satu desa dengan pusat adminstrasi kecamatan.

Setelah informasi lapangan awal ini cukup, biasanya kami membahas kampung-kampung mana yang akan dikunjungi. Maksudnya ada target pra lapangan yang disusun. Dalam penelitian di sungai Laur bagian hilir misalnya, kami mulanya memberi target akan mengunjungi empat tempat; yakni kampung di muara sungai, (Panjawan), Cali yang agak ke utara berada di anak sungai, serta Sempurna dan Penduhan Melayu, kampung paling ujung untuk kawasan hilir ini. Empat tempat ini kami anggap mewakili persebaran geografis.

Namun, setelah sampai di lapangan, ternyata rencana itu berubah. Penduhan Melayu yang ada dalam peta, dan nama yang diberikan sangat menarik, hanya didiami beberapa penduduk, kebanyakan mereka pindah ke kampung Bayur Rempangi. Karena itu di kampung ini kami mengambil data daftar kata. Begitu juga, di muara, kampung Penjawaan yang kami sangka di muara sungai laur ternyata beberapa kilo di hulu sungai. Kampung sebenarnya adalah Kuala Laur.

Ada juga kejadian di Sekadau misalnya, kampung Sungai Laki yang semula tidak ditargetkan, tetapi kami petik juga daftar kata karena penduduk memberitahukan bahawa varian orang di kampung tersebut berbeda dengan di Cuka’ Hulu dan Hilir, atau Nanga Taman.

Ini artinya, apa yang disusun pra lapangan, semasa membuat persiapan, hanya menjadi panduan saja. Bukan harga mati. Ketika di lapangan, kita boleh merubah rencana untuk mendapatkan data yang sesuai. Perubahan itu terjadi selalunya karena data yang kita peroleh di lapangan akan lebih sahih dibandingkan dengan tafsiran kita atas peta dan informasi lain.

Informan

Selama di lapangan, kita selalu akan berhubungan dengan manusia. Masalahnya ada banyak manusia penutur varian yang akan kita kutip datanya. Biasanya di kampung yang dikunjungi orang yang bersedia membantu kita dengan sukarela –sekalipun ada juga kampung yang menolak. Karena itu kita harus memilih wakil-wakil penutur tersebut dalam memetik data untuk mengisi daftar kata.

Dalam proyek IEK, pilihan informan untuk pengisian daftar kata memperhatikan rambu-rambu sebagai berikut :

1. Penutur Asli dan Bertutur dalam Varian Tersebut

Kami selalu memilih penutur asli, kelahiran setempat. Bagaimanapun, seorang penutur pendatang yang tidak dilahirkan di kampung tersebut, meski meyakinkan diri mampu bertutur bahasa setempat dengan baik, data darinya tidak akan kami ambil.

Begitu juga seorang informan yang meskipun dia lahir di kampung yang dikunjungi dan mengaku boleh berbahasa varian tersebut, namun jika ternyata hari-harinya tidak menggunakan varian itu untuk berkomunikasi, juga tidak akan dipilih. Faktor ini penting untuk memastikan bahawa varian yang kita petik merupakan varian yang digunakan masyarakat setempat, bentuk pertuturan sehari-hari, dan tidak dipengaruhi varian lain.

2. Pekerjaan dan Pendidikan

Informan yang bekerja sebagai pegawai negeri, atau seorang pedagang, tidak dijadikan informan. Dengan latar pekerjaan ini, mobilitas mereka tinggi, dan kita mengkhawatirkan mereka memiliki stigma sendiri yang lebih besar mengenai bahasanya. Sehingga factor psikologis ini mempengaruhi informasi yang dia berikan. Sekalipun, mungkin tidak ada maksudnya demikian.

Orang yang tiada pendidikan (tidak sekolah sama sekali) biasanya juga dihindari. Karena ada banyak pengalaman akan timbul kesulitan tersendiri dalam berkomunikasi. Mereka akan sulit memahami tujuan peneliti. Sebaliknya, orang yang pendidikannya tinggi juga tidak akan dijadikan informan.

3. Alat Artikulasi Lengkap

Agar bunyi bahasa dapat dituturkan dengan baik, dalam pengumpulan data lapangan kami mempertimbangkan faktor alat bicara, terutamanya gigi dan bibir. Orang yang sudah tidak bergigi, atau giginya sudah ompong, biasanya dihindari. Begitu juga mereka yang memiliki bibir yang sumbing atau suara yang sengau. Agar tidak berspekulasi, kami biasanya menghindari memungut daftar kata dari orang-orang berusia lanjut.

4. Batas Usia

Masih kaitannya dengan point tiga di atas, karena itu biasanya kami memilih mereka yang berumur antara 17 tahun sampai 60 tahun. Mereka yang berumur begini agak ideal. Umur 17 tahun dianggap sudah cukup berumur di kampung –kadang juga bagi perempuan sudah kawin. Mereka sudah cukup pengalaman hidup, untuk memahami pertanyaan kata demi kata, baik yang abstrak maupun yang kongkrit. Sedangkan mereka yang berusia di atas 60 tahun mesti dipilih dengan sangat selektif. Meskipun mereka telah matang dan punya banyak pengalaman dalam hidup yang boleh diceritakan, namun kemungkinan alat artikulasi yang rusak menjadi perhatian. Biasanya bila berhadapan dengan orang seperti ini kami alihkan untuk bercerita, atau hanya temu bual saja.

Informan yang dipilih untuk data pertuturan (percakapan] atau sastra lisan, biasanya tidak seketat untuk daftar kata. Untuk kelompok ini, mereka yang berusia lanjut, asal sebutannya masih jelas, bisa dipahami, akan direkam. Dan sememangnya, secara umum pencerita yang direkam adalah orang-orang tua, sedikit sekali infroman ini dari kalangan anak muda.

Informan dari kalangan anak muda biasanya dipilih untuk melakukan transkripsi rekaman, kakek nenek, atau ayah-ibu, paman, saudara, mereka. Untuk kerja ini diperlukan mereka yang berpendidikan, punya talenta. Karena kerja transkripsi sesungguhnya memerlukan kesungguhan. Ada kasus di mana seorang berpendidikan tinggi [guru] bersedia membantu melakukan transkripsi, namun kemudian transkripsi itu tidak bisa digunakan. Dan harus diulang kembali dengan tukang transkrip yang lain.

Jika terpaksa harus berurusan dengan birokrat; seperti Ketua RT, Kepala Dusun atau Kepala Desa, biasanya kelompok ini kami jadi informan untuk mendapatkan data sosial masyarakat. Seperti jumlah penduduk, sejarah kampung, adat istiadat, dan menyemak peta pertanahan. Untuk urusan peta, biasanya mereka sangat antusias. Malah di beberapa kampung, jika harus bertemu ‘penguasa’ ini, peta itulah yang disodorkan lebih dahulu untuk mencairkan suasana, atau sebelum kita terdesar dengan anek pertanyaan seputar kegiatan kita. Lebih baik bertanya dahulu daripada ditanya-tanya.

Pengambilan Data

Alat dan Cara Pengambilan Data

Pengambilan data di lapangan dalam Proyek IEK menggunakan alat berupa daftar kata asas yang berjumlah 467 entri. Daftar kata ini dikembangkan Collins, dan sudah dipakai selama beberapa tahun penelitian di Kalbar. Pada daftar kata asas itu, terdapat pertanyaan mengenai objek yang kongkrit, nyata, seperti anggota badan, bagian-bagian rumah tangga, binatang. Sejumlah lagi perkataan yang dimaksudkan untuk mendapatkan data kata-kata yang abstrak, misalnya yang berkaitan dengan emosi.

Alat pencungkil maklumat ini hanya menjadi petunjuk dasar bagi peneliti. Bak lakonan, daftar kata ini menjadi skrip saja. Yang diharapkan adalah hasilnya: kita akan mendapatkan nama untuk alat penglihatan, alat untuk mencium, sebutan untuk tempat tinggal yang permanen, dan seterusnya. Dan dengan maksud menghindari pengaruhnya kepada informan, kepada sebutan dan lain sebagainya, informan diusahakan tidak melihat daftar kata itu –sekalipun dalam banyak kejadian mereka ingin melihat langsung dan menjawab sendiri –bahkan dalam bentuk tertulis.

Daftar kata itu sebagiannya ditanyakan dengan cara langsung menunjuk bagian-bagian tertentu, atau melukiskan nuansa-nuansa emosional. Jadi kata itu tidak langsung diucapkan. Misalnya, untuk kata ‘mata’ kami langsung menunjuk mata, hidung, dan seterusnya. Kalau menangis, kami mungkin akan tanyakan, ‘kalau orang bersedih mengeluarkan air mata, orang sini bilang apa?’. Kalau tertawa, kita langsung saja ‘kalau begini, ha ha ha…, itu bilang apa?”

Cara ini diharapkan meminimalisir kemungkinan pengaruh sebutan informan (paradoks peneliti). Memang, harus diakui, kadang dalam kasus tertentu, hal ini dilanggar. Ketika bertanya kepada penutur bahasa yang kita yakini berasal dari rumpun bahasa yang lain –misalnya bahasa Bidayuh, kita langgar juga.

Jawaban informan ditulis dalam buku tulis sederhana, yang tipis, mudah dibawa dan biasa dilihat orang kampung. Pelambangan bunyi menggunakan ortografi ponetik, dan di setiap kata diberikan nomor urut sesuai dengan urutan pada daftar kata. Agar nanti lebih mudah menyemak kembali daftar kata itu bila masanya dikomputerisasikan.

Selain daftar kata, dan pengumpulan maklumat sosial dengan wawancara, kami menggunakan tape recorder untuk merekam pertuturan. Biasanya yang paling mudah adalah merekam cerita rakyat. Hal penting yang selalu ditegaskan sebelum rekaman dimulai, kami mengharapkan pertuturan menggunakan bahasa ‘asli’ setempat, yang digunakan sehari-hari.

Dengan rekaman seperti ini, diharapkan untuk sementara mereka melupakan bahawa bahasa mereka sedang diamati; cara mereka bertutur sedang disemak. Selain itu rekaman ini bila ditranskripsi dan diterjemahkan kelak, akan memberikan informasi tambahan untuk menjelaskan persoalan sintaksis, isu sosiolinguistik dan isu social lainnya. Karena itulah setiap peneliti ke lapangan selalu membawa tape, kaset, baterai.

Kamera juga dibawa, agar boleh mengambil gambar, mengenai rumah, cara berpakaian, alat-alat pertanian, persekitaran, dan lain sebagainya. Di banyak tempat di lokasi penelitian, kamera merupakan jembatan komunikasi. Orang-orang di lapangan suka difoto. Dan, kontak dengan mereka bisa terus dijaga dengan mengirimkan foto itu kelak.

Selain keperluan pendekatan, diyakini, suatu ketika visualisasi ini akan bicara banyak untuk kepentingan data di kemudian hari.

Membuat Catatan dan Lakaran

Peneliti bahasa ketika turun ke lapangan memang akan berhadapan dengan lingkungan alam dengan pelbagai suasana, keadaan. Tugas utama penelitian bahasa adalah mencatatkan hasil wawancara dengan pelambangan fonetik, entri demi entri sesuai penomboran pada halaman buku tulis.

Pengumpulan daftar kata memang tidak cukup hanya dengan mengisi buku tulis. Memang kelihatannya, cara kerja seperti ini sesuai dengan tujuan; mengisi daftar kata. Namun, mestilah disadari seorang peneliti tidak hanya mengumpul entri perkataan, tetapi pada saat yang sama dia mesti melihat ciri khas, keistimewaan varian yang dihadapinya.

Sebab itu, dalam menggunakan buku tulis untuk mencatat data lapangan ini, satu bagian halaman perlu dikosongkan. Maksudnya, buku tidak dipakai bolak balik. Pada bagian kosong yang disediakan ini, kita bisa mencatat temuan terkini, entah itu mengenai perubahan bunyi, atau informasi apa saja yang menarik, yang relevan dengan penelitian kita.

Pada bagian kosong ini juga bisa dimanfaatkan untuk membuat lakaran peta; sama ada dikerjakan bersama informan bahasa, atau kepala desa, atau siapa saja. Letak kampung yang sudah dituangkan ke peta, perlu selalu diperhatikan. Seringkali ada kekurangan, atau peta yang tak detiil. Karena itu banyak manfaatnya jika di lapangan peta yang ada dilihat kembali, mungkin direvisi atau ditokok tambah. Ruang kosong yang berada di sebelah daftar kata yang kelihatan mubazir, memang disediakan untuk itu.

Kedua, setelah kita mendapatkan rekaman percakapan dan cerita rakyat, kemudian rakaman itu ditranskripsikan. Usaha mentranskripsikan rekaman ini dilakukan dengan cara kerja sebagai berikut: Seorang remaja yang berpendidikan dipilih, untuk mendengarkan rekaman, dan kemudian memindahkan bunyi itu ke buku bergaris dengan ortografi biasa, yang dia kenal. Tetapi, dia hanya menulis pada baris pertama saja. Baris kedua, ketiga dilangkaui. Mereka diingatkan, tulis apa yang dibunyikan, jangan diubah-ubah. Pada tahap ini, kita dapat tinggalkan tape recorder dan mengunjungi informan lain.

Berikutnya, apabila telah selesai –biasanya hanya memakan waktu tidak lama untuk satu cerita pendek, peneliti akan bersama tukang transkrip untuk memeriksa hasil kerja itu. Dan mencatatnya pada baris kedua dengan lambang fonetik. Baris ketiga diisi dengan terjemahan harfiah, kata demi kata pada saat berikutnya. Dan di halaman sebelahnya kita mencatat maklumat-maklumat tambahan; terutama isu semantik leksikalnya. Tidak harus sekali jadi, tetapi bisa diselangselingi untuk memanfaatkan waktu selama berada di lapangan.

Selain itu, sadar bahwa tidak mungkin setiap saat peneliti boleh turun kembali ke tempat tersebut untuk mengambil data yang kurang [karena batas ruang, uang dan waktu], dalam usaha pengumpulan data di lapangan adalah penting untuk membuat catatan-catatan dan sketsa yang relevan dengan tujuan penelitian, kapanpun data itu diperoleh. Agak baik memiliki buku saku kecil untuk mencatat hal-hal istimewa.

Penutup

Inilah sedikit gambaran penelitian lapangan yang sudah kami lakukan dalam penelitian di Sungai Sekadau dan Sungai Laur, dalam dua tahun terakhir ini, di bawah naungan projek SEASREP, Institut Alam dan Tamadun Melayu – UKM dan Pusat Kajian Budaya Melayu Universitas Tanjungpura Pontianak.

Tentu tidak sempurna, karena ada saja hambatan lapangan yang mesti dihadapi. Pada saat demikian kita memilih bersikap pragmatis, dan fleksibel. Yang penting tetap memperhatikan rambu-rambu yang disebutkan. Sungguh, kadang kala kita merasa kesal menghadapi informan yang tak sesuai, kadang kita harus menghindar –membatalkan wawancara kita.

Ketidaksempurnaan mesti kita perbaiki, sehingga mutu dan kualitas data yang dipungut boleh dijamin, dan ditingkatkan di kemudian hari. Karena itu kiranya dapat belajar dari pengalaman. **






0 komentar: