Sabtu, 16 Februari 2008

Ti

Cerpen: Yusriadi

Itu cuma ctatan hrian, agar tidak lupa. Jgn diolok pa, byk yg nyeleneh jg tuh, ape agk waktu nulisx agk sangsot. He he ...

Itu pesan singkat Ti tadi. Ti itu teman saya. Perempuan. Cukup istimewa.
Saya biasa memanggil dia, Ti. Suku kata akhir dari namanya. Itu bagian dari kebiasaan Saya, yang diperoleh sejak kecil dari masyarakat kami, di kampung Ulu.
Suatu ketika Saya pernah memanggil Ti dengan panggilan Yan. Keseleo. Tetapi, bukan isi pesan Saya yang diresponnya.



“Kok ndak dipanggil Ti?”
Begitu Ti protes. Tetapi, ya, Saya mengerti. Itulah dia. Saya menganggap dia makhluk langka. Dia tidak seperti ‘budak’ perempuan umumnya. Budak perempuan biasanya relative rapi, Ti agak kurang. Kadang Saya tersenyum sendiri melihat cara dia memakai kerudung. Suka miring. Kadang ada anak (induk) rambut keluar. Saat bercakap-cakap dengan orang, Ti sering kali harus membetulkannya.
Seingat Saya belum pernah lihat Ti pakai gincu. Kadang saya lihat mukanya agak berminyak –tetapi pasti masih lebih parah keadaan Saya. Hm, rasanya Saya belum pernah cium bau parfum bila berpapasan dengan dia.
Untuk ukuran anak kampus kami, cara berjalan Ti agak cepat. Langkahnya lebar. Kadang pengin saya mengganggunya: ati-ati nanti roknya sobek. Kadang Saya kasihan melihat Nisa yang selalu bersamanya. Nisa yang feminim harus ikut gaya Ti yang ....
Di punggungn Ti tergantung tas. Entah apa isinya. Kayaknya berat. Kadang dia nampak agak uyuh karena beban di belakangnya itu. Mungkin di dalam tas buku bacaan. Mungkin juga novel. Ti pernah keluarkan banyak novel dari tasnya. Anak tuh, suka baca. Saya tidak membayangkan dia membawa bedak, gincu atau parfum dalam tasnya.
Karena suka membaca itulah tidak heran kalau isi kepala dia lebih padat dibandingkan mahasiswa lain yang Saya kenal. Tokjer. Kalau bicara, atau kalau berdiskusi dengan Ti saya sering kualahan.
Misalnya, dia pernah bertanya:
“Saya penasaran, orang Jawa ada aksara. Orang Bugis ada aksara. Orang Dayak bagaimana? Benarkah orang Dayak tidak punya sistem lambang bunyi tersendiri? Masa’ sih orang Dayak tidak punya?”
Tetapi, walaupun berisi, kalau lagi kuliah Ti lebih banyak diam. Menyimak. Kadang kala dia hanya bicara kalau sudah diminta bicara. Kalau sudah bicara, baru orang tahu isinya.
Dan, Ti memang jago. Dia pernah tampil dalam berbagai seminar sebagai pembicara. Bahkan pernah mewakili kampus kami dalam lomba presentasi karya ilmiah tingkat nasional. Karya ilmiahnya lolos seleksi nasional.
Ya, dia termasuk orang yang terbilang. Meskipun masih belia, tulisannya bagus.

***

Nah, malam kemarin, saya membuka blognya. Secara kebetulan saja Saya melihat linknya di blog milik Ambar, teman saya yang juga teman Ti. Ada tulisan Ti tentang tahun baru Hijriyah.
Saya memelototi tulisan itu. Bukan saja indah gaya bahasa dan variatif pilihan katanya, tetapi juga isi cerita itu yang bikin Saya lengket. Isinya seputar kegiatan kami di hari itu –saya lupa persisnya.
Saya tidak menyangka Ti menulis cerita itu. Lebih dari itu saya tidak menyangka dia melakukan pengamatan dan menulisnya.
Tulisannya menjadi menarik. Di tangan Ti, sesuatu yang biasa menjadi sesuatu yang istimewa.
Tak puas hanya membaca, lantas malam itu juga saya kirim SMS.
“Ti, Kamu gilee”
Spontan. Saya tak terpikir budak itu heran. Terkejut atau apa. Sampai saya mendapat balasan:
“Kok gile?”
Setelah membaca SMS itu saya baru sadar. Mungkin Saya yang gila. Bayangkan kirim SMS hampir tengah malam buta. Tak ke orang sudah tidur? Atau, eh, ini ‘kan malam Minggu, tak keh orang lagi sama ‘teman dekat’ menghabiskan malam indah.
Kalau Ti lagi bersama ‘temeeennn’ dan ‘temeeennn’-nya itu darah panas, abislah cerita. Bisa berantakan malam Minggu.
Ah, mane duli. Kalau mau marah, biarlah.
Saya membalas SMS Ti dan memberitahukan bahwa saya sedang membuka blog-nya dan membaca tulisannya.
Ti, merendah.
“Itu cuma ctatan hrian, agar tidak lupa. Jgn diolok pa, byk yg nyeleneh jg tuh, ape agk waktu nulisx agk sangsot. He he ...”
Lihat, dia masih mampu bilang waktu menulisnya sedang agak sangsot. Sangsot dalam bahasa Melayu Pontianak, maknanya sama seperti ‘hang’.
Bayangkan bagaimana lagi bentuk tulisan kalau tidak sedang sangsot.
Tetapi saya maklum itu gaya Ti. Ilmu padi. Dalam hal tertentu, ilmunya lebih tinggi dibandingkan Saya. Andai saja kami satu angkatan, pasti dia akan menjadi guru Saya dalam banyak hal.

***

Tapi bukan soal itu saja. Ti juga sering membuat saya bangga. Kemarin, saya berbicara dengan Akin (Nama sebenarnya Muttaqin), staf Pembantu Ketua III Kampus Kami. Kami bicara soal beasiswa karya ilmiah tahun 2008 ini.
Dari Akin, saya tahu ada beberapa teman saya mengajukan program itu. Termasuk Ti dan Ambar. Jumlahnya baru 6. Padahal ‘jatahnya’ ada 15.
Panjang cerita Takin menceritakan beasiswa tahun lalu. Ti juga mengajukan. Dia mengajukan. Tetapi bukan karya ilmiah –sebab kategori karya ilmiah baru ada tahun ini. Ti (dan Nisa, teman saya juga) mengajukan beasiswa prestasi.
Tetapi permohonan beasiswa prestasi Ti dan Nisa tidak diloloskan. Saat pengumuman nama mereka muncul dalam kategori “Mahasiswa Tidak Mampu”.
Kata Takin saat dipanggil untuk pencairan beasiswa itu, Ti dan Nisa menolak.
“Kami memohon untuk beasiswa prestasi, bukan beasiswa mahasiswa kurang mampu. Kami tidak dapat menerimanya. Bukan kami tidak perlu uang. Kami perlu uang,”.
Karena itu nama mereka dicoret dan diganti dengan mahasiswa lain.
Tentu saja saya terperangah mendengar cerita itu. Ti tidak pernah cerita. Nisa juga tidak.
Saya bangga dengan idealisme mereka itu. Sesetengah orang mungkin tidak peduli dengan uang seperti itu. Sesetengah orang pasti tidak akan memikirkan orang lain. Hanya orang yang memiliki kelebihan saja yang bisa begitu. Hanya orang yang hebat saja yang dapat menahan diri. Apalagi bila sudah berhadapan dengan uang.
Saya merasa sangat beruntung kenal dengan Ti. Walaupun kadang-kadang dia rada-rada aneh. Saya belajar banyak dari dia.

[Ti, jangan marah ya kalau ada bagian yang tak berkenan].



0 komentar: