Minggu, 16 Maret 2008

Beasiswa

Oleh: Yusriadi

“Aku terlambat, masang pengumuman beasiswa,” kata Takin.
Jumat kemarin, dia datang ke lapangan futsal di Jalan Ali Anyang, tempat kami latihan, terlambat. Agak buru-buru. Masih dengan baju dinas.
Takin, bekerja di STAIN Pontianak. Asisten Pembantu Ketua III. Cukup keren pangkatnya. Dalam tim futsal kami, Takin di posisi penjaga gawang.
Sekarang dia sedang mengurus beasiswa untuk mahasiswa STAIN Pontianak. Tahun ini ada ratusan beasiswa dikucurkan. Baik dari DIPA maupun dari sumber lain, termasuk beasiswa Supersemar.


Beasiswa di STAIN Pontianak tahun ini diberikan untuk mahasiswa berprestasi akademik, mahasiswa berprestasi bidang seni dan olahraga, mahasiswa aktivis, mahasiswa kurang mampu, mahasiswa berkarya ilmiah, mahasiswa penghafal Quran. Itung-itung separoh dari jumlah mahasiswa STAIN mendapat beasiswa. Jumlahnya lumayan, Rp 1.200.000. Saya gurau Zulfian, mahasiswa yang ikut mengajukan beasiswa, jumlah itu cukup untuk nambah tabungan hantaran.

“Gimana sidak-sidak, bulih?” Saya bertanya.
Saya ingin mendengar kabar tentang mahasiswa yang saya kenal, yang ikut mengajukan beasiswa. Ada Zulfian, Ambar, Yanti, Hairi, Marisa, Dearti, Wati.
Kabar yang ingin saya dengar tentu kabar baik. Saya ingin semua mahasiswa itu dapat beasiswa itu. Bukan saja soal uang yang agak lumayan itu, tetapi, soal motivasi. Bagi saya, kalau mereka dapat akan lebih mudah saya mendorong mereka. Saya bisa menunjukkan hasilnya kalau orang berkarya: beasiswa.
Kalau tidak dapat, wahhh.... bisa berabe. Mungkin mereka patah hati.
Memang saya yakin Zulfian, Ambar, Yanti, Wati, akan dapat. Tetapi, Hairi dan Marisa, saya tidak yakin. Maklum Puket III, Hamka, pernah memberitahukan bahwa beasiswa diprioritaskan untuk mahasiswa yang benar-benar memerlukan dan ada syarat tertentu. Jakarta pernah menyarankan agar beasiswa diberikan pada mahasiswa semester-semester akhir.
“Jakarta sempat mengingatkan hal itu,” kata Hamka sewaktu saya ajak bicara soal beasiswa STAIN.
Hairi dan Marisa baru masuk semester II. Nilai semester I belum keluar semua. Waktu urus transkrip nilai sebagai syarat mengajukan permohonan, wuih... repot. Orang di prodi tidak biasa mengeluarkan transkrip untuk mahasiswa semester I. Orang di prodi pesimis ketika mendengar tujuan Hairi dan Marisa minta transkrip. Yang orang prodi tahu, mahasiswa semester I tidak bisa mengajukan beasiswa. Kasarnya, jika pun transkrip diurus, percuma. Sebelum saya paksa menulis, Hairi dan Marisa juga pernah mengatakan hal itu pada saya: “Kami ‘kan masih semester I, Pak,”
Karena cara berpikir orang prodi itu, pembuatan transkrip sempat ‘tertunda’. Hairi dan Marisa sempat pesimis. Besok penutupan. Hari ini belum beres lagi. Syarat tidak akan terpenuhi. Waktunya sudah mepet.
“Tak bise Pak,”
Saya sempat menulis memo pada kertas milik Hairi agar orang di prodi baca.
“Tolong dibuatkan transkrip nilai. Apa yang ada. Soal diterima atau tidak, itu urusan lain,”
Saya sempat menjumpai staf dan ketua prodi membicarakan soal ini –atau lebih tepatnya mendesak. Bahkan di prodi tempat Marisa belajar saya sempat naik pan. Ketua prodi tidak ada. Staf prodi terkesan cuek. Ketika saya minta dibuatkan transkrip, dia bilang:
“Tidak ada perintah dari ketua prodi,”
Saya berpikir, dia benar. Itu bukan tugas dia. Dalam dunia kerja yang profesional memang begitu.
“Tadi prodi bilang tidak bisa, karena nilai belum keluar semua,” tambahnya lagi.
Kacau!
Tetapi, ini darurat. Staf prodi lain yang tugasnya membuat transkrip, tidak masuk karena sakit. Jujur saja, saya sempat putus asa. Terpaksa saya menunggu ketua prodi datang. Pekerjaan yang sudah lama tidak saya lakukan.
Ketika kemudian ketua prodi datang, saya merasa lega. Dia bersedia membantu membuatkan transkrip, sekalipun membuat transkrip hanya untuk separoh nilai merupakan sesuatu yang aneh. Nilai Marisa belum lengkap. Masih ada satu dosen belum memberikan nilai.
Kalau Hairi lebih parah lagi. Masih ada tiga nilai belum keluar.

Tetapi, ketika Takin mengatakan: “Bulih”, saya merasa lega. “Alhamdulillah”. Saya bisa membayangkan betapa senangnya mereka. Betapa senangnya orang tua mereka.
“Saya sudah ceritakan dengan Pak Hamka. Ada anak yang terpaksa menjual handpone untuk daftar ulang. Pak Hamka bilang, harus dibantu itu,”
Saya mengangguk.
Takin pun tahu arah pertanyaan saya. Dia bercerita tentang bos-nya itu. Bagi saya cerita itu berarti kepastian. Permohonan Hairi diluluskan. Kalau Hairi diluluskan, Marisa pasti juga diluluskan.
Dan benar, Sabtu, ketika sampai ke kampus saya langsung meluruk menuju papan pengumuman di depan ruangan Kabag TU STAIN Pontianak. Ada banyak mahasiswa sedang melihat pengumuman di situ. Saya menyeruak di antara mereka.
Saya mencari nama Wati, Ambar, Hairi, Marisa dan lain-lain. Tuh, nama mereka tertera di sana. Saya bersorak dalam hati.
Agak siang beberapa mahasiswa yang mendapatkan beasiswa datang ke ruangan. Selain bicara soal kuliah, mereka memberitahukan kabar gembira itu. Saya melihat kegembiraan terpancar di wajah mereka. Saya senang melihatnya. Saya senang bisa membuat mereka senang, bukan cuma menyusahkan.
Sore, saya mendapat SMS dari Ambar. Mengabarkan beasiswa itu – siang itu Ambar tidak muncul. Ambar, Marisa dan Hairi ingin menyampaikan terima kasih dengan memberikan sesuatu. “Awas ye kalau tak mau!,”
Saya tersenyum mendengar ancaman itu. Ambar memang selalu begitu. Ada beberapa kali saya diancamnya. Tanda perhatian dia memang begitu. Gurau. Tetapi dia tidak mau mengatakan akan memberikan apa nanti.
“Berikan saya kebanggaan ya! Terus berkarya.”
Saya senang Ambar, Marisa, Hairi, Yanti, dll karena mereka memiliki kemauan yang kuat. Mau berusaha. Saya yakin itu kunci kemajuan. Saya yakin kalau ritme ini terus bertahan, mereka pasti akan menjadi orang yang berhasil.
Ingat rencana mereka memberikan sesuatu sebagai ungkapan terima kasih, saya lantas teringat pengalaman ketika mendapat beasiswa dari SEASREP, The Toyota Foundation sewaktu ambil program doktoral dahulu. Waktu itu saya juga berniat memberikan pembimbing saya Prof. Dr. James T. Collins hadiah, sebagai ucapan terima kasih karena bantuannya. Menurut saya, kalau bukan karena dibantu Pak Jim –begitu kami memanggil beliau, pasti saya tidak akan dapat bantuan itu.
Tetapi, saya gagal menyampaikan ucapan terima kasih itu.
“Yus, saya bukan makelar. Saya membantu kamu,”
Suara Pak Jim tegas. Serius.
Saya ingin ungkapkan kata-kata itu nanti. Meniru. Biarlah Ambar, dkk mengancam. Kalau mereka marah (mungkin ngomel), saya akan diam. Selama ini mereka juga begitu. Kalau saya marah atau ngomel mereka diam. Marisa pernah cerita pengalamannya sewaktu kena ‘khutbah’ di kelas.
Kalau saya beri pekerjaan mereka terangguk-angguk. Mereka tahu saya marah karena saya menyayangi mereka. Pekerjaan yang diberikan untuk mereka juga. Untuk masa depan.
Jadi, sesekali saya kena balas tak apa. Saya akan menikmati kemarahan mereka. Saya akan tulis ekspresi orang-orang yang marah. [Duh, kalau mereka tulis tentang saya sedang khutbah di kelas, repot juga yach].
Setelah itu saya akan membujuk mereka.
“Kita satu team”
Team yang akan bersama-sama bergerak menuju puncak prestasi.
Semoga!

Purnama, 16 Maret 2008






Baca Selengkapnya...

Jumat, 14 Maret 2008

Kunjungan ke Borneo Tribune


Peserta pelatihan jurnalistik remaja masjid se- kota Pontianak berkunjungan ke kantor redaksi Borneo Tribune di Jalan Purnama, Pontianak. Peserta mendapat penjelasan mengenai tata kerja redaksi dan proses produksi koran. Foto AA Mering/Borneo Tribune.



Baca Selengkapnya...

Pengalaman dari Latihan Jurnalistik: KETIKA REMAJA MASJID BELAJAR MEMBUAT BERITA

Oleh Yusriadi

Minggu 9 Maret 2008. Pagi sekali saya sudah berangkat ke Kampus STAIN Pontianak, Jalan Suprapto Pontianak. Saya menuju tempat pelatihan jurnalistik bagi remaja masjid se- kota Pontianak yang diselenggarakan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) STAIN Pontianak, bekerja sama dengan Borneo Tribune dan Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Kota Pontianak.

Jadwal saya menyampaikan materi pukul 08.00 WIB. Hardianti dan Ambaryani, panitia pengarah pelatihan memberikan jadwal untuk saya hingga pukul 15.00 WIB. Kira-kira 8 jam. Materinya ada tiga. Penulisan berita, pengiriman berita, dan rencana follow up.
Saya akur saja. Saya tidak bisa menolak permintaan mereka. Lagian, gagasan pelatihan juga muncul dari perbincangan kami. Yanti dan Ambar, merespon. Mereka membawa gagasan itu dalam rapat LPM. Di LPM, Yanti dan Amar adalah pengurus. Yanti berpangkat redaktur pelaksana di Warta STAIN, media terbitan LPM. Sedangkan Ambar, adalah bendahara. Tukang hitung duit.

Tetapi, karena “kesian”, Yanti mengubah jadwal. Jadi, waktu saya dipendekkan. Satu sesi pagi dan satu sesi lagi setelah Zhuhur. Sesi kedua diisi dengan quiz. Panitia membagikan doorprize kepada peserta yang dapat menjawab 3 pertanyaan dari belasan pertanyaan yang disusun panitia. Siang, saya akan menyampaikan materi tentang pengiriman berita ke media.

Sesi pertama pagi itu agak molor. Dari jadwal jam 08.00, acara baru terlaksana lebih kurang 30 menit kemudian. Waktu itu peserta bisa dihitung dengan telunjuk. Padahal peserta terdaftar 23 orang. “Ada yang izin karena ada kegiatan lain,” kata Erni, panitia pelaksana.

Septian Utut membuka sesi. Dia jadi moderator.
Seperti yang diminta saya lebih banyak mengajak peserta praktik. Karya peserta dibedah. Dikomentari.

Ya, lumayan. Beberapa di antaranya sudah cukup bagus –untuk ukuran pemula. Ada peserta yang kelihatannya sudah memiliki feeling; hidung mereka sudah tajam mencium mana yang layak diberitakan dan mana yang tidak. Misalnya ada yang mengangkat berita soal orang yang terdampar di masjid. Ada yang menulis soal pencuri sandal yang tertangkap di masjid. Ada yang menulis soal perseteruan di masjid. Saya memuji ketajaman itu.

Hanya saja karena belum terlatih, umumnya peserta tidak dapat membuat judul yang sesuai dengan isi. Ibarat kata orang, judul kemana, paragraf kemana.
Karena itulah pada sesi ini saya lebih banyak mengajak peserta bagaimana membuat paragraf pertama yang sesuai dengan judul.

Mula-mulai saya memberikan contoh. Lalu, peserta diminta membuat paragraf pertama dengan tema yang sudah ditentukan. Isi paragraf pertama ini antara 20-30 kata, atau dua sampai tiga kalimatn. Waktunya 10 menit.

Tugas ini umumnya dikerjakan dengan baik. Sekali lagi saya takjub. Hasilnya lumayan bagus. Saya pikir, formula seperti ini bisa digunakan untuk pelatihan selanjutnya, bahkan mungkin diadopsi di kelas KPI nanti.
Lebih menakjubkan lagi, semangat mereka. Mereka menunjukkan minat yang besar untuk mencoba menulis.

Tak terasa jam 10.40. Waktu saya habis.

Tetapi, sebelum cabut, saya minta mereka memberikan tanggapan setelah latihan itu. Beberapa peserta menyampaikan bahwa mereka sangat berkesan dengan latihan pagi itu. “Saya mendapat ilmu baru,” kata Toifur, peserta yang paling aktif selama sesi saya.
Peserta lain memberitahukan setelah latihan singkat mereka jadi merasa bisa membuat berita.

Ada juga yang membandingkan anggapan sebelum ini.
“Rupanya membuat berita ada aturan tersendiri,”

Peserta lain berkomentar, mereka baru tahu kalau membuat paragraf pertama harus mengacu pada judul. Yang mereka ketahui, judul mengacu pada inti karangan. Bagian inti tidak harus di paragraf awal. Bisa di awal, bisa di tengah, dan bisa di bagian akhir karangan.

Saya puas mendengar komentar mereka. Komentar-komentar ini mencerminkan tingkat pemahaman mereka pada materi pelatihan. Lebih dari itu komentar ini sebenarnya mengikat mereka. Sebab, saya akan bertanya pada mereka; setelah tahu, apa yang akan dibuat?

***

Dan memang pertanyaan itu saya ajukan juga pada mereka. Bukan di sesi 2, seperti yang saya bayangkan. Pertanyaan itu saya ajukan pada peserta saat berdialog dengan mereka di kantor Redaksi Borneo Tribune, sore hari Minggu itu.

Dalam kunjungan pasca pelatihan, saya mendampingi AA Mering dan Fakun menerima kehadiran mereka. AA Mering adalah redaktur utama di Borneo Tribune. Sedangkan Fakun adalah kepala bagian Pracetak Borneo Tribune. Mering menjelaskan tata kerja redaksi. Dia juga mengundang mereka menjadi penulis. “Tribune ingin menerapkan konsep citizen journalisme. Setiap orang boleh menulis di Tribune,” katanya.

Sedangkan Fakun menjelaskan soal produksi koran. Mulai proses menata halaman, print out, membuat plat, hingga proses pencetakan.

Setelah mereka berdua selesai menjelaskan bagian kerja masing-masing, saya mengajukan pertanyaan kepada seluruh peserta. Satu per satu mereka diminta mengungkapkan apa yang akan dibuat setelah pelatihan.

Ada yang menjawab dengan jelas. Ada yang menjawab dengan ungkapan umum.
Ada yang ingin menjadi wartawan. Ada yang ingin menjadi penulis.
Kesan saya mereka menunjukkan kemauan melakukan sesuatu. Mereka ingin menerapkan ilmu yang diperoleh.

Mereka ada semangat.

Saya tersenyum mendengar semangat-semangat itu. Menyenangkan. Saya membayangkan andai saja semangat itu bisa dipelihara. Andai mereka semua menjadi penulis.





Baca Selengkapnya...

Selasa, 11 Maret 2008

Tempat Wisata Gadong


Sebuah showroom mobil di kawasan Gadong, Brunei mengelola objek wisata sederhana. Pada saat menjelang Imlek, mereka mendekorasi objek dengan tampilan khas Cina. Objek ini ramai dikunjungi warga dan turis pada malam hari. Cahaya lampu membuat objek ini sangat menarik untuk diabadikan. FOTO Yusriadi




Baca Selengkapnya...

Catatan Perjalanan ke Brunei 7: Malam Terakhir di Gadong

Malam itu, kami pulang paling akhir. Jam 10.30 malam. Tetapi, rupanya tidak langsung pulang. Dr Yabit membawa kami keliling.
Salah satu tempat yang kami kunjungi adalah kawasan Gadong. Kami berhenti di sebuah showroom mobil.

Di sana juga banyak orang lain. Malam-malam masih ramai.
Orang ke situ untuk mengabadikan ornamen Imlek. Ada bunga Mei Hwa, ada lampion warna merah, ada kereta kencana. Sungguh indah.

“Dekorasinya selalu berubah sesuai keperluan,” kata Dr. Yabit.
Kalau musim Natal, ornamennya berganti dengan hiasan khusus Natal; ada sinterklas, kereta kuda, dll. Kalau musim lebaran, hiasannya berganti dengan ketupat, dll.
Tempat ini selalu ramai kalau malam. Lampu hiasannya sangat indah. Kalau siang tidak.
Kata Dr Yabit, tempat ini dikelola showroom. Sebagai sumbangan mereka untuk pariwisata Brunei.

Saya membayangkan jika ada upaya seperti itu di Pontianak, pasti jadi ramai juga. Lahan untuk ‘pameran’ itu tidak besar. Mungkin cuma seluas lapangan volly.
Tetapi saya bertanya-tanya dalam hati, adakah para pengusaha yang memiliki perhatian pada soal seperti ini?

Adakah orang Kalbar yang bisa melepaskan diri dari ikatan primordialis. Bayangkan hiasan di sana bisa berganti sesuai musim: jadi sekali patung di sana jadi orang Islam, sekali jadi orang Kristen, sekali jadi orang Cina.
Kami, seperti juga pengunjung lain juga mengabadikan pemandangan malam itu.
Setelah itu melanjutkan perjalanan. Kembali ke rumah.

***

Seminar hari terakhir dipadatkan. Jika menurut jadwal, seharusnya seminar berakhir sore hari, panitia mengatur seminar bisa selesai sebelum makan siang.
Aji meminta pendapat saya siapa yang akan menjadi wakil pembentang dan peserta untuk menyampaikan kata ucapan. Pesan dan kesan dari seminar ini.

Saya mengusulkan Bang Kris sebagai wakil peserta. Aji setuju.
Sebelum menyampaikan kata akhir, Bang Kris dipanggil panitia ke ruang khusus. Rupanya, ada wartawan TV Brunei yang ingin wawancara.
Setelah itu dengan sumringah Bang Kris menceritakan pengalamannya.
“Saya masuk TV Brunei,” katanya.

Bang Kris berulang kali mengungkapkan kesan positifnya terhadap seminar ini. Dia juga menyampaikan kesan positif terhadap panitia, terhadap Dr. Yabit dan keluarga, dan juga terhadap orang-orang Brunei yang sempat kami kenal.

Teman-teman lain juga berpikiran sama. Brunei yang dibayangkan berbeda dengan kenyataan. Brunei yang rupanya cukup luas. Orang Brunei ramah-ramah.
Ada teman yang punya kesan khusus tentang orang Cina di Brunei. “Orang Cina Brunei lain sekali dibandingkan orang Cina di Pontianak”.
Bagi mereka, dengan pengalaman yang terbatas, orang Cina di Brunei ramah-ramah. Mudah bergaul.

Saya sendiri memang merasakan hal itu. Tetapi, bukan cuma Cina, suku lain juga begitu. Ada Tuah Dilang, orang Iban yang beberapa kali membantu kami. Dia dipanggil Cikgu. Orang tua Tuah berasal dari Kapuas Hulu. Saat kami pulang Tuah merelakan waktunya mengantar kami sampai ke Kuala Belait. Dia, menunggu kami hingga bus yang akan membawa kami ke Sungai Tujoh berangkat. Dia melambaikan tangan, seakan-akan kami adalah sahabat lama. Padahal kami baru berkenalan dengannya.
Ya, layanan dan bantuan yang diberikan Aji, Abu Zar, Gazali, Zila, dll juga sangat berbekas di hati. Sedangkan layanan yang diberikan Dr. Yabit dan keluarganya, sudah tidak bisa dikira.

Pengalaman di Brunei mengingatkan saya pada kenyataan di Kalbar. Di Pontianak, tidak mudah mendapatkan orang yang bersedia melayani orang lain. Yang mau mungkin tidak ada fasilitas. Sedangkan yang punya fasilitas mungkin kurang punya kemauan. Orang yang punya fasilitas biasanya sudah masuk ke kelas orang kaya. Ketika masuk dalam kelas itu biasanya orang sudah memasuki fase minta dilayani, bukannya melayani.
Bayangkan saja seorang doktor, seorang profesor bersedia melayani kami yang tidak ada apa-apanya.

Soal kesediaan orang Brunei melayani tamu mereka, mengingatkan pengalaman di kampung dahulu, puluhan tahun lalu. Dahulu orang kampung bersedia melayani tamu-tamu mereka, tanpa pamrih. Bagi orang kampung melayani orang yang datang adalah suatu kehormatan. Ada panggilan moral untuk melakukan hal itu. Dahulu.
“Bisakah kita seperti itu? Bagaimana agar kita bisa seperti itu?”
Pertanyaan itu saya sampaikan kepada teman-teman.

Pada akhirnya bagi saya, perjalanan ke Brunei bukan saja perjalanan untuk menghadiri seminar, untuk membentangkan makalah, untuk mendengarkan temuan-temuan terbaru para ilmuan, tetapi perjalanan sambil belajar. Belajar bagaimana cara hidup. Belajar bagaimana rendah diri. Belajar bagaimana cara melayani orang. Habis.




Baca Selengkapnya...

Masjid Kampus UBD


Masjid Kampus UBD, tempat kami shalat Jumat hari itu (25/1/08). Foto Yusriadi



Baca Selengkapnya...

Catatan perjalanan ke Brunei 6:Jamuan Makan Ambuyat

Yusriadi

Sore kami pulang diantar oleh Gazali menggunakan mobil Dr. Yabit. Gazali adalah mahasiswa UBD. Dia orang Malaysia. Guru yang belajar lagi. Seperti di Indonesia juga, guru yang belum sarjana diwajibkan kuliah lagi agar bisa dapat gelar sarjana.
Kami harus mempersiapkan diri. Malam ini ada jamuan makan yang diselenggarakan Dr. Yabit dan keluarga. Jamuan ini khusus untuk Prof. Jim dan Dr. Chong, rombangan dari Kalbar dan dari Pulau Pinang.



Malam itu kami akan makan ambuyat. Makanan dari sagu khas Brunei. Di tanah Bugis juga. Saya belum pernah lihat makanan ini di Kalbar.

Makanan ini bagi saya sangat aneh. Cara makan pun saya tidak tahu. Hi, malu!
Teman-teman dari Pontianak lainnya juga begitu. Kami menunggu orang memulai. Pak Jim yang memberikan contoh. Pak Jim sudah biasa makan ambuyat.
Caranya cukup unik. Ambuyat yang masih berada di dalam wadahnya disendok dengan cara memutarkan sendok. Sehingga akhirnya sagu tersebut menggulung sendok itu. Baru kemudian gulungan sagu dilepaskan dengan sendok yang lain.

Ada ikan, daging, sayur, bisa jadi pilihan untuk ‘lauk’ ambuyat itu.
Saya mendengar Pak Jim dan Dr Yabit menggoda kami yang kikuk makan ambuyat. Selain itu, kami juga ditawarkan nasi. Saya dan beberapa teman meminta nasi. Khawatir ambuyat tidak dapat mengenyangkan. Maklum perut kampung, kalau belum makan nasi rasa belum makan. Sungguhpun makan macam-macam makanan namun kalau belum masuk nasi belum syah rasanya.

Selesai makan, kami diajak melihat Brunei malam hari. Kami pergi ke Kampung Air. Tempat di tepi pantai. Banyak orang sedang menjala udang. Ada juga orang yang sedang memancing.

Kami sempat berdialog dengan sepasang suami istri tua. Mereka menangkap udang. Udang itu kemudian dijual. “Pembelinya datang ke sini,” kata mereka.
Satu malam mereka bisa mendapat 200-300 dolar Brunei. Kalau nilainya Rp 6600, itu sama artinya mereka bisa mendapat Rp 2 juta lebih. Bayangkan! Duh makmurnya.
Kami dibawa melihat Masjid Sultan, melewati depan istana. Kami juga singgah di pasar malam. Gazali menjadi pemandu yang baik.
Saya mendapatkan banyak informasi yang berharga. Perjalanan yang mengesankan. Sangat mengesankan.

***

Hari Jumat. Semula saya pikir kami akan shalat Jumat di Masjid Sultan. Namun, tidak jadi. Kami shalat di masjid kampus.

Saya, Ismail, dan Ibrahim semula berniat jalan kaki ke masjid. Namun, baru beberapa langkah berjalan, sebuah sedan mewah berhenti.
“Saya antar,” kata pemilik sedan.
“Masjid cukup jauh juga,” katanya.
Kami menerima tawaran itu.

Namanya Nurzhila. Tepatnya Hajah Nurzhila. Dia seorang mahasiswa. Panitia seminar juga.
Zila, begitu dia menyebut dirinya, pernah ke Pontianak. Dia ikut rombongan UBD saat berkunjung ke STAIN, Untan dan kampung Kanayatn di Sungai Ambawang. “Saya pakai baju ini waktu di sana,” katanya sambil tertawa.

Hari itu Zila memakai baju hijau. Kalau ikut nilai yang diberikan untuk Abu Zar, nilai Zila mungkin 8 atau 9. Entah.
Dia menceritakan pengalamannya di Pontianak. Dia tampil di panggung waktu itu, ‘mentas’.

Rupanya, sebelumnya, Zila sudah mengantar Ros dan Siti melakukan studi banding di sebuah sekolah di Brunei.

Masjid memang tidak jauh. Zila menurunkan kami di depan masjid.
Kala itu masjid masih sepi. Kami termasuk orang yang datang awal.
Masjid kampus UBD besar dan megah. Bagian depan terdapat pendopo. Ada beberapa orang duduk. Kami hanya mengangguk pada mereka.
Kami menuju tempat wudhu’.

Di depan pintu masjid terdapat koran. Gratis. Saya mengambil satu.
Masuk ke dalam masjid di negara Islam seperti Brunei menimbulkan kesan tersendiri bagi saya. Saya ingin melihat bagaimana bedanya masjid di negara Islam dibandingkan masjid di negara Pancasila.

Secara fisik memang beda. Masjidnya ada penyejuk ruangan. Lantai karpet halus.
Saya memilih duduk di shaf paling belakang. Melihat satu per satu orang yang masuk. Saya ingin mengamati apa yang terjadi. Ismail duduk di samping saya.
Makin lama jamaah yang datang makin banyak.

Saya sempat bisik-bisik dengan Ismail ketika ada pengumuman shalat berjamaah. Saya tidak dengar dengan jelas shalat apa. Maklum di Pontianak rasanya belum pernah ada shalat berjamaah sebelum shalat Jumat. Kalau shalat sendiri-sendiri ada.
Rupanya shalat jamaah itu adalah shalat hajad untuk mendoakan orang Islam di luar negeri. Shalat itu biasa dilaksanakan.

Tidak ada yang berbeda dalam prosesi pembacaan khutbah di masjid ini dibandingkan masjid di Pontianak. Begitu juga dengan sikap jamaah. Tetapi ada saja anak-anak yang agak nakal. Ada jamaah yang tidak pakai penutup kepala. Ada yang memakai baju kaos.
Mungkin sedikit beda, banyak orang memakai jubah. Di Pontianak jarang orang pakai jubah. Yang pakai biasanya yang baru pulang dari tanah suci. Paling, baju koko, atau kalau tidak batik. Bahkan kadang cuma pakai kaos.

Usai shalat, kami menuju bangunan Canselor, tempat kegiatan seminar. Kami memintas melalui taman. Rupanya memang tidak jauh. Berjalan seperti itu sudah biasa.

***

Jumat malam. Atau malam Sabtu kata orang. Panitia mengadakan jamuan makan malam resmi. Ada petinggi fakultas yang hadir. Jamuannya agak sederhana. Kami duduk di meja agak di belakang. Aji Jaludin menemani kami. Ada seorang perempuan agak tua di meja itu. Rupanya, dia pegawai UBD. Yang mengejutkan, dia adalah saudara tua Aji Jaludin.

Zila dan beberapa temannya mahasiswa UBD duduk bersama kami. Termasuk Gazali. Abu Zar muncul sebentar. Kemudian pamit karena ada tugas kuliah yang harus diselesaikannya.

Setelah acara formal –ada sambutan dari Dekan Fakultas Bahasa, dilanjutkan dengan acara hiburan. Mula-mula wakil dari Jawa mempersembahkan atraksi kesenian Jawa. Ada yang membaca puisi ada yang berpantun. Ada yang menyanyi.
Ismail menjadi wakil kami. Dia menyanyikan lagu dangdut, Megi Z. Heboh! Ada yang berjoget mengiringi goyang Ismail. Rombongan Pontianak ngelagak sedikitlah. Saya baru tahu Ismail pandai menyanyi lagu dangdut. Saya pikir dia cuma bisa main jepin atau pukul tahar. Kemudian Ros juga menyanyikan. Kata Siti, Ros pernah menjadi juara karaoke di sekolah. Saya yang sudah lama kenal Ros juga tidak tahu kalau dia pandai menyanyi.

Agak larut acara diakhir. Peserta pulang.

Namun, kami masih harus menunggu Dr. Yabit selesai. Sebab kami pulang bersama dia. Sambil menunggu kami membantu Aji dan Gazali mengemas peralatan karaoke. Rupanya peralatan karaoke yang dipakai malam itu diangkut dari rumah Aji. Dan Aji sendiri yang mengurusnya.

Saya tak habis pikir dengan situasi ini. Kalau di Pontianak, rasanya ‘betuah’ bisa melihat seorang profesor madya, yang bergaji puluhan juta mau buat hal seperti itu. Pastilah dia akan menonton saja orang lain angkut-angkut barang. Aji memang sederhana. Kesederhanaan yang layak ditiru oleh orang ‘besar’ di Pontianak. Bersambung.





Baca Selengkapnya...

Minggu, 09 Maret 2008

SEMINAR DI BRUNEI



Ismail Ruslan, dari STAIN Pontianak sedang membentangkan makalahnya tentang 'Orang Melayu Pontianak' dalam seminar SADDAN III di UBD. Foto Yusriadi.




Baca Selengkapnya...

Catatan Perjalanan ke Brunei 5: Seminar Itu Sangat Menarik



Catatan Perjalanan ke Brunei (6)
Seminar yang Menarik

Pagi. Aji menjemput kami. Sebelum sampai di kampus kami mampir dahulu ke kedai makan di kawasan Jalan Jerudong. Sarapan pagi.
Kami memilih makan roti cane. Pemiliknya agaknya orang India. Pekerjanya orang Indonesia.
Istimewanya di warung ini tersedia fasilitas internet. Bang Kris yang memang meninting laptop dari Pontianak, membuka emailnya.
Selesai sarapan, kami melanjutkan perjalanan ke kampus.
Kampus Universiti Brunei Darussalam, tempat berlangsungnya seminar, cukup megah. Bangunan canselor tidak jauh dari pintu masuk mencerminkan kebesaran universiti itu. Kampus juga nampak asri di sekitarnya terdapat pepohonan.
Kami masuk ke dalam bangunan. Sudah banyak orang berkumpul di depan ruang pertemuan. Sedang registrasi. Pembicara dan peserta dipisahkan.
Saya menyapa beberapa orang yang dikenal. Ada rombongan pak Syamsuri, dan Oskar Hadigaluh dari STIT Sambas. Ada Prof Amrin Saragih, dari Balai Bahasa Sumatera Utara. Ada Prof Abdullah Hasan dari Malasyia. Ada beberapa lagi wajah orang Malaysia dan Brunei yang saya kenal.
Prof. James T Collins, yang biasa kami panggil Pak Jim juga ada di antara orang-orang di situ. Ada juga Dr. Chong Shin.
Kami mendapatkan prosiding dua jilid, kesemuanya ada 632 halaman. Jilid 1 ada 38 tulisan. Jilid 2 ada 37 tulisan. Tidak semua makalah yang dibentangkan dalam seminar masuk di proseding ini. Maklum, ada beberapa orang mengirimnya agak lambat.
Selesai pendaftaran, pembukaan dimulai. Acara pembukaan dilaksanakan di ruang canselor. Menteri pendidikan yang membuka kegiatan.
Yang unik, acara dimulai dengan doa. Doa untuk semua dan doa untuk keselamatan Sultan. Barulah kemudian dilanjutkan dengan sambutan ketua panitia dan sambutan menteri.
Setelah itu, pembicara utama Prof. Collins yang membentangkan tentang bahasa di Pulau Seram yang hilang dan terancam hilang. Seperti biasa Pak Jim selalu berhasil memukau pendengar. Caranya mengkonstruksi pemikiran berdasarkan data lapangan. Dia sangat kaya data.
Lagian, apa yang dibicarakan Pak Jim juga sangat menyentuh. Kepunahan. Gagasan penyelamatan dilontarkan. Banyak peserta memberikan tanggapan. Dari pertanyaan yang ‘serius-berisi’ hingga pertanyaan yang kosong dan asal bunyi. Bayangkan ada peserta meminta pendapat Pak Jim soal Soeharto dikaitkan dengan kepunahan ini. Orang-orang yang bertanya adalah orang Indonesia.
Saya selalu mafhum soal begini ini. Orang Indonesia memang paling jago bunyi. Banyak orang Indonesia dalam seminar hobbynya mengkritik makalah orang, mengkritik cara orang berpikir, dll. Kalau, tidak muncul pertanyaan aneh-aneh, tidak relevan. Kalau sudah ‘bunyi’ orang Indonesia merasa sangat hebat. Dialah paling hebat. Biasanya mereka cenderung mengajar pemakalah tentang bagaimana membuat penelitian dan bagaimana mengolah data. Padahal, kadang kala dia tidak buat dan belum pernah buat seperti yang dilakukan pemakalah. Lebih tragis lagi, kalau dia sendiri yang maju, belum tentu lebih bagus.
Dalam seminar SADDAN kemudian saya melihat orang Indonesia kerap kali sangat pintar kalau menjadi penanggap, dibandingkan menjadi pemakalah. Yang kasian justru orang Malaysia atau orang Brunei yang tidak biasa ‘disayok’.
Budaya akademik ini sangat berbeda dengan budaya akademik di kalangan akademisi Malaysia dan Brunei. Mereka, kalau bertanya, selalu bertanya dengan santun. Kalau mereka ada kritikan, kritikan disampaikan dengan ‘lembut’ sehingga orang kadang kala tidak merasa sedang disalahkan. Pertanyaan disampaikan bukan dengan maksud menguji, mendebat, atau menunjukkan pandai. Pertanyaan disampaikan untuk mengeksplorasi data dan pemikiran.
Ismail yang baru kali ini berseminar di luar negeri beberapa kali memuji iklim ini. Dia sangat ingin iklim itu bisa tumbuh di Kalbar, khususnya di STAIN Pontianak. Dia yakin, jika iklim ini tumbuh, STAIN pasti akan sangat maju. Orang akan pede kalau menjadi pembicara di seminar.
Dalam seminar ini, panitia mengatur pembicara tampil dalam sesi serentak. Orang Brunei menyebutnya “sesi selari”. Ada tiga ruangan yang kecil yang dipakai sebagai tempat seminar. Di setiap tempat itu ada 3 atau 4 pembicara. Nanti peserta boleh memilih ruangan mana mereka masuk. Biasanya pilihan tergantung materi menarik atau tidak. Atau tergantung ‘nama besar’ seorang pemakalah.
Karena itu tidak heran, meskipun seminar dilaksanakan dalam waktu 3 hari, lebih dari 70 makalah dibentangkan. Bersambung.




Baca Selengkapnya...

Jumat, 07 Maret 2008

Catatan Perjalanan ke Brunei 4: Kota yang Penuh Kejutan

Setengah jam kemudian, sebuah kijang hijau berhenti. Seorang pemuda ganteng turun. Berkulit putih, berbadan sedikit kurus, hidungnya agak mancung. Pakaiannya kemas –kemeja panjang warna agak biru, celana hitam, sepatu mengkilat. Rambutnya tersisir rapi, berminyak. Umurnya sekitar 20 tahun. Menurut kawan perempuan dalam rombongan kami, nilai pemuda itu 9.


Sebenarnya sebelum penumpang kijang turun saya sudah menduga mobil itulah yang menjemput kami. Warna mobil hijau. Saya ingat nomor kendaraan juga sama seperti yang disebutkan Dr. Yabit sebelumnya. Dr. Yabit adalah ketua panitia seminar. Dia juga ketua jabatan linguistik di UBD.
Penumpang itu menebarkan senyumnya, dengan badan sedikit membungkuk. Santun.
“Dokte ... Yusraidi?” katanya sambil bertanya.

Saya mengiyakan. Di Malaysia saya selalu dieja Yusraidi, bukannya Yusriadi. Huruf [i] setelah [r] pada nama saya selalu dieja [ai], bukannya [i]. Biar sajalah!
Saya juga mafhum di Brunei dan Malaysia cara memanggil orang agak lain sedikit. Kalau mereka tahu seseorang sudah menyelesaikan pendidikan S-3, pasti akan dipanggil Doktor –dengan bunyi [r] kurang jelas [dokte..]. Mereka sangat menghargai pendidikan. Orang yang berpendidikan Doktor tidak akan dipanggil “Saudara” atau “Cek”. Saudara atau Cek untuk orang biasa. Pendidikan sarjana muda (program BA) dan sarjana (program MA) masih dianggap ‘biasa’. Gelar S-2 ke bawah biasanya tidak ditulis.

Beda kalau dibandingkan di Indonesia. Jenjang apapun seseorang sama saja panggilannya, “Pak”, “Bapak”, atau kadang “kamu”. Sebaliknya dalam tulisan, bukan gelar Doktor saja yang dicantumkan, tetapi gelar S-2, S-1, bahkan diploma juga. Tidak heran kalau ada orang yang ditulis gelarnya: Drs. AAAA, MA, PHD. Ada orang yang ditulis gelarnya Am.d .. dan seterusnya. Kalau orang lain tidak menulis, mereka tulis sendiri.

“Saya diminta Dokte .. Yabit membawa Dokte ...”

Saya mengangguk.

Kami berkenalan. Namanya Abu Zar. Mahasiswa tahun 2 Universiti Brunei Darussalam.
Saya menceritakan perjalanan kami. Termasuk soal jemputan di batas Brunei.
Abu Zar menceritakan dia sudah sampai di Sungai Tujoh. Namun kami ssudah tidak ada. Dia mendapat pemberitahuan bahwa kami sudah berada di Kuala Belait. Dan dia terpaksa berpatah balik. Saya juga menceritakan keraguan saya, hingga soal perdebatan dengan sopir.

Kami memunggah barang ke dalam mobil. Sebentar. Barang kami sedikit. Masing-masing cuma bawa tas kecil.
Kami melanjutkan perjalanan.

Abu Zar menjadi pemandu kami. Dia menjawab pertanyaan kami yang tak putus-putusnya. Maklum masing-masing mau tahu tentang Brunei.

***

Kini, wajah Brunei yang sebenarnya mulai nampak. Di kiri kanan nampak rumah tunggal. Bangunannya, ada yang bergaya bangunan rumah Malaysia –nampak rendah dan sederhana, ada juga bergaya bangunan rumah di Indonesia yang nampak mewah dan gagah. Dengan pilar dan balkon.


Sepanjang jalan di Batas Kuala Belait nampak kilang minyak, mesin pompa, rumah-rumah pegawai kilang.

Mobil memadati jalan. Banyak jenis. Jika di Malaysia mobil Proton merajai jalanan, di Brunei lain lagi. Keadaan mobil seperti di Pontianak. Banyak mobil mewah bersileweran. Sedangkan sepeda motor tidak ada. “Jarang orang pakai motor. Kecuali motor besar,” katanya.
Motor besar untuk jalan-jalan, untuk hoby.

Saya menikmati perjalanan. Saya mengagumi tambang-tambang minyak di kiri kanan jalan. Mesin pompa yang tidak berhenti bergerak. Brunei menyajikan kemajuan. Perjalanan kali ini mengingatkan saya situasi psikologis saat saya ikut bapak milir ke Jongkong, kota kecamatan, di Kapuas Hulu. Kalau itu saya melihat rumah kayu yang kokoh dan bercat terang. Saya melihat motor bandung yang gagah. Saya melihat lalu lintas yang ramai. Saya rasa waktu itu saya melongo, mengagumi. Saya nampak sangat kampungan. Maklum di kampung kami Riam Panjang waktu itu sangat jarang rumah yang bercat. Penduduknya tidak ramai. Tidak ada lalu lintas kendaraan. Mungkin satu hari tidak sekali mendengar suara mesin tempel (speed).
Ketika saya menyaksikan Brunei yang berbeda dibandingkan Pontianak, saya menjadi ‘sepok’ kata orang.

Perjalanan dari Kuala Belait ke Bandar Sri Begawan cukup jauh juga. Jalan raya. Lalu lintas cukup padat. Laju.

Di sepanjang perjalanan saya melihat di kiri kanan hutan. Tidak ada rumah. Kosong.
Kami melewati kawasan Jerudong. Kawasan ini sangat terkenal. Ada Jerodong Park, tempat wisata andalan Brunei.

Rumah Dr. Yabit di kawasan Jalan Jerudong. Kawasan ini termasuk kawasan elit di Brunei. Letaknya cukup jauh dari pasar.

***

Kami masuk ke sebuah komplek perumahan. Di kiri kanan rumahnya besar dan wah. Belakangan saya diberitahu di komplek ini ada rumah pehin, gelar pejabat tinggi di Brunei. Ada rumah duta besar juga.

Rumah Dr. Yabit terletak ujung komplek. Rumahnya sangat luas. Rumahnya sangat wah. Ada suzuki vitara putih terparkir di depan rumahnya. Di depan terasnya tergantung bola Cina warna merah. Bekas Imlek. Istrinya orang Cina dari Malaysia. Saya sudah mengenal keluarga ini sejak masih kuliah di Universiti Kebangsaan Malaysia, dahulu. Saya dan Dr. Yabit sama-sama dibimbing Prof. Dr. James T. Collins. Ada beberapa kelas Pak Jim kami ikuti bersama.

Dr. Yabit menyambut kami. Selama di Brunei, kami menumpang di rumahnya. Agak sungkan sedikit. Tetapi, kata kawan, demi ilmu tidak apa-apa. Buang sikit rasa malu.
Setelah berbincang-bincang tentang perjalanan, kami berbincang tentang rencana selanjutnya. Makan siang, lihat pasar, dll.

“Saya ada mesyuarat. Abu Zar akan mengantar,” katanya.
Dr. Yabit memberikan duplikat kunci rumahnya, biar kami bisa masuk sendiri.

***

Abu Zar membawa kami ke pasar, mencari makan. Kami dibawa melalui istana Sultan Brunei. Lokasinya seperti di tengah hutan. Namun atapnya menjulang megah. Kami berhenti sebentar di seberang jalan. Ambil gambar dari jauh.
Setelah itu, kami sampai di sebuah pusat perbelanjaan Yayasan Sultan. Di lantai dua sebuah pusat perbelanjaan, terdapat gerai makan. Cukup banyak pilihan makanan. Tetapi hampir tidak ada yang aneh; makanan yang ada biasa dijumpai di rumah makan besar.

Setelah makan kami kembali ke rumah. Hari sudah sore. Kami mau rehat. Ternyata di rumah sudah ada istri Dr. Yabit. Kim, namanya. Dia guru di Sekolah Sultan. Kim menyambut kami dengan ramah. Rosnawati dan Siti Imtihanah, guru MIN Teladan yang ikut dalam rombongan kami, bertukar pengalaman dengan Kim. Mereka ingin tahu tentang pendidikan di Brunei.
Cukup lama, kemudian kami rehat. Tertidur.

Menjelang gelap, Kim memberitahu saya ada tamu. Haji Jaludin Chuchu. Dosen di UBD, kawan Dr. Yabit juga. Seperti Dr. Yabit. Aji, begitu kami memanggilnya, juga kuliah di UKM juga. Murid Prof. Jim juga. Dia, orangnya kocak. Kalau ada dia pasti ramai. Banyak joke dan sedikit nakal.

Selain datang mengambil barang titipan yang saya bawa –amplop bertuliskan nama H. Jaludin, made in Pontianak, Aji juga ingin mengajak kami keluar makan.
Malam itu kami makan di sebuah rumah makan sederhana masih di kawasan Jerudong. Kami makan ‘nasi katok’, seperti nasi bungkus. Rasanya cukup ok.

Lebih istimewa lagi pelayannya ada orang Sunda, Jawa Barat. Rosnawati yang memang orang Sunda itu, mengajak pelayan bercakap dalam bahasa Sunda. Ismail yang agak mengerti sedikit menimpali. Yang lain, ngacau-ngacau jak.

Setelah makan, Aji membawa kami ke rumahnya. Rumah Aji terletak di kawasan perbukitan. Hutan. Rumahnya sangat modern. Desainnya eksteriornya mengundang decak kagum. Seleranya tinggi.

Desain interior ruang tamu juga unik. Lampunya agak temaram. Di ruangan itu terdapat koleksi foto Aji dan keluarga. Foto orang tempoe doeloe. Ada kaligrafi besar.
“Kadang ruang ini digunakan untuk tempat pengajian,” katanya.
Banyak hal kami bicarakan. Cerita tentang Brunei. Masa lalu, dan hari ini.
Larut malam, baru kami kembali.

Dr. Yabit sudah pulang. Kami bercakap sebentar tentang seminar besok.
Dr. Yabit masih ada kerja yang harus dibuat. Bersambung.


Baca Selengkapnya...

Rabu, 05 Maret 2008

Penempa Besi di Sungai Kupah, Kakap


Hel, penempa besi di Sungai Kupah sedang membuat pisau toreh. Pekerjaan itu diwariskan dari kakek, melalui ayahnya. Sayangnya, usaha ini tidak bisa berkembang baik karena keterbatasan modal dan kekurangan fasilitas pendukung. FOTO Yusriadi




Baca Selengkapnya...

Sang Penempa Besi

Oleh Yusriadi

Ting …
ting ..
ting …

Saya mendengar suara dentingan besi beradu. Samar-samar. Maklum ada helm yang menutup telinga. Lagian deru motor beradu angin membuat suaranya jadi semakin tidak jelas. Siang itu saya memacu motor melintas di Jalan Sungai Kupah hendak pulang ke rumah – di Pontianak. Sehabis liputan kegiatan amal Majelis Taklim At-Taqwa Jalan Tebu Pontianak dengan ibu-ibu Majelis Taklim Sungai Kupah.


Dentingan pukulan besi yang beradu membuat saya memutar balik motor, menuju sumber suara. Saya ingin melihat aktivitas pandai besi. Untuk Pandora.
Saya memarkir motor di pinggir jalan.

Lantas kemudian melangkah menuju sebuah bangunan sederhana –sebenarnya lebih tepat pondok darurat, tidak berdinding, beratap daun.
Di bawah atap pondok yang pasti bocor jika hujan, seorang pemuda sedang memukul palu besi di atas sebuah ‘altar’ besi.
Meskipun sedang sibuk, saya kira dia tahu saya datang. Pandai besi tersenyum ramah ketika saya mendekat.
“Sibuk?”
“Biasa”.

Dia melanjutkan pekerjaannya. Besi masih memerah di bagian ujung. Bekas pukulan godam membuat besi jadi pipih.
Besi yang ditempa sudah berupa. Bentuknya mengingatkan saya akan bendera kertas yang kecil yang biasanya dimain-mainkan anak ketika 17 Agustus dahulu.
“Buat apa?” Saya bertanya karena ingin memastikan apa yang dibuatnya.
Dan seperti yang diduga saya, dia menjawab:
“Saya buat pisau getah,”

Dia memasukkan kembali besi ke dalam bara –tungku, yang ada di samping kirinya. Besi itu terkubur dalam bara. Seketika api berkobar. Ada bunyi deru.
Saya mencondongkan badan ke arah tungku. Penasaran. Bagaimana api bisa berkobar. Padahal saya tidak melihat dia memompa. Tidak ada puputan.

Yang saya tahu biasanya pandai besi harus memompa sendiri agar api menyala. Ada puputan. Saya kenal bentuk puputan yang biasanya terbuat dari kayu bulat dilubangi di tengahnya. Untuk mendorong angin menggunakan pompa kayu yang diberikan bulu ayam. Waktu kecil dahulu saya pernah membantu kakek –lebih tepatnya diminta biar kerjanya lebih cepat.

Tetapi di sini saya tidak lihat ada puputan itu. Di bagian ujung hanya ada tiga karung arang. Di samping bara ada tumpukan pisau getah yang belum jadi. Masih seperti bendera. Ada tong berisi air yang gunanya untuk menyepuh besi.
Mata saya tertumbuk pada pipa yang sebagiannya terpendam di dalam tanah. Bagian yang menyembul melengkung. Ujung lingkungannya berakhir pada sebuah blower bercat perak. Mesin debu.

“Saya pakai blower,”
Tukang tempa lebih dahulu menjelaskan objek yang saya lihat.
“Saya membuat sendiri,” tambahnya.

Kejutan. Saya tidak membayangkan mesin ini beralih fungsi. Kini oleh penempa besi, mesin itu dijadikan sebagai puputan. Untuk mengendalikan mesin digunakan listrik. Stop kontaknya dipasang di kayu tempat letak alas tempaan. Menyalakan blower cukup dengan menyentuh tombol dengan lutut. Betul-betul praktis.

***

Heldi Arpan, 42, tahun. Dia tukang tempa itu. Menekuni pekerjaan lebih 10 tahun lalu. “Kerja ini sudah turun temurun,” katanya. Bapaknya, moyangnya, semuanya melakukan pekerjaan itu. Dia melanjutkan pekerjaan itu.

Hel –begitu dia dipanggil, nampaknya menikmati pekerjaan itu. Ada suara musik dari HP CDMA yang tergantung di tiang bangunan, persis di belakang kepalanya. Kalau diukur, tiga jengkal-lah.

Lamat-lamat saya menyimak. Lagi berhenti. Ada penyiar. Radio Pro 2 RRI Pontianak, rupanya.
Dia menempa tak henti-henti. Peluh membasahi wajah dan bajunya.
“Puasa?”
Hel tersenyum. “Tidak”.
Saya tidak bisa membayangkan betapa beratnya jika harus berpuasa sambil bekerja. Rusuk pasti akan serasa ditusuk-tusuk ketika mengangkat palu godam. Setiap pukulan memerlukan tenaga yang kuat. Belum lagi panas dari tungku dan panas di siang terik.
Tetapi, itulah pilihan hidup.

Dia harus bekerja. Stabil. Hel mengejar target. Setiap pisau getah yang dibuatnya sudah ada yang menampung. Dia menyebutnya agen. Agen itu, sudah menampung produksinya sejak awal. Bahkan sejak orang tuanya dahulu.

“Waktu ayah saya dahulu, yang jadi agen bapak dari agen sekarang,” ungkapnya.
Kalau dahulu bapak dengan bapak, sekarang hubungannya anak dengan anak. Sebuah hubungan yang sesungguhnya sangat menarik ditelusuri. Hubungan melintas generasi.
Karena itu Hel mengaku tidak perlu bingung menjadi pasaran. Agen sekarang membeli satu lusin pisau getah seharga Rp 70 ribu. Satu lusin 12 buah. Jika dihitung harga satu pisau Rp 6 ribu.

***

Tetapi target tidak selalu dapat dikejar. Hel sangat bergantung pada listrik. Sedangkan listrik di Sungai Kupah, seperti juga di Pontianak, lebih sering hidup mati. Keadaan ini menyebabkan pekerjaannya terganggu. “Kalau listrik mati saya tidak bisa bekerja. Blowernya tidak berfungsi,” katanya.
Pernah mencoba genset sebagai alternatif. Namun tidak lama. Biayanya jadi lebih mahal. Tidak efisien. “Tidak mampu,” ujarnya.

Namun, dia mengaku tidak kembali ke puput secara manual seperti dahulu sebelum tahun 1990-an. Dia sudah terlanjur menikmati kemudahan dengan menggunakan blower. Dengan blower dia tidak perlu membuang tenaga memompa api. “Sejak tahun 90 saya tidak lagi pakai puput,” cerita Hel.

Target juga tidak selalu bisa dikejar karena hambatan kekurangan fasilitas. Untuk membelah besi sekarang dia masih menggunakan pahat secara manual. Besi dipanaskan kemudian dipahat. Belum ada mesin pembelah. Jika ada mesin dia yakin akan banyak produksinya. “Belah besi dengan pahat, kerja jadi lebih lama. Kalau ada mesin … ,”
Hel seperti menerawang.

Dia sudah memikirkan kemungkinan membeli mesin untuk membelah besi. Namun masih sebatas mimpi. Harganya mahal. Hel tidak menyebutkan nilainya. Saya juga lupa bertanya mengenai hal itu.

Dia pernah berusaha mendapatkan mesin dengan pinjaman modal. Namun modal yang diharapkan tidak kunjung ada. Ada pihak yang mau membantu, namun syaratnya tidak bisa dipenuhi. “Mereka minta jaminan sertifikat”.

Pernah juga sebuah perusahaan milik pemerintah membantu modal. Syaratnya, dengan proposal. Namun kemudian modal yang diperoleh tidak cukup untuk membeli mesin.
Saya jadi teringat pengalaman di Senakin, Landak. Saya menemukan produksi pisau getah dari obeng. Saya bertanya, “Tidak coba pakai obeng? Tidak perlu belah lagi,”
“Saya pernah coba. Dulu”.

Membuat pisau karet dari obeng memang agak lebih mudah. Tetapi hitung-hitungannya rugi. Keuntungan yang bisa didapatkan sangat kecil. Lebih kecil jika menggunakan besi spring oto dan bar chainshaw. Sekalipun risikonya, dia harus membelah besi itu secara manual.

Mengapa tidak mencari tenaga untuk membantu kerja? “Susah mau cari tenaga ahli. Khawatir juga kalau dapat yang kerja asal-asalan,” katanya.
Soalnya, hasil kerja menyangkut mutu. Mutu berkaitan dengan kualitas produk. Selama ini pemakai pisau karet cap kapak merasa puas.

***

Walaupun ‘pabriknya’ berada nun jauh di pinggiran, Hel sudah punya nama. Produksi cap kapak sudah dikenal di mana-mana. Sejauh jaringan pemasaran sang agen.
Selain punya nama dari pisau getah, Hel juga melayani permintaan orang. Hari itu, saat kami bercakap-cakap sebuah mobil berhenti. Tak jauh dari motor saya. Penumpang turun membawa kapak dan pisau. Orang itu minta kapak dan pisaunya ditempa lagi biar tajam lagi. “Nanti saya ambil,” kata orang itu sambil berlalu, kembali ke mobil. Dan meneruskan perjalanannya. Mobil bergerak ke arah Tanjung Pasir, sebuah kampung di ujung Sungai Kakap.

“Dia dari Pontianak,” kata Hel kemudian. Memberi tahu asal pelanggannya itu.
Hel juga punya keterampilan membuat senjata hias. Dia pernah memproduksi pedang dan mandau. Senjata yang dibuatnya dipasarkan di pasar-pasar di kota Pontianak. Cukup diminati. Dia menyebut beberapa tokoh persilatan di Kalbar yang menjadi langganannya.

“Saya memelihara koleksi mereka,” akunya.
Untuk urusan memelihara koleksi, Hel pernah ke Malaysia. Dia mengurus senjata-senjata hias orang di sana.

Diungkapkan dia pernah ikut pameran, di Pontianak, bahkan di pulau Jawa. Hasil karyanya dianggap bagus dan bisa dibanggakan. “Saya melakukan pameran sebagai usaha kecil di bawah binaan pemerintah,” katanya.

Tetapi, itu hanya kenangan. Tidak cukup berpengaruh pada pengembangan usaha saat ini. Janji yang dia dengar tinggal janji. Harapan yang sempat tersemai tinggal harapan.

Kini, seperti burung walaupun dia bisa terbang jauh, namun pada akhirnya kembali lagi ke sarangnya. Di ‘pabriknya’ dia menempa besi sampai pipih, membentuk bendera-bendera kecil. Dari hari ke hari.




Baca Selengkapnya...

Catatan Perjalanan ke Brunei 3: Sempat Dikira Pekerja Indon

Oleh Yusriadi

Saya juga terbangun ketika beberapa kali bus berhenti. Sepanjang perjalanan, bus selalu berhenti di terminal kota di setiap kota yang dilewati. Ada atau tidak ada penumpang yang naik atau turun. Selalu ada penumpang yang memanfaatkan kesempatan ini untuk buang air. Maklum, sejuk!



Di terminal-terminal resmi ini, WC-nya cukup baik. Bersih.
Bus tiba di Miri pagi tanggal 23 Januari 2008, sekitar pukul 08.00. Terminal Pujut namanya. Terminalnya cukup besar. Ada banyak bisa berhenti. Saya tidak sempat melihat wajah Miri, salah satu kota utama di Sarawak, setelah Kuching.

Kami menurunkan tas dan berhenti di taman di depan counter tiket bus Tebakakng. Satu per satu menuju kamar mandi milik syarikat bus: mandi dan gosok gigi.
Walaupun WC-nya agak jorok namun tidak ada teman yang protes –seperti tadi. Setelah itu kami makan di gerai ujung terminal.

***

Pukul 10.00 bus Berlima bergerak dari Miri menuju Brunei. Berlima, namanya agak unik. Saya tidak sempat bertanya soal ini. Pikiran saya berkelana sendiri soal negeri petro dolar itu. Konon, negeri paling kaya di Asia Tenggara.

Kondekturnya juga unik. Perempuan. Pakai kerudung. Tetapi caranya memakai kerudung agak modis. Mengingatkan saya pada anak-anak gaul di Pontianak. Kulitnya hitam. Kelihatannya familier. Sedangkan sopirnya lelaki tua, kecil, sudah beruban. Tidak meyakinkan. Jauh dibandingkan sopir-sopir di Kalbar.
Penumpang bisa tidak banyak. Setengah bis. Jumlahnya belasan orang. Ada beberapa orang putih.

Sekitar pukul 11.00 bis sampai di Sungai Tujoh. Melewati pos Imigresen Malaysia. Cop pasport.
Beberapa menit setelah naik bus, kondektur memberitahukan ada pemeriksaan polisi Brunei.

“Yang Indon ... turun,” katanya.
Kami terkejut. Terkejut karena teriakan yang tiba-tiba, juga terkejut dengan identitas itu.
Saya mendengar reaksi teman-teman.
“Diskriminatif!”
“Masa’ pakai Indon?”

“Mengapa cuma kami orang Indonesia yang diminta turun?”
Lima teman saya turun lebih dahulu menghadap polis. Ada dua orang di sana waktu itu. Mereka berpakaian biru, gelap. Saya tidak mendengar dialog mereka. Tetapi diberitahu kemudian (setelah di dalam bus) kalau polis langsung bertanya: “Mau kerja apa di Brunei?”

Kabarnya kawan-kawan sempat gelagapan disergah pertanyaan seperti ini. Pasti tidak menyangka. Maklum semua kami yang pergi sudah bekerja. Kecuali Bang Kris, yang lain adalah pegawai negeri sipil (PNS) golongan III/B-IV/A. Bang Kris walaupun swasta tetapi kerjanya juga mapan. Penghasilannya besar. Punya mobil malah.
“Masa’ sih kayak TKI?” tanya saya dalam hati.

Saat Bang Kris memberitahukan tujuan ke Brunei menghadiri seminar, saya menyodorkan surat panitia, dan jadwal. Baru kemudian polis nampak lunak. Dia hanya sempat bertanya, di mana kami akan menginap selama di Brunei.
Kami dipersilahkan naik.

Justru kini, kondektur yang heran. “Kok cepat?”
Maklum, dia kira prosesnya pasti agak lama. Polis pasti bertanya macam-macam pada orang Indon yang akan masuk ke Brunei.

Memasuki pos Imigresen Brunei di Sungai Tujoh, saya sempat bersiteng sedikit dengan sopir, Pak Tua itu. Pasalnya, saya ragu apakah tas-tas kami dibawa turun atau tidak. Ada janji jemputan, namun, saya tidak tahu di mana menunggu.
Lebih risau lagi bagaimana melewati pemeriksaan Imigresen. Karena kabarnya kami harus memperlihatkan uang tunjuk $B 300 (ada yang bilang $B 500 –nilai tukar Rp 6.600 per dolar Brunei). Saya dan beberapa lagi memang membawa uang dalam jumlah itu. Bagaimana teman yang lain?

Saya mengumpulkan paspor teman-teman. Menyerahkan sekaligus bersama surat undangan dari panitia kepada petugas.
Syukur, petugasnya ramah. Bersahabat. Setelah membaca surat yang saya serahkan, dia bertanya beberapa hal tentang kegiatan kami. Saya pikir ini permulaan yang bagus.
Dia mulai mencop pasport Saya, dan seterusnya teman-teman lain.
Seorang lagi petugas Imigresen membantu rekannya itu. Dia mengambil tiga pasport lagi dan mencopnya.
Alhamdulillah, beres! Tak perlu ada uang tunjuk.

Keluar dari bangunan Imigrasi, saya sempat ragu apakah turun atau tetap naik bus. Mobil yang akan menjemput kami belum nampak. Entah dia menunggu di mana. Jangan-jangan salah tempat.
Kami lantas memutuskan menunggu di terminal Kuala Belait. Tempat yang kami sendiri juga tidak tahu. Belum ada bayangan.

Kami bergegas menuju bus yang sudah menunggu.
Bus bergerak lagi meninggalkan pos Imigresen Brunei. Sekarang kami berada di negara baru—Brunei Darussalam. Negara yang saya sendiri cuma dengar melalui cerita dari mulut ke mulut. Negeri yang kaya minyak. Negeri yang maju.

Rumah penduduk di kiri kanan jalan agak jarang. Rumahnya terpisah-pisah. Cukup besar. Beberapa arsitektur bangunan mirip rumah di kampung-kampung di Malaysia. Rendah. Tidak bagus untuk selera orang kota di Kalbar.
Setiap rumah ada mobil. Bahkan, menurut statistik Brunei, rata-rata ada 3 mobil satu rumah.

Jalan yang kami lalui agak kecil, tidak cukup lebar. Kiri kanan ada parit. Keadaan yang agak kontras dibandingkan apa yang saya bayangkan tentang Brunei.
“Penumpang turun di sini. Bawa beg,”

Suara kondektur dan sopir memutuskan lamunan saya tentang Brunei.
Bus berhenti. Penumpang mulai turun. Saya lihat di depannya ada sungai.
“Inilah dia Kuala Belait yang terkenal itu’.

Penumpang diarahkan perahu speed. Bobotnya sekitar 1,5 ton. Mesinnya 10 PK. Menyeberang sungai. Karena perahu agak kecil, penumpang dibagi dua. Sebagian diantar dahulu, baru kemudian mereka menjemput kami. Tetapi saya mengagak sebenarnya sekali angkut pun bis. Kalau di Sungai Kapuas, penumpang biasa dijejal-jejal dalam perahu.
Rombongan pertama dipandu sopir. Sedangkan kondektur bersama kami. Bus ditinggalkan.
Kami sempat ngobrol tentang Kuala Belait, tentang penyeberangan. Kami juga sempat bertanya tentang sang kondektur.
Bah, rupanya dia orang Jawa. Masih warga negera Indonesia. Baru beberapa tahun menjadi kondektur.

Saya berujar dalam hati. Patutlah kulitnya hitam. Patutlah lebih familier. Patutlah cara berpakaiannya agak modis.
Speed yang kami tunggu sampai. Kami menyeberang. Tidak lama. Lebarnya sungainya sekitar 25 meter.

Kami naik di dermaga. Ada banyak mobil diparkir. Ada bangunan besar. Suasananya sangat berbeda dibandingkan suasana di seberang tadi. Di sini terasa kemajuannya. Seperti kota.

Kembali kami naik bus. Bus Berlima juga. Ukurannya lebih kecil dibandingkan bus yang di tinggalkan di seberang tadi.

Tidak lama kami sampai di tempat yang disebut terminal Kuala Belait. Saya sempat takjub melihat terminal ini. Ya, ampun, kecil sekali. Lebih kecil dibandingkan terminal bayangan Kampung Bali, Pontianak. Saya bayangkan, kalau ada 5 bus mungkin sudah penuh ‘terminalnya’.

Di terminal ini hanya ada satu bus kecil terparkir –seukuran carry. Ada sebuah counter penjualan tiket. Di terminal ini ada 4 kursi tunggu.
Kami duduk di kursi itu menunggu jemputan. Bersambung.



Baca Selengkapnya...

Selasa, 04 Maret 2008

Pasar Serian



Pasar Basah Serian. Di pasar ini dijual berbagai barang keperluan dapur. Ada jenis sayur impor dan juga jenis sayur lokal. Misalnya, terung asam, jahe, ada sawi Dayak, bunga simpur.




Baca Selengkapnya...

Catatan Perjalanan ke Brunei 2: Tiba di Miri

Di pasar Serian kami melihat-lihat barang yang dijual pedagang di pasar basah. Ada banyak sayur yang aneh-aneh. Mulai jenis sayur impor, hingga sayur kampung. Saya tertarik dengan asam menggo (tetapi penjualnya tidak mau dikatakan mangga). Rasanya gurih, manis. Saya juga tertarik pada sawi Dayak – di Kapuas Hulu dikenal dengan “nsabi”. Ada juga bunga “simpur” yang biasanya untuk campuran kalau masak ikan. Baunya wangi seperti daun kelsum.

Di pasar ini ada juga dijual ambinan yang dianyam dari tali plastik. Uniknya sambil menunggu pembeli, penjualnya menganyam ambinan itu. Kami berhenti di depan seorang perempuan paroh baya yang sedang menganyam ambinan. Dia melayani pertanyaan kami dengan ramah. Katanya, tradisi menganyam itu diperolehnya dari orang tua. Dia orang Bidayuh.

Tetapi meski tertarik, saya tidak bisa membeli jenis-jenis sayur dan barang yang dijual itu. Kami belum pulang. Kami masih akan berjalan jauh ke negeri Brunei.

***

Pukul 16.00 lewat. Bus jurusan Kuching – Miri berhenti di depan counter tiket Tebakakng di Serian. Kami naik. Penumpang cukup ramai. Tetapi rupanya tiket kami ada masalah. Tetapi, tidak lama, beres. Ibrahim cukup sigap dalam soal urus mengurus. Dia selalu dapat diandalkan.

Hampir pukul 17.00 bus bergerak meninggalkan kota Serian. Belum jauh perjalanan kami melewati pemeriksaan polis. Satu per satu identitas penumpang diperiksa. Bahkan digeladah. Tas diperiksa. Karena penumpang ramai, pemeriksaan memakan waktu cukup lama. Aduhai!
Setelah pemeriksaan selesai, kami melanjutkan perjalanan.

Sekitar pukul 20.00 bus berhenti di sebuah kampung sekitar Sri Aman. Ada dua bus sedang parkir. Ada toko, ada tempat makan dan ada WC. Tetapi, WC yang ada .. minta ampun. Bau pesing. Tahi menutupi lobang closed. Tidak disiram. Tidak ada air. Sejorok-joroknya WC rumah makan di Indonesia, WC di tempat ini dua kali lebih jorok. Saya hampir muntah. Teman saya tidak jadi buang air.

“Yus, katamu WC di Malaysia bersih-bersih,” teman saya protes.
“Iya, yang seperti ini ... baru kali ini saya lihat,” kata saya membela diri. Memang begitu.
Memalukan.

Satu jam kemudian bus melanjutkan perjalanan. Kami melewati simpang jalan ke Betong, ibukota Sri Aman. Saya melihat simpang ke arah Spaoh, tempat penelitian S-3 saya tahun 2003 lalu. Saya pernah ke Spaoh lagi pada tahun 2007.

Setelah itu, saya memilih tidur. Meskipun sangat dingin sebab lubang AC yang berada di atas kepala tidak bisa ditutup, namun saya tidur cukup lelap. Saya lihat teman lain juga begitu. Kecuali, Bang Kris (Kristianus Atok) yang terjaga.
“Saya ingin menikmati setiap perjalanan ke tempat yang baru. Rugi kalau tidur,” katanya. Ya, saya maklum dia itu penjelajah.

Jalan di Sarawak yang cukup bagus juga berpengaruh. Tidak ada lubang. Bandingkan kalau naik bus ke Putussibau. Goncangan sangat kuat menyebabkan penumpang tidak bisa tidur nyenyak. Apalagi penumpang yang dapat kursi bagian belakang. Bahkan saya pernah ada pengalaman, kepala terantuk dek bus, atau terbentur sandaran kursi di depan ketika bus menabrak lubang atau ketika bis rem mendadak. Benjol.

Saya sempat terbangun ketika melewati Bintulu. Ada pemeriksaan barang oleh petugas Bea Cukai (Customs). Bah, lagi-lagi razia. Saya bayangkan sungguh repot. Apa yang mereka cari sebenarnya? Tempat ini ‘kan di tengah Sarawak. Mengapa pemeriksaan Bea Cukai tidak cukup di batas negara saja? Memang saya terlalu awam soal Malaysia.


Baca Selengkapnya...

Senin, 03 Maret 2008

Orang Madura di Pontianak



Orang Madura tersebar di beberapa wilayah di kota Pontianak. Mereka bekerja sebagai buruh, sopir angkot, penarik becak, dll. Ciri fisik mereka cukup menonjol, seperti juga ciri bahasa mereka yang mudah dikenali. FOTO Yusriadi




Baca Selengkapnya...

Seandainya Gubernur Kalbar itu Orang Madura atau Cina

[tulisan ini pernah diterbitkan di Borneo Tribune, Juni 2007, lalu].

Yusriadi
Borneo Tribune, Pontianak

Seandainya gubernur Kalbar mendatang orang Madura atau Cina. Itulah pikiran yang terlintas di benak saya saat mengikuti diskusi bersama peneliti dari Universitas Indonesia, Iqbal Djayadi di Redaksi Borneo Tribune Minggu (3/6) kemarin.






Pikiran ini melintas begitu saja karena sepanjang diskusi wacana mengenai gubernur Kalbar ke depan Melayu atau Madura sangat mengemuka. Munculnya nama Buchary, dan lainnya, bagi banyak orang dianggap sebagai representasi orang Melayu –sekalipun mereka tidak secara eksplisit menyatakan hal tersebut. Sedangkan mencuatnya nama Cornelis dianggap sebagai representasi Dayak. Sementara Akil Mochtar dan Usman Ja’far dapat merupakan representasi Dayak yang Islam dan Melayu. Ketika mereka dianggap Melayu, wakil yang mendampingi mereka –seperti AR Mecer atau LH Kadir dianggap representasi orang Dayak. Pasangan ini dianggap sebagai kombinasi Melayu-Dayak (mungkin juga Dayak - Dayak), sebagai bentuk kompromi yang merefleksi sharing power pribumi pulau ini.

Sejauh ini belum pernah muncul wacana mengenai calon gubernur orang lain di luar dua komunitas itu. Tidak ada nama orang Cina (Tionghoa) dalam wacana sekarang ini. Tidak ada nama orang Madura. Kalaupun nama Cina mau disebut, ada nama Christiandy Sanjaya yang akan mendampingi Cornelis –jika maju kelak. Tetapi, keberadaan pasangan ini belum pasti. Kepastian baru bisa diketahui setelah ada perahu partai yang akan menjadi tumpangan pasangan ini.

Tidak adanya nama Cina dan Madura dalam wacana pemimpin Kalbar mungkin disebabkan karena tidak ada tokoh politik dari kelompok ini yang benar-benar menonjol dalam perpolitikan daerah. Atau dalam artian belum ada yang ditonjolkan. Kalau bicara orang Madura di Kalbar paling-paling orang mengaitkan dengan nama besar H. Sulaiman. Atau sesekali orang menyebut nama Abdus Syukur SK. Dahulu ada nama H Madhar Hadrawi.
Mungkin juga orang tidak mau menonjolkan tokoh dari kelompok ini karena dianggap mereka belum layak ditonjolkan sebab tidak representatif. Jumlah orang Cina dan orang Madura tidak cukup besar dibandingkan Melayu dan Dayak, dalam skala Kalimantan Barat. Secara kasat mata jumlah kelompok ini hanya besar di kota-kota tertentu, tidak menyebar di seluruh Kalbar.

Oleh sebab itulah sebesar-besarnya tokoh dari kelompok ini tidak akan cukup dianggap besar jika telah masuk dalam kalkulasi politik Kalbar. Karena itulah lantas mereka tidak dianggap ‘layak’ jual untuk mendapatkan suara pemilih di Kalbar –yang rupanya masih dianggap pemilih tradisional yang mudah diikat oleh sentimen etnik. Jika mereka tidak akan dipilih orang banyak, tidak mungkin orang akan menjadikannya sebagai orang yang akan ditinting.

Lantas, kemarin, saya mencoba meminta pendapat beberapa teman mengenai kemungkinan ini. “Bagaimana kalau gubernur Kalbar nanti orang Madura, atau orang Cina?”
Tetapi, teman-teman menganggap pertanyaan ini hanya gurauan.
“Ah mana mungkin, realitas politiknya masih jauh,” begitu kata beberapa di antara teman saya.

“Itu sih ngolok,” kata yang lain.

Ya, karena pandangan ini, saya tidak mengajak mereka mendiskusikan lebih jauh.

***

Pada akhirnya memang saya memahami masalah mereka adalah ketika hari ini mereka melihat tidak ada tokoh Madura yang layak dijagokan. Karena tidak ada maka mereka lantas berpikir tidak mungkin. Yang mungkin adalah tokoh-tokoh yang memang sudah digadang-gadang sekarang ini, yang kebetulan dari kelompok Melayu atau Dayak. Mereka benar-benar berpikir pragmatis.

Saya mengatakan demikian karena menurut saya seseorang menjadi besar karena ada yang membesarkannya. Dan, yang bisa membesarkan orang bukan cuma perahu sosial bernama Dayak atau Melayu.

Organisasi profesi, organisasi sosial-kemasyarakatan, dll bisa membesarkan orang. Media juga bisa membesarkan orang. Media bisa membantu melahirkan tokoh. Selain itu seseorang bisa saja menjadi orang besar jika ada kesempatan. Lihat bagaimana Wakil Bupati Sekadau Abun Adiyanto sebelumnya hampir tidak pernah dibicarakan orang. Yansen Akun Effendy juga sebenarnya tidak cukup besar dan diperhitungkan menjelang pemilihan Bupati Sanggau.

Jika suatu ketika organisasi sosial kemasyarakatan dan media bersama-sama membesarkan seseorang dari kelompok Madura atau Cina, maka saya percaya akan lahir orang besar dari kelompok masyarakat itu. Memang tidak akan satu tahun. Memang tidak akan sekali jadi. Tetapi, 5 tahun, 10 tahun ke depan. Mengapa tidak mungkin?

***

Lebih dari sekadar lahir atau tidak tokoh dari kelompok Madura atau Cina, isu yang penting di balik wacana ini adalah apakah kita semua bersedia dipimpin kelompok etnik lain? Apakah pemimpin dari etnik yang sama lebih penting dibandingkan bobot, dan kapabilitas?

Memang masih ada sekelompok orang yang sukar menerima hakikat ini. Masih ada orang yang menganggap pemimpin dari kalangan sendiri lebih baik dibandingkan pemimpin dari kelompok lain. Bagi mereka pemimpin dari kalangan sendiri akan lebih memperhatikan kepentingan sendiri, akan lebih memberikan kebebasan, dll. Kelebihannya, pemimpin dari kalangan sendiri lebih memahami kelompok masyarakat yang dipimpin.

Sebaliknya, menurut pandangan ini, pemimpin dari kelompok lain akan berbahaya bagi kelompok sendiri. Misalnya berkembang pandangan, jika pemimpin orang Dayak, orang Melayu susah, sebaliknya jika pemimpin orang Melayu, orang Dayak susah.

Tetapi, sekarang sudah banyak orang bisa berpikir lain. Termasuk mereka yang semula berasal dari dari kelompok yang mulanya memandang etnik sama lebih penting dibandingkan pilihan lain.

Perubahan ini terjadi karena pertama, mereka sudah merasakan sendiri bagaimana sulitnya dipimpin oleh orang dari kelompok sendiri. Mau bertemu saja susah. Justru, banyak contoh memperlihatkan pemimpin mereka dari etnik yang sama ternyata lebih kooperatif terhadap kelompok lain dibandingkan mereka. Pemimpin dari etnik yang sama rupanya tidak cukup punya perhatian, seperti yang diharapkan. Justru pemimpin dari etnik yang sama memberatkan mereka karena lebih banyak menuntut loyalitas dibandingkan memberi perhatian. Seorang pemimpin tidak mungkin dapat memberikan perhatian kepada semua.

Ini seperti analogi kehidupan di sebuah tangga. Selalunya orang tua lebih memperhatikan sang tamu dibandingkan anaknya sendiri. Tamu yang datang bermalam justru dilayan-layan, diberikan kasur yang orang tua pakai, sedangkan anak sendiri tidak pernah merasakan hal itu. Orang datang dipotongkan ayam.
Oleh sebab itulah banyak yang mencoba berpikir lain. Bahwa sebaliknya justru pemimpin yang berasal dari kelompok lain lebih ‘enak’ dibandingkan dari kelompok sendiri.

***

Ada juga kelompok masyarakat yang saya temui tidak terlalu menganggap penting pemimpin itu berasal dari kelompok mana. Yang penting adalah seseorang yang menjadi pemimpin adalah orang yang benar-benar layak memimpin. Dia memiliki kapasitas untuk menjadi pemimpin, memiliki sikap yang baik, latar belakang yang baik, dan punya sejarah kehidupan yang baik.

Kelompok ini percaya orang yang baik pasti bisa menjadi pemimpin yang baik. Orang yang dapat memimpin diri sendiri dengan baik dan dapat memimpin keluarganya dengan baik, kemungkinan akan dapat memimpin masyarakat dengan baik. Dia bisa memberikan keteladanan, bisa dijadikan panutan, dan bisa dijadikan kepercayaan.

Sebaliknya orang yang tidak dapat memimpin diri sendiri dengan baik dan tidak dapat memimpin rumah tangga dengan baik, besar kemungkinan tidak dapat memimpin orang lain dengan baik. Pada orang seperti ini jelas tidak ada keteladanan.

Saya, sependapat dengan pandangan kelompok yang terakhir ini. Oleh sebab itulah bagi saya, siapapun yang memimpin, sepanjang dia memiliki yang baik-baik, dia layak. Tidak ada batas apakah dia orang Dayak atau Melayu. Madura, Cina, sekalipun yang penting memang layak, boleh-boleh saja.

Saya percaya pemimpin yang baik akan dapat membawa Kalbar menjadi lebih baik. Dapat membawa Kalbar menjadi provinsi yang maju, membawa masyarakat menjadi masyarakat sejahtera. Lebih dari itu pemimpin yang baik pasti bisa menerima ‘takdir’ jika memang harus kalah dalam pemilihan, atau mengalah jika memang dalam perjalanannya tidak mampu.

Sedangkan pemimpin yang tidak baik, tidak layak dijadikan ‘imam’, tidak layak dijadikan contoh. Bagaimana mungkin dia akan dapat membawa kebaikan untuk orang lain, sedangkan untuk diri saja kebaikan itu tidak ada? Justru saya membayangkan memilih pemimpin yang tidak baik sama artinya menitipkan Kalbar ke tangan orang yang salah, orang yang justru akan membawa petaka.

Pada akhirnya saya jadi merenung pernyataan Iqbal dalam diskusi di Borneo Tribune, ketika dia berulang kali mengatakan: Why not?

Ya, mengapa kita tidak bisa memilih pemimpin yang terbaik? *




Baca Selengkapnya...

Minggu, 02 Maret 2008

Politik NU Kalbar, Politik STAIN Pontianak

Oleh: Yusriadi

Jipridin. Saya sudah lama mengenal lelaki paroh baya itu. Dia guru sekolah. Dia juga dosen. Mengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Pontianak. Saya sudah kenal orang ini sejak dia menjadi pengurus Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) belasan tahun lalu. Waktu di PMII kami sering diskusi. Dia selalu dominan dalam diskusi kami.


Tetapi dalam soal suksesi di PMII, Jipridin kalah. Waktu itu kami mengajukan nama Idham Khalid –sekarang pegawai di Kantor Harian Kompas Pontianak. Kami menang sebab waktu itu kami lebih kompak. Dia sempat tergusur dari kepengurusan. Tetapi, meski kalah (dan mungkin dia tidak suka dengan kekalahannya itu) Jipridin tidak berhenti dengan aktivitasnya. Dia tetap aktif –dengan caranya.

Setelah ‘selesai’ di PMII, jarang sekali saya gabung dengan kawan-kawan di PMII atau badan otonom Nahdlatul Ulama lainnya. Sedangkan Jipridin tetap aktif. Bahkan pada periode Bapak dr. Ahmad Zaim, Jipridin menjadi pengurus penting di NU. Namun setelah periode M. Zeet sebagai ketua NU Kalbar, peran Jipridin tidak lagi cukup penting. Mungkin karena kepengurusan ini lebih memilih orang-orang muda.

Saya termasuk yang dipilih masuk dalam kepengurusan ini. Tidak tanggung-tanggung, saya dimasukkan sebagai salah satu wakil ketua. Jabatan yang saya rasa cukup penting dan strategis.

Namun, penempatan saya sebagai wakil tidak pernah saya terima. Saya tidak pernah bersedia. Saya tidak menyatakan kesediaan –dan hebatnya para formatur tidak bertanya soal kesediaan saya. Saya tidak menghadiri pelantikan pengurus. Saya tidak menghadiri rapat. Saya tidak menghadiri pertemuan rutin NU. Meskipun undangan selalu saja dikirim.

***

Tanggal 26 Februari 2008. Saya kesekian kalinya saya bertemu Jipridin. Saya diminta menjadi salah satu pembicara dalam seminar yang digelar NU. Seminar untuk merefleksi perjalanan organisasi ini. Ada banyak pembicara. Jipridin salah satunya.

Saya diminta menjadi pembicara kedua pada sesi pertama. Saya mengemukakan pandangan saya tentang NU sekarang ini. Terutama berkaitan dengan kiprah politik dan implikasinya pada perkembangan NU. Saya juga menawarkan solusinya. Dengan satu tekanan, bahwa saya tidak tahu dinamika yang terjadi di internal NU. Saya mengingatkan peserta bahwa saya tidak memiliki data yang cukup.

Meski demikian, seperti biasa saya memang selalu semangat bicara. Saya terlalu lena sebagai seorang kritikus. Menyoroti NU dengan pandangan saya sebagai pemerhati. Tidak ada dalam perasaan saya hari itu, bahwa nama saya masih dikaitkan dengan pengurus NU.

Saya memberikan penekanan pada kiprah Suryansyah, SE yang pernah disorong-sorong mendampingi Cornelis. Saya juga menyinggung manuver politik M. Zeet pada saat kampanye. Saya juga menyebutkan soal partisipasi NU dalam kesepakatan belasan organisasi Islam mendukung UJ sebagai gubernur Kalbar.

Tetapi, rupanya apa yang saya sampaikan menjadi bumerang. Jipridin yang menjadi pembicara pada sesi kedua, secara terbuka mengkritik saya. Misalnya dia menganggap aneh pengurus NU tidak tahu tentang NU. Katanya itu sangat berbahaya. Dia juga menasehatkan agar pengurus NU mengurus NU. Bukan sebaliknya minta diurus oleh NU. Selain itu, Jipridin juga memesankan agar sesama doktor di STAIN Pontianak, orang NU jangan saling rebutan jabatan. Harus saling mendukung.

Saya takjub dengan nasehat itu. Saya memandangnya. Dia juga memandang ke arah saya. Dia menebarkan senyum –senyum khasnya yang saya terjemahkan sebagai senyum meremehkan orang.

Pengin rasanya memotong kata Jipridin. Menjelaskan duduk persoalan. Menjelaskan bahwa saya bukan pengurus NU. Menjelaskan bahwa tidak akan pernah ada rebutan jabatan di STAIN seperti yang dinasehatkannya. Doktor di STAIN ada tiga. Saya, Dr. Hermansyah, Dr. Wajidi. Saya mau rebutan dengan siapa? Dengan Hermansyah? Wow, tak terbayang. Hermansyah sudah saya anggap teman dekat, bahkan adik saya. Juga dengan Wajidi. Kalau Wajidi atau Hermansyah mau jabatan silakan. Saya tidak ikut.

Saya tidak pernah bermimpi pegang jabatan di STAIN. Tidak pernah pula akan membawa bendera NU. Saya bahkan sangat benci dengan orang yang membawa bendera organisasi di kampus untuk memperebutkan jabatan. Menurut saya, kalau orang mau STAIN maju, kepentingan STAIN-lah yang dikedepankan. Peduli dengan NU!

Toh, orang NU sendiri juga tidak pentingkan NU. Saya sering kemukakan ini. Pada pendapat saya kalau orang NU pikirkan NU pasti saat pemilihan ketua NU mereka akan berusaha memilih orang NU yang terbaik. Mereka juga akan memilih yang terbaik sebagai pengurus NU. Yang dipilih harus yang ulama, orang yang berilmu! Bukannya orang yang mau-mauan jadi pengurus. Bukan orang yang tidak bisa diteladani. Pilihan pasti bukan berdasarkan suka tidak suka. Bukan bersandarkan kelompok ini dan itu. Bukan didasarkan oleh pertimbangan politis.

Justru karena itulah saya tidak ingin menjadi pengurus NU. Saya tidak siap masuk ke pentas politik. Dunia politik bukan dunia saya. Dunia saya dunia akademik. Saya lebih suka berada di antara orang-orang akademik dan orang-orang yang mencintai dunia akademik. Berada di antara orang akademik lebih nyaman. Rasionalis. Berada di antara orang politik memusingkan kepala saya.

HP saya bergetar, sekali. Ada SMS masuk. Dari teman saya. Isinya mengomentari komentar Jipridin. “Apa-apaan Jipridin ngomong begitu? Mengapa dia bawa-bawa STAIN?”

Saya melihat kepada teman yang mengirim SMS. Berusaha tersenyum. Saya membalas:
“Jipridin memang begitu. Tak usaha diambil hati,”
Saya hanya menghibur.
Hati saya bergejolak.
Saat seminar selesai saya pulang lebih dahulu. Saya menyalami Jipridin seraya dengan agak emosional mengatakan:
“Abang salah. Saya bukan pengurus NU”.
Saya berbisik di telinganya.

Jipridin menyahut. Tetapi saya tidak mendengar apa yang dia katakan. Saya pikir saya tidak perlu mendengarnya. Saya tidak perlu melayannya. Buang-buang waktu. Masih banyak hal lain yang lebih penting.

Saya meninggalkan ruangan. Membawa penyesalan. Saya merenung mengapa saya datang ke acara NU. Mengapa saya mengkritik NU. Mengapa saya harus mendengarkan Jipridin. Mengapa saya harus mengurusi NU.

Mengapa seakan-akan lebih tahu tentang NU.
Ya, mengapa saya seakan-akan punya waktu. Padahal pekerjaan saya banyak. Menumpuk!

Baca Selengkapnya...

Sabtu, 01 Maret 2008

Sudut Kota Kuala Belait - Foto Yusriadi



Bangunan bertingkat di Pusat Kota Kuala Belait, Brunei Darussalam. Di sekitar bangunan ini terdapat terminal Kuala Belait dan SPBU. Kota Kuala Belait adalah salah satu kota utama di Brunei. Di daerah ini terdapat tambang minyak.




Baca Selengkapnya...

Catatan Perjalanan ke Brunei 1: Amboi Busnya .....

Oleh: Yusriadi

22 Januari 2008. Saya bersama 5 teman dari Pontianak berangkat ke Brunei Darussalam. Tujuannya menghadiri Seminar Antarabangsa Dialek-dialek Austronesia di Nusantara (SADDAN) III yang diselenggarakan Universiti Brunei Darussalam (UBD) 24-26 Januari 2008.

Saya akan membentangkan makalah tentang: Kepelbagaian Bahasa Melayu di Hulu Sungai Kapuas. Sedangkan teman saya, Ibrahim, MA akan membentangkan tentang: Bilingualisme pada Masyarakat Melayu dan Iban di Badau, Kapuas Hulu. Ismail Ruslan, M.Si membentangkan makalah tentang: Etos Kerja Melayu Pontianak.


Kami tidak banyak tahu tentang Brunei. Pengetahuan hanya didapat dari cerita kiri kanan. Bertanya pada teman. Soal perjalanan, soal angkutan, soal penginapan, soal hidup. Malangnya, informasi satu dengan yang lain beda-beda. Jadinya kami repot sendiri. Sementara informasi dari panitia tidak cukup detiil. Maklum saja orang baru pergi ke tempat nun jauh pasti ada sedikit was-was: khawatir ini, khawatir itu, dll.
Dengan pengetahuan yang terbatas itu kami mencari tiket bis. Bis dianggap lebih murah dibandingkan naik pesawat. Itung-itung berhemat. Walaupun pasti waktunya lebih panjang. Kami memutuskan naik bis karena menganggap remeh soal perjalanan jauh. Kalau ke Brunei perjalanan ditempuh dalam waktu belasan jam, bagi kami itu biasa. Kira-kira perjalanannya sama jauh kalau ke Putussibau. Ke Putussibau perjalanan bisa memakan waktu 18 jam. Kadang kalau lagi musim hujan perjalanan bisa sampai 20 jam lebih.

Mulanya kami hendak naik bis dari Pontianak ke Kuching –biasanya saya pakai SJS. Nanti turun di Batu 3 Kuching – terminal kota, lalu melanjutkan perjalanan ke Miri dengan bis Sarawak. Dari Miri sambung ke Brunei dengan van (sejenis mobil carry).
Tetapi, niat itu dibatalkan. Prof. Madya Dr. Haji Jaluddin Chuchu, dosen di UBD yang sering ke Kalbar memberitahu kalau ada bis dari Pontianak yang langsung ke Miri. Tak payah singgah di Kuching. “Mengapa tidak pilih yang langsung. Mungkin lebih enak langsung,” begitu kira-kira nasehatnya.

Dia lupa persisnya nama bis itu. Kami menduga kalau bukan Sri Merah, ya Tebakakng. Sebab bis itu milik perusahaan Malaysia. Lebih mungkin mereka melayani rute Kuching- Miri. Sedangkan bis Indonesia kemungkinannya kecil. Dengar-dengar tidak mudah mendapatkan izin trayek.

Rupanya benar. Bis Tebakakng melayani rute ini. Pollnya di Jalan Diponegoro Pontianak, dekat simpang Gajahmada.

Ibrahim dan Ismail mengurusnya. Kami memesan tiket langsung ke Miri, pulang pergi. Biayanya Rp 760 ribu per orang, kata sudah termasuk diskon. Nanti dari Miri ke Sungai Tujoh –perbatasan Malaysia – Brunei, kami naik bis milik syarikat Berlima. Begitu rencananya.

***

Pukul 21.00 malam. Kami bertolak dari Pontianak. Naik bis Tebakang bagi saya adalah pengalaman baru. Biasanya saya memilih naik SJS. Kalau tidak kami memilih naik bis Damri.

Masuk ke dalam bisa menyajikan kesan ‘bah’ dalam hati saya. Bus punya kursi sofa –begitu saya menyebutnya. Lebar, bisa untuk baring melengkung. Tetapi posisi sandarannya tidak bisa distel. Busa tempat duduknya ‘agak tipis’. Ada beberapa bagian sofa yang sudah bergaris-garis hitam bekas debu atau daki. Pasti sudah berumur. AC bis cukup dingin. Tetapi, alamak, lubang AC tidak bisa ditutup, hanya bisa dialihkan. Bis yang biasa saya tumpangi, lubang ACnya bisa ditutup. Putar saja! Bis ini juga tidak ada WC. Jadi kalau mau kencing harus minta kepada sopir agar berhenti. Kalau ndak, tahan sendiri sampai ngompol. Agaknya.

Saya pikir, bis ini terlalu tua ukuran melayani perjalanan ke Malaysia. Mungkin untuk layanan ke Putussibau bus seperti ini masih kategori baik.

Tidak cukup banyak penumpang malam itu. Hanya belasan orang saja. Saya pikir, semua orang berangkat tujuan Brunei. Atau setidaknya semua penumpang malam itu adalah penumpang jurusan Kuching – Miri. “Ini ‘kan bis tujuan Miri”, pikir saya.
Saya tidak bertanya pada penumpang lain.

Selama perjalanan saya memilih tidur. Saya lihat penumpang lain juga begitu. Apalagi teman saya yang minum antimo. Tidurnya sangat nyenyak.
Saya bangun ketika bis berhenti di sebuah rumah makan di sekitar Sosok. Saya pilih makan mie (mie gelas) untuk menghangatkan perut. Saya lihat Bang Kris juga begitu. Ada teman yang memilih nasi.

Setelah itu kami melanjutkan perjalanan.
Kami sampai di perbatasan Entikong, sekitar pukul 04.00 pagi. Kami turun. Ibrahim mengajak ke Mushalla di kiri pintu masuk. Ada banyak calo menawarkan jasanya mengisi formulir Imigrasi.

Pukul 05.00 pintu pagar batas dibuka. Kami antri di depan loket Imigrasi Indonesia. Cop paspor. Beberapa pelintas yang ingin ke luar negeri sempat dipersoalkan. Termasuk teman saya. Paspor teman saya tidak ada cop (stempel) masuk, hanya ada cop keluar. Tetapi, semuanya dapat diurus. Beres.

Sekitar pukul 07.00 melewati Imigresen Tebedu. Di sini ada juga sedikit hambatan. Pengalaman saya hampir selalu ada penumpang yang ‘diproses’ agak lama di batas. Entah, mungkin karena petugas curiga penumpang tersebut masuk ke Malaysia mau cari kerja. Saya mendengar percakapan orang tentang proses pemeriksaan pasport.

Bus bergerak lagi. Beberapa kilo meter dari batas ada pos pemeriksaan polis. Saya selalu merasa janggal sebab yang diperiksa polisi adalah paspor. Dalam bayangan saya seharusnya urusan paspor itu adalah urusan Imigrasi. Bukan urusan polis. Bagi saya pemeriksaan seperti ini memperlambat perjalanan. Buang-buang waktu.

Satu jam kemudian kami sampai di Serian. Penumpang tujuan ke arah Miri berhenti di sini. Selain kami, hanya beberapa orang saja yang turun. Tadinya saya duga semua penumpang bus, tujuannya ke arah Miri. Salah!

Saya juga salah menduga bus yang kami tumpangi dari Pontianak langsung menuju Miri. Rupanya, kami harus transit. Kami harus menunggu bus jurusan Kuching - Miri pukul 5 sore! Menunggu di tempat penjualan tiket selama lebih kurang 10 jam. Untung di tempat tunggu ini ada kamar yang besar –walau tidak cukup bersih dan ada kamar mandi. Ada tempat makan. Dan dekat pula kalau mau pergi ke pasar.

Kami menunggu sambil tidur. Capek tidur, kami berjalan di pasar Serian. Kembali ke penginapan dan tidur lagi. Bersambung.


Baca Selengkapnya...