Minggu, 16 Maret 2008

Beasiswa

Oleh: Yusriadi

“Aku terlambat, masang pengumuman beasiswa,” kata Takin.
Jumat kemarin, dia datang ke lapangan futsal di Jalan Ali Anyang, tempat kami latihan, terlambat. Agak buru-buru. Masih dengan baju dinas.
Takin, bekerja di STAIN Pontianak. Asisten Pembantu Ketua III. Cukup keren pangkatnya. Dalam tim futsal kami, Takin di posisi penjaga gawang.
Sekarang dia sedang mengurus beasiswa untuk mahasiswa STAIN Pontianak. Tahun ini ada ratusan beasiswa dikucurkan. Baik dari DIPA maupun dari sumber lain, termasuk beasiswa Supersemar.


Beasiswa di STAIN Pontianak tahun ini diberikan untuk mahasiswa berprestasi akademik, mahasiswa berprestasi bidang seni dan olahraga, mahasiswa aktivis, mahasiswa kurang mampu, mahasiswa berkarya ilmiah, mahasiswa penghafal Quran. Itung-itung separoh dari jumlah mahasiswa STAIN mendapat beasiswa. Jumlahnya lumayan, Rp 1.200.000. Saya gurau Zulfian, mahasiswa yang ikut mengajukan beasiswa, jumlah itu cukup untuk nambah tabungan hantaran.

“Gimana sidak-sidak, bulih?” Saya bertanya.
Saya ingin mendengar kabar tentang mahasiswa yang saya kenal, yang ikut mengajukan beasiswa. Ada Zulfian, Ambar, Yanti, Hairi, Marisa, Dearti, Wati.
Kabar yang ingin saya dengar tentu kabar baik. Saya ingin semua mahasiswa itu dapat beasiswa itu. Bukan saja soal uang yang agak lumayan itu, tetapi, soal motivasi. Bagi saya, kalau mereka dapat akan lebih mudah saya mendorong mereka. Saya bisa menunjukkan hasilnya kalau orang berkarya: beasiswa.
Kalau tidak dapat, wahhh.... bisa berabe. Mungkin mereka patah hati.
Memang saya yakin Zulfian, Ambar, Yanti, Wati, akan dapat. Tetapi, Hairi dan Marisa, saya tidak yakin. Maklum Puket III, Hamka, pernah memberitahukan bahwa beasiswa diprioritaskan untuk mahasiswa yang benar-benar memerlukan dan ada syarat tertentu. Jakarta pernah menyarankan agar beasiswa diberikan pada mahasiswa semester-semester akhir.
“Jakarta sempat mengingatkan hal itu,” kata Hamka sewaktu saya ajak bicara soal beasiswa STAIN.
Hairi dan Marisa baru masuk semester II. Nilai semester I belum keluar semua. Waktu urus transkrip nilai sebagai syarat mengajukan permohonan, wuih... repot. Orang di prodi tidak biasa mengeluarkan transkrip untuk mahasiswa semester I. Orang di prodi pesimis ketika mendengar tujuan Hairi dan Marisa minta transkrip. Yang orang prodi tahu, mahasiswa semester I tidak bisa mengajukan beasiswa. Kasarnya, jika pun transkrip diurus, percuma. Sebelum saya paksa menulis, Hairi dan Marisa juga pernah mengatakan hal itu pada saya: “Kami ‘kan masih semester I, Pak,”
Karena cara berpikir orang prodi itu, pembuatan transkrip sempat ‘tertunda’. Hairi dan Marisa sempat pesimis. Besok penutupan. Hari ini belum beres lagi. Syarat tidak akan terpenuhi. Waktunya sudah mepet.
“Tak bise Pak,”
Saya sempat menulis memo pada kertas milik Hairi agar orang di prodi baca.
“Tolong dibuatkan transkrip nilai. Apa yang ada. Soal diterima atau tidak, itu urusan lain,”
Saya sempat menjumpai staf dan ketua prodi membicarakan soal ini –atau lebih tepatnya mendesak. Bahkan di prodi tempat Marisa belajar saya sempat naik pan. Ketua prodi tidak ada. Staf prodi terkesan cuek. Ketika saya minta dibuatkan transkrip, dia bilang:
“Tidak ada perintah dari ketua prodi,”
Saya berpikir, dia benar. Itu bukan tugas dia. Dalam dunia kerja yang profesional memang begitu.
“Tadi prodi bilang tidak bisa, karena nilai belum keluar semua,” tambahnya lagi.
Kacau!
Tetapi, ini darurat. Staf prodi lain yang tugasnya membuat transkrip, tidak masuk karena sakit. Jujur saja, saya sempat putus asa. Terpaksa saya menunggu ketua prodi datang. Pekerjaan yang sudah lama tidak saya lakukan.
Ketika kemudian ketua prodi datang, saya merasa lega. Dia bersedia membantu membuatkan transkrip, sekalipun membuat transkrip hanya untuk separoh nilai merupakan sesuatu yang aneh. Nilai Marisa belum lengkap. Masih ada satu dosen belum memberikan nilai.
Kalau Hairi lebih parah lagi. Masih ada tiga nilai belum keluar.

Tetapi, ketika Takin mengatakan: “Bulih”, saya merasa lega. “Alhamdulillah”. Saya bisa membayangkan betapa senangnya mereka. Betapa senangnya orang tua mereka.
“Saya sudah ceritakan dengan Pak Hamka. Ada anak yang terpaksa menjual handpone untuk daftar ulang. Pak Hamka bilang, harus dibantu itu,”
Saya mengangguk.
Takin pun tahu arah pertanyaan saya. Dia bercerita tentang bos-nya itu. Bagi saya cerita itu berarti kepastian. Permohonan Hairi diluluskan. Kalau Hairi diluluskan, Marisa pasti juga diluluskan.
Dan benar, Sabtu, ketika sampai ke kampus saya langsung meluruk menuju papan pengumuman di depan ruangan Kabag TU STAIN Pontianak. Ada banyak mahasiswa sedang melihat pengumuman di situ. Saya menyeruak di antara mereka.
Saya mencari nama Wati, Ambar, Hairi, Marisa dan lain-lain. Tuh, nama mereka tertera di sana. Saya bersorak dalam hati.
Agak siang beberapa mahasiswa yang mendapatkan beasiswa datang ke ruangan. Selain bicara soal kuliah, mereka memberitahukan kabar gembira itu. Saya melihat kegembiraan terpancar di wajah mereka. Saya senang melihatnya. Saya senang bisa membuat mereka senang, bukan cuma menyusahkan.
Sore, saya mendapat SMS dari Ambar. Mengabarkan beasiswa itu – siang itu Ambar tidak muncul. Ambar, Marisa dan Hairi ingin menyampaikan terima kasih dengan memberikan sesuatu. “Awas ye kalau tak mau!,”
Saya tersenyum mendengar ancaman itu. Ambar memang selalu begitu. Ada beberapa kali saya diancamnya. Tanda perhatian dia memang begitu. Gurau. Tetapi dia tidak mau mengatakan akan memberikan apa nanti.
“Berikan saya kebanggaan ya! Terus berkarya.”
Saya senang Ambar, Marisa, Hairi, Yanti, dll karena mereka memiliki kemauan yang kuat. Mau berusaha. Saya yakin itu kunci kemajuan. Saya yakin kalau ritme ini terus bertahan, mereka pasti akan menjadi orang yang berhasil.
Ingat rencana mereka memberikan sesuatu sebagai ungkapan terima kasih, saya lantas teringat pengalaman ketika mendapat beasiswa dari SEASREP, The Toyota Foundation sewaktu ambil program doktoral dahulu. Waktu itu saya juga berniat memberikan pembimbing saya Prof. Dr. James T. Collins hadiah, sebagai ucapan terima kasih karena bantuannya. Menurut saya, kalau bukan karena dibantu Pak Jim –begitu kami memanggil beliau, pasti saya tidak akan dapat bantuan itu.
Tetapi, saya gagal menyampaikan ucapan terima kasih itu.
“Yus, saya bukan makelar. Saya membantu kamu,”
Suara Pak Jim tegas. Serius.
Saya ingin ungkapkan kata-kata itu nanti. Meniru. Biarlah Ambar, dkk mengancam. Kalau mereka marah (mungkin ngomel), saya akan diam. Selama ini mereka juga begitu. Kalau saya marah atau ngomel mereka diam. Marisa pernah cerita pengalamannya sewaktu kena ‘khutbah’ di kelas.
Kalau saya beri pekerjaan mereka terangguk-angguk. Mereka tahu saya marah karena saya menyayangi mereka. Pekerjaan yang diberikan untuk mereka juga. Untuk masa depan.
Jadi, sesekali saya kena balas tak apa. Saya akan menikmati kemarahan mereka. Saya akan tulis ekspresi orang-orang yang marah. [Duh, kalau mereka tulis tentang saya sedang khutbah di kelas, repot juga yach].
Setelah itu saya akan membujuk mereka.
“Kita satu team”
Team yang akan bersama-sama bergerak menuju puncak prestasi.
Semoga!

Purnama, 16 Maret 2008






1 komentar:

Unknown mengatakan...

Saya merasa bersalah, itu saja yg bisa saya katakan utk saat ini. (Hairi)