Jumat, 07 Maret 2008

Catatan Perjalanan ke Brunei 4: Kota yang Penuh Kejutan

Setengah jam kemudian, sebuah kijang hijau berhenti. Seorang pemuda ganteng turun. Berkulit putih, berbadan sedikit kurus, hidungnya agak mancung. Pakaiannya kemas –kemeja panjang warna agak biru, celana hitam, sepatu mengkilat. Rambutnya tersisir rapi, berminyak. Umurnya sekitar 20 tahun. Menurut kawan perempuan dalam rombongan kami, nilai pemuda itu 9.


Sebenarnya sebelum penumpang kijang turun saya sudah menduga mobil itulah yang menjemput kami. Warna mobil hijau. Saya ingat nomor kendaraan juga sama seperti yang disebutkan Dr. Yabit sebelumnya. Dr. Yabit adalah ketua panitia seminar. Dia juga ketua jabatan linguistik di UBD.
Penumpang itu menebarkan senyumnya, dengan badan sedikit membungkuk. Santun.
“Dokte ... Yusraidi?” katanya sambil bertanya.

Saya mengiyakan. Di Malaysia saya selalu dieja Yusraidi, bukannya Yusriadi. Huruf [i] setelah [r] pada nama saya selalu dieja [ai], bukannya [i]. Biar sajalah!
Saya juga mafhum di Brunei dan Malaysia cara memanggil orang agak lain sedikit. Kalau mereka tahu seseorang sudah menyelesaikan pendidikan S-3, pasti akan dipanggil Doktor –dengan bunyi [r] kurang jelas [dokte..]. Mereka sangat menghargai pendidikan. Orang yang berpendidikan Doktor tidak akan dipanggil “Saudara” atau “Cek”. Saudara atau Cek untuk orang biasa. Pendidikan sarjana muda (program BA) dan sarjana (program MA) masih dianggap ‘biasa’. Gelar S-2 ke bawah biasanya tidak ditulis.

Beda kalau dibandingkan di Indonesia. Jenjang apapun seseorang sama saja panggilannya, “Pak”, “Bapak”, atau kadang “kamu”. Sebaliknya dalam tulisan, bukan gelar Doktor saja yang dicantumkan, tetapi gelar S-2, S-1, bahkan diploma juga. Tidak heran kalau ada orang yang ditulis gelarnya: Drs. AAAA, MA, PHD. Ada orang yang ditulis gelarnya Am.d .. dan seterusnya. Kalau orang lain tidak menulis, mereka tulis sendiri.

“Saya diminta Dokte .. Yabit membawa Dokte ...”

Saya mengangguk.

Kami berkenalan. Namanya Abu Zar. Mahasiswa tahun 2 Universiti Brunei Darussalam.
Saya menceritakan perjalanan kami. Termasuk soal jemputan di batas Brunei.
Abu Zar menceritakan dia sudah sampai di Sungai Tujoh. Namun kami ssudah tidak ada. Dia mendapat pemberitahuan bahwa kami sudah berada di Kuala Belait. Dan dia terpaksa berpatah balik. Saya juga menceritakan keraguan saya, hingga soal perdebatan dengan sopir.

Kami memunggah barang ke dalam mobil. Sebentar. Barang kami sedikit. Masing-masing cuma bawa tas kecil.
Kami melanjutkan perjalanan.

Abu Zar menjadi pemandu kami. Dia menjawab pertanyaan kami yang tak putus-putusnya. Maklum masing-masing mau tahu tentang Brunei.

***

Kini, wajah Brunei yang sebenarnya mulai nampak. Di kiri kanan nampak rumah tunggal. Bangunannya, ada yang bergaya bangunan rumah Malaysia –nampak rendah dan sederhana, ada juga bergaya bangunan rumah di Indonesia yang nampak mewah dan gagah. Dengan pilar dan balkon.


Sepanjang jalan di Batas Kuala Belait nampak kilang minyak, mesin pompa, rumah-rumah pegawai kilang.

Mobil memadati jalan. Banyak jenis. Jika di Malaysia mobil Proton merajai jalanan, di Brunei lain lagi. Keadaan mobil seperti di Pontianak. Banyak mobil mewah bersileweran. Sedangkan sepeda motor tidak ada. “Jarang orang pakai motor. Kecuali motor besar,” katanya.
Motor besar untuk jalan-jalan, untuk hoby.

Saya menikmati perjalanan. Saya mengagumi tambang-tambang minyak di kiri kanan jalan. Mesin pompa yang tidak berhenti bergerak. Brunei menyajikan kemajuan. Perjalanan kali ini mengingatkan saya situasi psikologis saat saya ikut bapak milir ke Jongkong, kota kecamatan, di Kapuas Hulu. Kalau itu saya melihat rumah kayu yang kokoh dan bercat terang. Saya melihat motor bandung yang gagah. Saya melihat lalu lintas yang ramai. Saya rasa waktu itu saya melongo, mengagumi. Saya nampak sangat kampungan. Maklum di kampung kami Riam Panjang waktu itu sangat jarang rumah yang bercat. Penduduknya tidak ramai. Tidak ada lalu lintas kendaraan. Mungkin satu hari tidak sekali mendengar suara mesin tempel (speed).
Ketika saya menyaksikan Brunei yang berbeda dibandingkan Pontianak, saya menjadi ‘sepok’ kata orang.

Perjalanan dari Kuala Belait ke Bandar Sri Begawan cukup jauh juga. Jalan raya. Lalu lintas cukup padat. Laju.

Di sepanjang perjalanan saya melihat di kiri kanan hutan. Tidak ada rumah. Kosong.
Kami melewati kawasan Jerudong. Kawasan ini sangat terkenal. Ada Jerodong Park, tempat wisata andalan Brunei.

Rumah Dr. Yabit di kawasan Jalan Jerudong. Kawasan ini termasuk kawasan elit di Brunei. Letaknya cukup jauh dari pasar.

***

Kami masuk ke sebuah komplek perumahan. Di kiri kanan rumahnya besar dan wah. Belakangan saya diberitahu di komplek ini ada rumah pehin, gelar pejabat tinggi di Brunei. Ada rumah duta besar juga.

Rumah Dr. Yabit terletak ujung komplek. Rumahnya sangat luas. Rumahnya sangat wah. Ada suzuki vitara putih terparkir di depan rumahnya. Di depan terasnya tergantung bola Cina warna merah. Bekas Imlek. Istrinya orang Cina dari Malaysia. Saya sudah mengenal keluarga ini sejak masih kuliah di Universiti Kebangsaan Malaysia, dahulu. Saya dan Dr. Yabit sama-sama dibimbing Prof. Dr. James T. Collins. Ada beberapa kelas Pak Jim kami ikuti bersama.

Dr. Yabit menyambut kami. Selama di Brunei, kami menumpang di rumahnya. Agak sungkan sedikit. Tetapi, kata kawan, demi ilmu tidak apa-apa. Buang sikit rasa malu.
Setelah berbincang-bincang tentang perjalanan, kami berbincang tentang rencana selanjutnya. Makan siang, lihat pasar, dll.

“Saya ada mesyuarat. Abu Zar akan mengantar,” katanya.
Dr. Yabit memberikan duplikat kunci rumahnya, biar kami bisa masuk sendiri.

***

Abu Zar membawa kami ke pasar, mencari makan. Kami dibawa melalui istana Sultan Brunei. Lokasinya seperti di tengah hutan. Namun atapnya menjulang megah. Kami berhenti sebentar di seberang jalan. Ambil gambar dari jauh.
Setelah itu, kami sampai di sebuah pusat perbelanjaan Yayasan Sultan. Di lantai dua sebuah pusat perbelanjaan, terdapat gerai makan. Cukup banyak pilihan makanan. Tetapi hampir tidak ada yang aneh; makanan yang ada biasa dijumpai di rumah makan besar.

Setelah makan kami kembali ke rumah. Hari sudah sore. Kami mau rehat. Ternyata di rumah sudah ada istri Dr. Yabit. Kim, namanya. Dia guru di Sekolah Sultan. Kim menyambut kami dengan ramah. Rosnawati dan Siti Imtihanah, guru MIN Teladan yang ikut dalam rombongan kami, bertukar pengalaman dengan Kim. Mereka ingin tahu tentang pendidikan di Brunei.
Cukup lama, kemudian kami rehat. Tertidur.

Menjelang gelap, Kim memberitahu saya ada tamu. Haji Jaludin Chuchu. Dosen di UBD, kawan Dr. Yabit juga. Seperti Dr. Yabit. Aji, begitu kami memanggilnya, juga kuliah di UKM juga. Murid Prof. Jim juga. Dia, orangnya kocak. Kalau ada dia pasti ramai. Banyak joke dan sedikit nakal.

Selain datang mengambil barang titipan yang saya bawa –amplop bertuliskan nama H. Jaludin, made in Pontianak, Aji juga ingin mengajak kami keluar makan.
Malam itu kami makan di sebuah rumah makan sederhana masih di kawasan Jerudong. Kami makan ‘nasi katok’, seperti nasi bungkus. Rasanya cukup ok.

Lebih istimewa lagi pelayannya ada orang Sunda, Jawa Barat. Rosnawati yang memang orang Sunda itu, mengajak pelayan bercakap dalam bahasa Sunda. Ismail yang agak mengerti sedikit menimpali. Yang lain, ngacau-ngacau jak.

Setelah makan, Aji membawa kami ke rumahnya. Rumah Aji terletak di kawasan perbukitan. Hutan. Rumahnya sangat modern. Desainnya eksteriornya mengundang decak kagum. Seleranya tinggi.

Desain interior ruang tamu juga unik. Lampunya agak temaram. Di ruangan itu terdapat koleksi foto Aji dan keluarga. Foto orang tempoe doeloe. Ada kaligrafi besar.
“Kadang ruang ini digunakan untuk tempat pengajian,” katanya.
Banyak hal kami bicarakan. Cerita tentang Brunei. Masa lalu, dan hari ini.
Larut malam, baru kami kembali.

Dr. Yabit sudah pulang. Kami bercakap sebentar tentang seminar besok.
Dr. Yabit masih ada kerja yang harus dibuat. Bersambung.


3 komentar:

mo-emo mengatakan...

Hmmm.seru bget kykX.

Unknown mengatakan...

Enak banget pastinya jalan2 ke sana ya?, jadi pengen nih...hmm

Unknown mengatakan...

Membaca tulisan Dokte tentang Jongkong (Kota Kecamatan), Saya jadi ingat dengan Kecamatan Selimbau, belum pernah lagi Saya menginjak kaki ke sana...