Rabu, 05 Maret 2008

Catatan Perjalanan ke Brunei 3: Sempat Dikira Pekerja Indon

Oleh Yusriadi

Saya juga terbangun ketika beberapa kali bus berhenti. Sepanjang perjalanan, bus selalu berhenti di terminal kota di setiap kota yang dilewati. Ada atau tidak ada penumpang yang naik atau turun. Selalu ada penumpang yang memanfaatkan kesempatan ini untuk buang air. Maklum, sejuk!



Di terminal-terminal resmi ini, WC-nya cukup baik. Bersih.
Bus tiba di Miri pagi tanggal 23 Januari 2008, sekitar pukul 08.00. Terminal Pujut namanya. Terminalnya cukup besar. Ada banyak bisa berhenti. Saya tidak sempat melihat wajah Miri, salah satu kota utama di Sarawak, setelah Kuching.

Kami menurunkan tas dan berhenti di taman di depan counter tiket bus Tebakakng. Satu per satu menuju kamar mandi milik syarikat bus: mandi dan gosok gigi.
Walaupun WC-nya agak jorok namun tidak ada teman yang protes –seperti tadi. Setelah itu kami makan di gerai ujung terminal.

***

Pukul 10.00 bus Berlima bergerak dari Miri menuju Brunei. Berlima, namanya agak unik. Saya tidak sempat bertanya soal ini. Pikiran saya berkelana sendiri soal negeri petro dolar itu. Konon, negeri paling kaya di Asia Tenggara.

Kondekturnya juga unik. Perempuan. Pakai kerudung. Tetapi caranya memakai kerudung agak modis. Mengingatkan saya pada anak-anak gaul di Pontianak. Kulitnya hitam. Kelihatannya familier. Sedangkan sopirnya lelaki tua, kecil, sudah beruban. Tidak meyakinkan. Jauh dibandingkan sopir-sopir di Kalbar.
Penumpang bisa tidak banyak. Setengah bis. Jumlahnya belasan orang. Ada beberapa orang putih.

Sekitar pukul 11.00 bis sampai di Sungai Tujoh. Melewati pos Imigresen Malaysia. Cop pasport.
Beberapa menit setelah naik bus, kondektur memberitahukan ada pemeriksaan polisi Brunei.

“Yang Indon ... turun,” katanya.
Kami terkejut. Terkejut karena teriakan yang tiba-tiba, juga terkejut dengan identitas itu.
Saya mendengar reaksi teman-teman.
“Diskriminatif!”
“Masa’ pakai Indon?”

“Mengapa cuma kami orang Indonesia yang diminta turun?”
Lima teman saya turun lebih dahulu menghadap polis. Ada dua orang di sana waktu itu. Mereka berpakaian biru, gelap. Saya tidak mendengar dialog mereka. Tetapi diberitahu kemudian (setelah di dalam bus) kalau polis langsung bertanya: “Mau kerja apa di Brunei?”

Kabarnya kawan-kawan sempat gelagapan disergah pertanyaan seperti ini. Pasti tidak menyangka. Maklum semua kami yang pergi sudah bekerja. Kecuali Bang Kris, yang lain adalah pegawai negeri sipil (PNS) golongan III/B-IV/A. Bang Kris walaupun swasta tetapi kerjanya juga mapan. Penghasilannya besar. Punya mobil malah.
“Masa’ sih kayak TKI?” tanya saya dalam hati.

Saat Bang Kris memberitahukan tujuan ke Brunei menghadiri seminar, saya menyodorkan surat panitia, dan jadwal. Baru kemudian polis nampak lunak. Dia hanya sempat bertanya, di mana kami akan menginap selama di Brunei.
Kami dipersilahkan naik.

Justru kini, kondektur yang heran. “Kok cepat?”
Maklum, dia kira prosesnya pasti agak lama. Polis pasti bertanya macam-macam pada orang Indon yang akan masuk ke Brunei.

Memasuki pos Imigresen Brunei di Sungai Tujoh, saya sempat bersiteng sedikit dengan sopir, Pak Tua itu. Pasalnya, saya ragu apakah tas-tas kami dibawa turun atau tidak. Ada janji jemputan, namun, saya tidak tahu di mana menunggu.
Lebih risau lagi bagaimana melewati pemeriksaan Imigresen. Karena kabarnya kami harus memperlihatkan uang tunjuk $B 300 (ada yang bilang $B 500 –nilai tukar Rp 6.600 per dolar Brunei). Saya dan beberapa lagi memang membawa uang dalam jumlah itu. Bagaimana teman yang lain?

Saya mengumpulkan paspor teman-teman. Menyerahkan sekaligus bersama surat undangan dari panitia kepada petugas.
Syukur, petugasnya ramah. Bersahabat. Setelah membaca surat yang saya serahkan, dia bertanya beberapa hal tentang kegiatan kami. Saya pikir ini permulaan yang bagus.
Dia mulai mencop pasport Saya, dan seterusnya teman-teman lain.
Seorang lagi petugas Imigresen membantu rekannya itu. Dia mengambil tiga pasport lagi dan mencopnya.
Alhamdulillah, beres! Tak perlu ada uang tunjuk.

Keluar dari bangunan Imigrasi, saya sempat ragu apakah turun atau tetap naik bus. Mobil yang akan menjemput kami belum nampak. Entah dia menunggu di mana. Jangan-jangan salah tempat.
Kami lantas memutuskan menunggu di terminal Kuala Belait. Tempat yang kami sendiri juga tidak tahu. Belum ada bayangan.

Kami bergegas menuju bus yang sudah menunggu.
Bus bergerak lagi meninggalkan pos Imigresen Brunei. Sekarang kami berada di negara baru—Brunei Darussalam. Negara yang saya sendiri cuma dengar melalui cerita dari mulut ke mulut. Negeri yang kaya minyak. Negeri yang maju.

Rumah penduduk di kiri kanan jalan agak jarang. Rumahnya terpisah-pisah. Cukup besar. Beberapa arsitektur bangunan mirip rumah di kampung-kampung di Malaysia. Rendah. Tidak bagus untuk selera orang kota di Kalbar.
Setiap rumah ada mobil. Bahkan, menurut statistik Brunei, rata-rata ada 3 mobil satu rumah.

Jalan yang kami lalui agak kecil, tidak cukup lebar. Kiri kanan ada parit. Keadaan yang agak kontras dibandingkan apa yang saya bayangkan tentang Brunei.
“Penumpang turun di sini. Bawa beg,”

Suara kondektur dan sopir memutuskan lamunan saya tentang Brunei.
Bus berhenti. Penumpang mulai turun. Saya lihat di depannya ada sungai.
“Inilah dia Kuala Belait yang terkenal itu’.

Penumpang diarahkan perahu speed. Bobotnya sekitar 1,5 ton. Mesinnya 10 PK. Menyeberang sungai. Karena perahu agak kecil, penumpang dibagi dua. Sebagian diantar dahulu, baru kemudian mereka menjemput kami. Tetapi saya mengagak sebenarnya sekali angkut pun bis. Kalau di Sungai Kapuas, penumpang biasa dijejal-jejal dalam perahu.
Rombongan pertama dipandu sopir. Sedangkan kondektur bersama kami. Bus ditinggalkan.
Kami sempat ngobrol tentang Kuala Belait, tentang penyeberangan. Kami juga sempat bertanya tentang sang kondektur.
Bah, rupanya dia orang Jawa. Masih warga negera Indonesia. Baru beberapa tahun menjadi kondektur.

Saya berujar dalam hati. Patutlah kulitnya hitam. Patutlah lebih familier. Patutlah cara berpakaiannya agak modis.
Speed yang kami tunggu sampai. Kami menyeberang. Tidak lama. Lebarnya sungainya sekitar 25 meter.

Kami naik di dermaga. Ada banyak mobil diparkir. Ada bangunan besar. Suasananya sangat berbeda dibandingkan suasana di seberang tadi. Di sini terasa kemajuannya. Seperti kota.

Kembali kami naik bus. Bus Berlima juga. Ukurannya lebih kecil dibandingkan bus yang di tinggalkan di seberang tadi.

Tidak lama kami sampai di tempat yang disebut terminal Kuala Belait. Saya sempat takjub melihat terminal ini. Ya, ampun, kecil sekali. Lebih kecil dibandingkan terminal bayangan Kampung Bali, Pontianak. Saya bayangkan, kalau ada 5 bus mungkin sudah penuh ‘terminalnya’.

Di terminal ini hanya ada satu bus kecil terparkir –seukuran carry. Ada sebuah counter penjualan tiket. Di terminal ini ada 4 kursi tunggu.
Kami duduk di kursi itu menunggu jemputan. Bersambung.



0 komentar: