Minggu, 09 Maret 2008

Catatan Perjalanan ke Brunei 5: Seminar Itu Sangat Menarik



Catatan Perjalanan ke Brunei (6)
Seminar yang Menarik

Pagi. Aji menjemput kami. Sebelum sampai di kampus kami mampir dahulu ke kedai makan di kawasan Jalan Jerudong. Sarapan pagi.
Kami memilih makan roti cane. Pemiliknya agaknya orang India. Pekerjanya orang Indonesia.
Istimewanya di warung ini tersedia fasilitas internet. Bang Kris yang memang meninting laptop dari Pontianak, membuka emailnya.
Selesai sarapan, kami melanjutkan perjalanan ke kampus.
Kampus Universiti Brunei Darussalam, tempat berlangsungnya seminar, cukup megah. Bangunan canselor tidak jauh dari pintu masuk mencerminkan kebesaran universiti itu. Kampus juga nampak asri di sekitarnya terdapat pepohonan.
Kami masuk ke dalam bangunan. Sudah banyak orang berkumpul di depan ruang pertemuan. Sedang registrasi. Pembicara dan peserta dipisahkan.
Saya menyapa beberapa orang yang dikenal. Ada rombongan pak Syamsuri, dan Oskar Hadigaluh dari STIT Sambas. Ada Prof Amrin Saragih, dari Balai Bahasa Sumatera Utara. Ada Prof Abdullah Hasan dari Malasyia. Ada beberapa lagi wajah orang Malaysia dan Brunei yang saya kenal.
Prof. James T Collins, yang biasa kami panggil Pak Jim juga ada di antara orang-orang di situ. Ada juga Dr. Chong Shin.
Kami mendapatkan prosiding dua jilid, kesemuanya ada 632 halaman. Jilid 1 ada 38 tulisan. Jilid 2 ada 37 tulisan. Tidak semua makalah yang dibentangkan dalam seminar masuk di proseding ini. Maklum, ada beberapa orang mengirimnya agak lambat.
Selesai pendaftaran, pembukaan dimulai. Acara pembukaan dilaksanakan di ruang canselor. Menteri pendidikan yang membuka kegiatan.
Yang unik, acara dimulai dengan doa. Doa untuk semua dan doa untuk keselamatan Sultan. Barulah kemudian dilanjutkan dengan sambutan ketua panitia dan sambutan menteri.
Setelah itu, pembicara utama Prof. Collins yang membentangkan tentang bahasa di Pulau Seram yang hilang dan terancam hilang. Seperti biasa Pak Jim selalu berhasil memukau pendengar. Caranya mengkonstruksi pemikiran berdasarkan data lapangan. Dia sangat kaya data.
Lagian, apa yang dibicarakan Pak Jim juga sangat menyentuh. Kepunahan. Gagasan penyelamatan dilontarkan. Banyak peserta memberikan tanggapan. Dari pertanyaan yang ‘serius-berisi’ hingga pertanyaan yang kosong dan asal bunyi. Bayangkan ada peserta meminta pendapat Pak Jim soal Soeharto dikaitkan dengan kepunahan ini. Orang-orang yang bertanya adalah orang Indonesia.
Saya selalu mafhum soal begini ini. Orang Indonesia memang paling jago bunyi. Banyak orang Indonesia dalam seminar hobbynya mengkritik makalah orang, mengkritik cara orang berpikir, dll. Kalau, tidak muncul pertanyaan aneh-aneh, tidak relevan. Kalau sudah ‘bunyi’ orang Indonesia merasa sangat hebat. Dialah paling hebat. Biasanya mereka cenderung mengajar pemakalah tentang bagaimana membuat penelitian dan bagaimana mengolah data. Padahal, kadang kala dia tidak buat dan belum pernah buat seperti yang dilakukan pemakalah. Lebih tragis lagi, kalau dia sendiri yang maju, belum tentu lebih bagus.
Dalam seminar SADDAN kemudian saya melihat orang Indonesia kerap kali sangat pintar kalau menjadi penanggap, dibandingkan menjadi pemakalah. Yang kasian justru orang Malaysia atau orang Brunei yang tidak biasa ‘disayok’.
Budaya akademik ini sangat berbeda dengan budaya akademik di kalangan akademisi Malaysia dan Brunei. Mereka, kalau bertanya, selalu bertanya dengan santun. Kalau mereka ada kritikan, kritikan disampaikan dengan ‘lembut’ sehingga orang kadang kala tidak merasa sedang disalahkan. Pertanyaan disampaikan bukan dengan maksud menguji, mendebat, atau menunjukkan pandai. Pertanyaan disampaikan untuk mengeksplorasi data dan pemikiran.
Ismail yang baru kali ini berseminar di luar negeri beberapa kali memuji iklim ini. Dia sangat ingin iklim itu bisa tumbuh di Kalbar, khususnya di STAIN Pontianak. Dia yakin, jika iklim ini tumbuh, STAIN pasti akan sangat maju. Orang akan pede kalau menjadi pembicara di seminar.
Dalam seminar ini, panitia mengatur pembicara tampil dalam sesi serentak. Orang Brunei menyebutnya “sesi selari”. Ada tiga ruangan yang kecil yang dipakai sebagai tempat seminar. Di setiap tempat itu ada 3 atau 4 pembicara. Nanti peserta boleh memilih ruangan mana mereka masuk. Biasanya pilihan tergantung materi menarik atau tidak. Atau tergantung ‘nama besar’ seorang pemakalah.
Karena itu tidak heran, meskipun seminar dilaksanakan dalam waktu 3 hari, lebih dari 70 makalah dibentangkan. Bersambung.




0 komentar: