Selasa, 11 Maret 2008

Catatan Perjalanan ke Brunei 7: Malam Terakhir di Gadong

Malam itu, kami pulang paling akhir. Jam 10.30 malam. Tetapi, rupanya tidak langsung pulang. Dr Yabit membawa kami keliling.
Salah satu tempat yang kami kunjungi adalah kawasan Gadong. Kami berhenti di sebuah showroom mobil.

Di sana juga banyak orang lain. Malam-malam masih ramai.
Orang ke situ untuk mengabadikan ornamen Imlek. Ada bunga Mei Hwa, ada lampion warna merah, ada kereta kencana. Sungguh indah.

“Dekorasinya selalu berubah sesuai keperluan,” kata Dr. Yabit.
Kalau musim Natal, ornamennya berganti dengan hiasan khusus Natal; ada sinterklas, kereta kuda, dll. Kalau musim lebaran, hiasannya berganti dengan ketupat, dll.
Tempat ini selalu ramai kalau malam. Lampu hiasannya sangat indah. Kalau siang tidak.
Kata Dr Yabit, tempat ini dikelola showroom. Sebagai sumbangan mereka untuk pariwisata Brunei.

Saya membayangkan jika ada upaya seperti itu di Pontianak, pasti jadi ramai juga. Lahan untuk ‘pameran’ itu tidak besar. Mungkin cuma seluas lapangan volly.
Tetapi saya bertanya-tanya dalam hati, adakah para pengusaha yang memiliki perhatian pada soal seperti ini?

Adakah orang Kalbar yang bisa melepaskan diri dari ikatan primordialis. Bayangkan hiasan di sana bisa berganti sesuai musim: jadi sekali patung di sana jadi orang Islam, sekali jadi orang Kristen, sekali jadi orang Cina.
Kami, seperti juga pengunjung lain juga mengabadikan pemandangan malam itu.
Setelah itu melanjutkan perjalanan. Kembali ke rumah.

***

Seminar hari terakhir dipadatkan. Jika menurut jadwal, seharusnya seminar berakhir sore hari, panitia mengatur seminar bisa selesai sebelum makan siang.
Aji meminta pendapat saya siapa yang akan menjadi wakil pembentang dan peserta untuk menyampaikan kata ucapan. Pesan dan kesan dari seminar ini.

Saya mengusulkan Bang Kris sebagai wakil peserta. Aji setuju.
Sebelum menyampaikan kata akhir, Bang Kris dipanggil panitia ke ruang khusus. Rupanya, ada wartawan TV Brunei yang ingin wawancara.
Setelah itu dengan sumringah Bang Kris menceritakan pengalamannya.
“Saya masuk TV Brunei,” katanya.

Bang Kris berulang kali mengungkapkan kesan positifnya terhadap seminar ini. Dia juga menyampaikan kesan positif terhadap panitia, terhadap Dr. Yabit dan keluarga, dan juga terhadap orang-orang Brunei yang sempat kami kenal.

Teman-teman lain juga berpikiran sama. Brunei yang dibayangkan berbeda dengan kenyataan. Brunei yang rupanya cukup luas. Orang Brunei ramah-ramah.
Ada teman yang punya kesan khusus tentang orang Cina di Brunei. “Orang Cina Brunei lain sekali dibandingkan orang Cina di Pontianak”.
Bagi mereka, dengan pengalaman yang terbatas, orang Cina di Brunei ramah-ramah. Mudah bergaul.

Saya sendiri memang merasakan hal itu. Tetapi, bukan cuma Cina, suku lain juga begitu. Ada Tuah Dilang, orang Iban yang beberapa kali membantu kami. Dia dipanggil Cikgu. Orang tua Tuah berasal dari Kapuas Hulu. Saat kami pulang Tuah merelakan waktunya mengantar kami sampai ke Kuala Belait. Dia, menunggu kami hingga bus yang akan membawa kami ke Sungai Tujoh berangkat. Dia melambaikan tangan, seakan-akan kami adalah sahabat lama. Padahal kami baru berkenalan dengannya.
Ya, layanan dan bantuan yang diberikan Aji, Abu Zar, Gazali, Zila, dll juga sangat berbekas di hati. Sedangkan layanan yang diberikan Dr. Yabit dan keluarganya, sudah tidak bisa dikira.

Pengalaman di Brunei mengingatkan saya pada kenyataan di Kalbar. Di Pontianak, tidak mudah mendapatkan orang yang bersedia melayani orang lain. Yang mau mungkin tidak ada fasilitas. Sedangkan yang punya fasilitas mungkin kurang punya kemauan. Orang yang punya fasilitas biasanya sudah masuk ke kelas orang kaya. Ketika masuk dalam kelas itu biasanya orang sudah memasuki fase minta dilayani, bukannya melayani.
Bayangkan saja seorang doktor, seorang profesor bersedia melayani kami yang tidak ada apa-apanya.

Soal kesediaan orang Brunei melayani tamu mereka, mengingatkan pengalaman di kampung dahulu, puluhan tahun lalu. Dahulu orang kampung bersedia melayani tamu-tamu mereka, tanpa pamrih. Bagi orang kampung melayani orang yang datang adalah suatu kehormatan. Ada panggilan moral untuk melakukan hal itu. Dahulu.
“Bisakah kita seperti itu? Bagaimana agar kita bisa seperti itu?”
Pertanyaan itu saya sampaikan kepada teman-teman.

Pada akhirnya bagi saya, perjalanan ke Brunei bukan saja perjalanan untuk menghadiri seminar, untuk membentangkan makalah, untuk mendengarkan temuan-temuan terbaru para ilmuan, tetapi perjalanan sambil belajar. Belajar bagaimana cara hidup. Belajar bagaimana rendah diri. Belajar bagaimana cara melayani orang. Habis.




0 komentar: