Jumat, 14 Maret 2008

Pengalaman dari Latihan Jurnalistik: KETIKA REMAJA MASJID BELAJAR MEMBUAT BERITA

Oleh Yusriadi

Minggu 9 Maret 2008. Pagi sekali saya sudah berangkat ke Kampus STAIN Pontianak, Jalan Suprapto Pontianak. Saya menuju tempat pelatihan jurnalistik bagi remaja masjid se- kota Pontianak yang diselenggarakan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) STAIN Pontianak, bekerja sama dengan Borneo Tribune dan Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Kota Pontianak.

Jadwal saya menyampaikan materi pukul 08.00 WIB. Hardianti dan Ambaryani, panitia pengarah pelatihan memberikan jadwal untuk saya hingga pukul 15.00 WIB. Kira-kira 8 jam. Materinya ada tiga. Penulisan berita, pengiriman berita, dan rencana follow up.
Saya akur saja. Saya tidak bisa menolak permintaan mereka. Lagian, gagasan pelatihan juga muncul dari perbincangan kami. Yanti dan Ambar, merespon. Mereka membawa gagasan itu dalam rapat LPM. Di LPM, Yanti dan Amar adalah pengurus. Yanti berpangkat redaktur pelaksana di Warta STAIN, media terbitan LPM. Sedangkan Ambar, adalah bendahara. Tukang hitung duit.

Tetapi, karena “kesian”, Yanti mengubah jadwal. Jadi, waktu saya dipendekkan. Satu sesi pagi dan satu sesi lagi setelah Zhuhur. Sesi kedua diisi dengan quiz. Panitia membagikan doorprize kepada peserta yang dapat menjawab 3 pertanyaan dari belasan pertanyaan yang disusun panitia. Siang, saya akan menyampaikan materi tentang pengiriman berita ke media.

Sesi pertama pagi itu agak molor. Dari jadwal jam 08.00, acara baru terlaksana lebih kurang 30 menit kemudian. Waktu itu peserta bisa dihitung dengan telunjuk. Padahal peserta terdaftar 23 orang. “Ada yang izin karena ada kegiatan lain,” kata Erni, panitia pelaksana.

Septian Utut membuka sesi. Dia jadi moderator.
Seperti yang diminta saya lebih banyak mengajak peserta praktik. Karya peserta dibedah. Dikomentari.

Ya, lumayan. Beberapa di antaranya sudah cukup bagus –untuk ukuran pemula. Ada peserta yang kelihatannya sudah memiliki feeling; hidung mereka sudah tajam mencium mana yang layak diberitakan dan mana yang tidak. Misalnya ada yang mengangkat berita soal orang yang terdampar di masjid. Ada yang menulis soal pencuri sandal yang tertangkap di masjid. Ada yang menulis soal perseteruan di masjid. Saya memuji ketajaman itu.

Hanya saja karena belum terlatih, umumnya peserta tidak dapat membuat judul yang sesuai dengan isi. Ibarat kata orang, judul kemana, paragraf kemana.
Karena itulah pada sesi ini saya lebih banyak mengajak peserta bagaimana membuat paragraf pertama yang sesuai dengan judul.

Mula-mulai saya memberikan contoh. Lalu, peserta diminta membuat paragraf pertama dengan tema yang sudah ditentukan. Isi paragraf pertama ini antara 20-30 kata, atau dua sampai tiga kalimatn. Waktunya 10 menit.

Tugas ini umumnya dikerjakan dengan baik. Sekali lagi saya takjub. Hasilnya lumayan bagus. Saya pikir, formula seperti ini bisa digunakan untuk pelatihan selanjutnya, bahkan mungkin diadopsi di kelas KPI nanti.
Lebih menakjubkan lagi, semangat mereka. Mereka menunjukkan minat yang besar untuk mencoba menulis.

Tak terasa jam 10.40. Waktu saya habis.

Tetapi, sebelum cabut, saya minta mereka memberikan tanggapan setelah latihan itu. Beberapa peserta menyampaikan bahwa mereka sangat berkesan dengan latihan pagi itu. “Saya mendapat ilmu baru,” kata Toifur, peserta yang paling aktif selama sesi saya.
Peserta lain memberitahukan setelah latihan singkat mereka jadi merasa bisa membuat berita.

Ada juga yang membandingkan anggapan sebelum ini.
“Rupanya membuat berita ada aturan tersendiri,”

Peserta lain berkomentar, mereka baru tahu kalau membuat paragraf pertama harus mengacu pada judul. Yang mereka ketahui, judul mengacu pada inti karangan. Bagian inti tidak harus di paragraf awal. Bisa di awal, bisa di tengah, dan bisa di bagian akhir karangan.

Saya puas mendengar komentar mereka. Komentar-komentar ini mencerminkan tingkat pemahaman mereka pada materi pelatihan. Lebih dari itu komentar ini sebenarnya mengikat mereka. Sebab, saya akan bertanya pada mereka; setelah tahu, apa yang akan dibuat?

***

Dan memang pertanyaan itu saya ajukan juga pada mereka. Bukan di sesi 2, seperti yang saya bayangkan. Pertanyaan itu saya ajukan pada peserta saat berdialog dengan mereka di kantor Redaksi Borneo Tribune, sore hari Minggu itu.

Dalam kunjungan pasca pelatihan, saya mendampingi AA Mering dan Fakun menerima kehadiran mereka. AA Mering adalah redaktur utama di Borneo Tribune. Sedangkan Fakun adalah kepala bagian Pracetak Borneo Tribune. Mering menjelaskan tata kerja redaksi. Dia juga mengundang mereka menjadi penulis. “Tribune ingin menerapkan konsep citizen journalisme. Setiap orang boleh menulis di Tribune,” katanya.

Sedangkan Fakun menjelaskan soal produksi koran. Mulai proses menata halaman, print out, membuat plat, hingga proses pencetakan.

Setelah mereka berdua selesai menjelaskan bagian kerja masing-masing, saya mengajukan pertanyaan kepada seluruh peserta. Satu per satu mereka diminta mengungkapkan apa yang akan dibuat setelah pelatihan.

Ada yang menjawab dengan jelas. Ada yang menjawab dengan ungkapan umum.
Ada yang ingin menjadi wartawan. Ada yang ingin menjadi penulis.
Kesan saya mereka menunjukkan kemauan melakukan sesuatu. Mereka ingin menerapkan ilmu yang diperoleh.

Mereka ada semangat.

Saya tersenyum mendengar semangat-semangat itu. Menyenangkan. Saya membayangkan andai saja semangat itu bisa dipelihara. Andai mereka semua menjadi penulis.





1 komentar:

yanti mengatakan...

Hhehehehe ternyata ini ditulis ya...

Iya, kami gak tega kalau bapak harus kasi materi dari jam 8 pagi sampe jam 3 sore.

Tapi lain kali boleh juga ya, kalo kami bikin kegiatan lagi dan ngundang bapak untuk ngasi materi seharian hehehehehehe