Minggu, 02 Maret 2008

Politik NU Kalbar, Politik STAIN Pontianak

Oleh: Yusriadi

Jipridin. Saya sudah lama mengenal lelaki paroh baya itu. Dia guru sekolah. Dia juga dosen. Mengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Pontianak. Saya sudah kenal orang ini sejak dia menjadi pengurus Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) belasan tahun lalu. Waktu di PMII kami sering diskusi. Dia selalu dominan dalam diskusi kami.


Tetapi dalam soal suksesi di PMII, Jipridin kalah. Waktu itu kami mengajukan nama Idham Khalid –sekarang pegawai di Kantor Harian Kompas Pontianak. Kami menang sebab waktu itu kami lebih kompak. Dia sempat tergusur dari kepengurusan. Tetapi, meski kalah (dan mungkin dia tidak suka dengan kekalahannya itu) Jipridin tidak berhenti dengan aktivitasnya. Dia tetap aktif –dengan caranya.

Setelah ‘selesai’ di PMII, jarang sekali saya gabung dengan kawan-kawan di PMII atau badan otonom Nahdlatul Ulama lainnya. Sedangkan Jipridin tetap aktif. Bahkan pada periode Bapak dr. Ahmad Zaim, Jipridin menjadi pengurus penting di NU. Namun setelah periode M. Zeet sebagai ketua NU Kalbar, peran Jipridin tidak lagi cukup penting. Mungkin karena kepengurusan ini lebih memilih orang-orang muda.

Saya termasuk yang dipilih masuk dalam kepengurusan ini. Tidak tanggung-tanggung, saya dimasukkan sebagai salah satu wakil ketua. Jabatan yang saya rasa cukup penting dan strategis.

Namun, penempatan saya sebagai wakil tidak pernah saya terima. Saya tidak pernah bersedia. Saya tidak menyatakan kesediaan –dan hebatnya para formatur tidak bertanya soal kesediaan saya. Saya tidak menghadiri pelantikan pengurus. Saya tidak menghadiri rapat. Saya tidak menghadiri pertemuan rutin NU. Meskipun undangan selalu saja dikirim.

***

Tanggal 26 Februari 2008. Saya kesekian kalinya saya bertemu Jipridin. Saya diminta menjadi salah satu pembicara dalam seminar yang digelar NU. Seminar untuk merefleksi perjalanan organisasi ini. Ada banyak pembicara. Jipridin salah satunya.

Saya diminta menjadi pembicara kedua pada sesi pertama. Saya mengemukakan pandangan saya tentang NU sekarang ini. Terutama berkaitan dengan kiprah politik dan implikasinya pada perkembangan NU. Saya juga menawarkan solusinya. Dengan satu tekanan, bahwa saya tidak tahu dinamika yang terjadi di internal NU. Saya mengingatkan peserta bahwa saya tidak memiliki data yang cukup.

Meski demikian, seperti biasa saya memang selalu semangat bicara. Saya terlalu lena sebagai seorang kritikus. Menyoroti NU dengan pandangan saya sebagai pemerhati. Tidak ada dalam perasaan saya hari itu, bahwa nama saya masih dikaitkan dengan pengurus NU.

Saya memberikan penekanan pada kiprah Suryansyah, SE yang pernah disorong-sorong mendampingi Cornelis. Saya juga menyinggung manuver politik M. Zeet pada saat kampanye. Saya juga menyebutkan soal partisipasi NU dalam kesepakatan belasan organisasi Islam mendukung UJ sebagai gubernur Kalbar.

Tetapi, rupanya apa yang saya sampaikan menjadi bumerang. Jipridin yang menjadi pembicara pada sesi kedua, secara terbuka mengkritik saya. Misalnya dia menganggap aneh pengurus NU tidak tahu tentang NU. Katanya itu sangat berbahaya. Dia juga menasehatkan agar pengurus NU mengurus NU. Bukan sebaliknya minta diurus oleh NU. Selain itu, Jipridin juga memesankan agar sesama doktor di STAIN Pontianak, orang NU jangan saling rebutan jabatan. Harus saling mendukung.

Saya takjub dengan nasehat itu. Saya memandangnya. Dia juga memandang ke arah saya. Dia menebarkan senyum –senyum khasnya yang saya terjemahkan sebagai senyum meremehkan orang.

Pengin rasanya memotong kata Jipridin. Menjelaskan duduk persoalan. Menjelaskan bahwa saya bukan pengurus NU. Menjelaskan bahwa tidak akan pernah ada rebutan jabatan di STAIN seperti yang dinasehatkannya. Doktor di STAIN ada tiga. Saya, Dr. Hermansyah, Dr. Wajidi. Saya mau rebutan dengan siapa? Dengan Hermansyah? Wow, tak terbayang. Hermansyah sudah saya anggap teman dekat, bahkan adik saya. Juga dengan Wajidi. Kalau Wajidi atau Hermansyah mau jabatan silakan. Saya tidak ikut.

Saya tidak pernah bermimpi pegang jabatan di STAIN. Tidak pernah pula akan membawa bendera NU. Saya bahkan sangat benci dengan orang yang membawa bendera organisasi di kampus untuk memperebutkan jabatan. Menurut saya, kalau orang mau STAIN maju, kepentingan STAIN-lah yang dikedepankan. Peduli dengan NU!

Toh, orang NU sendiri juga tidak pentingkan NU. Saya sering kemukakan ini. Pada pendapat saya kalau orang NU pikirkan NU pasti saat pemilihan ketua NU mereka akan berusaha memilih orang NU yang terbaik. Mereka juga akan memilih yang terbaik sebagai pengurus NU. Yang dipilih harus yang ulama, orang yang berilmu! Bukannya orang yang mau-mauan jadi pengurus. Bukan orang yang tidak bisa diteladani. Pilihan pasti bukan berdasarkan suka tidak suka. Bukan bersandarkan kelompok ini dan itu. Bukan didasarkan oleh pertimbangan politis.

Justru karena itulah saya tidak ingin menjadi pengurus NU. Saya tidak siap masuk ke pentas politik. Dunia politik bukan dunia saya. Dunia saya dunia akademik. Saya lebih suka berada di antara orang-orang akademik dan orang-orang yang mencintai dunia akademik. Berada di antara orang akademik lebih nyaman. Rasionalis. Berada di antara orang politik memusingkan kepala saya.

HP saya bergetar, sekali. Ada SMS masuk. Dari teman saya. Isinya mengomentari komentar Jipridin. “Apa-apaan Jipridin ngomong begitu? Mengapa dia bawa-bawa STAIN?”

Saya melihat kepada teman yang mengirim SMS. Berusaha tersenyum. Saya membalas:
“Jipridin memang begitu. Tak usaha diambil hati,”
Saya hanya menghibur.
Hati saya bergejolak.
Saat seminar selesai saya pulang lebih dahulu. Saya menyalami Jipridin seraya dengan agak emosional mengatakan:
“Abang salah. Saya bukan pengurus NU”.
Saya berbisik di telinganya.

Jipridin menyahut. Tetapi saya tidak mendengar apa yang dia katakan. Saya pikir saya tidak perlu mendengarnya. Saya tidak perlu melayannya. Buang-buang waktu. Masih banyak hal lain yang lebih penting.

Saya meninggalkan ruangan. Membawa penyesalan. Saya merenung mengapa saya datang ke acara NU. Mengapa saya mengkritik NU. Mengapa saya harus mendengarkan Jipridin. Mengapa saya harus mengurusi NU.

Mengapa seakan-akan lebih tahu tentang NU.
Ya, mengapa saya seakan-akan punya waktu. Padahal pekerjaan saya banyak. Menumpuk!

4 komentar:

Hasan el Clasico mengatakan...

politik NU Kalbar adalah politik praktis...bilang dengan Jipridin tuh,kalau mau kritik NU kritik M.Zeetnya sebagai ketua NU. bukankah beliau yang dulu memperjuangkan M. Zeet sebagai ketua umum....tau nggak, tidak ada kaum Nahdliyin yang kenal dengan M.Zeet..masa ketua Tanfidz tidak dikenal oleh umatnya

John mengatakan...

Kenapa yang pak???? banyak2 Mahasiswa STAIN Pontianak ndak da yang ngasih comen. ntar saya dulu lah ngasih comen????STAIN Pontianak harus lebih giat lagi untuk membangun pembelajaran yang berbasis teknologi.

Unknown mengatakan...

Sahabat Yusriadi dan Hasan yg secara intelektual cerdas,sebagian tugas utamanya di kampus~~√ tetapi jangan lupakan juga mengasah kepekaan di masyarakat.Sejatinya kampus,ruang tanpa sekat.

Unknown mengatakan...

Sahabat Yusriadi dan Hasan yg secara intelektual cerdas,sebagian tugas utamanya di kampus~~√ tetapi jangan lupakan juga mengasah kepekaan di masyarakat.Sejatinya kampus,ruang tanpa sekat.