Senin, 03 Maret 2008

Seandainya Gubernur Kalbar itu Orang Madura atau Cina

[tulisan ini pernah diterbitkan di Borneo Tribune, Juni 2007, lalu].

Yusriadi
Borneo Tribune, Pontianak

Seandainya gubernur Kalbar mendatang orang Madura atau Cina. Itulah pikiran yang terlintas di benak saya saat mengikuti diskusi bersama peneliti dari Universitas Indonesia, Iqbal Djayadi di Redaksi Borneo Tribune Minggu (3/6) kemarin.






Pikiran ini melintas begitu saja karena sepanjang diskusi wacana mengenai gubernur Kalbar ke depan Melayu atau Madura sangat mengemuka. Munculnya nama Buchary, dan lainnya, bagi banyak orang dianggap sebagai representasi orang Melayu –sekalipun mereka tidak secara eksplisit menyatakan hal tersebut. Sedangkan mencuatnya nama Cornelis dianggap sebagai representasi Dayak. Sementara Akil Mochtar dan Usman Ja’far dapat merupakan representasi Dayak yang Islam dan Melayu. Ketika mereka dianggap Melayu, wakil yang mendampingi mereka –seperti AR Mecer atau LH Kadir dianggap representasi orang Dayak. Pasangan ini dianggap sebagai kombinasi Melayu-Dayak (mungkin juga Dayak - Dayak), sebagai bentuk kompromi yang merefleksi sharing power pribumi pulau ini.

Sejauh ini belum pernah muncul wacana mengenai calon gubernur orang lain di luar dua komunitas itu. Tidak ada nama orang Cina (Tionghoa) dalam wacana sekarang ini. Tidak ada nama orang Madura. Kalaupun nama Cina mau disebut, ada nama Christiandy Sanjaya yang akan mendampingi Cornelis –jika maju kelak. Tetapi, keberadaan pasangan ini belum pasti. Kepastian baru bisa diketahui setelah ada perahu partai yang akan menjadi tumpangan pasangan ini.

Tidak adanya nama Cina dan Madura dalam wacana pemimpin Kalbar mungkin disebabkan karena tidak ada tokoh politik dari kelompok ini yang benar-benar menonjol dalam perpolitikan daerah. Atau dalam artian belum ada yang ditonjolkan. Kalau bicara orang Madura di Kalbar paling-paling orang mengaitkan dengan nama besar H. Sulaiman. Atau sesekali orang menyebut nama Abdus Syukur SK. Dahulu ada nama H Madhar Hadrawi.
Mungkin juga orang tidak mau menonjolkan tokoh dari kelompok ini karena dianggap mereka belum layak ditonjolkan sebab tidak representatif. Jumlah orang Cina dan orang Madura tidak cukup besar dibandingkan Melayu dan Dayak, dalam skala Kalimantan Barat. Secara kasat mata jumlah kelompok ini hanya besar di kota-kota tertentu, tidak menyebar di seluruh Kalbar.

Oleh sebab itulah sebesar-besarnya tokoh dari kelompok ini tidak akan cukup dianggap besar jika telah masuk dalam kalkulasi politik Kalbar. Karena itulah lantas mereka tidak dianggap ‘layak’ jual untuk mendapatkan suara pemilih di Kalbar –yang rupanya masih dianggap pemilih tradisional yang mudah diikat oleh sentimen etnik. Jika mereka tidak akan dipilih orang banyak, tidak mungkin orang akan menjadikannya sebagai orang yang akan ditinting.

Lantas, kemarin, saya mencoba meminta pendapat beberapa teman mengenai kemungkinan ini. “Bagaimana kalau gubernur Kalbar nanti orang Madura, atau orang Cina?”
Tetapi, teman-teman menganggap pertanyaan ini hanya gurauan.
“Ah mana mungkin, realitas politiknya masih jauh,” begitu kata beberapa di antara teman saya.

“Itu sih ngolok,” kata yang lain.

Ya, karena pandangan ini, saya tidak mengajak mereka mendiskusikan lebih jauh.

***

Pada akhirnya memang saya memahami masalah mereka adalah ketika hari ini mereka melihat tidak ada tokoh Madura yang layak dijagokan. Karena tidak ada maka mereka lantas berpikir tidak mungkin. Yang mungkin adalah tokoh-tokoh yang memang sudah digadang-gadang sekarang ini, yang kebetulan dari kelompok Melayu atau Dayak. Mereka benar-benar berpikir pragmatis.

Saya mengatakan demikian karena menurut saya seseorang menjadi besar karena ada yang membesarkannya. Dan, yang bisa membesarkan orang bukan cuma perahu sosial bernama Dayak atau Melayu.

Organisasi profesi, organisasi sosial-kemasyarakatan, dll bisa membesarkan orang. Media juga bisa membesarkan orang. Media bisa membantu melahirkan tokoh. Selain itu seseorang bisa saja menjadi orang besar jika ada kesempatan. Lihat bagaimana Wakil Bupati Sekadau Abun Adiyanto sebelumnya hampir tidak pernah dibicarakan orang. Yansen Akun Effendy juga sebenarnya tidak cukup besar dan diperhitungkan menjelang pemilihan Bupati Sanggau.

Jika suatu ketika organisasi sosial kemasyarakatan dan media bersama-sama membesarkan seseorang dari kelompok Madura atau Cina, maka saya percaya akan lahir orang besar dari kelompok masyarakat itu. Memang tidak akan satu tahun. Memang tidak akan sekali jadi. Tetapi, 5 tahun, 10 tahun ke depan. Mengapa tidak mungkin?

***

Lebih dari sekadar lahir atau tidak tokoh dari kelompok Madura atau Cina, isu yang penting di balik wacana ini adalah apakah kita semua bersedia dipimpin kelompok etnik lain? Apakah pemimpin dari etnik yang sama lebih penting dibandingkan bobot, dan kapabilitas?

Memang masih ada sekelompok orang yang sukar menerima hakikat ini. Masih ada orang yang menganggap pemimpin dari kalangan sendiri lebih baik dibandingkan pemimpin dari kelompok lain. Bagi mereka pemimpin dari kalangan sendiri akan lebih memperhatikan kepentingan sendiri, akan lebih memberikan kebebasan, dll. Kelebihannya, pemimpin dari kalangan sendiri lebih memahami kelompok masyarakat yang dipimpin.

Sebaliknya, menurut pandangan ini, pemimpin dari kelompok lain akan berbahaya bagi kelompok sendiri. Misalnya berkembang pandangan, jika pemimpin orang Dayak, orang Melayu susah, sebaliknya jika pemimpin orang Melayu, orang Dayak susah.

Tetapi, sekarang sudah banyak orang bisa berpikir lain. Termasuk mereka yang semula berasal dari dari kelompok yang mulanya memandang etnik sama lebih penting dibandingkan pilihan lain.

Perubahan ini terjadi karena pertama, mereka sudah merasakan sendiri bagaimana sulitnya dipimpin oleh orang dari kelompok sendiri. Mau bertemu saja susah. Justru, banyak contoh memperlihatkan pemimpin mereka dari etnik yang sama ternyata lebih kooperatif terhadap kelompok lain dibandingkan mereka. Pemimpin dari etnik yang sama rupanya tidak cukup punya perhatian, seperti yang diharapkan. Justru pemimpin dari etnik yang sama memberatkan mereka karena lebih banyak menuntut loyalitas dibandingkan memberi perhatian. Seorang pemimpin tidak mungkin dapat memberikan perhatian kepada semua.

Ini seperti analogi kehidupan di sebuah tangga. Selalunya orang tua lebih memperhatikan sang tamu dibandingkan anaknya sendiri. Tamu yang datang bermalam justru dilayan-layan, diberikan kasur yang orang tua pakai, sedangkan anak sendiri tidak pernah merasakan hal itu. Orang datang dipotongkan ayam.
Oleh sebab itulah banyak yang mencoba berpikir lain. Bahwa sebaliknya justru pemimpin yang berasal dari kelompok lain lebih ‘enak’ dibandingkan dari kelompok sendiri.

***

Ada juga kelompok masyarakat yang saya temui tidak terlalu menganggap penting pemimpin itu berasal dari kelompok mana. Yang penting adalah seseorang yang menjadi pemimpin adalah orang yang benar-benar layak memimpin. Dia memiliki kapasitas untuk menjadi pemimpin, memiliki sikap yang baik, latar belakang yang baik, dan punya sejarah kehidupan yang baik.

Kelompok ini percaya orang yang baik pasti bisa menjadi pemimpin yang baik. Orang yang dapat memimpin diri sendiri dengan baik dan dapat memimpin keluarganya dengan baik, kemungkinan akan dapat memimpin masyarakat dengan baik. Dia bisa memberikan keteladanan, bisa dijadikan panutan, dan bisa dijadikan kepercayaan.

Sebaliknya orang yang tidak dapat memimpin diri sendiri dengan baik dan tidak dapat memimpin rumah tangga dengan baik, besar kemungkinan tidak dapat memimpin orang lain dengan baik. Pada orang seperti ini jelas tidak ada keteladanan.

Saya, sependapat dengan pandangan kelompok yang terakhir ini. Oleh sebab itulah bagi saya, siapapun yang memimpin, sepanjang dia memiliki yang baik-baik, dia layak. Tidak ada batas apakah dia orang Dayak atau Melayu. Madura, Cina, sekalipun yang penting memang layak, boleh-boleh saja.

Saya percaya pemimpin yang baik akan dapat membawa Kalbar menjadi lebih baik. Dapat membawa Kalbar menjadi provinsi yang maju, membawa masyarakat menjadi masyarakat sejahtera. Lebih dari itu pemimpin yang baik pasti bisa menerima ‘takdir’ jika memang harus kalah dalam pemilihan, atau mengalah jika memang dalam perjalanannya tidak mampu.

Sedangkan pemimpin yang tidak baik, tidak layak dijadikan ‘imam’, tidak layak dijadikan contoh. Bagaimana mungkin dia akan dapat membawa kebaikan untuk orang lain, sedangkan untuk diri saja kebaikan itu tidak ada? Justru saya membayangkan memilih pemimpin yang tidak baik sama artinya menitipkan Kalbar ke tangan orang yang salah, orang yang justru akan membawa petaka.

Pada akhirnya saya jadi merenung pernyataan Iqbal dalam diskusi di Borneo Tribune, ketika dia berulang kali mengatakan: Why not?

Ya, mengapa kita tidak bisa memilih pemimpin yang terbaik? *




3 komentar:

Rahman Hamsy mengatakan...

Madura atau Cina jadi gubernur ???
untuk mengantarkan mereka menjadi gubernur rasanya perlu waktu yang saaaaaaaaaaaaaangat lama, kalo hari ini di AS saja baru bisa mencalonkan Obama jadi presiden, yang itu berarti disebuah negara yang sudah saaaaaaaaaaaaaangat maju dan selalu klaim sebagai kampiun demokrasi butuh waktu ratusan tahun, bayangkan dari AS merdeka sampai sekarang ( aku juga lupa kapan AS merdeka, tapi kalo tak salah 1882, kalo salah jangan digoblok-goblokin ya ....!!?? ) tapi aku paercaya banget kalo mereka diberi kesempatan untuk menjadi gubernur maka Kalbar ini pasti lebih maju.... coba aja kalo tak caya' !!

fanico sun mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
fanico sun mengatakan...

cina?? mana bisa cina jadi gubernur.. kalau tionghua ya masih mungkin... capek deh!!!