Minggu, 27 April 2008

Black Forest di Ulang Tahun Saya ke-36

Oleh: Yusriadi

Hari itu, Jumat, 11 April 2008.
Dari balik kaca saya melihat Erni Purwanti melintas. Lalu, di belakangnya ada Badliana, Linda Puji Rahayu, Dian Kartika, Hardianti, dan Hanisa Agustin. “Rombongan kecil’ ini bergerak menuju pintu masuk ruangan P3M, seperti maju mundur. Aku melihat wajah mereka senyam-senyum. Tetapi senyam-senyumnya tidak lepas. Nampak tegang. Gopoh.

Mereka tidak langsung masuk. Namun, seperti berdiskusi sebentar. Saya melihat mereka saling dorong: menentukan siapa yang masuk duluan.
Saya terus mengamati mereka dari tempat duduk. Saya mentertawakan polah mereka.
Ya, gerak gerik mereka sungguh lucu. Kelihatan gaya anak kecilnya. Walaupun mereka sudah berumur lebih 20 tahun.
Sikap ini mengingatkan saya pada cerita Yanti. Kata Yanti, mahasiswa sebenarnya pengin dekat dengan saya, pengin berdiskusi, pengin belajar menulis, dll. Namun, kalau sudah urusan ‘konsultasi’ mereka undur. Ada yang bilang seram, takut, dan entah apa lagi. Pokoknya kalau sudah mau bertemu, mahasiswa pasti deg-degan. Mengapa? “Ntah, adalah pokoknya,”
“Kalau mau ketemu bapak harus punya mental ekstra,” katanya.
Saya menduga mungkin ini berhubungan dengan sikap saya di kelas. Menurut versi sebagian mahasiswa saya ‘yang tegas’. Entah berapa puluh kali saya dengar mahasiswa suka tegang kalau ikut kelas saya. Tidak berani apa-apa. Bayangkan, ‘bunyi’ HP di kelas tak boleh. HP diambil dan diserahkan ke Program Studi. Mereka harus menjelaskan duduk persoalan kepada ketua prodi, disertai dengan peringatan: jika di waktu lain HP berbunyi juga, bawa orang tua atau wali untuk mengambilnya.
Mengantuk di kelas tidak boleh, pasti akan ditanya apa sebabnya. Akan ditanya, tidur jam berapa, apa yang dilakukan malam, dll.
Terlambat datang kuliah tidak boleh, kadang-kadang tidak dibukakan pintunya. Kalaupun dibuka, pertanyaan meluncur tak habis-habisnya. Jangan coba bohong. Pasti ketahuan. Tidak buat tugas jangan coba-coba. Tak baca buku, juga sama. Kadang mahasiswa (lelaki) komplen karena diambil gelang, kalung dan rokok.
Bukan cuma mahasiswa yang ‘bersalah’ yang mendapat peringatan, tetapi seluruh kelas biasanya kena getah. Saya akan berkhutbah beberapa menit untuk satu kasus.
“Saya heran, waktu pertama masuk, kok bapak ini suka benar ceramah,” kata Marisa, mahasiswa BPI memberitahu. Marisa mengaku sempat mengeluh kepada Alongnya (Abang), karena mendengar ceramah tak tentu rudu.
Yanti, mahasiswa KPI, lain lagi kenangannya. “Yanti ingat, dulu bapak tegur Yanti karena waktu menulis badannya merunduk. Dalam hati Yanti, lho, bapak ini aneh, hal segitu diperhatikan,” kata Yanti suatu ketika.
Zulfian juga punya cerita menarik. “Hadi bilang, kalau mau nguap dia pura-pura cari barang dalam tas. Lalu kepala masuk ke dalam tas, menguap di sana,” kata Zulfian menceritakan perilaku temannya yang ikut kelas saya.
“Tak berani mahasiswa nak menguap langsung begitu,” tambah Zul.
Belum lagi soal nilai. Di kalangan mahasiswa saya dianggap dosen kiler. Kata Yanti, “Macam-macam cerita yang kami dengar dari kakak tingkat tentang bapak. Yang seram-seram deh pokoknya,”
Cerita dari mulut ke mulut ini membuat image tersendiri. “Kami suka heran mendengar cerita itu,” kata Ambar, mahasiswa KPI, suatu ketika.
“Tetapi, ada yang bilang, bapak memang banyak berubah sekarang,” tambahnya.
Walaupun telah berubah –rasanya sih tidak, namun masih sering saya temukan mahasiswa yang ‘takut’ bertemu saya.
Karena itu, kalau sekarang Erni dan kawan-kawan saling dorong mau masuk ke ruangan saya, tidak heran.

***

Saya lihat, akhirnya Erni membuka pintu. Dia memang paling tua di antara temannya. Dan dia juga dikenal paling pede.
Erni masuk, melangkah menuju merja saya dengan membawa sesuatu. Piring, terbungkus koran. Kue!
Sambil meletakkan piring di atas meja, “Pak, selamat ulang tahun,” kata Erni.
Saya mengangguk, senyum. Ya, tanggal 10 April adalah ulang tahun saya. Kamis kemarin. Umur saya 36 sekarang.
Lantas, mereka menyanyikan lagu ulang tahun.
Tetapi, karena dinyanyikan dengan malu-malu, lagu itu ‘tidak menjadi’. Padam sendiri. Ada lirik: “Panjang umur ...panjang umur ... “ diulang beberapa kali. Tetapi, liriknya tak sampai pada kata “Serta mulia”.
Saya yakin, kalau anak saya dengar, dia akan protes. Lagu tidak selesai.
Ya, saya maklum lagunya sumbang. Karena mereka grogi. Saya pun juga grogi dinyanyikan begitu. Kalau tidak grogi pasti lariknya selesai dinyanyikan dengan indah merdu. Saya yakin begitu karena mereka-mereka itu sebenarnya penyanyi dan penyiar. Kabarnya Erni pernah juara dangdut. Badliana, Linda, penyiar radio Pro-Kom. Yanti kabarnya sering latihan nyanyi di kamar mandi. Dian, sering jadi pembawa acara dan moderator.
Kalau bukan karena grogi, karena apa lagi?
Lantas satu persatu mereka mengucapkan selamat ulang tahun. Sambil salaman. Nah betul, umumnya tangan mereka sejuk. Tanda grogi!
Saya merasa terharu. Memang saya pernah mendapatkan perhatian dari mahasiswa PPL yang saya bimbing lima tahun lalu. Memang saya ada mendapatkan ucapan selamat ulang tahun lewat sms. Tetapi, membayangkan dapat kue ulang tahun, belum pernah. Erni dan kawan-kawan memang membuat kejutan.
Mereka memperhatikan saya. Orang yang dicap oleh sebagian mahasiswa sebagai orang yang killer, orang yang kaku, orang yang otoriter dan orang yang arogan.
Saya bertanya dalam hati, mengapa orang seperti saya mendapat ‘rayaan’ ulang tahun dari mahasiswa?
Yang membuat saya kemudian sangat terharu, saya mendapat bocoran bahwa mahasiswa itu ternyata mengumpulkan uang Rp 5000 seorang untuk membuat kue ulang tahun saya. Total Rp 40. 000. Jumlah Rp 5000 memang kecil. Tetapi perhatian yang diberikan tidak ternilai. Saya jadi malu sendiri.
Saya memotong kue yang dibawa Erni – roti black forest yang di atasnya ditaburi meses.
Saya memberikan kepada Linda yang membuat kue itu, kepada Erni yang menjadi penggagas, kepada Dian yang menjadi pengumpul uang Lalu kepada Badliana yang motornya menjadi ‘angkutan umum’, kepada Yanti, Nisa.
Kemudian saya membagikan kepada rekan yang ada di ruangan P3M. Yapandi Ramli, Fahmi Ichwan, Setia, Zulfian, Ibrahim. Rekan kerja lain yang melintas di depan ruang juga dipanggil, ikut menikmati kue ulang tahun.
Saya mengajak mereka itu makan kue, karena saya ingin membuat mereka mengingatkan saya, bahwa saya harus memperhatikan orang lain selalu. Sewajarnya saya membalas perhatian itu kepada Erni dan kawan-kawan, serta kepada orang lain juga.

TERIMA KASIH JUGA KEPADA; PROF DR. JAMES T. COLLINS YANG MENGUCAPKAN SELAMAT ULANG TAHUN PERTAMA SEKALI SAAT KAMI BERTEMU DI HOTEL KARTIKA TANGGAL 8 APRIL 2008. TERIMA KASIH JUGA KEPADA HAIRUL BARIYAH (ISTRI SAYA). DEDI ARI ASFAR, EVI FLAVIA (IDRD), AMALIA IRFANI, JUNIAWATI, DLL.
MOHON DOA SEMOGA SAYA BISA MEMANFAATKAN SISA UMUR DENGAN SEBAIK-BAIKNYA.




Baca Selengkapnya...

Terminal Batu Ampar



Motor air jurusan Rasau Jaya - Telok Melano, saat 'bongkar' barang dan menurunkan penumpang di Batu Ampar. Motor air berhenti di Batu Ampar ini lebih kurang setengah jam sebelum melanjutkan perjalanan ke Telok Melano. Saya mengabadikan gambar ini dari penginapan Al-Barokah, Batu Ampar. FOTO Yusriadi




Baca Selengkapnya...

Perjalanan ke Sungai Karawang, Batu Ampar (3)

Oleh: Yusriadi

Pukul 14.10 Wib, motor air yang saya tumpangi tiba di Kubu. Sebuah kota bersejarah di pantai barat pulau Borneo.
Motor air berhenti di pasar kecil. Juragan memberikan kesempatan kepada penumpang untuk membeli makanan. Ada yang membeli nasi. Ada yang membeli minuman. Ada yang membeli kue dan makanan ringan. Semua harus dibungkus. Waktu berhenti tidak lama.

Saya membeli nasi. Tadi belum makan siang. Kalau tunggu sampai di Batu Ampar, masih lama. Penumpang lain yang saya tanyakan, mengatakan, motor air baru tiba di Batu Ampar sekitar pukul 17.00 Wib. Menjelang malam. Kalau Batu Ampar seperti kota kecil di pedalaman mungkin waktu segitu sudah tutup. Laparlah awak!
Saya ikut gaya orang makan di motor air. Menghadap dinding, pura-pura tidak melihat orang lain. Sebab tidak semua makan. Paling basa basi mengajak makan.
Motor air bergerak.
Sepanjang perjalanan menuju Batu Ampar, beberapa kali motor air berhenti menurunkan dan menaikkan penumpang dan barang. Di beberapa tempat, anak buah motor memunggah gula kelapa. Bagian depan hampir penuh.

Waktu menunjukkan pukul 16.30 WIB.
“Bapak turun di sini. Di depan itu Batu Ampar,”
Penumpang di sebelah saya memberitahu.
Saya melihat tempat yang ditunjuknya. Sebuah daratan berbukit. Di bagian teluknya terdapat rumah-rumah penduduk. Ada dua dermaga kecil. Dermaga pertama agak menjorok ke laut dibandingkan dermaga kedua.
Motor air merapat di dermaga kedua. Penumpang bagian depan berdiri. Semua ingin turun. Ada yang memunggah barang. Ada yang menuju warung.
Saya melihat ada penginapan. Barakoh di lantai dua pasar Batu Ampar. Di bagian bawahnya terdapat warung kopi dan warung makan.
Saya mencari pintu masuk. Seorang wanita agaknya pemilik warung memberitahu saya agar mengambil kunci di warung kopi.
Di sini, seorang anak muda –yang kemudian saya kenal bernama Fadhli, menyambut saya. Dia meberitahu ada banyak kamar. Dia menulis nama saya dalam buku tamu. Agak sulit dia menulisnya. Entah. Rasanya nama saya mudah dieja.
Lantas dia memberikan kunci kamar. Nomor 1. Dia tidak minta kartu pengenal. Dia juga tidak minta bayaran. Saya sedikit heran.
“Masuk lewat sebelah. Naik,” katanya memberi petunjuk.
Dia tidak mengantar saya menuju kamar, seperti biasa yang dilakukan banyak penginapan yang pernah saya datangi.
Saya mengikuti petunjuknya tadi. Tidak sulit. Lewat tangga, di lantai dua saya melihat seorang anak berpakaian sekolah, seorang perempuan dan seorang bapak tua. Ada 10 kamar memanjang di bagian kiri tangga. Sebuah tempat sembahyang. Ruangannya lebih kurang 7 x 4 meter. Menakjubkan. Saya belum pernah lihat ada penginapan sederhana menyediakan tempat sembahyang begitu luas. Di sudut yang lain di bagian kanan ada dua kamar mandi.
Saya mengangguk dan permisi melewati mereka.
Saya masih harus melalui lorong sembari melihat pintu kamar. Nomor 5,4,3,2,1 di sebelah kanan lorong. Nomor 6,7,,8,9,10 di sebelah kiri. Kamar saya, No. 1 berada paling ujung berbatasan dengan teras. Ada jendela nako yang memungkinkan saya dapat melihat keluar. Tempat yang sangat memuaskan. Saya sangat menyukai posisi kamar itu. Saya langsung dapat melihat teluk Batu Ampar; melihat kapal yang lewat, anak-anak yang mengejar kelayang dengan sampan, atau orang yang melintas di dermaga.
Saya memasukkan kunci, membuka pintu. Tempat tidur besar. Kasus kapuk. Ada 3 bantal. Ada meja. Cermin. Kipas. Saya menyalakan kipas. Membuka sebagian isi tas. Lalu merebahkan badan.
Melalui jendela nako, saya lihat Fadhli muncul di teras. Saya menghampirinya. Berbasa basi. Fadhli adalah anak pemilik penginapan.
Lalu saya bertanya tentang Sungai Karawang.
“Jauh tu,” katanya.
Fadhli menceritakan untuk mencapai Sungai Karawang hanya bisa menggunakan angkutan sungai; motor air atau speed. “Kalau pakai speed, siang besok. Kalau pakai motor air, sore besok,”
Saya tercekat. Saya membayangkan Sungai Karawang yang jauh. Saya membayangkan waktu saya yang terbuang.
“Kalau sewa motor air?,”
“Bisa, ada taksi. Tapi mahal,”
Saya terkejut. “Ada taksi?,”
“Ya, itu taksi,” kata Fadhli menujuk motor air ukuran kecil. Bobotnya 3-4 ton beratap.
Ampun! Saya terperangah. Motor air disebut taksi. Seumur-umur baru kali ini jumpa istilah seperti itu.
Mengapa? Karena motor itu biasanya memang disewa orang, bisa diminta ke mana-mana; tetapi umumnya perjalanan pendek di sekitar Batu Ampar. Sebelum bisnis kayu gulung tikar, taksi ini melayani penumpang dari kamp perusahaan kayu di hulu Batu Ampar – Pasar Batu Ampar. Setiap jam selalu ada penumpang. “Sekarang ini sepi. Tidak ada penumpang,” kata Fadhli.
Menurut pengetahuan masyarakat, bisnis kayu di Batu Ampar mati sejak ada tim dari Jakarta. Tim ini tidak bisa diajak kompromi. Kayu-layu tidak bisa masuk. Suplai terhenti. Perusahaan tutup. Karyawan di-PHK. Orang yang bekerja di kamp kembali ke tempat asal, hengkang dari Batu Ampar.
“Jadi, kalau pakai taksi, kira-kira berapa?” saya bertanya lagi.
Fadhli tidak bisa menyebutnya.
“Apakah Rp 50 ribu?”
Fadhli diam.
“Rp 70 ribu?”
“Mahallah pokoknya,” Dia tidak bisa menyebut angka.
Saya tidak bisa mendesak.
“Kalau bisa Rp 70 ribu, saya mau pakai. Ada kenal?,”
Bersambung


Baca Selengkapnya...

Minggu, 20 April 2008

Perjalanan ke Sungai Karawang, Batu Ampar (2)

Selasa 25 Maret 2008. Pukul 09.40 saya berangkat dari Pontianak. Ngojek teman. Kenalan lama. Pikir-pikir sebenarnya mau pakai oplet. Tetapi, saya khawatir waktu di perjalanan lama, dan terlambat sampai di terminal Rasau Jaya.
Saya ingat pukul 11 harus sudah ada di sana, kalau tidak mau ketinggalan motor air –atau tepatnya kalau tidak mau tertunda satu hari. Sewaktu saya pergi ke Kubu beberapa bulan lalu saya sempat sawan. Sejak naik naik oplet Jeruju – Pasar, saya sudah panik. Opletnya berjalan lambat mencari penumpang. Bayangkan jarak cuma 7 kilometer ditempuh perjalanan 30 menit. Setelah itu di terminal bayangan, naik oplet jurusan Pasar - Sungai Raya.

Di dalam oplet harus menunggu lagi, sampai oplet terisi penuh. Kalau baru satu dua penumpang saja, biasanya oplet ogah bergerak. Rugi minyak. Mereka tidak pernah merasa rugi waktu seperti kita para penumpang.

Dari terminal Sungai Raya menuju Sungai Durian. Oplet juga bergerak lamban. Sesekali berhenti menurunkan dan menaikkan penumpang. Setelah itu, di teminal Sungai Durian kita menunggu lagi. Bis kecil baru bergerak kalau sudah penuh. Mau tunggu 10 menit, 20 menit, sopir tidak peduli.

Pengalaman itu membuat saya pikir lebih baik pakai motor. Kalau pakai motor, dari Pontianak waktunya bisa lebih cepat. 1 jam sudah sampai. Tidak ada kata menunggu.
Sampai di terminal Rasau Jaya sekitar pukul 10.30. Masih ada 30 menit. Saya singgah di warung. Minum.

“Speed. Ke mana?” seorang pemuda menawarkan jasa. Sekaligus bertanya.
“Batu Ampar,” kata saya.
Dia memberitahukan masih ada speed kecil untuk 5 penumpang yang melayani rute ini. Speed 200 PK yang mengangkut 18 penumpang sudah berangkat pagi. Biayanya sekitar Rp 90 ribu. Penumpangnya baru satu. Kalau sudah ada lima penumpang, barulah speed berangkat.

Saya menyampaikan terima kasih atas tawaran itu. Saya memilih naik motor air. Hanya menunggu 20 menit lagi. Sedangkan kalau pakai speed, saya harus menunggu waktu yang tidak jelas. Hal seperti ini kesannya seperti kata orang Melayu, menunggu sungai tak berhulu.

***

Menjelang pukul 11. 00, saya naik motor air. Saya memilih duduk di bagian depan. Waktu pertama kali naik motor air ke Kubu, saya juga memilih tempat itu. Duduk di bagian depan lebih enak karena dari tempat itu saya bisa lebih cepat melihat ke depan. Lagian, di depan, suara mesin motor agak mendingan dibandingkan di bagian kemudi. Dari bagian kemudi, suara mesin motor lebih nyaring terbawa angin.

Penumpang motor air kali ini lebih ramai dari biasanya. Menurut penumpang di samping saya, sekarang musim sembayang (sembahyang) kubur. Banyak orang pergi ke kampung, atau sebaliknya banyak orang pergi ke kota, mengunjungi keluarga mereka. Saya mengangguk. Walaupun rada aneh juga karena kalau saya perhatikan penumpang motor yang bermata sipit dan berkulit putih jumlahnya bisa dihitung dengan telunjuk. Yang banyak adalah penumpang berkulit hitam dan bermata bulat. Tetapi, ya saya berprinsip, pemali membantah orang yang memberikan informasi. Terima saja, karena kamu tidak tahu!

Tetapi, motor air juga tidak berangkat seperti yang dijadwalkan. Molor setengah jam. Entah apa yang ditunggu.
Motor air bergerak. Suara mesin menggelegak. Bergerak perlahan membelas sungai.
Saya meminjam koran pada penumpang di samping kanan saya. Dia membaca berita olahraga. Saya ingin membaca juga.

Teman di sebelah kiri saya cetak-cetik SMS. Sesekali saya lihat dia berbicara dengan penumpang di sebelah kiri dia. Tetapi ada kalanya dia menyorongkan kepalanya mengintip berita surat kabar yang saya baca.
Setelah saya selesai saya serahkan kepada dia. Selanjutnya saya meminta halaman lain kepada penumpang di samping kanan.

Semua halaman koran saya lahap. Ada beberapa berita menarik. Selesai.
Lantas saya meraih novel dari dalam tas. Setiap ke lapangan saya bawa bacaan. Biasanya ada waktu banyak. Ya, seperti sekarang-lah.
Novel Buruan Deh, karangan Isma. Pelajar MTsN 2 Pontianak. Saya kagum pada bocah ini. Kecil-kecil sudah buat novel. Saya juga kagum pada orang yang memberinya motivasi dan memfasilitasinya. Hebat.
Sudah sejak satu tahun lalu saya melihat novel ini. Dilaunching di Toko Gramedia Pontianak tahun 2007. Malang, saya belum sempat membaca. Saya hanya sempat mempromo buku ini kepada mahasiswa saya.

“Lihat ini, ini buku yang ditulis anak MTsN. Masa’ kita yang sudah kuliah tidak bisa buat seperti ini,” begitu saya katakan pada mereka.
Ketika sekarang saya membaca, saya teringat buku Lupus, karya Hilman. Buku ini sangat populer di tahun 1980-an. Gayanya kurang lebih sama. Kocak. Bahasa yang dipakai bahasa pasar. Saya cengar cengir ketika membacanya. Saya lihat penumpang di sebelah saya heran melihat sikap saya.

Tetapi saya tidak peduli. Yang saya pikir, saya harus mencari buku Lupus untuk mencari jawaban: apakah benar ada persamaan itu. Bersambung.



Baca Selengkapnya...

Kamis, 17 April 2008

Motor Air ke Batu Ampar



Motor air yang saya gunakan menuju Batu Ampar, selain mengangkut penumpang, juga mengangkut barang. Termasuk kendaraan penumpang. Motor air ini memiliki kapasitas lebih kurang 20 ton. Motor air ini berangkat dari Rasau Jaya, pukul 11.00 WIB, tiba di Batu Ampar pukul 17.00 WIB. Foto Yusriadi/Borneo Tribune


Baca Selengkapnya...

Perjalanan ke Sungai Karawang, Batu Ampar (1)

Oleh: Yusriadi

“Bang Yus, kita tidak jadi ke Kapuas Hulu. Pindah ke Sungai Karawang, Batu Ampar. Menurut Jakarta, Kapuas Hulu terlalu jauh,” kata Nur Iskandar hari itu.
Nur Iskandar adalah teman sekaligus bos saya di Borneo Tribune. Lengkapnya H. Nur Iskandar, SP. Umurnya setahun lebih muda dari saya. Tetapi, gaya kepemimpinannya hebat. Dia juga yang menjadi pemimpin 'proyek' saya ke Sungai Karawang.


Saya mengangguk saja mendengarnya. Tidak masalah, walau sebenarnya saya sudah terbayang-bayang kampung Nanga Embaloh. Saya yakin, mimpi melihat masyarakat pedalaman ini bisa kesampaian suatu saat nanti. Bukan sekarang.

Saya juga tidak merasa akan jadi masalah jika saya pergi ke Sungai Karawang, sekalipun tempat itu masih asing. Kadang kala justru pergi ke tempat asing jauh lebih mengasyikkan dibandingkan pergi ke tempat yang biasa kita kunjungi.
Karena itulah bagi saya ditugaskan ke Kapuas Hulu oke, ke Batu Ampar juga oke. Perjalanan ke lapangan, jauh atau dekat tidak jadi soal.
Saya selalu antusias kalau cerita turun lapangan. Banyak hal bisa diperoleh. Banyak pengalaman baru. Apalagi kalau pergi ke tempat yang belum pernah dikunjungi. Tidak bisa dinilai.

***

Kami –saya dan Nur Is, mencari informasi tentang Sungai Karawang. Tanya sana- sini. Ada beberapa yang tahu. Banyak yang tidak tahu. Ada beberapa orang yang dapat memberikan gambaran mengenai tempat ini. Tetapi, tidak ada yang dapat memberikan gambaran detil. Mengapa? Saya jadi penasaran.
Saya jadi teringat pengalaman kami sewaktu mencari nama Cali, salah satu kampung di Ketapang. Cali dipilih karena nama ini sudah pernah direkordkan penulis kolonial ratusan tahun lalu, memiliki variasi linguistik yang berbeda dibandingkan kampung Melayu lain. Saya dan Dey Ari Asfar ditugaskan datang ke kampung ini. Saya ditugaskan melihat bentuk bahasa, sedangkan Dedy ditugaskan merakam sastra lisan.
Informasinya macam-macam. Orang Ketapang kota hanya tahu Cali sebagai tempat angker. Banyak ilmu hitam. Ada cerita tentang tentara yang menembak buah kelapa tanpa izin; kelapa itu jatuh, namun kemudian naik lagi ke atas. Ada cerita orang Laur yang datang mencari buah durian; pada malam hari banyak sekali buah durian masak yang jatuh, namun, ketika dicari tidak ada. Menunggu sepanjang malam hanya dapat satu dua buah durian!
Walaupun cerita itu seram namun cerita itu hanyalah cerita dari mulut ke mulut. Tidak tahu siapa yang sebenarnya mengalami peristiwa misteri itu. Tidak ada yang bisa memberikan gambaran yang jelas mengenai tempat ini.
Tentang Sungai Karawang tidak ada cerita misteri. Tidak ada orang yang dapat menggambarkan berapa waktu perjalanan, atau angkutan apa yang dapat digunakan untuk mencapai tempat ini.
“Sungai Kerawang itu dekat Batu Ampar. Tidak jauh,”
“Kalau tidak salah bisa pakai ojek dari Batu Ampar,”
“Kamu bisa pakai motor air dari Rasau, bilang saja turun di Sungai Kerawang,”
Itu saja petunjuk orang.
Tetapi lumayan. Dengan informasi yang sedikit ini saya memilih masuk ke Batu Ampar saja lebih dahulu. Saya pikir, bila sudah sampai ke titik terdekat akan lebih mudah mengatur langkah selanjutnya. Spekulasi saja dahulu!
Bersambung.


Baca Selengkapnya...

Senin, 14 April 2008

Menjadi Ayah

Oleh Yusriadi

“Aku jadi ayah!”
Kata-kata itu meluncur dari mulut Baharuddin. Ia menceritakan reaksinya ketika pertama kali mengangkat bayi, anaknya sendiri, kepada kami yang berkunjung ke rumahnya sore itu. Saya, Ambaryani, Hardianti, Erni Purwanti, Badliana dan Ira Humaira, datang ke rumah Bahar ingin melihat anaknya, Barita Laila Nuzula yang dilahirkan 16 Maret 2008.



Saat bercerita, mata Bahar –begitu dia dipanggil, nampak bercahaya. Dia bercerita sambil tersenyum. Ketara sekali kebahagiaan sedangkan menyelimuti anak muda ini.
Bahar masih muda. Mungkin kalau melihat sepintas lalu dia masih bocah-bocah lagi. Badannya kurus. Kira-kira 40 kilo saja. Posturnya rendah. 150 cm. Tidak ada kumis. Tidak ada jenggot.
Saya merasa dia masih anak-anak, sekalipun sekarang dia sudah menjadi seorang ayah.
5 tahun lalu, ketika pertama kali mendaftar menjadi mahasiswa di Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Jurusan Dakwah, STAIN Pontianak, Baharuddin datang ke rumah kakak saya, Herlina. Dia memberitahukan rencana kuliah, sembari meminta tolong diperhatikan.
Dia datang dengan santun. Penuh penyerahan. Saya tidak berjanji membantu dia lulus. Karena saya tahu dia pasti lulus. KPI membutuhkan mahasiswa. Hampir tidak mungkin ada orang mau kuliah ditolak.
Ketika mulai kuliah di KPI Baharuddin banyak berurusan dengan saya. Ya, sebagai ketua program studi saya memang mengurus mahasiswa.
Saya menyukai dia. Baharuddin rajin. Penurut. Tekun. Dia pandai.
Saya juga suka dia karena gaya dia yang santun. Gaya dia bicara juga mengesankan. Kalau bicara agak gagap. Tetapi kalau diminta membawa acara gagapnya hilang. Baharuddin menjadi penyiaran radio yang kami dirikan. Radio Pro-Kom. Dia aktif di sana.
Ketika kami memerlukan staf di prodi menggantikan Sri Sunarsi –yang mengikuti suaminya –seorang tentara, ke Sanggau, kami memilih Baharuddin.
Dia bekerja sambil kuliah. Pendapatan sebagai staf, agaknya cukup untuk dirinya sendiri. Dia mandiri. Sampai dia sudah selesai kuliah dan masih bertahan sebagai menjadi staf.
Bahkan sampai dia kawin dengan tetangganya, Ita, dia masih setia sebagai staf.
Badannya tidak tambah besar. Malah makin kecil. Mungkin karena pendapatannya tidak bertambah, sedangkan bebannya bertambah. Banyak yang merasa takjub pada kesetiaan Baharuddin.
Ketakjuban itu pulalah yang menyebabkan kami berusaha menyambangi Baharuddin yang beberapa hari lalu menyambut kelahiran putrinya.

***

Kalau Bahar gembira, itu wajar. Anak sudah lama ditunggunya. Beberapa tahun lalu, Ita pernah hamil. Namun keguguran. Janin berumur 2 bulan dikuret. Ita dirawat beberapa lama di rumah sakit Sudarso Pontianak.
Bahar sempat mengungkapkan kecemasannya kalau setelah dikuret tidak bisa mendapatkan anak lagi.
Oleh sebab itu, sepanjang masa kehamilan Ita, Bahar berusaha menjaga istrinya sebaik mungkin. Ita hampir tidak pernah dibawa ke kampus, seperti sebelum hamil.
“Saja dijaga bonar-bonar,” kata Bahar suatu ketika dahulu saat menyampaikan kabar kehamilan istrinya. Dia memang selalu berbahasa Ulu pada saya.
Bahar mengaku rajin mengontrol kehamilan istrinya pada dokter. Salah satu dokter langganannya adalah dokter Neni. Dokter Neni dikenal sebagai pengasuh rubrik kesehatan di Pontianak Post. Dia bekerja di Puskesma Kampung Bangka. Kata Bahar, dokter Neni dipilih karena masih satu kampung –sama-sama dari Selimbau, Kapuas Hulu.
“Orangnya baik. Dia banyak membantu,” puji Bahar.
Bahar sering menceritakan perkembangan kandungan istrinya pada saya, atau pada orang-orang dekatnya.
“Insya Allah kata dokter tanggal 31 Maret, lahir,” katanya. Mantap.
Saya kira dia sangat siap menyambut kelahiran bayinya itu. Tetapi kadang-kadang kami memberinya nasehat. Termasuk pesan agar mengabarkan kami kalau istrinya melahirkan. Harap-harap bisa membantu.
Tetapi, ramalan kelahiran bayinya itu rupanya tidak tepat. Rupanya, Ita keburu melahirkan sebelum tanggal 31.

***

Menurut cerita Bahar, tanggal 16 Maret, Ita merasa perutnya mulas. Ada perasaan, saat kelahiran sudah dekat. Mereka pergi ke tempat bidan praktik. Konsultasi.
Kecemasan mulai menyergap. Kelahiran sudah agak dekat. Tetapi, masalahnya tekanan darah istrinya tinggi. 150/90. Dalam keadaan seperti ini Ibu dalam bahaya.
“Ada kemungkinan pendarahan,” kata Bahar meniru penjelasan bidan.
Tekanan darah itu harus diturunkan.
Mereka kembali ke rumah. Bahar menceritakan dia berikhtiyar memberikan istrinya mentimun.
“Saya parut timun banyak-banyak. Saya berikan ke dia,” ujar Bahar sampai mencontohkan kerja memarut dengan gerakan tangan.
Berhasil? Tidak. Tekanan darah masih tinggi. 140/90.
Lalu, pasangan muda ini berkonsultasi pada dokter praktik di Jalan Sutomo. Sekaligus berniat melahirkan di sana. Di tempat ini biaya persalinan lebih murah dibandingkan di rumah sakit. Pelayanan juga mungkin lebih baik.
Dokter membantu pasangan ini. Ita diberi obat. Manjur. Darah Ita turun. Kembali normal. Tetapi, mereka masih harus menunggu. Tanda terdekat belum nampak, ketuban belum pecah.
Sembari menunggu Bahar melihat keadaan klinik.
Astaga. Pemiliknya bukan Islam.
Bayangan tertentu berkecamuk di benaknya. Pikirannya bercelaru oleh bayangannya sendiri.
Saat itu juga Bahar memutuskan, anaknya tidak boleh lahir di sini.
Tetapi menjadi soal, bagaimana ‘lari’ dari klinik? Dia sudah ditolong petugas di sini. Petugasnya juga baik. Dia mencari akal.
“Saya menemui dokter. Saya bilang mau membawa istri pulang dahulu. Mau berkonsultasi dengan keluarga,” ceritanya.
Dokter mengizinkan. Bahar dan istrinya pulang.
Menjelang malam ketuban pecah. Kepanikan baru muncul. Mau dibawa kemana? Pilihannya RS Bersalin Sungai Jawi, klinik, atau bidan praktik. Dia tidak mau membawa istrinya ke RS Soedarso. Pengalaman dikuret sebelumnya membuat dia jera masuk ke RS Soedarso.
“Apalagi hari ini hari Minggu. Pasti dokter libur,” katanya.
Seorang tetangga yang kebetulan anggota polisi menyarankan agar Bahar membawa istrinya ke RS Bayangkara. Walau sudah putus, namun masalah belum berakhir.
Siapa yang akan membawa Ita ke rumah sakit? Dengan motor yang tua dia yakin tidak bisa membawa istrinya dengan cepat. Tetangga yang polisi itu kemudian menawarkan diri mengantar Ita ke rumah sakit. “Kalau pakai motor kamu nanti lahir di atas motor,” kata Bahar meniru kata tetangganya itu.
Ita dilarikan ke rumah sakit saat itu juga. Tanpa helm. Motor dipacu laju. Klakson dibunyikan meminta jalan. Bahar menyusul di belakang. Seperti juga motor tetangga yang membawa Ita dipacu cepat, Bahar dengan motornya juga ngebut. Biar tidak ketinggalan.
“Tetapi walau sudah dikebut –sampai-sampai bunyinya meraung-raung, ban macam mau tanggal, tetap tidak bisa ngejar,” cerita Bahar.
Walau ketinggalan, walau dalam keadaan cemas Bahar mengaku sepanjang perjalanan ada kejadian lucu. Banyak orang marah mendengar tetangga polisinya membunyikan klakson dan ngebut.
“Kepada mereka saya bilang, melahirkan. Sambil tangan saya menunjuk ke depan. Mereka yang marah-marah saya lihat jadi tidak marah lagi,” katanya.
Sampai di rumah sakit. Petugas memberikan pertolongan. Namun, obat tidak cukup. Kata dokter diperlukan obat suntik untuk istrinya. Bahar mencarinya. Dia mencari apotik yang buka. Dia sempat keliling. Sebelum sampai di apotik Kimia Farma. Malang, apotik yang kononnya buka 24 jam ternyata tutup. Bahar sempat kesal pada satpam di sana. “Copat jak plang 24 jam, kalau begini,” katanya.
Tetapi kekesalan Bahar tidak berkepanjangan. Dia segera sadar, satpam itu tidak tahu apa-apa.
Lantas dia pergi ke apotik di rumah sakit Soedarso yang jaraknya lebih kurang 7 kilometer ke arah timur. Apotik ini juga tutup.
Bahar menuju apotik depan –di seberang jalan RS Sudarso. Tetapi obat yang dicari tidak ada. Petugas di sana memberitahu obat itu ada di apotik dekat IGD. Bahar kembali ke IGD. Malang, petugasnya tidak ada. Sedang keluar.
Dia panik karena harus menunggu lagi. Padahal, istrinya tidak bisa menunggu. Dalam bayangannya, obat yang dicarinya sekarang ini menentukan nyawa istrinya.
Bahar sangat cemas.
Ketika dari jauh ada motor datang, seseorang memberitahu bahwa orang itulah penjaga apotik. Seorang lelaki separoh baya.
Bahar berlari menyambut kedatangan lelaki paroh baya itu. Dia memberitahukan obat yang dicari. Diberitahukan juga keadaan istrinya di rumah sakit Bayangkara.
Lelaki itu mengangguk. Obat itu ada. Dia juga paham.
Ketika lelaki itu hendak memarkir motornya ke tempat parkir di bagian belakang, Bahar mencegahnya. Lama lagi. Lelaki itu mengalah. Motor diletakkan tidak jauh dari pintu masuk. Namun, cukup jauh juga menuju apotik.
Mereka melangkah.
Melihat langkah lelaki yang lambat, Bahar menarik tangannya. Sedikit lagi mirip diseret. Setengah berlari. Dia menurut saja diperlakukan Bahar seperti itu.
Ketika sampai di pintu masuk, penjaga apotik kebingungan. Dia meraba sakunya celananya, kiri kanan. Dia meraba kocek bajunya.
“Kunci ketinggalan di motor”, katanya kecewa. Tersenyum kecut.
Bahar panik. Jalan menuju motor bolak-balik akan memakan waktu.
“Bapak beritahu di mana obat itu. Kita panjat saja,” Bahar setengah memaksa setelah dilihatnya bagian atas dinding bisa dilewati. Dinding hanya sekat biasa.
“Lemari dikunci ndak?”
“Tidak”
Penjaga apotik menurut. Malah dia yang kemudian memanjat pembatas ruangan. Membuka lemari dan mengambil obat yang diminta.
Dia menyebut harganya.
Bahar mengangsur uang.
“Sisanya ambil saja. Doakan semoga istri saya melahirkan dengan selamat. Semoga anak saya selamat,” kata Bahar.
Kepada kami Bahar memberitah bahwa kalau dia mengharapkan kembalian dari uang yang diserahkan kepada penjaga apotik, dia harus menunggu lagi. Baik kalau ada uang kembalian, kalau tidak, pasti akan lama lagi.
Setelah mendapatkan obat, Bahar berlari menuju motornya. Dia memacu melalui jalan Ahmad Yani.
Semula dia memacu dengan kencang. Sekencang yang dapat.
Motor meraung. Sekencang-kencang larinya kuda besi itu cuma mampu berlari 30-40 kilometer perjam.
Itu dipaksa. Selain suaranya yang melengking itu, Bahar merasakan motor goyang. “Mungkin sebentar lagi bannya pun lepas, atau rantainya putus,” pikir Bahar.
Melintas bayangannya kemungkinan buruk itu terjadi. Motor lepas-lepas, dia celaka.
Bayangan ini menyadarkannya untuk menurunkan kecepatan. Jarak RS Soedarso – RS Bhayangkara ditempuhnya lebih kurang 20 menit.

***

Akhirnya Bahar sampai di RS Bhayangkar dengan selamat. Setelah memarkir motornya dia menuju ruang persalinan. Ketika akan masuk ruangan, petugas memberitahu, Ita sudah melahirkan beberapa menit lalu. Tetapi dia tidak boleh masuk menjumpai Ita. Sebab, di ruangan itu bukan hanya Ita, tetapi ada juga wanita-wanita lain.
Bahar menurut. Dia menunggu. Tak lama kemudian perawat datang membawa bayi, dan menyerahkan bayi itu kepada Bahar.
Bahar menerima. Dia melihat wajah bayi yang masih merah, terbungkus kain. Bayi itu diam.
“Ini anakku. Sekarang akan sudah jadi ayah!” bisik Bahar.
Bahar membuka baik pembungkus. Dia ingin melihat tangan bayi, apakah tangannya dan jemarinya lengkap.
Bahar juga memeriksa kaki. Dia ingin memastikan bahwa kaki anaknya itu sempurna.
Lantas dikeluarkannya otol berisi air zam-zam. Air dari tanah suci ini dipercik ke mulut bayi. Bayi yang semula diam memberikan reaksi. Menggeliat dan bersuara.
Bahar mengoles madu ke bibir bayi. Spontan bayi mengecapnya. Kepala bayi bergerak, mulutnya seperti mencari-cari. Isyarat meminta lagi. Tetapi, Bahar hanya memberikannya sedikit. Ikut petua orang tua.
“Alhamdulillah,” kata itu meluncur dari mulutnya.
Bahar melantunkan azan dan iqamat di telinga bayi.
Kini, ketegangan yang menyelimutinya sejak kemarin, hilang. Dia menarik nafas lega. Semua baik-baik. Anak sempurna. Ita juga selamat. Dia tidak lagi merasa ada beban yang menggayut di pundaknya.
Bahkan saat pertama kali bertemu Ita, Bahar mengajaknya guyon. “Sakit ndak?”
Ita tidak menjawab. Waktu itu Ita diam.
Tetapi waktu Bahar bercerita kemarin, Ita menjawab pertanyaan itu.
“Nak perlu dijawab. Udah tau bah,” kata Ita dengan logat Ulu.
Kami yang datang tertawa mendengar jawaban Ita. Ya, melahirkan pasti sakit! Tetapi Bahar bertanya juga karena dia tidak tahu apa pertanyaan yang harus disampaikan untuk Ita. Dia masih agak tegang. Banyak yang dikhawatirkan.
Namun, kemarin, sudah melupakan ketegangan itu. Malah, ayah dan ibu muda ini sudah bisa tersenyum. Bahagia.



Baca Selengkapnya...

Selasa, 01 April 2008

Pagi di Batu Ampar, Kubu


Matahari pagi di teluk Batu Ampar, Kubu Raya Pontianak. Foto Yusriadi.



Baca Selengkapnya...

Pesta Pertunangan Keluarga Tionghoa

Mbok Lena, kakak saya, memberikan sebuah undangan berwarna merah. Tulisan Cina. Ada nama saya: Yus/Istri, pada alamat undangan itu. Tulisan tangan.
“Pak Amat,” kata Mbok.



Saya menerimanya. Undangan itu menebarkan aroma wangi. Di bagian atas, di pojok kanan terdapat ‘amplop’ kecil. Isinya irisan buah pinang.
Di bagian pinggir undangan itu, terdapat gambaran lampion. Di bagian tengah terdapat gambar burung yang hinggap di pohon cinta berlambang hati. Pada lambang hati itu ada tulisan Cina. Begitu juga pada kiri dan kanan burung. Di bagian atas terdapat tulisan UNDANGAN.

Semua tulisan dan gambar itu menggunakan tinta warna emas.
Saya menyukai tampilan undangan ini.

Di dalam undangan ini tertulis: Bertunangan. Di bagian pertama semuanya menggunakan tulisan latin, berbahasa Indonesia. Sedangkan di bagian selanjutnya tulisan Cina. Saya tidak bisa membacanya. Saya buta kayu, kata orang Pontianak.
Ya, Dewi anak Pak Amat bertunangan. Saya kenal sedikit pada anak itu. Dia masih muda. Tamat SMA setahun lalu. Katanya, dia tidak mau melanjutkan sekolah. Lebih memilih kerja.

Lalu, ujung-ujung kawin.
“Pergi ndak?” Mbok bertanya.
“Pergi”.
Saya memutuskan pergi. Pak Amat kenalan baik kami. Kami adalah anaknya. Anak Pak Amat, Hin, menikah dengan adik saya. Pak Amat menerima, menyetujui dan merestui pernikahan itu. Bahkan, dia paling semangat.

Dia merelakan anaknya pindah agama, ikut agama kami. Muslim. Bahkan dia kerap kali menasehatkan anaknya: “Agama pilihan kamu sendiri. Kami tidak memaksa. Saya mendukung pilihan kamu. Kalau sudah masuk Islam kamu harus jadi orang Islam. Bukan cuma masuk Melayu. Kamu jangan bikin malu saya. Jangan tunjuk tidak punya malu,’ begitu Pak Amat menasehatkan anaknya. Di depan saya. Beberapa kali.
Yang menarik dari nasehat itu, agama bagi Pak Amat tidak sensitif. Yang sensitif adalah malu. Dia akan merasa malu kalau anaknya tidak dapat menunjukkan sikap sebagai orang Islam, karena pilihan masuk Islam adalah pilihan sendiri.
Yang juga menarik, Pak Amat membedakan masuk Islam dan masuk Melayu. Padahal selama ini kebanyakan orang menganggap sama saja. Masuk Islam berarti masuk Melayu. Masuk Islam harus taat, harus menjalankan kewajiban sebagai orang Islam. Kalau masuk Melayu tidak taat pun tidak apa.

Saya sempat terpukau dengan terminologinya itu.
Bahkan, suatu ketika Pak Amat sempat mengatakan pada saya, dia juga ingin masuk Islam. Namun, nanti. Sekarang tidak mungkin dia melakukan hal itu. Orang tuanya masih hidup. Sebagai anak lelaki tertua, dia harus melayani ayahnya dengan baik. Menurut Pak Amat, itulah tanda berbakti. Dia harus mempersiapkan konsoi –peti mati. Dia juga harus bersembahyang di depan peti mati itu, nanti, bila ayahnya meninggal. “Kalau masuk Islam ‘kan saya tidak bisa melakukan itu. Saya tidak bisa berbakti,” katanya berargumentasi.

Waktu itu saya terangguk mendengarnya. Saya tidak membantahnya. Yang saya pikir, mungkin adat orang Tionghoa begitu.

Pak Amat juga pernah meminta izin pada saya, dia ingin cucunya diberi nama marga, diberi nama Cin –begitu dia menyebut identitas Tionghoa. Saya menyerahkan pada dia. Hanya saya juga mengingatkan memberi nama Cin pada seseorang mesti ditimbang masak-masak. Ini bukan soal agama. Tetapi soal perlakuan sosial. Biasanya orang Tionghoa mendapat perlakuan khusus dari kelompok masyarakat lain, terutama kelompok yang memiliki otoritas. Orang Tionghoa tertentu menyebutnya ‘ada diskriminasi’.
Kemudian setelah lahir, cucunya tidak diberi nama Cina.

***

Hari itu, kami pergi setelah shalat Maghrib. Mbok Lena dan suaminya Mas Yanto bersama anak mereka. Saya pergi sendiri. Orang rumah sibuk. –Pak Amat pengecualian. Biasanya daripada pergi sendiri lebih baik tidak pergi.

Kami parkir motor di depan bangunan tempat perjamuan. Di pintu masuk saya melihat para penyambut tamu dengan jas. Ada Man, adiknya Pak Amat. Ada Hin, adik ipar saya. Model penyambutan begini sama seperti pesta perkawinan orang Melayu. Saya membandingkan hal itu karena sudah belasan tahun di Pontianak belum pernah saya pergi ke tempat orang Tionghoa kawin. Sesekali saya dapat undangan mereka, namun, saya enggan turun. Kagok. Soal makan kerap kali membuat saya risau. Jujur saja, ada rasa was-was.

Kami bersalaman mengucapkan selamat. Dan berbasa basi sekejap.
Lalu kami mengisi buku tamu yang terletak di sebelah kanan pintu masuk.
Dua anak gadis Pak Amat yang menjaga buku tamu. Mbok mengisi lebih dahulu. Lalu menyerahkan amplop. Saya menirunya.

Saya lihat di dekat meja ada tempat untuk memasukkan amplop.
“Ah kiranya sama juga dengan orang Melayu,” pikir saya.

Lalu kami dipersilakan menuju meja makan. Ada beberapa jenis makanan dihidangkan. Penjaga makanan adalah petugas khusus, kelihatannya orang Islam.
Saat kami memilih makanan, Man memberitahukan bahwa semua makanan boleh diambil kecuali satu. “Yang itu ada araknya,” kata Man.
Saya lega. Model seperti ini di luar bayangan saya. Justru saya yang merasa aneh karena tidak ada babi.
Saya memilih kentang dan sate.
Kami menuju meja makan.

Sambil makan saya menyimak suasana pesta pertunangan. Ada beberapa orang yang kami kenal. Ada beberapa orang yang memakai kerudung.
Yang bertunang nampak mesra di atas pelaminan.

Musik yang diperdengarkan malam itu membuat saya tersentak. Musik dangdut! Hanya sesekali lagi berbahasa Mandarin. Sayang saya tidak mencatat lagu-lagu rancak itu.
Adik saya yang datang kemudian ke meja kami memberitahukan:
“Memang begitulah,”

Maksudnya, pilihan lagu dangdut pada acara orang Tionghoa adalah sesuatu yang biasa. Tidak semua lagi berbahasa Mandarin.
Ada tiga puluh menit kami berada dalam ruangan. Mendengar musik dan melihat orang yang datang ke pesta itu.

Saya taksir, jumlah orang bukan Tionghoa yang datang jumlahnya mungkin separoh dari jumlah orang Tionghoa. Seperti kami, yang datang adalah relasi Pak Amat.
Saya kira, pesta ini sekaligus mencerminkan relasi sosial antara orang Tionghoa dan bukan Tionghoa di Pontianak.

Kesan eksklusif pada orang Tionghoa –di mata orang Melayu, menjadi agak musykil. Saya jadi bertanya-tanya mengapa?

Karena menurut anggapan saya, pasti bukan cuma pesta perjamuan yang dihelat keluarga Pak Amat yang seperti ini. Pasti adanya keluarga Tionghoa yang lain pernah melakukan itu. Mungkin banyak perjamuan orang Tionghoa di Kalbar yang mengundang orang-orang bukan Tionghoa. Dan pasti banyak orang Melayu atau orang lain yang sedia datang memenuhi undangan ini.

Pasti benar, bahwa sudah biasa dalam perjamuan ada hiburan dan salah satu lagu yang dipilih adalah lagu dangdut, lagu yang sering disebut musik irama Melayu. Lebih dari sekadar menghibur tamu Melayu yang datang pada acara perjamuan, mungkin banyak orang Tionghoa yang menyukai musik tanpa melihat batas ‘milik’ itu.
Pasti juga sudah biasa bagi orang Tionghoa menyediakan makanan yang ‘halal’ bagi orang Melayu.

Saya betul-betul merasa bertuah bisa menghadiri perjamuan ini. Terima kasih Pak Amat. Saya mendapatkan gambaran yang nyata mengenai relasi antar etnik dan budaya.







Baca Selengkapnya...