Senin, 14 April 2008

Menjadi Ayah

Oleh Yusriadi

“Aku jadi ayah!”
Kata-kata itu meluncur dari mulut Baharuddin. Ia menceritakan reaksinya ketika pertama kali mengangkat bayi, anaknya sendiri, kepada kami yang berkunjung ke rumahnya sore itu. Saya, Ambaryani, Hardianti, Erni Purwanti, Badliana dan Ira Humaira, datang ke rumah Bahar ingin melihat anaknya, Barita Laila Nuzula yang dilahirkan 16 Maret 2008.



Saat bercerita, mata Bahar –begitu dia dipanggil, nampak bercahaya. Dia bercerita sambil tersenyum. Ketara sekali kebahagiaan sedangkan menyelimuti anak muda ini.
Bahar masih muda. Mungkin kalau melihat sepintas lalu dia masih bocah-bocah lagi. Badannya kurus. Kira-kira 40 kilo saja. Posturnya rendah. 150 cm. Tidak ada kumis. Tidak ada jenggot.
Saya merasa dia masih anak-anak, sekalipun sekarang dia sudah menjadi seorang ayah.
5 tahun lalu, ketika pertama kali mendaftar menjadi mahasiswa di Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Jurusan Dakwah, STAIN Pontianak, Baharuddin datang ke rumah kakak saya, Herlina. Dia memberitahukan rencana kuliah, sembari meminta tolong diperhatikan.
Dia datang dengan santun. Penuh penyerahan. Saya tidak berjanji membantu dia lulus. Karena saya tahu dia pasti lulus. KPI membutuhkan mahasiswa. Hampir tidak mungkin ada orang mau kuliah ditolak.
Ketika mulai kuliah di KPI Baharuddin banyak berurusan dengan saya. Ya, sebagai ketua program studi saya memang mengurus mahasiswa.
Saya menyukai dia. Baharuddin rajin. Penurut. Tekun. Dia pandai.
Saya juga suka dia karena gaya dia yang santun. Gaya dia bicara juga mengesankan. Kalau bicara agak gagap. Tetapi kalau diminta membawa acara gagapnya hilang. Baharuddin menjadi penyiaran radio yang kami dirikan. Radio Pro-Kom. Dia aktif di sana.
Ketika kami memerlukan staf di prodi menggantikan Sri Sunarsi –yang mengikuti suaminya –seorang tentara, ke Sanggau, kami memilih Baharuddin.
Dia bekerja sambil kuliah. Pendapatan sebagai staf, agaknya cukup untuk dirinya sendiri. Dia mandiri. Sampai dia sudah selesai kuliah dan masih bertahan sebagai menjadi staf.
Bahkan sampai dia kawin dengan tetangganya, Ita, dia masih setia sebagai staf.
Badannya tidak tambah besar. Malah makin kecil. Mungkin karena pendapatannya tidak bertambah, sedangkan bebannya bertambah. Banyak yang merasa takjub pada kesetiaan Baharuddin.
Ketakjuban itu pulalah yang menyebabkan kami berusaha menyambangi Baharuddin yang beberapa hari lalu menyambut kelahiran putrinya.

***

Kalau Bahar gembira, itu wajar. Anak sudah lama ditunggunya. Beberapa tahun lalu, Ita pernah hamil. Namun keguguran. Janin berumur 2 bulan dikuret. Ita dirawat beberapa lama di rumah sakit Sudarso Pontianak.
Bahar sempat mengungkapkan kecemasannya kalau setelah dikuret tidak bisa mendapatkan anak lagi.
Oleh sebab itu, sepanjang masa kehamilan Ita, Bahar berusaha menjaga istrinya sebaik mungkin. Ita hampir tidak pernah dibawa ke kampus, seperti sebelum hamil.
“Saja dijaga bonar-bonar,” kata Bahar suatu ketika dahulu saat menyampaikan kabar kehamilan istrinya. Dia memang selalu berbahasa Ulu pada saya.
Bahar mengaku rajin mengontrol kehamilan istrinya pada dokter. Salah satu dokter langganannya adalah dokter Neni. Dokter Neni dikenal sebagai pengasuh rubrik kesehatan di Pontianak Post. Dia bekerja di Puskesma Kampung Bangka. Kata Bahar, dokter Neni dipilih karena masih satu kampung –sama-sama dari Selimbau, Kapuas Hulu.
“Orangnya baik. Dia banyak membantu,” puji Bahar.
Bahar sering menceritakan perkembangan kandungan istrinya pada saya, atau pada orang-orang dekatnya.
“Insya Allah kata dokter tanggal 31 Maret, lahir,” katanya. Mantap.
Saya kira dia sangat siap menyambut kelahiran bayinya itu. Tetapi kadang-kadang kami memberinya nasehat. Termasuk pesan agar mengabarkan kami kalau istrinya melahirkan. Harap-harap bisa membantu.
Tetapi, ramalan kelahiran bayinya itu rupanya tidak tepat. Rupanya, Ita keburu melahirkan sebelum tanggal 31.

***

Menurut cerita Bahar, tanggal 16 Maret, Ita merasa perutnya mulas. Ada perasaan, saat kelahiran sudah dekat. Mereka pergi ke tempat bidan praktik. Konsultasi.
Kecemasan mulai menyergap. Kelahiran sudah agak dekat. Tetapi, masalahnya tekanan darah istrinya tinggi. 150/90. Dalam keadaan seperti ini Ibu dalam bahaya.
“Ada kemungkinan pendarahan,” kata Bahar meniru penjelasan bidan.
Tekanan darah itu harus diturunkan.
Mereka kembali ke rumah. Bahar menceritakan dia berikhtiyar memberikan istrinya mentimun.
“Saya parut timun banyak-banyak. Saya berikan ke dia,” ujar Bahar sampai mencontohkan kerja memarut dengan gerakan tangan.
Berhasil? Tidak. Tekanan darah masih tinggi. 140/90.
Lalu, pasangan muda ini berkonsultasi pada dokter praktik di Jalan Sutomo. Sekaligus berniat melahirkan di sana. Di tempat ini biaya persalinan lebih murah dibandingkan di rumah sakit. Pelayanan juga mungkin lebih baik.
Dokter membantu pasangan ini. Ita diberi obat. Manjur. Darah Ita turun. Kembali normal. Tetapi, mereka masih harus menunggu. Tanda terdekat belum nampak, ketuban belum pecah.
Sembari menunggu Bahar melihat keadaan klinik.
Astaga. Pemiliknya bukan Islam.
Bayangan tertentu berkecamuk di benaknya. Pikirannya bercelaru oleh bayangannya sendiri.
Saat itu juga Bahar memutuskan, anaknya tidak boleh lahir di sini.
Tetapi menjadi soal, bagaimana ‘lari’ dari klinik? Dia sudah ditolong petugas di sini. Petugasnya juga baik. Dia mencari akal.
“Saya menemui dokter. Saya bilang mau membawa istri pulang dahulu. Mau berkonsultasi dengan keluarga,” ceritanya.
Dokter mengizinkan. Bahar dan istrinya pulang.
Menjelang malam ketuban pecah. Kepanikan baru muncul. Mau dibawa kemana? Pilihannya RS Bersalin Sungai Jawi, klinik, atau bidan praktik. Dia tidak mau membawa istrinya ke RS Soedarso. Pengalaman dikuret sebelumnya membuat dia jera masuk ke RS Soedarso.
“Apalagi hari ini hari Minggu. Pasti dokter libur,” katanya.
Seorang tetangga yang kebetulan anggota polisi menyarankan agar Bahar membawa istrinya ke RS Bayangkara. Walau sudah putus, namun masalah belum berakhir.
Siapa yang akan membawa Ita ke rumah sakit? Dengan motor yang tua dia yakin tidak bisa membawa istrinya dengan cepat. Tetangga yang polisi itu kemudian menawarkan diri mengantar Ita ke rumah sakit. “Kalau pakai motor kamu nanti lahir di atas motor,” kata Bahar meniru kata tetangganya itu.
Ita dilarikan ke rumah sakit saat itu juga. Tanpa helm. Motor dipacu laju. Klakson dibunyikan meminta jalan. Bahar menyusul di belakang. Seperti juga motor tetangga yang membawa Ita dipacu cepat, Bahar dengan motornya juga ngebut. Biar tidak ketinggalan.
“Tetapi walau sudah dikebut –sampai-sampai bunyinya meraung-raung, ban macam mau tanggal, tetap tidak bisa ngejar,” cerita Bahar.
Walau ketinggalan, walau dalam keadaan cemas Bahar mengaku sepanjang perjalanan ada kejadian lucu. Banyak orang marah mendengar tetangga polisinya membunyikan klakson dan ngebut.
“Kepada mereka saya bilang, melahirkan. Sambil tangan saya menunjuk ke depan. Mereka yang marah-marah saya lihat jadi tidak marah lagi,” katanya.
Sampai di rumah sakit. Petugas memberikan pertolongan. Namun, obat tidak cukup. Kata dokter diperlukan obat suntik untuk istrinya. Bahar mencarinya. Dia mencari apotik yang buka. Dia sempat keliling. Sebelum sampai di apotik Kimia Farma. Malang, apotik yang kononnya buka 24 jam ternyata tutup. Bahar sempat kesal pada satpam di sana. “Copat jak plang 24 jam, kalau begini,” katanya.
Tetapi kekesalan Bahar tidak berkepanjangan. Dia segera sadar, satpam itu tidak tahu apa-apa.
Lantas dia pergi ke apotik di rumah sakit Soedarso yang jaraknya lebih kurang 7 kilometer ke arah timur. Apotik ini juga tutup.
Bahar menuju apotik depan –di seberang jalan RS Sudarso. Tetapi obat yang dicari tidak ada. Petugas di sana memberitahu obat itu ada di apotik dekat IGD. Bahar kembali ke IGD. Malang, petugasnya tidak ada. Sedang keluar.
Dia panik karena harus menunggu lagi. Padahal, istrinya tidak bisa menunggu. Dalam bayangannya, obat yang dicarinya sekarang ini menentukan nyawa istrinya.
Bahar sangat cemas.
Ketika dari jauh ada motor datang, seseorang memberitahu bahwa orang itulah penjaga apotik. Seorang lelaki separoh baya.
Bahar berlari menyambut kedatangan lelaki paroh baya itu. Dia memberitahukan obat yang dicari. Diberitahukan juga keadaan istrinya di rumah sakit Bayangkara.
Lelaki itu mengangguk. Obat itu ada. Dia juga paham.
Ketika lelaki itu hendak memarkir motornya ke tempat parkir di bagian belakang, Bahar mencegahnya. Lama lagi. Lelaki itu mengalah. Motor diletakkan tidak jauh dari pintu masuk. Namun, cukup jauh juga menuju apotik.
Mereka melangkah.
Melihat langkah lelaki yang lambat, Bahar menarik tangannya. Sedikit lagi mirip diseret. Setengah berlari. Dia menurut saja diperlakukan Bahar seperti itu.
Ketika sampai di pintu masuk, penjaga apotik kebingungan. Dia meraba sakunya celananya, kiri kanan. Dia meraba kocek bajunya.
“Kunci ketinggalan di motor”, katanya kecewa. Tersenyum kecut.
Bahar panik. Jalan menuju motor bolak-balik akan memakan waktu.
“Bapak beritahu di mana obat itu. Kita panjat saja,” Bahar setengah memaksa setelah dilihatnya bagian atas dinding bisa dilewati. Dinding hanya sekat biasa.
“Lemari dikunci ndak?”
“Tidak”
Penjaga apotik menurut. Malah dia yang kemudian memanjat pembatas ruangan. Membuka lemari dan mengambil obat yang diminta.
Dia menyebut harganya.
Bahar mengangsur uang.
“Sisanya ambil saja. Doakan semoga istri saya melahirkan dengan selamat. Semoga anak saya selamat,” kata Bahar.
Kepada kami Bahar memberitah bahwa kalau dia mengharapkan kembalian dari uang yang diserahkan kepada penjaga apotik, dia harus menunggu lagi. Baik kalau ada uang kembalian, kalau tidak, pasti akan lama lagi.
Setelah mendapatkan obat, Bahar berlari menuju motornya. Dia memacu melalui jalan Ahmad Yani.
Semula dia memacu dengan kencang. Sekencang yang dapat.
Motor meraung. Sekencang-kencang larinya kuda besi itu cuma mampu berlari 30-40 kilometer perjam.
Itu dipaksa. Selain suaranya yang melengking itu, Bahar merasakan motor goyang. “Mungkin sebentar lagi bannya pun lepas, atau rantainya putus,” pikir Bahar.
Melintas bayangannya kemungkinan buruk itu terjadi. Motor lepas-lepas, dia celaka.
Bayangan ini menyadarkannya untuk menurunkan kecepatan. Jarak RS Soedarso – RS Bhayangkara ditempuhnya lebih kurang 20 menit.

***

Akhirnya Bahar sampai di RS Bhayangkar dengan selamat. Setelah memarkir motornya dia menuju ruang persalinan. Ketika akan masuk ruangan, petugas memberitahu, Ita sudah melahirkan beberapa menit lalu. Tetapi dia tidak boleh masuk menjumpai Ita. Sebab, di ruangan itu bukan hanya Ita, tetapi ada juga wanita-wanita lain.
Bahar menurut. Dia menunggu. Tak lama kemudian perawat datang membawa bayi, dan menyerahkan bayi itu kepada Bahar.
Bahar menerima. Dia melihat wajah bayi yang masih merah, terbungkus kain. Bayi itu diam.
“Ini anakku. Sekarang akan sudah jadi ayah!” bisik Bahar.
Bahar membuka baik pembungkus. Dia ingin melihat tangan bayi, apakah tangannya dan jemarinya lengkap.
Bahar juga memeriksa kaki. Dia ingin memastikan bahwa kaki anaknya itu sempurna.
Lantas dikeluarkannya otol berisi air zam-zam. Air dari tanah suci ini dipercik ke mulut bayi. Bayi yang semula diam memberikan reaksi. Menggeliat dan bersuara.
Bahar mengoles madu ke bibir bayi. Spontan bayi mengecapnya. Kepala bayi bergerak, mulutnya seperti mencari-cari. Isyarat meminta lagi. Tetapi, Bahar hanya memberikannya sedikit. Ikut petua orang tua.
“Alhamdulillah,” kata itu meluncur dari mulutnya.
Bahar melantunkan azan dan iqamat di telinga bayi.
Kini, ketegangan yang menyelimutinya sejak kemarin, hilang. Dia menarik nafas lega. Semua baik-baik. Anak sempurna. Ita juga selamat. Dia tidak lagi merasa ada beban yang menggayut di pundaknya.
Bahkan saat pertama kali bertemu Ita, Bahar mengajaknya guyon. “Sakit ndak?”
Ita tidak menjawab. Waktu itu Ita diam.
Tetapi waktu Bahar bercerita kemarin, Ita menjawab pertanyaan itu.
“Nak perlu dijawab. Udah tau bah,” kata Ita dengan logat Ulu.
Kami yang datang tertawa mendengar jawaban Ita. Ya, melahirkan pasti sakit! Tetapi Bahar bertanya juga karena dia tidak tahu apa pertanyaan yang harus disampaikan untuk Ita. Dia masih agak tegang. Banyak yang dikhawatirkan.
Namun, kemarin, sudah melupakan ketegangan itu. Malah, ayah dan ibu muda ini sudah bisa tersenyum. Bahagia.



1 komentar:

Lisa Arnis mengatakan...

Mas, Maaf emang di sudarso gimana ya? soalnya saya juga berencana melahirkan disana