Minggu, 20 April 2008

Perjalanan ke Sungai Karawang, Batu Ampar (2)

Selasa 25 Maret 2008. Pukul 09.40 saya berangkat dari Pontianak. Ngojek teman. Kenalan lama. Pikir-pikir sebenarnya mau pakai oplet. Tetapi, saya khawatir waktu di perjalanan lama, dan terlambat sampai di terminal Rasau Jaya.
Saya ingat pukul 11 harus sudah ada di sana, kalau tidak mau ketinggalan motor air –atau tepatnya kalau tidak mau tertunda satu hari. Sewaktu saya pergi ke Kubu beberapa bulan lalu saya sempat sawan. Sejak naik naik oplet Jeruju – Pasar, saya sudah panik. Opletnya berjalan lambat mencari penumpang. Bayangkan jarak cuma 7 kilometer ditempuh perjalanan 30 menit. Setelah itu di terminal bayangan, naik oplet jurusan Pasar - Sungai Raya.

Di dalam oplet harus menunggu lagi, sampai oplet terisi penuh. Kalau baru satu dua penumpang saja, biasanya oplet ogah bergerak. Rugi minyak. Mereka tidak pernah merasa rugi waktu seperti kita para penumpang.

Dari terminal Sungai Raya menuju Sungai Durian. Oplet juga bergerak lamban. Sesekali berhenti menurunkan dan menaikkan penumpang. Setelah itu, di teminal Sungai Durian kita menunggu lagi. Bis kecil baru bergerak kalau sudah penuh. Mau tunggu 10 menit, 20 menit, sopir tidak peduli.

Pengalaman itu membuat saya pikir lebih baik pakai motor. Kalau pakai motor, dari Pontianak waktunya bisa lebih cepat. 1 jam sudah sampai. Tidak ada kata menunggu.
Sampai di terminal Rasau Jaya sekitar pukul 10.30. Masih ada 30 menit. Saya singgah di warung. Minum.

“Speed. Ke mana?” seorang pemuda menawarkan jasa. Sekaligus bertanya.
“Batu Ampar,” kata saya.
Dia memberitahukan masih ada speed kecil untuk 5 penumpang yang melayani rute ini. Speed 200 PK yang mengangkut 18 penumpang sudah berangkat pagi. Biayanya sekitar Rp 90 ribu. Penumpangnya baru satu. Kalau sudah ada lima penumpang, barulah speed berangkat.

Saya menyampaikan terima kasih atas tawaran itu. Saya memilih naik motor air. Hanya menunggu 20 menit lagi. Sedangkan kalau pakai speed, saya harus menunggu waktu yang tidak jelas. Hal seperti ini kesannya seperti kata orang Melayu, menunggu sungai tak berhulu.

***

Menjelang pukul 11. 00, saya naik motor air. Saya memilih duduk di bagian depan. Waktu pertama kali naik motor air ke Kubu, saya juga memilih tempat itu. Duduk di bagian depan lebih enak karena dari tempat itu saya bisa lebih cepat melihat ke depan. Lagian, di depan, suara mesin motor agak mendingan dibandingkan di bagian kemudi. Dari bagian kemudi, suara mesin motor lebih nyaring terbawa angin.

Penumpang motor air kali ini lebih ramai dari biasanya. Menurut penumpang di samping saya, sekarang musim sembayang (sembahyang) kubur. Banyak orang pergi ke kampung, atau sebaliknya banyak orang pergi ke kota, mengunjungi keluarga mereka. Saya mengangguk. Walaupun rada aneh juga karena kalau saya perhatikan penumpang motor yang bermata sipit dan berkulit putih jumlahnya bisa dihitung dengan telunjuk. Yang banyak adalah penumpang berkulit hitam dan bermata bulat. Tetapi, ya saya berprinsip, pemali membantah orang yang memberikan informasi. Terima saja, karena kamu tidak tahu!

Tetapi, motor air juga tidak berangkat seperti yang dijadwalkan. Molor setengah jam. Entah apa yang ditunggu.
Motor air bergerak. Suara mesin menggelegak. Bergerak perlahan membelas sungai.
Saya meminjam koran pada penumpang di samping kanan saya. Dia membaca berita olahraga. Saya ingin membaca juga.

Teman di sebelah kiri saya cetak-cetik SMS. Sesekali saya lihat dia berbicara dengan penumpang di sebelah kiri dia. Tetapi ada kalanya dia menyorongkan kepalanya mengintip berita surat kabar yang saya baca.
Setelah saya selesai saya serahkan kepada dia. Selanjutnya saya meminta halaman lain kepada penumpang di samping kanan.

Semua halaman koran saya lahap. Ada beberapa berita menarik. Selesai.
Lantas saya meraih novel dari dalam tas. Setiap ke lapangan saya bawa bacaan. Biasanya ada waktu banyak. Ya, seperti sekarang-lah.
Novel Buruan Deh, karangan Isma. Pelajar MTsN 2 Pontianak. Saya kagum pada bocah ini. Kecil-kecil sudah buat novel. Saya juga kagum pada orang yang memberinya motivasi dan memfasilitasinya. Hebat.
Sudah sejak satu tahun lalu saya melihat novel ini. Dilaunching di Toko Gramedia Pontianak tahun 2007. Malang, saya belum sempat membaca. Saya hanya sempat mempromo buku ini kepada mahasiswa saya.

“Lihat ini, ini buku yang ditulis anak MTsN. Masa’ kita yang sudah kuliah tidak bisa buat seperti ini,” begitu saya katakan pada mereka.
Ketika sekarang saya membaca, saya teringat buku Lupus, karya Hilman. Buku ini sangat populer di tahun 1980-an. Gayanya kurang lebih sama. Kocak. Bahasa yang dipakai bahasa pasar. Saya cengar cengir ketika membacanya. Saya lihat penumpang di sebelah saya heran melihat sikap saya.

Tetapi saya tidak peduli. Yang saya pikir, saya harus mencari buku Lupus untuk mencari jawaban: apakah benar ada persamaan itu. Bersambung.



2 komentar:

Anonim mengatakan...

Hello. This post is likeable, and your blog is very interesting, congratulations :-). I will add in my blogroll =). If possible gives a last there on my blog, it is about the Wireless, I hope you enjoy. The address is http://wireless-brasil.blogspot.com. A hug.

Unknown mengatakan...

postingan yg bagus
like this :D
kunjungi juga kami di Muaro Duo + River Trip
terima kasih