Minggu, 27 April 2008

Perjalanan ke Sungai Karawang, Batu Ampar (3)

Oleh: Yusriadi

Pukul 14.10 Wib, motor air yang saya tumpangi tiba di Kubu. Sebuah kota bersejarah di pantai barat pulau Borneo.
Motor air berhenti di pasar kecil. Juragan memberikan kesempatan kepada penumpang untuk membeli makanan. Ada yang membeli nasi. Ada yang membeli minuman. Ada yang membeli kue dan makanan ringan. Semua harus dibungkus. Waktu berhenti tidak lama.

Saya membeli nasi. Tadi belum makan siang. Kalau tunggu sampai di Batu Ampar, masih lama. Penumpang lain yang saya tanyakan, mengatakan, motor air baru tiba di Batu Ampar sekitar pukul 17.00 Wib. Menjelang malam. Kalau Batu Ampar seperti kota kecil di pedalaman mungkin waktu segitu sudah tutup. Laparlah awak!
Saya ikut gaya orang makan di motor air. Menghadap dinding, pura-pura tidak melihat orang lain. Sebab tidak semua makan. Paling basa basi mengajak makan.
Motor air bergerak.
Sepanjang perjalanan menuju Batu Ampar, beberapa kali motor air berhenti menurunkan dan menaikkan penumpang dan barang. Di beberapa tempat, anak buah motor memunggah gula kelapa. Bagian depan hampir penuh.

Waktu menunjukkan pukul 16.30 WIB.
“Bapak turun di sini. Di depan itu Batu Ampar,”
Penumpang di sebelah saya memberitahu.
Saya melihat tempat yang ditunjuknya. Sebuah daratan berbukit. Di bagian teluknya terdapat rumah-rumah penduduk. Ada dua dermaga kecil. Dermaga pertama agak menjorok ke laut dibandingkan dermaga kedua.
Motor air merapat di dermaga kedua. Penumpang bagian depan berdiri. Semua ingin turun. Ada yang memunggah barang. Ada yang menuju warung.
Saya melihat ada penginapan. Barakoh di lantai dua pasar Batu Ampar. Di bagian bawahnya terdapat warung kopi dan warung makan.
Saya mencari pintu masuk. Seorang wanita agaknya pemilik warung memberitahu saya agar mengambil kunci di warung kopi.
Di sini, seorang anak muda –yang kemudian saya kenal bernama Fadhli, menyambut saya. Dia meberitahu ada banyak kamar. Dia menulis nama saya dalam buku tamu. Agak sulit dia menulisnya. Entah. Rasanya nama saya mudah dieja.
Lantas dia memberikan kunci kamar. Nomor 1. Dia tidak minta kartu pengenal. Dia juga tidak minta bayaran. Saya sedikit heran.
“Masuk lewat sebelah. Naik,” katanya memberi petunjuk.
Dia tidak mengantar saya menuju kamar, seperti biasa yang dilakukan banyak penginapan yang pernah saya datangi.
Saya mengikuti petunjuknya tadi. Tidak sulit. Lewat tangga, di lantai dua saya melihat seorang anak berpakaian sekolah, seorang perempuan dan seorang bapak tua. Ada 10 kamar memanjang di bagian kiri tangga. Sebuah tempat sembahyang. Ruangannya lebih kurang 7 x 4 meter. Menakjubkan. Saya belum pernah lihat ada penginapan sederhana menyediakan tempat sembahyang begitu luas. Di sudut yang lain di bagian kanan ada dua kamar mandi.
Saya mengangguk dan permisi melewati mereka.
Saya masih harus melalui lorong sembari melihat pintu kamar. Nomor 5,4,3,2,1 di sebelah kanan lorong. Nomor 6,7,,8,9,10 di sebelah kiri. Kamar saya, No. 1 berada paling ujung berbatasan dengan teras. Ada jendela nako yang memungkinkan saya dapat melihat keluar. Tempat yang sangat memuaskan. Saya sangat menyukai posisi kamar itu. Saya langsung dapat melihat teluk Batu Ampar; melihat kapal yang lewat, anak-anak yang mengejar kelayang dengan sampan, atau orang yang melintas di dermaga.
Saya memasukkan kunci, membuka pintu. Tempat tidur besar. Kasus kapuk. Ada 3 bantal. Ada meja. Cermin. Kipas. Saya menyalakan kipas. Membuka sebagian isi tas. Lalu merebahkan badan.
Melalui jendela nako, saya lihat Fadhli muncul di teras. Saya menghampirinya. Berbasa basi. Fadhli adalah anak pemilik penginapan.
Lalu saya bertanya tentang Sungai Karawang.
“Jauh tu,” katanya.
Fadhli menceritakan untuk mencapai Sungai Karawang hanya bisa menggunakan angkutan sungai; motor air atau speed. “Kalau pakai speed, siang besok. Kalau pakai motor air, sore besok,”
Saya tercekat. Saya membayangkan Sungai Karawang yang jauh. Saya membayangkan waktu saya yang terbuang.
“Kalau sewa motor air?,”
“Bisa, ada taksi. Tapi mahal,”
Saya terkejut. “Ada taksi?,”
“Ya, itu taksi,” kata Fadhli menujuk motor air ukuran kecil. Bobotnya 3-4 ton beratap.
Ampun! Saya terperangah. Motor air disebut taksi. Seumur-umur baru kali ini jumpa istilah seperti itu.
Mengapa? Karena motor itu biasanya memang disewa orang, bisa diminta ke mana-mana; tetapi umumnya perjalanan pendek di sekitar Batu Ampar. Sebelum bisnis kayu gulung tikar, taksi ini melayani penumpang dari kamp perusahaan kayu di hulu Batu Ampar – Pasar Batu Ampar. Setiap jam selalu ada penumpang. “Sekarang ini sepi. Tidak ada penumpang,” kata Fadhli.
Menurut pengetahuan masyarakat, bisnis kayu di Batu Ampar mati sejak ada tim dari Jakarta. Tim ini tidak bisa diajak kompromi. Kayu-layu tidak bisa masuk. Suplai terhenti. Perusahaan tutup. Karyawan di-PHK. Orang yang bekerja di kamp kembali ke tempat asal, hengkang dari Batu Ampar.
“Jadi, kalau pakai taksi, kira-kira berapa?” saya bertanya lagi.
Fadhli tidak bisa menyebutnya.
“Apakah Rp 50 ribu?”
Fadhli diam.
“Rp 70 ribu?”
“Mahallah pokoknya,” Dia tidak bisa menyebut angka.
Saya tidak bisa mendesak.
“Kalau bisa Rp 70 ribu, saya mau pakai. Ada kenal?,”
Bersambung


0 komentar: