Selasa, 01 April 2008

Pesta Pertunangan Keluarga Tionghoa

Mbok Lena, kakak saya, memberikan sebuah undangan berwarna merah. Tulisan Cina. Ada nama saya: Yus/Istri, pada alamat undangan itu. Tulisan tangan.
“Pak Amat,” kata Mbok.



Saya menerimanya. Undangan itu menebarkan aroma wangi. Di bagian atas, di pojok kanan terdapat ‘amplop’ kecil. Isinya irisan buah pinang.
Di bagian pinggir undangan itu, terdapat gambaran lampion. Di bagian tengah terdapat gambar burung yang hinggap di pohon cinta berlambang hati. Pada lambang hati itu ada tulisan Cina. Begitu juga pada kiri dan kanan burung. Di bagian atas terdapat tulisan UNDANGAN.

Semua tulisan dan gambar itu menggunakan tinta warna emas.
Saya menyukai tampilan undangan ini.

Di dalam undangan ini tertulis: Bertunangan. Di bagian pertama semuanya menggunakan tulisan latin, berbahasa Indonesia. Sedangkan di bagian selanjutnya tulisan Cina. Saya tidak bisa membacanya. Saya buta kayu, kata orang Pontianak.
Ya, Dewi anak Pak Amat bertunangan. Saya kenal sedikit pada anak itu. Dia masih muda. Tamat SMA setahun lalu. Katanya, dia tidak mau melanjutkan sekolah. Lebih memilih kerja.

Lalu, ujung-ujung kawin.
“Pergi ndak?” Mbok bertanya.
“Pergi”.
Saya memutuskan pergi. Pak Amat kenalan baik kami. Kami adalah anaknya. Anak Pak Amat, Hin, menikah dengan adik saya. Pak Amat menerima, menyetujui dan merestui pernikahan itu. Bahkan, dia paling semangat.

Dia merelakan anaknya pindah agama, ikut agama kami. Muslim. Bahkan dia kerap kali menasehatkan anaknya: “Agama pilihan kamu sendiri. Kami tidak memaksa. Saya mendukung pilihan kamu. Kalau sudah masuk Islam kamu harus jadi orang Islam. Bukan cuma masuk Melayu. Kamu jangan bikin malu saya. Jangan tunjuk tidak punya malu,’ begitu Pak Amat menasehatkan anaknya. Di depan saya. Beberapa kali.
Yang menarik dari nasehat itu, agama bagi Pak Amat tidak sensitif. Yang sensitif adalah malu. Dia akan merasa malu kalau anaknya tidak dapat menunjukkan sikap sebagai orang Islam, karena pilihan masuk Islam adalah pilihan sendiri.
Yang juga menarik, Pak Amat membedakan masuk Islam dan masuk Melayu. Padahal selama ini kebanyakan orang menganggap sama saja. Masuk Islam berarti masuk Melayu. Masuk Islam harus taat, harus menjalankan kewajiban sebagai orang Islam. Kalau masuk Melayu tidak taat pun tidak apa.

Saya sempat terpukau dengan terminologinya itu.
Bahkan, suatu ketika Pak Amat sempat mengatakan pada saya, dia juga ingin masuk Islam. Namun, nanti. Sekarang tidak mungkin dia melakukan hal itu. Orang tuanya masih hidup. Sebagai anak lelaki tertua, dia harus melayani ayahnya dengan baik. Menurut Pak Amat, itulah tanda berbakti. Dia harus mempersiapkan konsoi –peti mati. Dia juga harus bersembahyang di depan peti mati itu, nanti, bila ayahnya meninggal. “Kalau masuk Islam ‘kan saya tidak bisa melakukan itu. Saya tidak bisa berbakti,” katanya berargumentasi.

Waktu itu saya terangguk mendengarnya. Saya tidak membantahnya. Yang saya pikir, mungkin adat orang Tionghoa begitu.

Pak Amat juga pernah meminta izin pada saya, dia ingin cucunya diberi nama marga, diberi nama Cin –begitu dia menyebut identitas Tionghoa. Saya menyerahkan pada dia. Hanya saya juga mengingatkan memberi nama Cin pada seseorang mesti ditimbang masak-masak. Ini bukan soal agama. Tetapi soal perlakuan sosial. Biasanya orang Tionghoa mendapat perlakuan khusus dari kelompok masyarakat lain, terutama kelompok yang memiliki otoritas. Orang Tionghoa tertentu menyebutnya ‘ada diskriminasi’.
Kemudian setelah lahir, cucunya tidak diberi nama Cina.

***

Hari itu, kami pergi setelah shalat Maghrib. Mbok Lena dan suaminya Mas Yanto bersama anak mereka. Saya pergi sendiri. Orang rumah sibuk. –Pak Amat pengecualian. Biasanya daripada pergi sendiri lebih baik tidak pergi.

Kami parkir motor di depan bangunan tempat perjamuan. Di pintu masuk saya melihat para penyambut tamu dengan jas. Ada Man, adiknya Pak Amat. Ada Hin, adik ipar saya. Model penyambutan begini sama seperti pesta perkawinan orang Melayu. Saya membandingkan hal itu karena sudah belasan tahun di Pontianak belum pernah saya pergi ke tempat orang Tionghoa kawin. Sesekali saya dapat undangan mereka, namun, saya enggan turun. Kagok. Soal makan kerap kali membuat saya risau. Jujur saja, ada rasa was-was.

Kami bersalaman mengucapkan selamat. Dan berbasa basi sekejap.
Lalu kami mengisi buku tamu yang terletak di sebelah kanan pintu masuk.
Dua anak gadis Pak Amat yang menjaga buku tamu. Mbok mengisi lebih dahulu. Lalu menyerahkan amplop. Saya menirunya.

Saya lihat di dekat meja ada tempat untuk memasukkan amplop.
“Ah kiranya sama juga dengan orang Melayu,” pikir saya.

Lalu kami dipersilakan menuju meja makan. Ada beberapa jenis makanan dihidangkan. Penjaga makanan adalah petugas khusus, kelihatannya orang Islam.
Saat kami memilih makanan, Man memberitahukan bahwa semua makanan boleh diambil kecuali satu. “Yang itu ada araknya,” kata Man.
Saya lega. Model seperti ini di luar bayangan saya. Justru saya yang merasa aneh karena tidak ada babi.
Saya memilih kentang dan sate.
Kami menuju meja makan.

Sambil makan saya menyimak suasana pesta pertunangan. Ada beberapa orang yang kami kenal. Ada beberapa orang yang memakai kerudung.
Yang bertunang nampak mesra di atas pelaminan.

Musik yang diperdengarkan malam itu membuat saya tersentak. Musik dangdut! Hanya sesekali lagi berbahasa Mandarin. Sayang saya tidak mencatat lagu-lagu rancak itu.
Adik saya yang datang kemudian ke meja kami memberitahukan:
“Memang begitulah,”

Maksudnya, pilihan lagu dangdut pada acara orang Tionghoa adalah sesuatu yang biasa. Tidak semua lagi berbahasa Mandarin.
Ada tiga puluh menit kami berada dalam ruangan. Mendengar musik dan melihat orang yang datang ke pesta itu.

Saya taksir, jumlah orang bukan Tionghoa yang datang jumlahnya mungkin separoh dari jumlah orang Tionghoa. Seperti kami, yang datang adalah relasi Pak Amat.
Saya kira, pesta ini sekaligus mencerminkan relasi sosial antara orang Tionghoa dan bukan Tionghoa di Pontianak.

Kesan eksklusif pada orang Tionghoa –di mata orang Melayu, menjadi agak musykil. Saya jadi bertanya-tanya mengapa?

Karena menurut anggapan saya, pasti bukan cuma pesta perjamuan yang dihelat keluarga Pak Amat yang seperti ini. Pasti adanya keluarga Tionghoa yang lain pernah melakukan itu. Mungkin banyak perjamuan orang Tionghoa di Kalbar yang mengundang orang-orang bukan Tionghoa. Dan pasti banyak orang Melayu atau orang lain yang sedia datang memenuhi undangan ini.

Pasti benar, bahwa sudah biasa dalam perjamuan ada hiburan dan salah satu lagu yang dipilih adalah lagu dangdut, lagu yang sering disebut musik irama Melayu. Lebih dari sekadar menghibur tamu Melayu yang datang pada acara perjamuan, mungkin banyak orang Tionghoa yang menyukai musik tanpa melihat batas ‘milik’ itu.
Pasti juga sudah biasa bagi orang Tionghoa menyediakan makanan yang ‘halal’ bagi orang Melayu.

Saya betul-betul merasa bertuah bisa menghadiri perjamuan ini. Terima kasih Pak Amat. Saya mendapatkan gambaran yang nyata mengenai relasi antar etnik dan budaya.







0 komentar: