Sabtu, 17 Mei 2008

Kini, Pengetahuan tentang Dayak Tidak Lagi Abu-abu

Yusriadi
Borneo Tribune, Pontianak

Kini, pengetahuan tentang Dayak di Kalbar tidak lagi abu-abu.
Itulah kesan yang saya ungkapkan saat mengomentari buku Mozaik Dayak, Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat, pada launching buku di Pontianak, Sabtu (17/5) kemarin.


Buku yang ditulis Sujarni Alloy, Albertus dan Chatarina Pancer Istiyani, diterbitkan Institut Dayakologi, didukung oleh Ford Foundation dan International Work Group for Indigenous Affairs (IWGIA) – Denmark ini memberikan gambaran yang sangat jelas mengenai Dayak di Kalbar.

Bagian-bagian dari buku ini mendeskripsikan subsuku Dayak yang ada di seluruh daerah di Kalimantan Barat. Gambaran tentang lokasi persebaran, sejarah, serti ciri setiap subsuku ini diberikan dengan memuaskan. Paling tidak, gambaran ini dapat menunjukkan nama subsuku dan di mana mereka berada.

Justru itu, di sinilah bedanya buku ini dibandingkan buku-buku tentang jumlah suku Dayak yang ada selama ini. Misalnya buku Tjilik Riwut berjudul Kalimantan Membangun (1979). Dalam buku ini disebutkan mengenai jumlah subsuku Dayak di Kalimantan Barat, tetapi, rinciannya tidak jelas. Bahkan ada beberapa bagian dari buku ini yang membingungkan. Dalam buku itu disebutkan ada 405 subsuku Dayak. Di mana subsuku itu tersebar, berapa jumlah di Kalimantan Barat? Bagaimana perbedaan antara satu dengan yang lain? Lalu, dia mendapatkan nama itu dari mana? Tidak jelas.

Buku lainnya, Borneo Wester-Afdeeling yang ditulis Enthoven (1903). Dalam buku ini ada 215 nama sub Dayak di seluruh Kalimantan Barat. Tetapi, tidak semua penjelasan diberikan untuk kelompok ini. Ada yang penjelasannya sangat lengkap, ada yang sangat terbatas. Sebagai contoh: tidak disebutkan nama Dayak Kanayatn, tidak ada juga nama Dayak Jelai, atau Dayak Jangkang.

***

Saya merasakan betul kesulitan selama ini. Pada saat saya mengajar matakuliah Etnologi di STAIN Pontianak, saya merasa janggal ketika bicara tentang Dayak. Karena buku-buku yang ada tidak memberikan gambaran yang menyeluruh tentang orang Dayak, jadi saya kerap kali gagap kalau sudah ditanya tentang hal-hal yang detil tentang subsuku Dayak. Jadi, pada akhirnya hanya bahan yang terbatas sajalah yang dipergunakan. Ujung-ujungnya saya mengatakan, belum ada informasi mengenai komunitas tertentu.

Begitu juga amat susah ketika saya harus memberikan gambaran yang sejajar mengenai budaya yang ada dalam setiap subsuku Dayak.
Selain itu, memahami orang Dayak dengan rumah panjang, manik-manik, tatoo, ukiran, dll., juga tidak semudah yang dibayangkan. Tidak semua komunitas Dayak tinggal di rumah panjang. Bahkan sekarang ini sedikit saja yang masih tinggal di rumah panjang. Rumah panjang orang Kanayatn misalnya, dapat dihitung dengan sebelah tangan, Begitu juga dengan rumah panjang orang Kantuk atau orang Bidayuh. Mungkin sekarang ini hanya orang Iban yang masih lekat dengan ciri ini.

Begitu juga kalau bicara tatto dan manik-manik. Dua ciri ini hampir tidak ada lagi yang benar-benar bagian dari keseharian orang Dayak. Karena itu, lalu saya mengatakan hal ini kepada mahasiswa, bahwa ciri ini sesungguhnya bukan ciri sehari-hari.

Sekarang, saya rasa sebagian dari kesulitan yang saya rasakan selama ini akan teratasi. Kalau bicara tentang Dayak, sudah ada buku utama. Sudah ada buku yang dapat menyajikan dengan detail nama-nama subsuku Dayak, di mana persebaran mereka. Dan juga ciri-ciri mereka. Beberapa di antaranya bisa diketahui sejarah dan budaya.
Oleh sebab itulah saya mengatakan buku ini memperjelas ilmu tentang Dayak di Kalbar. Membuat pengetahuan yang samar-samar menjadi terang.

Pendapat saya ini sama seperti pendapat Dedy Ari Asfar, MA peneliti dari Balai Bahasa Kalbar yang juga diminta memberikan komentar pada launching buku ini.



0 komentar: