Senin, 30 Juni 2008

Perjalanan ke Sungai Karawang, Batu Ampar (5)

Oleh: Yusriadi

Hari berikutnya saya melanjutkan pengumpulan data lapangan. Saya bertemu dengan beberapa orang di TR – sebutan untuk wilayah pemukiman di sini, dan mereka sangat membantu saya.

Ketika saya bertanya rumah ketua RT, mereka menunjukkan. Mereka juga membantu memberitahu letak rumah warga yang terpilih sebagai responden. Saya sangat terkesan dengan keramahan mereka secara umum.
Hanya, memang tidak semua berjalan mulus. Ada rumah responden yang harus saya datangi beberapa kali –sebab orang yang sedang dicari tidak ada di rumah. Beberapa di antarnya baru bisa saya jumpai pada kunjungan berikut.
Hari itu suasana di Karawang memang sepi. Maklum, saat itu musim ladang, atau sebagian orang pergi ke kebun mereka. Orang Sungai Karawang adalah orang-orang yang rajin.
Karena pilihan responden sudah ditetapkan berdasarkan rumus statistik, saya menunggu mereka.
Dan, pada akhirnya saya berhasil juga. Saya bisa mengambil data dari mereka.

***

Dari sekian banyak informan yang saya temui, ada dua tempat yang sangat mengesankan saya. Ada dua responden perempuan yang tidak bisa berbahasa Indonesia –atau bahasa Indonesianya sangat sedikit. Mereka melayani saya dengan bahasa Jawa. Saya mengingat jawaban “mbuh” yang saya tahu bermakna tidak, berkali-kali. Sesungguhnya saya agak kesulitan memahami apa yang mereka sampaikan secara tepat. Saya hanya bisa menebak –lebih tepatnya, pura-pura tahu dan mengerti apa yang mereka sampaikan.
Untung selama wawancara selalu ada orang lain –penduduk setempat yang menemani, sehingga sedikit banyak mereka menjadi penterjemah bahasa Jawa bagi saya.
“Ah, rupanya banyak orang yang belum benar-benar terbuka. Sesuatu yang pasti tidak dibayangkan oleh orang di Pontianak, oleh mereka para pengambil kebijakan,” bisik saya.
Tetapi malangnya, para pejabat kita tidak punya banyak waktu untuk memahami masyarakat seperti ini. Mereka terlalu sibuk.
Di ujung Sungai Karawang saya bertemu dengan sejumlah warga; saya bertanya di mana rumah ketua RT. Dua orang warga mengantarkan saya ke rumah ketua RT.
Di rumah ketua RT sedang berkumpul banyak orang. Ada acara nanti malam.
Pak RT menyambut kedatangan saya Dia cukup ramah. Warga yang ada di rumah tersebut sebelumnya juga ikut bergabung. Ruangan tidak cukup. Ada yang duduk di teras melihat melalui pintu dan jendela. Agaknya kedatangan orang baru merupakan sesuatu yang unik di sini.
“Di sini jarang dikunjungi orang luar,” kata seorang warga.
Jangankan orang jauh dari provinsi atau dari kabupaten, dari kecamatan pun tidak. Kunjungan ke kampong ini biasanya berhenti sampai di rumah kepala desa. RT ini terlalu jauh di ujung kampong dan pasti tidak penting.
Saya memberitahukan kedatangan saya. Dia membantu menyebutkan nama penduduk di RT-nya. Warga yang duduk di ruangan itu juga membantu. Saya merasa senang. Sekalipun sesekali mereka berdebat soal nama asli dan nama panggil. Ada juga perdebatan soal warga yang baru datang atau warga yang baru pindah.
Ketika sampai pada penentuan responden, saya menjadi sasaran perdebatan mereka. Setidaknya ada dua warga yang protes berat karena responden yang terpilih melalui rumus statistik itu adalah mereka yang menurut mereka tidak mengerti apa-apa. “Bagaimana penelitian ini. Kamu bertanya pada orang yang tidak mengerti politik,” kata seorang warga protes. Suaranya cukup keras.
Dia menceramahi saya soal ini. Seharusnya saya memilih orang yang mengerti politik. Cukup lama saya meyakinkan mereka soal metode pemilihan responden. Namun pada akhirnya mereka diam saja. Saya tahu mereka menyimpan rasa tidak puas. Tapi walau begitu mereka tetap membantu saya. Ikut mengantar saya ke rumah responden yang terpilih.

***

Tidak saja soal data yang saya butuhkan, mereka juga berharap saya membantu mereka. “Tolong sampaikan kepada pemerintah, kami perlu pekerjaan. Harus dibuka lapangan kerja,” pinta seorang warga.
Menurut mereka, lapangan kerja sangat sulit sekarang. Keadaan ekonomi sangat susah. Masyarakat terpaksa bekerja di luar kampong untuk mencari penghidupan. Banyak yang pergi ke luar negeri. Beberapa pemuda yang berkumpul di ruangan mengaku sudah pernah merantu. Mereka pulang sesekali.
“Saya baru pulang dari Malaysia,” katanya.
Tetapi yang aneh, meskipun mereka bekerja di luar namun aliran ekonomi ke kampong tidak seperti yang saya bayangkan. Seharusnya hidup mereka lebih makmur. Rumah mereka seharusnya lebih bagus. Kenyataannya, rumah penduduk di sini agak memprihatinkan.
Rumahnya umumnya terbuat dari papan. Sebagiannya dari bambu.
Jalan menuju ke rumah penduduk juga sangat sederhana. Saya harus ekstra hati-hati ketika melewati jalan ke rumah pak RT tadi. Untuk menyeberang parit seukuran 2 meter, dibuat dari bambu yang dianyam. Ukuran lebarnya cuma satu meter. Kalau diinjak, bambu itu berenjuk. Untung ada pegangan.
Saya tidak bisa membayangkan betapa sulitnya kehidupan di sini. Hebat orang di sini bisa bertahan, tidak pindah.
Seseorang memberikan penjelasan.
“Yang susah pengangkutan. Sungai hanyalah parit kecil yang tidak bisa dilalui motor air. Sedangkan jalan darat mungkin, tetapi tidak ada kendaraan roda empat. Ada uang pun percuma,” katanya.
Apakah harapan mereka kelak akan terpenuhi? Apakah janji politik yang diucapkan orang yang berniat menjadi calon pemimpin akan terpenuhi? Apakah masyarakat Sungai Karawang akan berhasil mencapai kemajuan, tunggu saja!
Habis.

0 komentar: