Rabu, 30 Juli 2008

Opini dari Tribune 1


Opini dari Tribune 1 adalah kumpulan artikel yang pernah diterbitkan di Harian Borneo Tribune, Pontianak, Kalimantan Barat. Tulisan-tulisan ini berkaitan aspek pendidik, pembangunan, politik dan sosial budaya di Kalimantan Barat. Informasi lebih lanjut dapat menghubungi Yusriadi dan Fahmi Ichwan di Redaksi Borneo Tribune.



Baca Selengkapnya...

Senin, 21 Juli 2008

Kota Pontianak Pada Abad ke-19

Yusriadi
Borneo Tribune, Pontianak

Matan 7 Juli 1895. Di kota kecil itu sebuah syair ditulis. Syair Pangeran Syarif (SPS). Syair ini menggambarkan situasi kota Pontianak pada masa Belanda.

Penduduk Pontianak

Gambaran tentang penduduk kota Pontianak dapat dilihat pada Bait 193 hingga 213. (1). Di kalangan orang Eropah yang menjadi penduduk Pontianak: (a.) Tentera dan pegawai sivil terdiri dari orang Belanda. (b.) Swasta terdiri dari orang-orang Belanda, Inggeris dan
Persman (Orang Belanda bahagian utara). Orang-orang Eropah pada waktu itu rapat hubungannya dengan pegawai-pegawai tentera dan sivil Belanda, juga bersahabat dengan sultan.
(2). Orang swasta Eropah ini mendirikan berbagai perusahaan perdagangan dan perniagaan, perusahaan membuat periuk dan papan. (3). Ada pula orang Eropah swasta yang makan gaji; dengan belayar kapal api, menjadi juru jentera atau pegawai dan nakhoda kapal. (4). Di kalangan orang Bugis pula, termasuk yang datang dari Wajo, dan orang yang datang dari Sumbawa; mereka tinggal di pesisir pantai, dan merekalah yang menguasai kebun ladang. (5). Orang Bugis tinggal berkelompok sesama mereka, membuat kampung dengan susunan perumahan yang berlapis-lapis: Bilangan mereka sangat banyak. Disebutkan mereka memenuhi jajahan laut, dan kalau terjadi perperangan, orang Bugis inilah yang lebih dulu berperang.
Di rawa-rawa yang asalnya tumbuh nipah, bakau, apiapi dan perepak, yang membentang dari Mempawah di barat laut hingga ke Padang Tikar di tenggara, semuanya sudah menjadi ladang kelapa orang Bugis.
Hasil kelapa dari orang Bugis ini disebutkan sangat banyak, dan ini juga jadi hasil pungutan cukai untuk sultan.
Sedangkan suku bangsa yang terdapat di Pontianak ketika itu, seperti tergambar dalam SPS antara lain: (a.) Jawa, yakni dari Betawi, Surabaya dan Plered. (b). Bali. (c). Madura, yakni dari Madura, Semenap dan Bawean
Dalam anotasi ini, istilah Melayu merujuk kepada nama bangsa yang lebih skope luas, yakni: Melayu dari Kalimantan sendiri seperti dari Banjarmasin, Banjar Negara, Banjar Tanggi, Martapura, Brunei, Sarawak, Sambas, Singkawang. Melayu yang datang dari Kepulauan Riau, yakni dari Tembelan, Jemaja, Bunguran, Siantan, Serasan, Kamboja, Daik, Lingga, Munto dan Belitung.
Melayu dari Sumatera , yakni Batu Bara, Siak, Bangkahulu, Padang, Deli, Kampar, Kuantan, Jambi, Palembang.
Melayu dari Malaya, yakni Pulau Pinang, Melaka, Johor, Singapura, Pahang, Terengganu, Petani, Kelantan. Melayu dari Indochina yaitu dari Kemboja. Melayu dari Sulawesi, yaitu dari Bugis, Makasar, Buton. Dari Nusantara, yakni Nusa Tenggara, Sumbawa
Orang asing yang ada di Pontianak ketika itu adalah dari Jazirah Arabia (Arab Hadralmaut), dari Afrika yakni Habsi dan Arab Walkiti (Mesir), dari India yakni Keling dan Surati.
Terdapat juga orang dari Eropah yakni dari Belanda dan Inggeris.

Taraf Hidup Penduduk Pontianak

Gambaran tentang taraf hidup orang Pontianak bisa dilihat pada Bait 214 hingga 229. Dikemukakan Arena Wati dari bait 214 hingga 222 dijelaskan interaksi antara penjual dan pembeli dalam perniagaan pakaian dan makanan yang terdapat di daratan dan kedua belah tebing sungai Pontianak. Para pedagang ini terdiri dari Islam dan kafir, terdiri dari orang yang setempat dan musafir. Di samping itu banyak yang berdagang tetapi lebih banyak lagi yang hidup sebagai kuli. Disebutkan juga banyak yang bekerja sendiri membuat berbagai jenis barang keperluan hidup sehari-hari untuk diperdagangkan.
Penjual barang menjajakan jualannya dari rumah ke rumah, termasuklah perhiasan emas perak dan batu-batu permata. Dalam hal ini penyair menyimpulkan tentang kepintaran penjual barang:

Ada Melayu Keling dan Cina
Terkadang jantan terkadang betina
Kalau tak mahir memandang warna
Adalah juga orang yang terkena. (Bait 222)

Dari bait 223 hingga 229 penulis SPS memberikan gambaran tentang keadaan perumahan penduduk. Rumah penduduk dibangun kokoh dan indah. Atap rumah terdiri dari atap sirap – kayu belian, dan seng. Jarang rumah penduduk di kota Pontianak yang beratap daun nipah. Jendela-jendela rumah sudah mula dibuat dari besi.
Model rumah juga sudah didesain dengan berbagai-bagai bentuk. Bahkan katanya sudah banyak meninggalkan bentuk tradisi Melayu.
Perabot rumah lengkap dan halaman rumah dihiasi pintu gerbang bentuk mahkota. Kursinya bertilam dengan dilapik renda bersulam.
Yang lebih kaya lagi, dalam kamarnya dilengkapi katil dan gets, dialas puadai yang menyenangkan mata.
Penulis SPS menangkap ada persiangan dalam melengkapi dan memperindah rumah masing-masing.
Menariknya, menurut penulis, yang mula-mula membangun rumah model baru ini ialah orang Melayu, lalu diikuti orang Cina. Pada akhirnya orang Cina lebih hebat lagi rumahnya kerana terus meniru bentuk Barat.
Dari bait 230 hingga 234 penyair menggambarkan tipologi rumah orang Cina. Katanya rumah sistem bangsal masyarakat Cina menurut keperluan hidup sistem kongsi dan taraf migran sudah dipandang hina oleh orang Cina generasi baru Pontianak; oleh sebab itu ramailah taukeh yang membangun rumah mereka dengan bentuk baru yang sesuai untuk mereka hidup satu keluarga sahaja.
Taukeh-taukeh muda membina rumah mereka menurut cara Belanda dengan dilengkapi perabot ala Barat.

Segala taukeh yang muda-muda
Rumah dibikin cara Olanda
Alat kelengkapan semuanya ada
Disuruh pandang dengan ayahnda
(Bait 231)


Persaingan dalam bentuk rumah modern ini juga telah menukar sikap sebagian tauke kaya terhadap tamu yang datang ke rumahnya: (i) Menurut tradisi Cina, tamu diterima dan hanya melihat sekitar ruang tamu. (ii). Sikap baru dari Barat telah mempengaruhi mereka, iaitu tamu diperlihatkan seluruh perabot dalam semua ruangan rumah dari pintu depan hingga ke pintu dapur. (iii) Orang kaya itu cenderung senang dipuji. Disebutkan tamu yang memuji rumah dan perabotnya, dijamu sebaik-baiknya dan diajak selalu datang berkunjung.
Perumahan orang Belanda lebih hebat lagi dibandingkan perumahan orang Melayu dan Cina.
Dari bait 235 hingga 237 diperlihatkan pula tentang model pakaian yang lagi ’trendy’ pada masa itu. Penyair melihatnya sebagai fenomena bertambahnya adat
adat baru ke dalam penghidupan:
a. Penyair hiba hati menyaksikan semakin hebatnya saingan terhadap pakaian tradisi, kerana kain baju sudah berubah, yang dikatakannya potongannya seperti gamis dan jubah.
b. Dalam hal ini orang tidak lagi memperdulikan taraf kasta dalam masyarakat, masing-masing sudah memakai jam saku tergantung di dada baju; dan kalau dilihat dari jauh, orang tak mengenalnya lagi entah Si Lamat atau entah Si Untung.
Dalam suasana demikian itu di Pontianak, kekuasaan dan kemampuan membolehkan apa saja yang diingini, bisa dinikmati.

Tidaklah dapat dipanjangkan peri
Dalam ayahnda duduk berdiri
Melihat adat aturan negeri
Limpah dan makmur sehari-hari
(Bait 238).

Kata Akhir

Dari gambaran singkat tentang keadaan kota Pontianak dan kehidupan masyarakat pada abad ke – 19, diperoleh gambaran tentang suasana yang metropolis. Pontianak ketika itu jelas menggambarkan sebuah kota yang maju, kota yang sangat terbuka. Kehidupan juga cukup rancak dengan dinamika sebagai sebuah kota metropolitan. Pontianak menjadi tempat berkumpul orang yang datang dari berbagai daerah.
Kekaguman seorang sultan Matan bisa dipahami sebagai orang yang baru datang di sebuah tempat yang baru. Dia tentu sangat peka terhadap apa-apa yang dia lihat dan apa yang dia alami.
Tentu juga harus dimaklumi bahwa gambaran yang diberikan belum tentu tepat dan merupakan representasi untuk mewakili wajah kota Pontianak di akhir abad ke-19 (tahun 1894). Maklum tulisan ini merupakan karya sastra. Bentuk karya yang kadang kala diragukan nilai faktanya.
Lukisan wajah Pontianak melalui syair masih harus dibandingkan dengan lukisan lain yang sezaman. Sebut misalnya deskripsi yang digambarkan oleh A. Niewenhuis, dokter Belanda yang mencatat perjalanannya saat melakukan ekspedisi dari Pontianak ke Samarinda yang juga dilakukan di tahun 1894. Dalam bukunya yang diterbitkan Gramedia tahun 1994 – memperingati 100 tahun ekpedisi itu gambar Pontianak juga dibuat seimbas lalu.


Baca Selengkapnya...

Jumat, 18 Juli 2008

Ketika Tribune Mendapat Penghargaan Media Terbaik


Oleh: Yusriadi


Kamis, sore, minggu lalu. Aku sedang di kantor, menghadap computer, menyelesaikan penulisan Tajuk Borneo Tribune untuk edisi Jumat.


Aku melihat monitor komputerku bergerak. Ada teleponku berbunyi. Ada panggilan. Dedy Ari Asfar,MA temanku, peneliti yang bekerja di Balai Bahasa Pontianak , Kalimantan Barat. Dedy juga teman satu almamater di Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA), Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM).

Aku menyambutnya.

“Bang, selamat!”

Aku mendengar suara Dedy. Seperti biasa, tegas. Tekanannya kuat, sekuat karakter orangnya.

Aku bingung.

“Selamat apanya?”

Aku tidak mengerti apa yang diselamati Dedy. Rasanya, tidak ada prestasi yang kucapai dalam pekan-pekan ini.

Oh, mungkin Dedy mengucapkan selamat karena teman kami, Muhlis Suhaeri menjadi finalis Mochtar Lubis Award untuk liputan investagasinya. Dalam berita Borneo Tribune kemarin memang disebutkan koran tempat aku bekerja itu meraih prestasi itu. Tapi, tidak tepat amat, sebab yang dapat penghargaan bukannya Koran Tribune, tetapi, Muhlis secara pribadi. Hanya kebetulan saja dia bekerja di Tribune, lalu Koran ini nebeng untungnya.

“Tribune meraih peringkat pertama media massa terbaik untuk penggunaan bahasa Indonesia ,” sahut Dedy.

“Benarlah?”

“Benar,”.

“Terima kasih,”

Aku mempercayainya. Tetapi aku tidak percaya kalau Tribune mampu meraih predikat itu untuk Kalbar. Masalahnya, ada Pontianak Post koran utama group Jawa Pos. Tahun lalu, koran ini meraih predikat pertama. Tribune tidak ikut karena pada masa itu, redaksi tidak sempat mengirim tulisan kepada Balai Bahasa, lembaga pemerintah yang menilai penggunaan bahasa Indonesia di media massa . Maklum saat itu kami sedang memulai, jadi banyak hal yang memerlukan perhatian. Atau mungkin saja kami belum biasa dengan irama kerja.

Tetapi, tahun ini kami mengirim koran ke Balai Bahasa Pontianak untuk mengikuti lomba bahasa Indonesia media massa .

Aku merasa takjub karena Pontianak Pos adalah koran nasional. Head line dan tajuk yang dimuat di koran ini –dan itu yang dinilai para juri, adalah made ini Jawa Pos, yang ditarik oleh redaksi di sini. Siapapun tahu, Jawa Pos adalah koran besar. Redaktur di sana adalah para professional yang pasti kemampuannya bak langit dengan bumi dibandingkan kami di Tribune. Tribune kecil. Yang membuat besar Tribune, mungkin karena kami merasa besar..

Jadi aneh sekali kalau kami bisa mengalahkan Koran sebesar Jawa Pos. Kami merasa tersanjung. Pasti.

“Yang menilainya dosen senior dari FKIP Untan,” Dedy memberitahuku lagi. Dia menekankan pada senior untuk menunjukkan bahwa para juri tidak usah diragukan kredibelitasnya. Para juri menilai dengan objektif.

Aku tidak meragukan lagi.

“Dosen senior FKIP, Untan,” bisikku. Siapa yang tak kenal reputasi FKIP Untan. Walaupun aku tidak mengenal dosen-dosen di sana , namun, reputasi ini pasti didukung oleh dosen-dosen itu. Aku cukup mengenal Dekan FKIP Untan, Dr. Aswandi. Beberapa pejabat di sana juga aku kenal. Dahulu ada AR Muzammil yang kemudian menjadi Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kalbar, ada Albert Rufinus, dosen sekaligus peneliti. Banyak lagi lainnya.

Beberapa hari kemudian aku kontak dengan Kepala Balai Bahasa Pontianak, Firman Susilo, M.Pd. Aku menyatakan terima kasih karena apresiasi Balai Bahasa terhadap Tribune. Dan, dalam komunikasi itu dia menyebutkan tiga nama dosen senior di FKIP yang menjadi penilai.

Suara Dedy terdengar lagi.

“Besok penghargaannya ya. Sudah dapat undangan ‘ kan ??,”

Aku berpaling pada H. Nur Iskandar, SP yang duduk di depan computer tidak jauh dari tempat dudukku.

“Nur, sudah ada undangannya?” aku bertanya. Aku memang biasa memanggilnya Nur atau Nur Is. Tidak bapak, atau abang. Maklum, umurku satu tahun lebih tua dari dia. Lagi, panggilan begitu bagiku menunjukkan lebih akrab dan natural.

“Sudah,” Nur Is, pimpinan kami di Borneo Tribune menjawab.

Aku menyampaikannya ke Dedy.

“Ya, sudah Ded,”

“Ok. Jumpa besok,”



***



Meraih penghargaan sebagai media berbahasa Indonesia terbaik –dibandingkan media lain. Jelas membanggakan kami. Banyak pihak yang memberikan apresiasi. Gubernur Cornelis, Wakil Gubernur Christiandy Sanjaya, dan Sekda Kalbar Syakirman mengucapkan selamat. Mereka pasang iklan. Pemerintah Kota Singkawang juga mengucapkan selamat.

Kami juga menerima ucapan selamat dari tokoh Tionghoa, FX Asali. Asali mengirim ucapan lewat email pada hari Minggu.

“Kita harus pasang logo prestasi itu. Ini prestasi yang cukup prestisius,” usulan itu meluncur saja di ruang redaksi hari itu, setelah aku menerima telefon Dedy.

Semua setuju.

Soalnya kemudian, berapa lama. Satu hari, satu minggu, satu bulan, atau berapa lama.

Nur Is kemudian memutuskan logo itu dipasang selama satu bulan. Ada yang memberikan pertimbangan lain.

“Kita jadikan ini sebagai social control,” tambahnya.

Maksudnya, dengan memasang logo ini biar awak redaksi merasa terus terkontrol untuk menjaga kualitas bahasa yang digunakan. Agar jangan salah-salah. Jadi, selain ada kesan bangga, juga ada misi lain dari pencantuman logo itu.

Bang Fakun, kepala bagian pracetak diminta membuat logo itu..

Dan, seperti yang terlihat pada edisi terbitan 15 Juli, logo itu muncul. Muncul dengan warna merah yang cukup mencolok, di pojok kiri atas Tribune, tepat menutup huruf e. Aku tidak bertanya mengapa Bang Fakun meletakkan logo itu di posisi itu. Mengapa menutup huruf e. Mengapa tidak di atas tulisan Borneo Tribune, mengapa tidak menutup huruf B.



***



Memang menjaga bahasa agar bahasa tetap terjaga tidak mudah.. Redaksi menghadapi beberapa masalah. Pertama, kemampuan berbahasa wartawan dan redaktur tidak terlalu istimewa. Ilmu tentang bahasa Indonesia masih kurang. Memang pernah belajar –mulai sekolah dasar hingga perguruan tinggi, tetapi, pelajaran bahasa Indonesia lewat begitu saja. Tidak dianggap penting. Sewaktu kuliah yang dipikirkan hanyalah bagaimana bisa lulus ujian matakuliah Bahasa Indonesia. Tidak ada awak redaksi yang secara khusus belajar bahasa Indonesia sebagai disiplin. Nur Is, dan Hairul Mikrad, lulusan Fakultas Pertanian Untan Pontianak. Tanto Yakobus, lulusan Fisipol Untan Pontianak, AA Mering lulusan Fakultas Hukum Untan Pontianak, Muhlis, lulusan Publisistik, Universitas Moestafa Beragama, Jakarta, dan aku, lulusan Linguistik, Universiti Kebangsaan Malaysia. Kemampuan bahasa Indonesiaku malah hampir tidak diakui: Dalam rapat Panitia Penerimaan Mahasiswa Baru STAIN Pontianak –kebetulan aku juga mengajar di sana, Pejabat STAIN menyerahkan tugas membuat soal tes bahasa Indonesia kepada Mariatul Kibtiyah – lulusan Bahasa Indonesia FKIP Untan, S-1. Menurut Pejabat itu, kemampuan Kibtiyah itu, di atas kemampuan aku. Malah pakku mengajar bahasa Indonesia juga pernah dipindahkan ke lulusan FKIP itu. Jadi, kami kemampuan berbahasa Indonesia awak di Tribune boleh dipukulrata sangat rendah.

Satu-satu yang kami lakukan untuk meningkatkan kemampuan bahasa adalah melalui pelatihan. Sewaktu merekrut wartawan Tribune gelombang pertama kami mengadakan pelatihan; selain pelatihan liputan juga pelatihan menulis. Include di situ menggunakan bahasa Indonesia.Ada kemajuan dari latihan itu. Paling tidak, wartawan menjadi ingat kembali apa yang sudah diketahui, dan perlahan tapi pasti mulai menerapkannya.

Pelatihan ini juga membuat redaktur belajar kembali biar nampak lebih menguasai materi dibandingkan peserta. Pelatihan ini membuat redaktur mulai agak sensitive terhadap penggunaan bahasa Indonesia .

Tetapi, masalahnya belum selesai. Bekerja di media adalah bekerja yang berlomba dengan waktu. Kami berpacu. Mengejar deadline. Pada awalnya deadline pukul 21.00 –sebenarnya formalnya 19.00. Lalu, deadlinenya berubah pukul 15.00, kadang molor sampai pukul 16.00.

Situasi ini membuat tegang. Ketegangan ini membuat kerja tidak maksimal. Perhatian kadang kala lebih terfokus pada isi, ketimbang bahasa. Huruf besar kecil, titik atau koma, pilihan kata, kadang-kadang tidak diperhatikan dengan lebih cermat. Itu di jajaran redaksi.

Di jajaran pra cetak, isu bahasa juga muncul. Bahkan kadang-kadang justru masalah terjadi pada bagian pracetak. Cara mereka menempatkan kata kadang kala hanya terfokus pada ruang dan artistik. Kalau ruang tidak memungkinkan pra cetak menempatkan judul pada satu baris, pra cetak harus menempatkan judul di baris berikutnya (baris kedua). Isunya adalah persambungan antara baris pertama dan kedua. Jika mengikut saja pada kemampuan computer, pemenggalan akan ikut pada pembagian jumlah karakter, tetapi, kalau pracettak mengerti bahasa Indonesia , penggalannya akan mengikuti kaedah bahasa Indonesia . Untunglah, dari 5 pracetak yang ada, 4 di antaranya – Bang Fakun, Bang Iwan, Sam Abu Bakar, Mbak Tika Ramadhani, dan Fahmi Ichwan pernah belajar pada Goergia Scott lay outer The New York Time. Mereka juga sudah pernah belajar dari Jhon Mohn, konsultan artistic Jawa Pos. asal Kanada. Jadi, kesadaran bahasa juga muncul seiring kesadaran tentang tata letak.



***



Tetapi, di balik hal teknis itu, secara teoritis, penggunaan bahasa Indonesia di media massa juga tidak mudah. Yang aku tahu, di kalangan para jurnalis ada aliran yang mengatakan ada bahasa Jurnalistik, bahasa yang berbeda dibandingkan bahasa lainnya. Bedanya, bahasa jurnalistik itu singkat, jelas dan padat.

Teori ini kerap kali digunakan oleh pekerja pers untuk membela diri ketika bahasa yang mereka gunakan dikritik. Termasuk oleh teman-teman di jajaran redaksi, dahulu. Ya, maklum, siapa sih yang mau disalahkan. Apalagi wartawan. Aku belum pernah lihat wartawan yang tidak ego.

Menurutku, teori ini justru menghambat penggunaan bahasa Indonesia di media. Teori ini juga membuat awak media tidak merasa cukup perlu belajar ‘lagi’ bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Dan ironinya, ada di antara ahli bahasa Indonesia yang menyetujui teori ini. Padahal mereka ingin ada peningkatan kemampuan berbahasa Indonesia .

Aku menilai begitu karena sejauh yang kulihat penjelasan teori bahasa jurnalistik sama saja dengan penjelasan tentang menulis yang baik dalam pelajaran bahasa Indonesia . Lihatlah teori-teori konstruksi kalimat, dll. Setiap pelajaran menulis dan penggunaan bahasa Indonesia pasti yang ditekankan adalah menggunakan bahasa yang jelas, singkat dan padat. Tidak boleh menggunakan bahasa yang ambigu, dll. Sangat umum.

Lagian, contoh bahasa media yang selalu ditampilkan adalah contoh-contoh bahasa yang jelas salah, yang orang media sendiri tertawa dengan kesalahan itu. Contoh yang diberikan dalam beberapa teori bahasa media adalah contoh yang tidak benar. Orang media yang mengerti bahasa lugas, tegas dan jelas, menghindari penggunaan bahasa media yang salah itu.

Aku pernah menyampaikan hal itu dengan narasumber nasional. Termasuk suatu ketika ketika ada nara sumber dalam pelatihan untuk redaktur yang diselenggarakan PWI Pusat.

“Itu pendapat saudara. Hak saudara untuk berpendapat begitu,” kata narasumber itu.

Aku hanya bisa mengangguk. Hak pribadi!

Ya, hak pribadi seperti itulah yang membuat kami, orang media tidak mau belajar. Kalau ada orang mengkritik bahasa yang kami gunakan, kami akan mengatakan:

“Itulah bahasa media. Anda tidak mengerti bahasa media,”

Lalu, kami tetap dengan bahasa kami. Kami mengubah dunia pikir masyarakat pembaca dengan bahasa kami. Terciptalah dunia nyata yang wujud berdasarkan kata-kata yang kami persembahkan. Tanpa, peduli benar atau salah.

Hingga kami pun tidak sadar pada tugas-tugas kami menjaga bahasa Indonesia .





Baca Selengkapnya...

Senin, 07 Juli 2008

Karya Yusriadi

Buku yang diterbitkan:

Orang Embau (Bersama Hermansyah, STAIN Press, 2003); Dialek Melayu Ulu Kapuas (Dewan Bahasa dan Pustaka, KL, 2007); Kalbar Kontemporer (STAIN Press, 2007); Kalbar Kontemporer 1 (STAIN Press, 2008).

Islam dan Etnisitas di Kalimantan Barat (Editor bersama Dedy Ari Asfar dan Hermansyah, 2005); Budaya Melayu di Kalimantan Barat (Editor bersama Dedy Ari Asfar dan Hermansyah, 2006); Dakwah Islam di Kalimantan Barat (Editor bersama Patmawati, STAIN Press 2006); Dayak Islam di Kalimantan Barat (Editor bersama Fahmi Ichwan, STAIN Press 2007); Kelompok Ibanik di Kalbar (Editor bersama Chong Shin dan Dedy Ari Asfar, STAIN Press 2007); Perjalanan ke Pedalaman Kalbar (Editor, STAIN Press 2007); Opini dari Tribune (Editor, STAIN Press 2007); Opini dari Tribune 1 (Editor, STAIN Press, 2008); Islam dan Etnisitas di Kalimantan Barat (Editor bersama Ambaryani, STAIN Press, 2008).




Baca Selengkapnya...