Kamis, 11 September 2008

Perjalanan ke Pulau Maya, KKU (2): “Inilah Pulau Maya”

Akhirnya sampan yang membawa penumpang terakhir merapat. Ada enam penumpang, ada dua motor. Proses pemunggahannya sama. Memakan waktu.

Setelah pemunggahan selesai, motor berangkat. Suaranya memekakkan telinga.
Saya melihat ke dalam lambung motor. Teman seperjalanan saya, Ismail Ruslan, Yapandi Ramli dan Bang Rustam, sudah tidur. Penumpang-penumpang lain juga lebih banyak tidur.
Saya beringsut mencari ruang di lambung motor. Pengin tidur juga. Mungkin lebih baik istirahat, karena siapa tahu ada ‘kesibukan lain’ di pulau yang membuat tidak bias istirahat. Pengalaman yang sudah-sudah, pergi ke tempat begini pasti lebih banyak sibuk dibandingkan rehat.
Lagian, saya pikir tidak ada pemandangan di laut yang bisa saya lihat.
Tidak ada juga teman ngobrol. Orang ogah ngobrol di motor karena suara motor yang menggelak itu. Kalau mau bicara, orang harus teriak-teriak macam Tarzan.
Alahai, tak sangguplah. Jadi, tidur adalah pilihan yang baik.

BERISIK sekali. Saya bangun dari tidur. Bunyi mesin motor air lebih kencang. Suara orang juga ramai. Motor air sudah hampir sampai di dermaga.
“Inilah Pulau Maya’,” kata Bang Rustam.
Motor maju mundur mencari posisi yang pas untuk merapat ke dermaga. Keadaan lebih sulit karena dermaga juga dangkal. Sedikit lagi, kapal akan kandas. Gerakan kapal menjadi lambat. Lambat sekali. Mungkin ada 30 menit motor air maju mudur.
Di atas, di dermaga kayu yang dibangun dari belian itu, sejumlah orang duduk menunggu motor merapat. Ada yang menunggu barang kiriman. Ada juga calon penumpang. Kapal hanya bersandar sebentar, setelah itu akan berangkat lagi, kembali ke Sukadana.
Ketika motor air sudah merapat dengan baik, saya dan kawan-kawan meloncat dan memanjat dermaga. Sawan juga meloncat memanjat dermaga yang tinggi. Kalau tidak hati-hati tentu bisa nahas. Membayangkan jatuh ke sungai dengan tas di punggung, rasanya … ih, seram.
Saya jadi teringat memanjat dermaga sambil membawa tas saat naik di dermaga Sungai Karawang, Batu Ampar beberapa waktu lalu. Keadaannya hampir sama. Susah sekali. Keselamatan penumpang tidak terlalu dipikirkan orang yang merancang pembangunan dermaga. Yang dipikirkan bagaimana kapal motor bisa sandar.
Sambil menunggu awak kapal memunggah sepeda motor di atas dermaga, saya memerhatikan keadaan sekeliling. Sebuah jembatan dari kayu belian memanjang menuju daratan. Di sebelah kanan terdapat beberapa toko, di antaranya milik orang Cina. Aa toko kelontong, kedai makan dan minum. Ada lorong di arah kanan, yang kiri kanannya rumah-rumah penduduk. Rumah penduduk di sini terbuat dari kayu.
Sedangkan di jalan utama menuju daratan, rumah penduduk hanya tinggal puing-puing. Terutama rumah yang berada di sebelah kiri jalan.
Tongkat dari batang nibung seukuran betis orang dewasa terpacak, terbaris. Bagian bawahnya nampak bekas termakan “gigi air” dan ‘kapang’. Di atasnya nampak arang, sisa-sisa kebakaran. Pada batang nibung bagian ujung yang mengarah ke daratan, di sela-selanya masih nampak pecahan kaca, kaleng-kaleng karatan, tumpukan abu dan arang yang mengeras. Saya lihat satu dua orang di antara tonggak-tonggak itu.
Ketara sekali bekas amukan api.

“PASAR ini terbakar tiga bulan lalu,” kata Bang Rustam, menjelaskan.
Ya, tiga bulan lalu, rumah di sini terbakar. 20 lebih keluarga kehilangan tempat tinggal.
O! Saya jadi ingat, itulah hal yang dibicarakan Bang Rustam dengan Nazril Hijar, pagi tadi, sewaktu kami singgah di Teluk Batang, sebelum sampai di Sukadana. Nazril adalah guru di Teluk Batang, alumni Fakultas Tarbiyah, IAIN Pontianak.
Saya hanya mendengar samar-samar soal kebakaran dan soal pemulihan pasca kejadian. Yang sempat saya dengar Nazril menyebutkan soal kesulitan masyarakat mendapatkan bahan bangunan. Tadi pagi saya tidak nimbrung, karena tidak tahu ujung pangkal cerita. Kini, baru saya nyambung.
Saya lihat satu dua orang di antara tonggak-tonggak itu. Mungkin mereka mencari barang di antara puing-puing, mana yang masih bisa digunakan, mana masih mungkin dimanfaatkan. Saya kira, di tengah pulau yang terpencil ini, apapun menjadi sangat berguna. Dan, biasanya orang di tempat seperti ini sangat kreatif.
Puing-puing itu memperlihatkan bayangan yang mengerikan. Ketara sekali bekas amukan api.
Kalau di kota Pontianak mungkin tidak akan terjadi kebakaran sedahsyat ini akibatnya. Selalu ada puing-puing yang tersisa dari amukan api, karena ada pemadam kebakaran yang turun tangan memusnahkan api. Namun, di sini, di tempat terpencil ini, tidak ada branwir. Tak ada alat pemadam kebakaran. Paling-paling mereka menangani api dengan ember.
Tapi, mana tahan! Ember tidak akan mampu menghadapi lidah api yang menjulur dari kayu kering. Dan, jadilah. Rumah-rumah penduduk pulau seperti yang saya lihat: arang dan abu.
Kejadian seperti ini mengingatkan saya pada kejadian di Jongkong Pasar, Kapuas Hulu tahun 1980-an. Waktu itu, saya melihat dengan cemas, ketika api menghanguskan bangunan pasar dan rumah-rumah di sekitarnya. Api menjalar cepat karena semua rumah penduduk dari bahan kayu. Angin membantu api bergerak dahsyat, tanpa dapat dicegah. Tidak ada alat untuk mencegah. Lidah api yang tinggi menjulang, dentuman dari ledakan drum berisi bensin, menjadi pemandangan mengerikan. Orang tidak berdaya. Hanya menangis, pasrah. Ada sedikit orang berusaha menyelamatkan isi rumah. Namun, paling hanya harta berharga yang kecil-kecil saja. Rumah-rumah panggung di atas sungai hanya tinggal tongkat yang ujung terpotong gigitan api. Sama seperti yang saya lihat di Pulau Maya, kini.

INILAH Pulau Maya.
Kami naik motor meninggalkan bekas amukan api. Saya naik sepeda motor dibonceng Ismail. Bang Rustam membonceng Yapandi.
Kami melalui jalan yang bersemen di tebing bukit kecil.
Saya melihat anak-anak mandi. Saya melihat ada orang yang menenteng ikan. Sejumlah orang duduk-duduk di depan rumah menyambut sore. Santai. Suasana yang asyik. Tenang dan damai.
Jalan bersemen hanya sedikit. Bersambung ke jalan beraspal. Jalan kecil. Sebuah dataran. Di kiri jalan ada lapangan bola. Ada sekolah. Kami berhenti di sebuah kios bensin di kanan jalan. Tanki sepeda motor diisi full. Satu liter harganya Rp 7500.
Seperti tadi, Bang Rustam, putra Pulau Maya’ menyapa orang yang ditemuinya. Mereka menggunakan bahasa Melayu, khas Pulau Maya’. Bahasa di sini berbeda dibandingkan bahasa Melayu Ketapang. Ada perbedaan kata, ada perbedaan tekanan. Saya menyimak percakapan mereka. Saya membuat catatan dalam hati. Bersambung.



0 komentar: