Jumat, 31 Oktober 2008

Surprise Sutarmidji

Oleh Yusriadi

Suprises. Ungkapan itu meluncur dari mulut Sutarmidji seperti dikutip Borneo Tribune kemarin (27/10) sesaat setelah melihat hasil perhitungan suara yang diperolehnya.



Saya kira kejutan sebenarnya yang dirasakan Sutarmidji bukan karena kemenangan itu. Kejutan sebenarnya terjadi karena Sutarmidji bisa menang tanpa harus masuk ke putaran kedua.
Masalahnya, sebelum tanggal 25 Oktober banyak ramalan, bahwa Pilwako Pontianak akan berlangsung dua putaran. Calon-calon yang bertarung cukup banyak, ada 7 calon, dan masing-masing memiliki kapasitas yang mungkin akan mendongkrak suara.
Pasangan Haitami - Deden, diramalkan akan mendapat dukungan di atas 20 %. Suara dasar yang dimiliki pasangan ini saja sudah mencapai 40 ribu. “Tinggal menambah sedikit saja, pasti sudah menang,” begitu prediksi.
Haitami, Deden dan tim sukses mereka sudah meyakini hal itu. Apalagi dalam jajak pendapat beberapa waktu lalu pasangan ini mendapat ‘tempat’ di hati rakyat kota.
Pasangan Oscar – Hartono (ObamA) juga sangat mungkin melaju. Sekalipun mereka bukan favorit. Orang meramalkan pasangan ini bisa menjadi kuda hitam. Oscar memiliki karisma tersendiri. “Dia ganteng. Enak dilihat. Bicaranya pun ok,” kata seorang pemilih perempuan.
Hartono juga politisi Tionghoa yang sudah punya nama dan jasa di kota Pontiana. Ketua Partai Demokrat Kota ini duduk sebagai anggota DPRD Kota Pontianak.
Selain itu, bergabungnya para politisi senior dan tokoh-tokoh dalam tim ini membuat orang punya harapan bahwa ObamA akan sukses mendapat dukungan masyarakat kota.
Dengan modal dasar ini, pasangan ini sangat mungkin melaju ke putaran berikutnya.
Pasangan Abduh – Thaha (Duta) juga diramalkan punya kans besar untuk menang. Dukungan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi modal utama mereka. Gerakan door to door kader PKS agar masyarakat kota memilih Duta sangat gencar. Walaupun mungkin tidak selalu berhasil, paling tidak ‘kampanye’ seperti ini akan mempengaruhi pertimbangan pemilih.
Harso dan Awaludin (Harkad) dianggap calon yang memiliki peluang paling besar dibandingkan calon lain. Sebagai satu-satunya calon yang beretnik Tionghoa, Harso akan membuat dukungan komunitas ini jadi padu. Jumlah orang Tionghoa di Pontianak diperkirakan 30-an per sen. (Ada yang menyebutnya 32 dan 36 per sen). Jika dukungan bulat, berarti Harso mendapat suara 30 per sen. Belum lagi ditambah jumlah orang bukan Tionghoa yang mendukung Awaludin. Karena itu amat wajar kalau pasangan ini sempat optimis menang dalam Pilwako ini. Orang menduga suara Tionghoa bulat karena belajar dari pengalaman Pilwako Singkawang saat orang Tionghoa dianggap ‘bulat’ mendukung Hasan Karman, dan dalam Pilkada Kalbar, saat orang Tionghoa dianggap bulat mendukung Cornelis – Christiandy Sanjaya. Christiandy adalah satu-satunya calon yang berasal dari komunitas Tionghoa.
Tetapi, Hersan juga tidak dipandang sebelah mata. Ketua DPRD Kota yang juga Ketua Golkar Kota Pontianak dianggap memiliki kans kuat. Mesin politik Golkar masih dianggap solid memberikan dukungan kepadanya. Jika pendukung Golkar Kota selama ini berpihak kepada Hersan, tokoh popular ini memiliki peluang yang sangat besar. Amunisinya juga kuat. Amunisi ini akan menggerakkan jentera politik Hersan.
Meskipun tidak terlalu diunggulkan, namun pasangan Sri Astuti – Eka Kurniawan juga sangat mungkin melaju. Melalui programnya Pendidikan Usia Dini (PAUD) dan PKK, pasangan Setia Kawan ini sudah memiliki jaringan. Belum lagi jika mesin politik PDIP –karena Eka adalah Ketua PDIP Kota, berjalan kencang. Kalau Buchary menggerakkan orang-orang yang selama ini loyal kepadanya, kekuatan pasangan ini juga akan bertambah.
Saya kira melihat peta kekuatan dan prediksinya, Sutarmidji seperti diakuinya sudah mempersiapkan Pilkada dalam dua putaran. Dan dia meramalkan kemenangannya dalam putaran kedua.

Tetapi, dalam perhitungan suara kemudian, ternyata Sutarmidji menang satu putaran. Perolehan angka dukungan melebihi 30 per sen. Inilah kejutan sesungguhnya Sutarmidji. Dan sebenarnya kejutan banyak pengamat. “Saya prediksikan 50 per sen pasti akan terjadi putaran kedua,” kata Jumadi, pengamat politik dari Untan Pontianak, seperti dimuat media.
Lalu, bagaimana Sutarmidji bisa menang hanya dalam satu putaran. Saya kira itu pertanyaan yang menarik.
Saya sendiri menduga kemenangan satu putaran terjadi karena menjelang pemilihan banyak orang berubah sikap. Orang yang semula mendukung calon tertentu, beralih pilihan mendukung Sutarmidji karena hasil survey terakhir yang sempat berhembus. Kabar angin menyebutkan survey terakhir Sutarmidji unggul. Ada juga kabar angin yang menyebutkan Harso yang unggul.
Kabar kemenangan Harso membuat sebagian pemilih yang beragama Islam khawatir. Pemilih rasional tertentu juga khawatir. Kekhawatiran sebagian pemilih Islam muncul karena Harso orang Tionghoa dan beragama Katolik. Sebagian umat Islam belum siap dipimpin oleh walikota yang beragama lain, karena mereka beranggapan merekalah yang lebih layak memimpin. Penilaian ini muncul karena jumlah penduduk yang beragama Islam di kota Pontianak mencercah angka 60-70 per sen.
Beberapa teman yang memberikan suara pada 25 Oktober itu, ketika saya tanyakan, siapa yang mereka pilih? Mereka mengatakan memilih calon yang menang.
“Siapa calon yang menang?”
“Sutarmidji”.
Padahal sebelumnya ada di antara mereka yang mendukung calon lain.
Saya rasa pasti bukan teman saya saja yang memberikan pilihan dengan alasan yang sama. Agaknya sikap pemilih seperti inilah yang membuat Sutarmidji, dan pengamat surprise.




Baca Selengkapnya...

Senin, 27 Oktober 2008

Siapa yang Akan Menjadi Walikota Pontianak?

Yusriadi
Borneo Tribune, Pontianak

Siapa yang akan terpilih menjadi walikota Pontianak? Siapa yang akan menang dalam pemungutan suara hari ini (Sabtu, 25/10/08)?


Pertanyaan ini terus menggelinding. Tema seputar siapa yang akan dipilih menjadi tema utama percakapan warga kota Pontianak kemarin.
Saya mendengar percakapan itu di rumah saudara. Di kantor. Di masjid. Juga di warung makan.
Analisanya macam-macam. Tidak bulat. Semua calon mendapat prediksi. Semua calon mungkin memang. Teori yang mendukung kemenangan juga unik-unik. Ada yang memilih karena calon itu satu agama. Ada yang mempertimbangkan karena calon itu satu suku. Ada yang memilih berdasarkan pertimbangan calon itu dari partai tertentu. Ada yang memilih calon berdasarkan ikatan keluarga, ada yang akan memilih calon karena hubungan personal dengannya selama ini baik. Calon ini suka memberikan bantuan kalau diajukan proposal, dll. Kelihatannya ikatan emosional dianggap lebih penting untuk menjadi modal dukungan bagi walikota Pontianak kelak.
Saya merasa lebih unik lagi, karena hampir tidak ada yang mengatakan memberikan dukungan terhadap calon karena program yang diusungnya baik. Pada hari terakhir, program tidak dianggap penting.
Saya sendiri menjadi gamang ketika mendengar berbagai pendapat itu.
Tetapi mau apa, beginilah kenyataan. Banyak masyarakat –bahkan masyarakat kelas menengah kota yang masih belum benar-benar memikirkan masa depan kota Pontianak. Masih banyak yang belum benar-benar peduli, pada siapa masa depan kota ini diletakkan.
Saya, jadi merenung sendiri, apakah cara berpikir saya yang salah? Apakah cara berpikir saya yang membuat saya menjadi gamang?

SAYA berpendapat, kalau para pemilih memikirkan masa depan kota Pontianak selayaknya mereka memikirkan beberapa hal. Pertama, program calon. Program penting dijadikan panduan untuk melihat apakah seorang calon itu memiliki sesuatu yang bisa dijanjikan. Kekuatan visi seorang kepala daerah pasti akan menjadi modal dia dalam membawa kota ini lebih maju.
Memang, pemilih juga harus hati-hati terhadap janji-janji itu. Karena kadangkala janji-janji itu bisa janji-janji kosong. Oleh sebab itu, setiap pemilih harus bisa menimbang apakah janji yang diucapkan calon itu masuk akal atau tidak. Janji yang tidak masuk akal mungkin hanya diucapkan sekadar ‘manis mulut berbisa’. Untuk menipu pemilih.
Kedua, track record calon. Seharusnya, hanya calon yang mempunyai record baiklah yang dipilih. Seharusnya hanya orang yang mempunyai masa lalu yang baiklah yang bisa dititipkan masa depan. Bisakah kita menitipkan masa depan untuk orang yang selama ini kita ragukan kejujurannya? Tentu tidak. Pasti kita hanya berani menitipkan sesuatu (hatta masa depan) terhadap orang yang kita percaya.
Memang adakalanya masa lalu harus dilupakan. Misalnya bagi orang yang sudah tobat, atau bagi mereka yang sudah insyaf. Namun, tentu saja harus hati-hati. Kalau tobatnya hanya menjelang pencalonan, tentu saja orang seperti ini tidak meyakinkan.
Pada akhirnya memang semua pilihan masa depan terletak pada kepercayaan. Kalau kita memang percaya, kalau hati kita yakin, kita bisa memberikan pilihan dengan baik. Tidak mungkin kita salah pilih hanya karena emosi dan pertimbangan materi.
Selamat memilih.




Baca Selengkapnya...

Selasa, 14 Oktober 2008

Awak Borneo Tribune Pontianak



BARENG-BARENG
Hampir seluruh awak Harian Borneo Tribune Pontianak yang bertugas di Pontianak berkumpul di kantor Redaksi Senin (13/10). 31 orang (termasuk saya), + 1 seorang pelajar dari Jerman, kumpul untuk foto bersama dengan baju dinas. Katanya, untuk keperluan dokumentasi. Meriah juga oiii.
FOTO ULA/BORNEO TRIBUNE




Baca Selengkapnya...

Senin, 13 Oktober 2008

Ketika Aku Membaca "Laskar Pelangi"

Oleh Yusriadi

Laskar Pelangi. Novel karya Andrea Hirata terpentang di depanku. Aku membaca buku itu halaman demi halaman.
Buku ini membuatku terkesima. Sungguh luar biasa! Aku mengagumi kemampuan penulisnya. Bukan saja kemampuannya mendeskripsikan latar belakang Pulau Belitung, tetapi juga kemampuannya menyusun rangkaian cerita sehingga membentuk “satu kisah” yang mudah diikuti.
Karya ini membuatku melamun panjang, dan malah bersambung-sambung: kasih Ikal, Lintang, Mahar, dkk – membawa aku ke kampung halaman di Riam Panjang, Kapuas Hulu (lk 700 kilometer dari Pontianak), pada masa kecil sekitar 30 tahun lalu.





Kisah ini mengingatkanku pada betapa enjoynya menikmati masa kecil. Mungkin aku seperti salah satu dari mereka itu.
Kini, masa kecil itu telah pergi. Aku menjadi orang tua sekarang. Aku tidak mungkin kembali pada masa itu lagi. Aku hanya bisa mengingat.
Dadaku terasa bergemuruh dan bergejolak ketika mengingat masa kecil itu.
Lalu, tiba-tiba muncul tekad: aku juga ingin menulis pengalaman masa kecil, seperti Andrea Hirata menulis kisah anak-anak Belitung.
Aku ingin mendeskripsikan pengalaman kami mandi di “kolam ikan” di depan sekolah dasar Riam Panjang – kami lebih sering mendengar orang menyebut sebagai “kolam katak” karena ikan yang diharapkan tidak pernah dilepas di kolam cetek dan keruh ini.
Kami bermain bola kaki di kala airnya dangkal. Kami “bermain polo” ketika airnya dalam di musim banjir. Kadang kala, bila kami bosan, kami bermain gusti – gulat setengah tinju.
Aku mengingat pengalaman main seluncur di lereng “mungguk” –gunung kecil, di kebun karet di belakang sekolah kami. Seluncuran yang dipakai adalah pelepah kelapa yang sudah tua. Pelepah itu dipotong. Bagian ujungnya dibuang. Kami menggunakan bagian pangkal yang ada semacam kepala. Kami membuat tempat duduk dari papan pada bagian ujung yang tersisa dan tempat pijakan dari kayu pada bagian yang pangkalnya.
Kami menggunakan seluncuran itu, meluncur dari ketinggian. Kami membuat sirkuit untuk lomba sepanjang puncak mungguk hingga ke tepi sungai kecil. Lalu kami berpacu, seakan naik kuda. Kami selalu terobsesi oleh tokoh-tokoh hero dalam film koboi yang kami tonton pada malam hari. Kami berlomba, siapa yang paling cepat sampai ke bawah. Siapa di antara kami yang menang akan bersorak gembira. Tidak ada hadiah.
Setelah sampai di bawah kami memanggul pelepah itu mendaki hingga ke puncak mungguk. Lalu kami meluncur lagi. Begitulah seterusnya. Tidak ada kata capek. Kadang kala kaki kami tertusuk kayu. Kadang kala ada di antara kami yang terpeleset waktu meluncur. Luka kecil tidak pernah membuat kami jera. Satu-satu yang membuat kami cemas adalah pemilik kebun yang marah. Pemilik marah karena bekas seluncuran kami melukai akar-akar getah. Getah jadi tidak produktif. Kadang kala ada teman kami yang gatal tangannya memindahkan tempurung atau ngkiung (bambu) tempat menampung air getah. Pemilik kebun kadang-kadang kelabakan mencari penampung getah saat dia menyadap pada pagi hari.
Orang tua kami kadang juga marah jika melihat pakaian kami sobek setelah meluncur. Tetapi, kemarahan orang tua tidak cukup membuat kami berhenti bermain.
Saya juga mengingat ketika saya hari-hari kami menjalani puasa Ramadan. Kami harus berpuasa. Saya ingat pernah kebuluran: Ceritanya saya ikut paman memancing ikan seluang. Perjalanan kami jauh. Sepanjang siang. Nah ketika kembali, saya sudah tidak mampu lagi. Saya terpaksa digendong.
Kami terpaksa bangun sahur sekalipun sangat mengantuk. Tetapi kami sangat senang menyambut datangnya bulan puasa itu. Makanannya pasti istimewa. Orang tua kami selalu membuat kue-kue untuk berbuka puasa. Sekalipun makan yang dibuat tidak lain dari juadah pisang, jumput pisang (pisang yang dilumat dicampur gandum, lalu digoreng), bubur pisang atau bubur gandum, limpin ayak (terbuat dari tepung beras), namun, makanan-makanan itu sangat istimewa. Kami orang kampung, di kampung yang terpencil dan miskin tidak mengenal banyak kue. Kue dari kota yang kami kenal mungkin hanya kebeng (biskuit).
Kami juga senang kalau bulan puasa kami bisa memainkan bedug pada sore hari dan malam. Kami mencari damar tengkawang dan membakarnya di depan rumah kami. Ketika semua anak membakar damar, jalan di depan rumah kami menjadi terang benderang. Bagi kami itu adalah pemandangan yang indah.
Kami merasa senang melewati deret api saat pergi shalat taraweh. Satu-satunya yang membuat kami jerih membakar damar adalah ketika sering kali kulit-kulit kami melepuh, terpercik api dari damar.
Banyak lagi kenangan masa kecil yang bergelayut di depan mata saya –saat menyaksikan pernikahan, saat berada di sekolah, saat menghabiskan malam dengan “begisah” – bercerita, saat bermain ‘hanyut’ di Sungai Pengkadan kala banjir dan bermain perahu saat kemarau, saat kami mencari buah durian dan asam kemantan, di malam hari hingga pagi menjelang, saat kami menyaksikan pertandingan sepak bola pada acara keramaian, saat kami pertama kali menonton TV hitam putih milik kakek Ungkul. Saat kami menunggu cerita “Film Bergambar” di TV Malaysia.
Membaca Laskar Pelangi juga mengingatkanku pada kedatangan Ir. Bahtiar Sirait dari Departemen Pekerjaan Umum Jakarta –beberapa tahun lalu dia menjadi staf ahli Menteri PU, yang merintis jalan Lintas Selatan. Lalu beberapa tahun kemudian alat-alat berat seperti “kepiting”, “ssendok”, “doser”, “pelinas” (stomball) datang membongkar hutan dan bukit-bukit kecil. Lalu, jalan lempang terbangun seluas lapangan bola, sepanjang mata memandang. Sepeda motor dan truk pun masuk. Orang-orang luar datang. Kehidupan pun jadi berubah. Budaya ikut berubah. Aku mengingat beberapa perubahan itu.
Aku terobsesi untuk menulis semua itu.
Aku sudah memulai. Namun, nasib. Tulisan itu belum jadi-jadi. Sampai beberapa bulan tidak disentuh.
“Ketertundaan ini” memberikanku pelajaran. Ternyata untuk berkarya memerlukan konsistensi. Menulis dan menghasilkan karya besar perlu kesabaran. Banyak tantangan. Banyak hambatan.
Menilus, tidak cukup dengan ‘bahan yang kaya’, fasilitas yang lengkap –komputer, dll. Tidak cukup juga dengan bekal kemampuan merangkai kata dan menyusun kalimat. Ada bahan lain yang diperlukan. Ya, itu tadi, kesabaran berkarya.






Baca Selengkapnya...

Jumat, 10 Oktober 2008

Deden - Calon Wakil Walikota Pontianak: 50% GAJI UNTUK BEASISWA

Yusriadi
Borneo Tribune, Pontianak

“Pendidikan sekarang ini kurang mendapatkan perhatian. Kita melihat anak-anak miskin tidak mendapat pendidikan yang lebih baik”.


Itulah kata yang diucapkan Bang Deden –sapaan untuk Gusti Hardiansyah, calon wakil walikota Pontianak, saat saya mengajaknya bicara mengenai niatnya mengalokasikan 50% dari gajinya kelak, jika terpilih.
Saya mengetahui niat itu dari koran (Borneo Tribune, 1/10/08). Saya kira idenya spektakuler. Saya jadi teringat pada Bang Ifan – Fanshurullah Asa, MT, anggota DPR RI dari PAN yang memberikan beasiswa untuk anak-anak Kalbar. Bang Ifan sendiri mengalokasikan separoh dari gajinya untuk itu. Saya tahu beberapa anak sudah mendapatkan kucuran dana beasiswa Bang Ifan. Saya sangat apresiatif terhadap hal ini.
Jadi, tentu saja saya juga sangat antusias ketika mendengar rencana Bang Deden yang ingin membagi pendapatannya untuk anak-anak berprestasi dari keluarga tidak mampu.
Karena itu ketika Bang Deden bertandang ke redaksi Borneo Tribune Senin (6/10/2008) kemarin, saya langsung bingkas. Saya harus mewancarainya.
Bang Deden melayani wawancara saya dengan serius. Seperti seriusnya bahan percakapan kami.
“Pemerintah memang sudah membuat keputusan untuk mengalokasikan 20 % dari angaran pendapatan dan belanja Negara untuk pendidikan, namun, wacana itu belum terealisasi. Kita perlu melakukan sesuatu,” kata Gusti lagi.
Nadanya kedengaran sangat mantap ketika mengucapkan kata “kita perlu melakukan sesuatu”. Meyakinkan.
Saya mengiyakan pendapatnya.
Saya kira komentarnya bukan basa basi. Dia bukan sekadar menjual janji, atau melemparkan kritik agar menjadi pusat perhatian publik.
Tidak perlu diungkapkan lagi data tentang kondisi pendidikan kita di Kalbar, atau di Pontianak. Orang umum sudah tahu: setiap tahun ajaran baru orang selalu ribut karena biaya sekolah. Orang ribut mencari uang untuk daftar anak, untuk beli pakaian sekolah, dan untuk beli buku.
Orang tua kerap kali cemas memilih pendidikan yang baik untuk anaknya, karena pendidikan yang baik terbatas, dan kadang kala hanya bisa dinikmati kelompok ekonomi tertentu.
“Pendidikan kita selama ini tidak berpihak pada orang yang tak mampu,” tegasnya.
Masalah pendidikan bertambah-tambah kalau soal pemerataan guru, sarana belajar, perpustakaan, laboratorium sekolah, dll. Orang tahu betapa rata-rata tingkat pendidikan orang daerah ini masih sangat rendah.

***


Bang Deden sendiri memang tidak pernah mengalami kesulitan mendapatkan pendidikan yang baik. Ayahnya, H Gusti Machmud Hamid, bekerja di Kejaksaan. Sebagai pegawai negeri, orang tuanya memiliki pendapatan yang cukup untuk membiayai sekolah Deden.
“Saya… Alhamdulillah termasuk insan yang beruntung,” katanya.
Deden mengenyam pendidikan dasar di SD 26 Pontianak. Lalu dia melanjutkan pendidikan di SMP 1 Pontianak, seterusnya dia bersekolah di SMA 1 Pontianak. Dua sekolah menengah ini adalah sekolah favorit yang karena banyak peminat membuat seleksi sangat ketat.
Setelah SMA, Deden melanjutkan pendidikan S-1 di Fakultas Pertanian Untan Pontianak.
Pada dia mendapatkan beasiswa dari USIAD untuk program S-2 Ekonomi Kehutanan di Washington State University, USA.
Saat ini dia sedang menyelesaikan pendidikan S-3 di Institut Pertanian Bogor. Dedhen melakukan penelitian tentang: Model konservasi karbon hutan tanaman meranti. Penulisan disertasinya sudah rampung.
“Insya Allah Desember ujian,” katanya.
Prestasi Deden di bidang akademik lain juga sangat meyakinkan bahwa baginya pendidikan bukan sekadar memburu gelar. Deden menulis beberapa buku. Evaluasi Penerapan Ril di HPH Guna Meningkatkan Pemanenan Kayu yang Ramah Lingkungan (2000). Membangun Hutan Tanaman Meranti: Membedah Mytos Kegagalan, Melanggengkan Tradisi Pengusahaan Hutan (2005). Bunga Rampai: Membangun Kalimantan Barat Berilmu, Bermartabat, Santun dan Berkepribadian (2006).
Pengalaman dan karya nyata ini meyakinkan saya, kalau Deden tidak sekadar bunyi saat bicara tentang pendidikan.

***

Menurut Deden, kurangnya perhatian terhadap pendidikan tidak boleh dibiarkan. Pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah.
Karena itu, jika dia kelak terpilih sebagai walikota dia akan memikul tanggung jawab itu, untuk memulai perubahan. Bagaimanapun ada prinsip bahwa untuk memulai perubahan itu harus dari diri sendiri, baru kemudian mengajak orang lain.
“Saya ingin memulai perubahan itu dari diri sendiri,” tegasnya. Ada beberapa kali dia menekankan hal itu. Orang yang di depan, Pemimpin, memberi contoh.
Lalu, muncullah nazarnya: Jika kelak terpilih sebagai wakil walikota Pontianak, dia akan menginfaqkan 50 % dari gajinya untuk beasiswa pendidikan anak berprestasi dari kalangan tidak mampu.
“Saya kira jumlah walaupun tidak besar, tetapi pasti akan cukup membantu anak-anak berprestasi itu,” katanya.
Selain itu, untuk menambah jumlah dana yang bisa disalurkan untuk anak-anak itu, Deden mengatakan dia akan mencari mitra, yaitu kalangan dermawan yang juga memiliki perhatian pada bidang pendidikan.
Dosen Untan ini wanti-wanti mengingatkan bahwa gagasan yang dia lontarkan bukan gagasan lepas. “Saya sudah lama memikirkan hal itu,” katanya.
Oleh sebab itu dia pun sudah merencanakan mendirikan semacam yayasan atau lembaga untuk mengelola keuangan ini dengan lebih baik. Pengelolaan akan dilakukan dengan professional dan transparan, agar kepercayaan bisa tumbuh.



Baca Selengkapnya...