Senin, 13 Oktober 2008

Ketika Aku Membaca "Laskar Pelangi"

Oleh Yusriadi

Laskar Pelangi. Novel karya Andrea Hirata terpentang di depanku. Aku membaca buku itu halaman demi halaman.
Buku ini membuatku terkesima. Sungguh luar biasa! Aku mengagumi kemampuan penulisnya. Bukan saja kemampuannya mendeskripsikan latar belakang Pulau Belitung, tetapi juga kemampuannya menyusun rangkaian cerita sehingga membentuk “satu kisah” yang mudah diikuti.
Karya ini membuatku melamun panjang, dan malah bersambung-sambung: kasih Ikal, Lintang, Mahar, dkk – membawa aku ke kampung halaman di Riam Panjang, Kapuas Hulu (lk 700 kilometer dari Pontianak), pada masa kecil sekitar 30 tahun lalu.





Kisah ini mengingatkanku pada betapa enjoynya menikmati masa kecil. Mungkin aku seperti salah satu dari mereka itu.
Kini, masa kecil itu telah pergi. Aku menjadi orang tua sekarang. Aku tidak mungkin kembali pada masa itu lagi. Aku hanya bisa mengingat.
Dadaku terasa bergemuruh dan bergejolak ketika mengingat masa kecil itu.
Lalu, tiba-tiba muncul tekad: aku juga ingin menulis pengalaman masa kecil, seperti Andrea Hirata menulis kisah anak-anak Belitung.
Aku ingin mendeskripsikan pengalaman kami mandi di “kolam ikan” di depan sekolah dasar Riam Panjang – kami lebih sering mendengar orang menyebut sebagai “kolam katak” karena ikan yang diharapkan tidak pernah dilepas di kolam cetek dan keruh ini.
Kami bermain bola kaki di kala airnya dangkal. Kami “bermain polo” ketika airnya dalam di musim banjir. Kadang kala, bila kami bosan, kami bermain gusti – gulat setengah tinju.
Aku mengingat pengalaman main seluncur di lereng “mungguk” –gunung kecil, di kebun karet di belakang sekolah kami. Seluncuran yang dipakai adalah pelepah kelapa yang sudah tua. Pelepah itu dipotong. Bagian ujungnya dibuang. Kami menggunakan bagian pangkal yang ada semacam kepala. Kami membuat tempat duduk dari papan pada bagian ujung yang tersisa dan tempat pijakan dari kayu pada bagian yang pangkalnya.
Kami menggunakan seluncuran itu, meluncur dari ketinggian. Kami membuat sirkuit untuk lomba sepanjang puncak mungguk hingga ke tepi sungai kecil. Lalu kami berpacu, seakan naik kuda. Kami selalu terobsesi oleh tokoh-tokoh hero dalam film koboi yang kami tonton pada malam hari. Kami berlomba, siapa yang paling cepat sampai ke bawah. Siapa di antara kami yang menang akan bersorak gembira. Tidak ada hadiah.
Setelah sampai di bawah kami memanggul pelepah itu mendaki hingga ke puncak mungguk. Lalu kami meluncur lagi. Begitulah seterusnya. Tidak ada kata capek. Kadang kala kaki kami tertusuk kayu. Kadang kala ada di antara kami yang terpeleset waktu meluncur. Luka kecil tidak pernah membuat kami jera. Satu-satu yang membuat kami cemas adalah pemilik kebun yang marah. Pemilik marah karena bekas seluncuran kami melukai akar-akar getah. Getah jadi tidak produktif. Kadang kala ada teman kami yang gatal tangannya memindahkan tempurung atau ngkiung (bambu) tempat menampung air getah. Pemilik kebun kadang-kadang kelabakan mencari penampung getah saat dia menyadap pada pagi hari.
Orang tua kami kadang juga marah jika melihat pakaian kami sobek setelah meluncur. Tetapi, kemarahan orang tua tidak cukup membuat kami berhenti bermain.
Saya juga mengingat ketika saya hari-hari kami menjalani puasa Ramadan. Kami harus berpuasa. Saya ingat pernah kebuluran: Ceritanya saya ikut paman memancing ikan seluang. Perjalanan kami jauh. Sepanjang siang. Nah ketika kembali, saya sudah tidak mampu lagi. Saya terpaksa digendong.
Kami terpaksa bangun sahur sekalipun sangat mengantuk. Tetapi kami sangat senang menyambut datangnya bulan puasa itu. Makanannya pasti istimewa. Orang tua kami selalu membuat kue-kue untuk berbuka puasa. Sekalipun makan yang dibuat tidak lain dari juadah pisang, jumput pisang (pisang yang dilumat dicampur gandum, lalu digoreng), bubur pisang atau bubur gandum, limpin ayak (terbuat dari tepung beras), namun, makanan-makanan itu sangat istimewa. Kami orang kampung, di kampung yang terpencil dan miskin tidak mengenal banyak kue. Kue dari kota yang kami kenal mungkin hanya kebeng (biskuit).
Kami juga senang kalau bulan puasa kami bisa memainkan bedug pada sore hari dan malam. Kami mencari damar tengkawang dan membakarnya di depan rumah kami. Ketika semua anak membakar damar, jalan di depan rumah kami menjadi terang benderang. Bagi kami itu adalah pemandangan yang indah.
Kami merasa senang melewati deret api saat pergi shalat taraweh. Satu-satunya yang membuat kami jerih membakar damar adalah ketika sering kali kulit-kulit kami melepuh, terpercik api dari damar.
Banyak lagi kenangan masa kecil yang bergelayut di depan mata saya –saat menyaksikan pernikahan, saat berada di sekolah, saat menghabiskan malam dengan “begisah” – bercerita, saat bermain ‘hanyut’ di Sungai Pengkadan kala banjir dan bermain perahu saat kemarau, saat kami mencari buah durian dan asam kemantan, di malam hari hingga pagi menjelang, saat kami menyaksikan pertandingan sepak bola pada acara keramaian, saat kami pertama kali menonton TV hitam putih milik kakek Ungkul. Saat kami menunggu cerita “Film Bergambar” di TV Malaysia.
Membaca Laskar Pelangi juga mengingatkanku pada kedatangan Ir. Bahtiar Sirait dari Departemen Pekerjaan Umum Jakarta –beberapa tahun lalu dia menjadi staf ahli Menteri PU, yang merintis jalan Lintas Selatan. Lalu beberapa tahun kemudian alat-alat berat seperti “kepiting”, “ssendok”, “doser”, “pelinas” (stomball) datang membongkar hutan dan bukit-bukit kecil. Lalu, jalan lempang terbangun seluas lapangan bola, sepanjang mata memandang. Sepeda motor dan truk pun masuk. Orang-orang luar datang. Kehidupan pun jadi berubah. Budaya ikut berubah. Aku mengingat beberapa perubahan itu.
Aku terobsesi untuk menulis semua itu.
Aku sudah memulai. Namun, nasib. Tulisan itu belum jadi-jadi. Sampai beberapa bulan tidak disentuh.
“Ketertundaan ini” memberikanku pelajaran. Ternyata untuk berkarya memerlukan konsistensi. Menulis dan menghasilkan karya besar perlu kesabaran. Banyak tantangan. Banyak hambatan.
Menilus, tidak cukup dengan ‘bahan yang kaya’, fasilitas yang lengkap –komputer, dll. Tidak cukup juga dengan bekal kemampuan merangkai kata dan menyusun kalimat. Ada bahan lain yang diperlukan. Ya, itu tadi, kesabaran berkarya.






0 komentar: