Senin, 17 November 2008

Merintis Jalan Keabadian: Narative Reporting di Pontianak

Oleh: Yusriadi

Hari itu, lebih kurang dua minggu lalu. Nur Is memberitahu, ada pelatihan Narative Reporting yang akan diselenggarakan di Pontianak. Kerjasama dengan Yayasan Pantau. Mas Andreas datang.
“Bang Yus didaftarkan. Ada Bang Wito. Ada Mbak Dwi,”


Bang Wito adalah panggilan untuk WW. Suwito, Direktur Utama Borneo Tribune Pontianak. Dia adalah pengacara terkenal di Pontianak. Sedangkan Mbak Dwi, dia adalah ketua Yayasan Tribune Institut.
Aku mengangguk.
Pelatihan di Pontianak. Aku ada waktu. Aku bisa ikut pelatihan itu.
Tentu kesempatan seperti ini sangat berharga. Apalagi yang datang melatih ada Mas Andreas. Maestro Je-es, begitu kawan-kawan mengatakan. Pelatih yang dikenal. Kawan-kawan di Borneo Tribune, menganggap Andreas guru, mahaguru mereka. Pandangan Andreas kerap dirujuk. Wajah Borneo Tribune seperti sekarang sedikit banyak karena Andreas. Jasa dia terhadap Borneo Tribune hari ini tak ternilai.
Lebih tidak ternilai lagi semangat yang diberikannya untuk kami semua.
Secara khusus aku mendengar nama Andreas disebut kawan-kawan sejak masih di Equator sejak dahulu. Waktu itu Sapariah Nur Is, dkk sering menyebut nama itu.
Mereka sudah mengikuti pelatihan di sana sejak lama. Aku berkenalan dengan Mas Andreas sewaktu dia ke Pontianak melamar Sapariah.

AKU sudah ditawarkan untuk ikut pelatihan di Jakarta. Namun, kesibukanku membuat aku berpikir panjang sebelum ikut ke sana. Maklum sekali pergi pelatihan waktunya sekitar 3 minggu.
Sampai akhir aku di Equator, jalan ke sana tidak sampai.
Kemudian, saat kami membangun Borneo Tribune, kesempatan pergi muncul lagi. Nur Is merekomendasikan aku pergi. Sudah didaftar.
Namun, kali ini aku pun maju mundur. Pergi. Tidak. Pergi tidak.
Kali ini bukan soal waktu. Aku keberatan soal biaya. Nur Is bilang kantor membiayai. Aku ragu. Borneo Tribune belum lahir. Uang belum ada masuk. Uang yang disebut Nur Is, adalah uang owner. Aku merasa tidak nyaman. Apalagi biaya yang diperlukan ke Jakarta Rp 5 juta. Aku kasihan pada kantor. Nur Is berpandangan lain. Menurut dia, pelatihan ini lebih penting untuk masa depan Borneo Tribune.
Ah, memikirkan hal itu aku menjadi gamang. Aku sudah tua. Apakah aku bisa mengawal perjalanan Borneo Tribune. Aku merasa sudah senja. Kalau untuk masa depan media kami, seharusnya yang dilatih adalah wartawan-wartawan muda. Aku sudah merasa tua untuk berkembang. Aku merasa kalau bicara masa depan, itu bukan masaku. Aku telah lewat. Aku hanya bisa membantu kawan-kawan menyiapkan kerangka masa depan. Bukan menjalaninya.
Susah payah aku meyakinkan Nur Is mengenai hal itu. Aku tahu Nur Is pasti agak kecewa. Tapi biarlah.
Lantas kemudian setelah Borneo Tribune terbit. Kesempatan datang lagi. Tapi, entah. Kali ini pun aku tidak pergi.


PAGI itu, pelatihan dimulai. Di Hotel Peony, Pontianak. Hotel langganan Borneo Tribune. Tempatnya bagus. Aku suka melihat sisi Pontianak di Lantai 5, tempat kegiatan dilaksanakan. Lalu lintas jalan Gajahmada terlihat jelas. Keadaan atap bangunan. Menara-menara di kota ini juga.
Tanggal 10 November. Kegiatan dimulai. Ada belasan orang peserta. Beberapa di antara mereka aku kenal. Ada juga yang asing.
Pembukaan. Mering memberikan pengantar. Lalu Andreas memulai sessi. Dia memulai dengan sesi Elemen Jurnalisme. Buku Bill Kovach jadi rujukan. Yang menarik Andreas memulai dengan memberikan sejumlah kasus dan pertanyaan mengenai situasi social. Aku melihat antusiame peserta pelatihan terhadap kasus-kasus itu.
Lalu, dia memberikan bingkai dari semua persoalan itu. Semua kasus dilihat dari sudut jurnalisme. Peserta diberikan pada kesadaran mengenai etika-etika yang harus dipenuhi dalam liputan-liputan media. Rumit memang. Tetapi Andreas perlu mengingatkan hal itu karena dia ingin memberikan bekal kepada jurnalis di Kalbar bagaimana membuat liputan yang baik.
“Ini daerah perang,” ingatnya.
Liputan harus dibuat sebaik mungkin, karena kalau tidak bisa timbul gejolak.
Pada hari-hari berikutnya, Andreas memberikan petunjuk tentang bagaimana wawancara dilakukan. Apa yang harus disiapkan, dll. Lalu ada praktiknya. Asyik juga melihat Mbak Dwi Syafrianti, Ketua Tribun Institut wawancara Sina, peserta asal University Bonn. Lalu, Johan, wartawan Borneo Tribune mewawancarai Hentakun, peserta asal Tribune Institut. Setelah itu kami membahas praktik wawancara itu.
Menjelang pulang di hari pertama, peserta diberikan pekerjaan rumah. Ada tugas membuat deskripsi event yang ada di sekitar laingkungan. Aku membuat deskripsi tentang ruang praktik dokter gigi Multi.
Hari-hari selanjutnya kami mendapatkan materi-materi seputar teori membuat liputan dan dasar-dasar menulis. Andreas juga memberikan materi tentang news room. Materi ini menyangkut keragaman yang ada di ruang redaksi, dan keragaman yang ada di seputar kehidupan kami.
Kami juga diberikan materi seputar liputan Gang 17 dan Lost Generation. Gang 17 sebutan untuk peristiwa kerusuhan antara sebagian kelompok Melayu dengan kelompok Tionghoa. Kejadiannya di Gang 17, Jalan Gajahmada Pontianak, pasca Pilkada Kabar 2007. Sedangkan Lost Generation liputan Muhlis Suhaeri terhadap korban PGRS-Paraku tahun 1967. Liputan ini bagus. Muhlis mendapat anugerah Mohtar Lubis Award untuk jenis liputan investigasi.
Andreas juga membedah tulisan John Hersey berjudul “Hirosima”. Liputan ini adalah karya jurnalistik terbaik abad ke-21. Ini keabadian Jhon Hersey.
Aku melihat antusiasme peserta terhadap kegiatan ini. Sangat. Andreas berhasil membakar semangat menulis. Cara mengajarnya menyenangkan. Mudah dipahami.
Inspirasi muncul. Masing-masing ingin membuat tulisan yang terbaik. Ada yang ingin membongkar tragedy kemanusiaan. Ada yang ingin menulis biografi. Ada yang ingin menulis khazanah budaya. Macam-macam.
Tak terkecuali aku. Aku ingin juga membuat karya terbaik. Karya yang berguna untuk banyak orang. Aku ingin membuat karya yang abadi.
Aku ingin mengucapkan terima kasih pada Mas Andreas. Aku juga ingin mengucapkan terima kasih pada Nur Is yang memberikan banyak kesempatan.




0 komentar: