Kamis, 18 Desember 2008

Kejujuran Intelektual di Untan

Oleh: Yusriadi

“Benarkah 80 persen mahasiswa S-2 Untan yang pejabat, tesisnya dibuatkan orang lain?”
Pertanyaan itu mengusik saya setelah membaca tulisan Rosadi Jamani di Harian Equator Pontianak, hari minggu, 2 minggu lalu. Dalam tulisan itu Rosadi menyebutkan, menurut pemerhatian–dan menurut perasaan dia, 80 persen mahasiswa S-2 Untan yang pejabat tesisnya dibuatkan orang. Begitu juga tugas-tugas kuliah mereka.



Walaupun saya tidak ingin percaya begitu saja dengan dugaan memalukan ini, saya kira, Rosadi tidak asal sebut. Rosadi kuliah di Untan di program S-2 Magister Ilmu Sosial. Jadi, dalam konteks ini, dia orang Untan juga. Dia bisa mengatakan begitu karena tentu dia melihat orang-orang melakukan itu. Mungkin termasuk teman-teman satu angkatannya.
Ya, ini tentu sesuatu yang luar biasa. Saya, bukan orang Untan. Tetapi, saya merasa malu membaca apa yang disebutkan dalam tulisan itu. Malu karena begitu parahkah keadaan akademik di kampus kebanggaan kita orang Kalbar.
Kalau saya orang Untan, pasti saya sudah bingkas. Pasti saya akan protes. Pasti saya akan mendorong komite etik di Untan untuk mengusut soal ini. Pasti saya akan minta informasi ini ditindaklanjuti. Mana mahasiswa yang tesisnya dibuatkan, gelarnya dicabut. Mana dosen yang terlibat, diberikan sanksi.
Saya berpikir, mana mungkin Untan akan mencapai kecemerlangan akademik jika situasi seperti ini dibiarkan. Ini bukan lagi soal mutu. Tetapi, soal kejujuran. Ini soal etika. Ini soal moral di kampus Untan.
Nah, beberapa hari lalu, dosen Untan, Turiman M.Hum muncul di redaksi Borneo Tribune. Turiman dikenal sebagai pengamat hukum. Dia mengajar program S-2. Kalau sudah bicara hukum, terutama hukum tata negara, dia jagonya. Kalau sudah bicara dalil Al-Quran, meletop, kata orang Melayu Pontianak. Maksudnya, kalau sudah bicara Al-Quran dalam konteks matematikan Al-Quran, dia hebat. Kami di redaksi Borneo Tribune sering dibuat terpana oleh kelebihannya itu.
Nah, ketika dia muncul di redaksi saya tanya lagi soal itu.
“Bang, kemarin Rosadi tulis, menurut dugaannya 80 persen mahasiswa Untan yang pejabat, tesisnya dibuatkan orang. Gimana tuh menurut Abang?”
“Ya, masuk akal. Saya saja sering menemukan tugas mahasiswa copy paste,”
“Benarlah Bang,”
“Ya, kadang segini,”
Turiman memberi contoh dengan jempol dan telunjuk tangan kanannya untuk menunjukkan tebalnya tugas-tugas copy paste itu.
Saya terdiam sambil memperhatikan Bang Turiman. Saya takjub. Sungguh takjub dengan hal seperti ini. Saya bayangkan dahulu dosen saya Pak Dwi Surya Atmaja pernah memanggil saya karena dia melihat tugas saya dan seorang teman hampir sama. Pak Dwi mengusutnya. Saya tidak mau menjawab pertanyaan beliau, siapa yang menjiplak tugas. Kalau saya jawab, teman saya akan menanggung akibat. Karena saya tidak jawab, nilai tugas dibagi dua. Tetapi, itu pelajaran: saya hampir tidak pernah meminjamkan tugas saya kepada orang lain setelah kejadian itu. Jera. Saya tahu, niat Pak Dwi baik.
Lalu, ketika saya mengajar, saya melakukan hal itu. Jangan harap ada mahasiswa yang bisa menyerahkan tugas copy paste. Pasti saya usut. Yang ketahuan, dapat teguran dan membuat tugas baru. Kejujuran harus dimulai dari awal. Bagaimana mungkin kejujuran tumbuh dari orang-orang yang memulai dari ketidakjujuran.
Karena itu, rasanya saya ingin mengirim sms kepada rektor Untan untuk mengingatkan soal itu – apakah bapak sudah membaca tulisan Rosadi, dll. Rasanya, beliau harus memperhatikan soal-soal seperti ini. Tetapi, tidak. Saya tidak berani, walau kepingin.
Lalu, saya pikir-pikir, lebih baik saya mengurus urusan sendiri. Masih banyak kerja lain.



0 komentar: