Jumat, 05 Desember 2008

Spot Jantung di Angkutan Umum

Yusriadi
Borneo Tribune, Pontianak

“Bis terbakar”
Dug!
Saya terkejut. Badan yang semula menyandar di kursi, saya tegakkan. Secara replek, badan saya menjorong ke depan. Ke arah sopir. Saya ingin mendengar informasi lebih lengkap.
Sebelumnya saya tidur ayam –tidur tapi tidak nyenyak di kursi nomor 4 tepat di belakang sopir.




“Apa?”
“Ada bis terbakar,” sahut sopir.
Bis bergerak perlahan.
Saya menjulur kepala lewat jendela bis. Ya, di seberang jalan ada beberapa mobil berhenti –beberapa di antaranya truk.
Di sana saya lihat ada bekas ban terbakar. Bau sangit menyeruak.
“Bis Mudah ya,” teriak sopir pada temannya yang saat itu duduk di kursi nomor 1 dan 2.
“Bis ABM. Kalau ndak Pontianak-Sintang, Pontianak – Nanga Pinoh,” katanya.
Saya mengangguk saja. Memang tidak tahu.
“Agak-agak karena apa ya?” tanya saya lagi.
“Mungkin AC,” katanya.
Pikiran saya berkecamuk. Saya suka menumpang bus ber-AC dibandingkan tidak. Naik bus ber-AC bisa terhindar dari debu, karena tak ada jendela yang terbuka. Di bus ber-AC kita juga terhindar dari asap rokok, karena biasanya sopir dan penumpang tahu diri tidak merokok dalam bus ini. Sesekali kalau naik bus saja saya ketemu sopir yang nekat merokok. Biar tidak merebak ke dalam ruangan, kaca di samping kanannya dibuka lebar. Asap rokok yang dihembuskannya langsung ke luar bus, tak sempat mengharu biru penumpang. Jadi, masih aman juga.
Bus ber-AC agak lapang. Kursi yang di dalamnya agak jarang. Kadang masih bisa mengunjur bila sandarannya dimundurkan sedikit. Tidak ada juga kursi cadangan dalam bus ber-AC.
Tentu untuk semua kelebihan itu, penumpang harus membayar sedikit mahal. Sewajarnyalah.
Selain itu, bus ber-AC biasanya relatif bersih terawat. Kursinya jarang ada yang kumal. Baunya kadang juga agak wangi. Bandingkan dengan bus biasa, termasuk yang saya tumpang malam itu dalam perjalanan dari Putussibau ke Pontianak.
Baunya minta ampun. Kadang ada bau rokok. Kadang tercium aroma asam, bau muntahan. Kadang tercium aroma ayam (bau manuk), kata orang kampung. Kumalnya tak usah disebut. Tas kami, sudah tebal oleh debu jalan yang masuk lewat pintu dan jendela yang terbuka. Alas sandaran kursi sudah retak-retak dan retakan itu membentuk garis, hitam.
“Ada yang mati ndak?”
Saya mengajukan pertanyaan bodoh. Bah, mana tahu mereka. ‘kan sama-sama kami dalam bus, bukannya menyaksikan kejadian. Tetapi replek saja pertanyaan ini muncul. Menurut sopir biasanya kebakaran bus yang terjadi karena AC tidak terjadi tiba-tiba. Didahului asap. Masih ada waktu penumpang untuk keluar sebelum benar-benar hangus.
Tetapi, asap juga bukan tidak mungkin membunuh. Jika terhidu asap seseorang bisa lemas dan matilah dia.

***

Saya membayangkan kondisi malam itu. Jika bus yang saya tumpangi terbakar, mungkin saya akan menjadi korban. Kalau tidak mati retung, hangus sedikit mungkin. Sebab pada posisi saya duduk banyak barang dan saya pasti tidak mudah keluar dari tumpukan barang tersebut. Lagi, kaki saya tidak nyaman sebab sebelumnya selama tujuh jam saya duduk di kursi cadangan. Kursi plastik. Pantat rasanya tepos. Punggung pegal-pegal karena tidak bisa menyandar. Menyumpah karena nasib malang ini, saya sudah tidak sanggup. Alahai. Nikmati sajalah.
Saya melihat kondisi bus yang ditumpangi. Kalau tiba-tiba terbakar mungkin akan ada yang mati. Sebab pintu tidak terbuka secara otomatis. Pintu bus sama dengan pintu rumah kayu – dikunci dengan slot besi. Mau membukanya susah minta ampun. Belum lagi di depan pintu diletakkan ban serep dan di atasnya diletakkan kursi cadangan (sebenarnya bantalan kursi) dari busa yang bisa dipakai baring. Slot besi digunakan karena kunci lama sudah tidak dapat digunakan lagi, keropos dimakan karat.
Pengalaman saya, apabila pintu ini sudah dikunci, untuk membukanya diperlukan waktu beberapa menit. Kursi cadangan harus disingkirkan lebih dahulu baru kemudian slot ditarik dan pintu bus yang berlipat harus ditarik. Baik kalau di belakang pintu tidak ada barang. Kalau ada barang waktu yang diperlukan bisa lebih lama lagi.
Saya juga tidak melihat pintu darurat di bus. Biasanya di tempat yang standar keselamatan terpantau, ada pintu darurat di bagian tengah atau belakang. Pintu ini untuk memudahkan penumpang keluar jika ada hal-hal darurat. Penumpang bisa keluar lebih cepat karena tidak perlu semua menumpuk pada satu atau dua pintu. Setahu saya ada juga bus dahulunya yang hanya pakai satu pintu saja.
Pilihannya memang dengan memecahkan kaca jendela. Tetapi apakah itu mudah? Kadang ada besi yang dipasang di tengah jendela. Kepala orang dewasa tidak akan bisa telus. Setakat yang saya tahu besi itu menjadi tempat penumpang yang diduduk di dekatnya berpegangan. Mungkin juga untuk menghindari masuknya pencuri ke dalam mobil melalui jendela.
Tetapi, dalam keadaan darurat besi ini bisa menjadi hambatan penumpang keluar melalui jendela, sekalipun penumpang bisa memecahkan kaca atau menggeser kaca yang mudah buka.
Di bus juga tidak ada tabung pemadam api. Jadi saya membayangkan jika bus terbakar hampir tidak ada alternatif untuk memadamkan api kecuali seperti memadamkan api yang membakar rumah warga di dalam gang. Air diambil pakai ember baru disiramkan. Mana dapat ember di bus? Mungkin pilihannya menggunakan kayu (ranting) yang dipukul-pukul ke sumber api.
Kalaupun ada racun api, siapa yang bisa menggunakannya? Saya sempat bertanya pada seorang kondektur apakah mereka pernah mendapatkan pembekalan untuk menjaga keselamatan penumpang? Dia menjawab, tidak pernah. Seorang kondektur lebih banyak bekerja berdasarkan apa yang dipikirnya patut dilakukan, sembari mengikuti perintah sopir, membantu penumpang.
Jadi kalau memang ada kejadian, mereka hanya membantu berdasarkan feeling. Apa yang patut dilakukan, dilakukan. Kalau mereka pikir tak patut, mereka mungkin tidak melakukan apa-apa. Mau mane duli juga tidak apa-apa! Tinggal penumpang yang panik sendiri. Mau jantungan, mau tidak, terserah!


0 komentar: