Sabtu, 27 Desember 2008

Tak Kenal Maka Tak Tahu: "MEMAHAMI KESUKUBANGSAAN DI KALIMANTAN BARAT"

Yusriadi

Tak kenal maka tak tahu, tak tahu maka tak cinta. Pepatah ini berlegar dalam ingatan saya. Saya sering menggunakannya. Dahulu.

Terutama saat bicara di forum resmi di depan orang-orang. Saya memulai ungkapan ini sebagai ungkapan pembuka kata. Tidak ada makna mendalam yang resapi. Basa basi. Saya tahu, orang lain juga sering menggunakan ungkapan itu.
Ketika saya memilih judul “Memahami Kesukubangsaan di Kalimantan Barat” untuk kumpulan tulisan saya yang dibukukan dan diterbitkan oleh STAIN Pontianak Press (2008), saya teringat akan pepatah ini.
Beda dibandingkan sebelumnya, saya menggunakan kata-kata ini dan meresapinya.
Dalam pikiran saya, masalah kesukubangsaan di Kalbar harus dipahami. Orang harus berusaha tahu tentang komunitas lain, selain komunitas sendiri.
Pengetahuan ini penting karena latar belakang masyarakat Kalbar. Masyarakat Kalbar terdiri dari berbagai kelompok etnik, kelompok suku bangsa. Ada Dayak, Melayu, Tionghoa, Madura, Bugis, Jawa. Ada lagi kelompok lain.
Orang Melayu, Tionghoa, Madura, Bugis, Jawa, perlu mengetahui tentang kelompok Dayak. Mereka perlu mengetahui ciri atau identitas Dayak. Mengetahui budaya, bahasa, dll. Semakin dalam pengetahuan, semakin baik.
Begitu juga sebaliknya. Orang Dayak, perlu mengetahui kelompok lain. Semua suku.
Pengetahuan yang terbatas akan menimbulkan praduga. Sebaliknya, pengetahuan yang cukup, pengetahuan yang baik dan mendalam tentu akan menghilangkan stereotip, akan menghilangkan praduga. Pengetahuan seumpama ini akan membantu orang saling memahami.
Saya membayangkan jika masing-masing saling memahami. Saya membayangkan jika kesalingpahaman bisa diwujudkan, bisa ditumbuhkembangkan sejak awal, sudah tentu penghargaan akan tumbuh.
Tidak perlu orang berkelahi karena mereka tidak mengerti orang lain. Tidak perlu orang ribut hanya karena mereka curiga, curiga pada sesuatu yang seharusnya tidak dicurigai. Ambil contoh yang paling sering digunakan orang, tentang carok di kalangan orang Madura. Di dalam budaya asal, carok dilihat sebagai sesuatu yang positif. Carok dilihat dalam konteks orang mempertahankan dan mengembalikan harga diri. Pertahanan berarti pasif. Hanya untuk membalas jika harga diri diserang. Bukannya memulai menyerang. Orang tidak memahami konteks carok. Orang tidak memahami mengapa carok dipertahankan dalam budaya orang Madura. Jika orang memahami dengan benar tentu tidak akan menganggap carok dari sisi negatif saja. Begitu juga sebaliknya, orang Madura yang mengerti tentang carok tentu tidak akan asal ‘pakai’ istilah itu untuk melegitimasi tindakan kriminal yang dilakukan.
Saya berusaha menerbitkan buku ‘Memahami Kesukubangsaan di Kalimantan Barat” dengan harapan, buku ini bisa memberikan sumbangan untuk membangun saling memahami itu. Di dalam buku ini digambarkan tentang identitas, persebaran, dan budaya suku Dayak, Melayu, Tionghoa, Madura dan Bugis. Ada harapan besar untuk masa depan, agar setiap orang menjadi lebih memahami diri dan orang lain dengan baik. Orang menjadi lebih mengerti. Orang menjadi lebih berpengetahuan. Orang menjadi lebih beradab.
Harap-harap kelak setiap orang bisa menebarkan cinta untuk orang lain. Setiap orang, kelak, bisa memandang orang lain sebagai bagian dari dirinya juga. Sama-sama orang-orang Kalbar, “orang diri’” atau “orang kita”.


0 komentar: