Senin, 26 Januari 2009

Buku “Bakar Pecinan!”: Kita Perlu Memahami Mengapa Konflik Itu Terjadi

Oleh: Yusriadi

Tiba-tiba saya jadi teringat buku “Bakar Pecinan!; Konflik Pribumi vs Cina di Kudus Tahun 1918”. Buku ini, karya Masyhuri. Terbitan Pensil 324, Jakarta, tahun 2006.


BUKU ini, sebagaimana judulnya menceritakan bagaimana konflik Kudus terjadi. Konflik itu, terjadi tahun 1918. Peristiwanya: 31 Oktober 1918. Ada penyerbuan terhadap perkampungan Cina di Kudus Kulon yang mengakibatkan terbakarnya hampir seluruh perkampungan Cina di sana.
10 orang tewas, 34 luka dari pihak pribumi, sedangkan dari pihak Cina tidak diketahui karena setelah kerusuhan tersebut mereka mengungsi ke Semarang. Sekurang-kurangnya 34 rumah terbakar. Jumlah kerugian mencapai 500.000 gulden. Jumlah yang pasti sangat besar untuk ukuran nilai uang waktu itu.
Kerusuhan ini terjadi karena orang pribumi marah terhadap orang Cina yang melakukan pawai mengarak Toa Pek Kong pada tanggal 30 Oktober 1918 –atau sehari sebelumnya. Arakan tanggal 30 Oktober itu sebenarnya arakan yang ke-4 dalam rangkaian ‘tolak bala’ wabah influenza. Pawai pertama dilaksanakan tanggal 24, dilanjutkan tanggal 24 dan 28. Pawai ini mengantongi izin pemerintah Belanda.
Selain Toa Pek Kong, dalam arak-arak itu ada juga orang Cina yang berpakaian ala haji dan alas wanita nakal.
Pada saat pawai melewati masjid Kudus, pengurus masjid yang sedang mendorong gerobak –kebetulan ada kerja bakti mengangkut batu dari kali, menyorongkan gerobaknya ke arah pedati yang digunakan sebagai arakan. Lalu terjadi tabrakan. Selanjutnya pertengkaran dan jual beli pukulan. Suasana sempat terkendali. Namun isu yang berkembang gentayang membakar semangat warga. Hingga malam berikutnya, ada gerakan sekelompok orang yang mulai membakar perkampungan Cina. Aksi ini berlanjut menjadi aksi massa. Dan selanjutnya aksi ini menjadi milik kelompok. pribumi melawan Cina.
Konflik ini seperti dikemukakan Masyhuri, bukanlah berdiri sendiri. Ada segregasi sosial. Kesenjangan ekonomi warga Cina dan pribumi sangat jauh. Ada persaingan dan kompetisi yang kuat. Ada kebangkitan semangat primordialisme di kalangan pribumi. Ada prasangka menajam. Ada kebencian yang membuncah.


SEBENARNYA situasi sebelum konflik di Kudus yang dipaparkan buku inilah yang mengingatkan saya pada apa yang sedang terjadi di Kalbar sekarang ini.
Persoalan prasangka, memang sudah muncul sejak lama. Prasangka muncul dari rentetan sejarah karena anggapan orang Cina tidak setia. Lihat laporan yang disampaikan Hari Poerwanto yang berjudul “Orang Cina Khek di Singkawang” tahun 2004. Buku ini mengisahkan prasangka-prasangka yang wujud, yang tidak bisa diabaikan.
Selain itu, lihat juga tulisan La Ode, M.D. 1997. Tiga Muka Etnik Cina — Indonesia: Fenomena di Kalimantan Barat, Yogyakarta, PT. Bayu Indra Grafika.
Terakhir, prasangka ini memuncak dalam pemilihan Walikota Pontianak 2008. Saya sempat menerima beberapa SMS pantun tentang pandangan negative terhadap majunya calon walikota orang Cina. Sayangnya, SMS itu sekarang hilang bersama hilangnya HP saya –sebelum datanya dipindahkan.
Saya kira, jarak sosial antara orang Cina dengan Melayu di Kalbar cukup jauh. Perbedaan kepercayaan, perbedaan bahasa dan budaya sangat jelas. Jarak ini semakin lebar jika dikaitkan dengan situasi ekonomi. Kesenjangan ini bisa dilihat secara kasat mata di kota Pontianak, dan bahkan seluruh Kalbar.
Pola pemukiman juga mula memperlihatkan kesan eksklusif. Semua orang mengenal kawasan Gajahmada sebagai kawasan pemukiman orang Cina. Bahkan sempat muncul gagasan membangun gerbang pecinan di kawasan ini. Asumsinya, pembangunan ini akan mendorong kepentingan pariwisata.
Begitu juga dengan pendidikan. Orang-orang Cina kebanyakan bersekolah di sekolah yang berbeda dengan orang Melayu. Keadaan ini semakin kuat dengan kenyataan bahwa sekolah umum kebanyakan kalah mutu dibandingkan sekolah yang beraliran agama. Sekolah bermutu ini dikejar oleh orang tua anak.
Politik adalah hak setiap warga negara. Namun, kenyataannya, naiknya politisi Cina di pentas politik Kalbar kerap kali dianggap menjadi ancaman terhadap eksistensi Melayu. Orang Melayu merasa kalah. Orang Melayu merasa kesempatan mereka diambil.
Ketidaksenangan sekelompok orang Melayu sudah disampaikan secara terbuka. Orang mempertanyakan eksistensi budaya Tionghoa. Pertanyaan ini disampaikan juga secara resmi ke DPRD Kota Pontianak beberapa waktu lalu.
Kasus kecil bisa membesar karena isu yang bertiup dan ditiup-tiup. Kasus Gang 17, Pontianak, merupakan contoh yang paling aktual dari situasi ini. Kasus kecil itu menjadi milik orang banyak. Perkelahian karena kesalahpahaman, menjadi perkelahian besar yang diatur sistematis.
Kasus pembangunan tugu naga di Singkawang juga menjadi berlarut-larut. Padahal dahulu penciptaan image 1000 kelenteng di Singkawang tidak pernah dipersoalkan. Pembentukan identitas Singkawang sebagai kota Cina sekian lama dahulu tidak pernah ditolak. Bahkan, orang-orang Melayu dan orang Kalbar secara umum melihat predikat Singkawang sebagai kota Amoy, sebagai pencitraan yang positif. Kini, semuanya menjadi negatif.
Kini, di Pontianak, rencana arak-arakan naga diprotes. Protes keras. Bahkan disertai ultimatum. “Kami siap menghadang aksi ini,”


MEMANG polisi sudah menjanjikan akan mengamankan situasi. Memang beberapa elit Melayu seakan memberikan jaminan akan memberikan pemahaman terhadap orang Melayu. Memang banyak orang Melayu memahami bahwa arakan naga bukan persoalan sebenarnya dan masih dapat memahami jika perarakan itu tetap dilaksanakan.
Tetapi siapa yang bisa menjamin situasi yang panas ini tidak akan membakar?
Memang di titik yang dijaga, keadaan bisa dikendalikan. Tetapi, apakah polisi dapat menjaga semua titik? Berapa banyak kekuatan personil yang diperlukan untuk menjaga situasi itu?
Soal pemahaman, bukan tidak bisa dilakukan. Tetapi masalahnya bukan terletak pada pemahaman. Masalahnya terletak pada perasaan tidak puas sekelompok orang terhadap orang Cina. Mungkin juga ada kepentingan pragmatis di sini.
Seperti disebutkan tadi, ada ketidakpuasan yang bertumpuk-tumpuk. Setiap persoalan kecil dijadikan sebagai isu yang besar, dan dijual. Soalnya sekarang, siapa yang mau membeli.
Pada skala kecil, dan pada lingkup jangka pendek, mungkin masalahnya bisa di atasi. Transaksi bisa dilakukan oleh mereka yang berkepentingan.
Tetapi pada masa yang panjang, pasti akan sulit. Isu-isu akan menumpuk dan masuk dalam rapor: Cina begini, begini, begini. Ada daftar dosa dan kesalahan yang terus diingat. Lalu, membuncahkan rasa solidaritas di tengah situasi yang tersegregasi.
Karena itu, sebuah upaya jangka panjang harus dilakukan untuk meminimalisir segregasi sosial. Upaya yang memudarkan identitas kelompok yang justru membuat kelompok lain menjadi tidak puas. Prinsip-prinsip munculnya identitas dan pemertahannya selalu tidak lepas dari kepentingan pragmatis.
Tentu sudah harus dipikirkan bagaimana menciptakan identitas bersama dalam konteks kepentingan pragmatis itu. Lalu, memupuknya agar tumbuh subur. Memeliharanya agar tumbuh membesar.
Pemerintah, elit, dan kita semua yang mencintai suasana damai mesti memikirkan kepentingan pragmatis, menciptakan alasan yang kuat untuk membentuk identitas itu. Sebaliknya, kita semua harus berusaha menghapus identitas-identitas kelompok yang dipandang negative kelompok lain –sembari tentu saja menghapus keinginan untuk melihat sesuatu dari sudut negatifnya saja.




Baca Selengkapnya...

Kamis, 22 Januari 2009

Ketika Caleg Berkata: “Pilihlah Aku,”

Oleh: Yusriadi

Selasa (20/1/09).
Seperti biasa, pukul 07.00 saya sudah duduk di kursi empuk di ruang ‘lobby’ bangunan akademik kampus Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak.
Pekerjaan rutin. Isi absen –sekarang absen di kampus ini menggunakan mesin.
Setelah itu, 10-20 menit membaca surat kabar. Ada Borneo Tribune. Pontianak Post dan Tribune Pontianak.




Ada Mbah –itu sapaan yang biasa dipakai teman-teman di STAIN terhadap petugas kebersihan yang sibuk menyapu dan kemudian mengepel lantai bangunan ini. Setiap pagi selalu ada beliau.
“Cepat ni.”
Itu basa-basi beliau, kalau beliau lebih dahulu menyapa.
“Kebetulan. Biasa, antar anak sekolah,”
“He he .. Tugas negara,”
Saya menjawab seperti itu. Selalu. Berulang. Mungkin beliau pun sudah hafal jawaban itu.
Sebaliknya, kalau saya lebih dahulu menyapa saya mengatakan,
“Sibuk, Pak,”
Beliau akan menjawab dengan tawa singkat. “He he ...”
Itulah ritual pagi saya di kampus.
Kemudian, seiring beranjaknya jarum jam, satu per satu teman datang. Ada yang sekadar lewat saja menuju mesin kehadiran yang diletakkan di lorong ke arah bagian kepegawaian. Ada juga yang bergabung, membaca koran dahulu.
Kemarin, saat saya baca koran, datang teman saya calon doktor di Universitas Islam Negeri Jakarta.
Dia menyapa “Salamualaikum Pak Doktor,”
“Walaikum salam Pak Doktor,”
Saya membalas. Agak janggal.
“Heh, belum. Belum doktor,”
“Tak apa, sebentar lagi jadi,”
Calon doktor ikut bergabung. Membaca koran juga. Lalu, datang seorang petugas keamanan –Satpam. Dia juga gabung baca koran.
Di sela-sela pembacaan, kami berdiskusi. Mengomentari bagian-bagian dari berita itu. Mulai cerita Muda Mahendrawan dan Sujiwo, hingga cerita Obama nun jauh di Amerika.
Kami bicara kualitas pemimpin. Kami cerita tentang kecenderung sekarang orang rebutan jadi pemimpin. Jabatan diburu dan dipertaruhkan. Kadang harus keluar biaya mahal untuk sekadar mendapatkan jabatan itu. Bertolak belakang dibandingkan keadaan dahulu – umpamanya keteladanan yang ditunjukkan khalifah -- Abu Bakar, Umar, dan beberapa lagi yang lain.
“Sekarang orang tidak pandai lagi mengukur diri. Mereka tidak tahu bahwa menjadi pemimpin itu adalah amanat yang sangat berat. Pertaruhannya: kalau bisa adil dan memimpin dengan baik, pertaruhannya syurga. Sebaliknya jika tidak adil –apalagi malah korupsi dan menyengsarakan rakyat, pertaruhannya neraka.”
Komentar teman membuat saya jadi ingat pepatah:
“Hidung tak mancung, pipi disorong-sorong,”
“Syahwat berkuasa,”.
“Nafsu,”
Lalu, tak sengaja kami nyerempet tema tentang caleg, orang yang sekarang ini berusaha meraih dukungan agar terpilih menjadi wakil rakyat.
Keadaannya sama. Banyak orang yang tidak bisa mengukur diri. Ingin berjuang untuk daerah. Berjuang untuk rakyat. Tetapi, kemampuannya tidak cukup. Mau omong saja susah.
Banyak lagi ‘omelan’ sang calon doktor itu.
“Banyak teman saya jadi caleg,”
“Saya tahu ketika lihat baleho mereka dipasang di pinggir jalan. Saya bilang “heh, yang macam itu mau jadi caleg?,”
Dia menyebutkan nama orang-orang yang dikenal itu.
Ada nama-nama itu yang juga saya kenal. Anggota Dewan yang cukup vokal. Sering masuk koran.
“Saya sering gurau mereka. DPRD Jalanan,”
Lho?
“Ya, dahulu khan mereka suka nongkrong di warung kopi. Suka duduk di pinggir-pinggir jalan. Sekarang, mereka menjadi Dewan. Diskusi yang di warung kopi, jadinya sama dengan diskusi di gedung Dewan. “Kebiasaan lama pasti terbawa-bawa,”
“Bagaimanalah kita bisa maju kalau kualitas elit kita seperti itu,”
“Itulah susah masyarakat kita. Masyarakat tidak memilih calon dengan benar. Mereka tidak memilih latar belakang calon. Masyarakat tidak melihat tebiat calon, pendidikan calon, program calon.”
Saya mengangguk-angguk. Saya menyukai diskusi begini. Komentar yang kritis.
Komentar ini membuat saya berpikir, apakah akan ada yang memilih mereka? Kalau tidak ada yang memilih bagaimana? Duh, kecewanya.
Tetapi, bagaimana kalau benar mereka menjadi Dewan? Apa yang dapat mereka buat? Hanya sekadar mengaminkan? Hanya sekadar angguk-angguk?
Lalu, apa jadinya pengemban amanah seperti ini? Pasti ‘kena makan’ eksekutif’.
Ah, mungkin sudah nasib masa depan bangsa. Itu mungkin suratan.
Salah kita juga, mengapa memilih orang yang tak bisa apa-apa.
Saya berhenti pasrah ketika calon doktor itu mengingatkan saya.
“Kamulah yang bisa mengingatkannya. Kamu khan orang media,”
“Iyeeee.... Tapi, takkan pula abang lepas tangan setelah ceramah di depan saya,”
Saya mengeluarkan senjata pamungkas.
“Abang tulis peringatan itu. Nanti saya muatkan di koran,”
Benar.
Dia diam. “Ceramah pagi” berakhir.
Masing-masing dengan renungan, “Mau jadi apa masa depan kita?”






Baca Selengkapnya...

Senin, 19 Januari 2009

Kabar Politik dari Ulu

Oleh Yusriadi

“Mulai ramai dah kinih,”
Simbol-simbol partai terpacak di mana-mana. Bendera. Umbul-umbul. Baleho.
Wajah caleg mejeng di mana-mana. Warnanya macam-macam. Gayanya, canggih dan menawan.
Semuanya berisi ajakan memilih. Atau paling tidak: pilih saya.
Itulah cerita seorang teman dari Kapuas Hulu belum lama ini. Dia berkisah panjang lebar, sepanjang pertanyaan saya yang juga mengalir entah ke mana-mana.



Asyik. Saya suka mendengar perkembangan politik dari kampung. Bukan karena saya suka politik. Tidak. Saya suka karena cerita ini membuat pikiran saya melayang ke mana-mana tentang kampung halaman. Kampung saya Riam Panjang, 100 kilometer sebelum Putussibau. Kami lebih mudah menyebutnya dekat Tepuai, ibukota kecamatan Hulu Gurung.
Sebagai jurnalis cerita apapun ya didengar. Informasi kecil sekalipun diburu dan dikejar.

***

Cerita dari Ulu ini bagi saya juga memberikan gambaran bahwa situasi politik di level nasional dan regional juga merambah ke kampung-kampung di Kapuas Hulu.
Ulu, meskipun nun jauh di sana, tapi tidak ketinggalan.
Ini contoh globalisai yang melanda rakyat kita. Ini keadaan yang menunjukkan betapa masyarakat kita sudah menjadi warga dunia. Mereka sudah menjadi bagian dari perkembangan di sisi lain.
Contoh ini melengkapi contoh sebelumnya. Krisis ekonomi dunia membuat orang di kampung, di Kapuas Hulu menderita. Menderita benar. Sangat.
Ihwalnya bermula dari harga karet yang jatuh menjunam. Harga karet yang sebelumnya bisa di atas Rp10 ribu, tiba-tiba turun menjadi hanya Rp3000. Bahkan, sempat beberapa hari tidak terbeli.
Perkembangan ini membuat pendapatan masyarakat jadi berkurang drastis. Sebelumnya orang kampung bisa dapat Rp60 ribu sekali turun, setelah krisis, orang hanya bisa dapat Rp 20 ribu.
Pendapatan Rp20 ribu membuat orang merana. Beli beras, lauk pauk, beli gula kopi, beli rokok tembakau, beli minyak garam, sudah pas-pasan. Padahal orang sudah terlanjur menyekolahkan anak ke Pontianak. Orang sudah terlanjur mengambil motor kredit yang setiap bulan harus dilunasi.
Pening.
Masyarakat menjadi susah. Beban mereka jadi berat. Sampai sampai ada yang terpaksa mengembalikan motor kredit karena tak mampu melanjutkan pembayaran cicilan. Itulah terpaan globalisasi yang membuat mereka lunglai.
Apakah globalisasi politik ini akan membuat mereka juga lunglai? Entahlah.
Tetapi, mungkin juga tidak. Sebab, pertahanan sosial orang kampung ini cukup kuat.
Namun, cerita teman, sekarang ini, saat caleg jor-joran promosi masyarakat diam-diam sudah punya pilihan. Mereka tidak terombang-ambing.
Katanya, kebanyakan orang mengatakan mereka akan memilih orang-orang yang mereka kenal. Orang yang dekat dengan mereka. Pada level pertama, keluarga. Pada level kedua, orang sekampung, atau sedaerah. Agama tidak disebut, karena di bagian selatan ini daerah homogen. Semuanya muslim. Calon yang memperebutkan suara mereka –yang berasal dari daerah ini, juga muslim. Ini faktor emosional.
Kedekatan emosional akan menjadi faktor penting. Begitulah kira-kira.
Saya bertanya.
“Sekarang, yang bersaing ini keluarga semua. Bagaimana orang memilih?”
Ternyata, yang akan mereka pilih adalah orang yang selama ini ‘mudah’. Orang yang selama ini membantu mereka dipinta atau tidak. Orang yang selama ini tidak sombong.
“Jasa itu diingat orang,”
“Bantuan akan terus dikenang,”
“Sikap baik akan dijadikan catatan,”
Saya tentu saja maklum. Dalam politik memang begitu juga. Ada konsep patron dan klien. Orang yang selalu membantu akan dibantu. Orang yang bisa menjadi tempat bergantung akan dijadikan tempat bergantung.
Faktor lain tidak penting. Apakah calon itu pendidikan tinggi –sarjana atau cuma tamat SMA, tidak jadi pertimbangan. Seperti apakah program calon itu, juga tidak dipertimbangkan. Malah, di tingkat orang kampung sekarang program seorang caleg hanya angin lalu. Sehingga jarang-jarang ada orang yang menyimak benar-benar apa isi baleho caleg.
Sikap ini tentu rumit juga. Perubahan yang diharapkan pasti sulit.
Tetapi sebaliknya sikap seperti ini bagian dari seleksi alam juga. Mereka yang baik yang akan bertahan. Mereka yang tidak baik akan tersisih. Jatuh. Gugur. Jadi, dengan cara seperti ini masyarakat memilih yang terbaik menurut mereka.
Saya kira ini juga bagian dari pertahanan sosial (social defence) yang menarik dicermati dalam konteks otonomi daerah dan dalam konteks globalisasi. Masyarakat lokal membentengi dari dari kemungkinan sesuatu dari luar yang menurut mereka tidak baik. Ada kearifan di sana.
Cara ini sejalan dengan uforia otonomi daerah. Orang daerah untuk orang daerah. Orang daerahlah yang bisa mengerti apa yang ada di daerah mereka. Orang sendirilah yang dapat memperjuangkan kepentingan sendiri.
Lantas, dengan keadaan seperti ini orang-orang luar tentu akan sulit masuk. Caleg titipan mungkin tidak akan terpilih. Caleg droping partai tidak akan mendapat tempat sekarang ini.
Ah, tiba-tiba saya merasa kasihan pada mereka, caleg yang tidak punya basis akar rumput. Saya kasihan pada politisi yang datang dari jauh. Sudah susah payah mereka mempromosikan diri. Sudah mahal-mahal mereka mengiklankan diri. Ternyata, tak ada pula orang memilihnya.
Apa ndak gila jadinya.





Baca Selengkapnya...

Minggu, 18 Januari 2009

Saya Pengin Bisa Menulis

Oleh Yusriadi


"Saya pengin bisa buat buku,"
Itu kata seorang teman saat melihat buku baru yang kami terbitkan.
Saya tersenyum melihat polahnya. Senang juga melihat dia memberikan apresiasi seperti itu. Lebih senang lagi karena buku yang saya tunjukkan bisa membakar semangatnya. Buku kami bisa memberinya motivasi.



"Gimana caranya ya?"
Dia bertanya lagi. Cukup serius. Saya tidak lagi tersenyum.
Saya ingat bukan baru kali ini saja saya mendengar orang ingin membuat buku. Sudah sering. Saya tidak bisa menghitungnya. Teman wartawan. Teman dosen dan guru. Mahasiswa. Juga para aktivis.
Kata-kata itu sering saya dengar sesering itu usaha saya memberikan motivasi agar orang mau menulis pengalaman-pengalaman hidup mereka.
Tetapi, kerap kali keinginan itu tidak menjadi kenyataan.
Habis tertiup angin. Hilang begitu saja.
Buku yang ingin ditulis tidak pernah wujud. Bahkan tulisan yang dijanjikan tidak pernah ada. Hatta, satu kata pun tidak.
"Aduhhhh... tak jadi-jadi,"
"Sibuk terus. Belum sempat,"
"Susah nak mulainye,"
Alasan.
Banyak lagi. Seabreg-abreg.
Kadang-kadang saya bertanya.
"Masih ada lagi alasannya?"
Lalu, ujung-ujung.
"Ha....ha... ha..."

***

Tertawa adalah jawabannya. Banyak makna di balik tawa itu. Tawa itu bagi saya sama saja. Saya mengira memang lebih mudah mengumbar janji dibandingkan menunaikannya. Lebih enak memasang target daripada melaksanakannya.
Dan, begitulah. Bukan cuma mereka. Di mana-mana begitu.
Selalu ada orang yang memberikan alasan tidak menulis karena tidak punya waktu untuk menulis. Mereka jenis ini cenderung mengatakan mereka tidak bisa menulis karena sedang fokus pada 'kesibukan' itu. Mereka, bisa jadi memang tidak punya waktu yang tersedia karena benar-benar sibuk. Tetapi, bisa jadi juga sebenarnya waktu yang masih tersisa ada, namun mereka tidak bisa berkonsentrasi. Mereka tidak bisa menulis karena sedang banyak pikiran, banyak yang dipikirkan. Kononnya begitu.
Ada yang tidak menulis karena mereka tidak memiliki bahan yang bisa ditulis. Tidak ada bahan. Mereka seperti ini tidak banyak membaca. Juga tidak banyak mengamati dan memperhatikan keadaan di sekitar mereka.
Ada yang tidak menulis karena tidak bisa menulis. Mereka tidak memiliki kemampuan itu. Mereka tidak dapat merangkai kata, menyusun kalimat membentuk paragraf. Yang mereka miliki hanya kemampuan berbicara. Mereka lahir dan besar dari peradaban lisan. Ngomong jak.
Di atas dari semua itu, ada yang tidak menulis karena memang mereka malas menulis. Sering saya melihat bahwa alasan-alasan yang dikemukakan, yang macam-macam itu, sebenarnya hanya untuk menutupi rasa malas itu.
Misalnya, alasan tidak punya waktu, padahal saya merasa mereka belum memakai menit demi menit kehidupan mereka. Mereka tidak benar-benar kehabisan waktu, sehingga tidak ada lagi waktu yang tersisa. Masih banyak waktu tersisa. Yang berprofesi sebagai ibu-ibu rumah tangga - selain mengajar, masih memiliki waktu untuk menonton sintron. Masih punya waktu ngerumpi, dll.
Mereka juga tidak benar-benar yakin mereka tidak bisa menulis. Pendidikan mereka tinggi. Umumnya pernah kuliah. Sekalipun cuma Diploma 2. Apalagi kebanyakan mereka yang berjanji menulis adalah mereka yang berpendidikan tinggi. S-1. Jadi, sangat meragukan, benarkah orang itu tidak bisa merangkai kata? Benarkah dia tidak bisa menyusun kalimat? Lalu, bagaimana dahulu mereka menulis skripsi? Bagaimana mereka menulis makalah untuk tugas selama kuliah? Bagaimana mereka membuat makalah untuk kenaikan pangkat mereka?
Saya juga percaya mereka memiliki bahan yang cukup untuk menulis karena bahan yang mereka mau tulis adalah bahan yang sudah ada di dalam pikiran mereka. Tidak perlu mencari.
Inilah kadang-kadang membuat saya lebih mudah mentertawakan teman-teman yang mengatakan mau menulis, namun tulisannya tidak jadi-jadi.
Dan, mereka bisa ikut tertawa karena menyadari apa yang berada di balik "alasan-alasan itu".




Baca Selengkapnya...

Etnisitas dan Agama dalam Kepemimpinan Kalbar

Oleh: Yusriadi
Borneo Tribune, Pontianak

Isu etnisitas dan agama sangat kental dalam kehidupan sosial politik Kalbar. Isu ini bisa jadi positif jika dikelola dengan baik, dan bisa jadi negatif bila salah menanganinya. Isu ini akan terus menjadi ujian bagi Cornelis, yang menjabat sebagai gubernur Kalbar satu tahun lalu.

Cornelis naik karena kepiawaiannya melihat fenomena etnisitas dan agama di Kalbar.
Itulah kesimpulan saya ketika dahulu mendengar Cornelis memenangkan Pilkada Kalbar. Kala itu lebih satu tahun lalu.
Sebagian bagian dari orang Kalbar saya mengikuti perkembangan politik itu. Tahap demi tahap Pilkada. Mulai dari proses pencalonan, pemungutan suara dan perhitungan suara. Liputan-liputan media membantu saya menyimak semua perkembangan itu.
Selain tentu saja, saya mendengar bisik-bisik dari orang-orang yang terlibat dalam lingkaran politik. Sesekali saya berdiskusi dengan mereka. Dapatlah saya banyak informasi mengenai hal itu.
Di antara sekian banyak informasi yang saya dapatkan adalah saya mendapatkan compac disk yang berisi rekaman kampanye Cornelis. Dari satu rumah panjang ke rumah panjang lain. Dari satu gereja ke gereja lain. Dari satu kampung ke kampung lain.
Musik latar. Isi ajakan. Muatan propaganda. Simbol-simbol yang digunakan dalam CD itu menjadi bahan pembicaraan. Tetapi, saya tidak tertarik membicarakan seperti yang orang bicarakan.
Saya konsen dalam studi etnisitas dan identitas. Saya maklum penggunaan identitas. Saya mengerti duduk persoalan. Karena itu apa yang digunakan Cornelis bagi saya adalah sesuatu yang bisa dipahami. Saya mengerti kepentingan pragmatis di balik penggunaan itu. Mungkin satu-satunya yang mengkhawatirkan saya adalah kalau propaganda itu membakar semangat dan kemudian semangat itu membakar dan menghanguskan orang lain. Saya maklum ini daerah konflik.
Lebih dari itu tidak. Bahkan menurut saya, Cornelis piawai.
Saya juga mengaitkan perkembangan itu dengan perkembangan lain. Pada mulanya dia akan memilih pendamping yang muslim. Suryansyah namanya. Suryansyah dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU) mula-mula digadang untuk menjadi pendampingnya. Ura-uranya sudah nampak. Orang-orang di kalangan Nahdliyin sudah bersemangat menerima kemungkinan itu.
Tetapi, ada beberapa nama lain juga disodorkan kepada ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kalbar ini. Kabarnya sangat banyak.
Namun, kemudian Cornelis lebih memilih Christiandy Sanjaya. Christiandy, orang Cina. Mengapa dia pilih Christiandy?
“Saya ingin menang,” begitu kata Cornelis kemudian soal pilihannya itu.
Itu dikatakannya saat menjawab pertanyaan saya dalam acara Refleksi Akhir Tahun di Hotel Gajahmada Pontianak, (30/12/08). Satu tahun setelah dia dilantik sebagai gubernur Kalbar.
Sebenarnya saya sudah lama mendengar hal itu. Ada teman saya yang menjadi tim Cornelis yang memberitahu saya.
“Cornelis memilih Christiandy karena dia mau menang. Bukan pertimbangan lain.”
“Dia punya hitung-hitungan sendiri,”
Apa hubungannya Christiandy dan kemenangan Cornelis?
Hitungan sederhana saja. Menurut hitung-hitungan Cornelis, suara orang Dayak bulat mendukungnya. Dia percaya mendapat dukungan penuh karena dialah satu-satunya calon gubernur yang orang Dayak. Calon yang lain, Melayu.
Dukungan solid ini ditambah lagi suara orang Cina. Orang percaya komunitas Cina ini termasuk solid. Soliditas ini pasti akan dapat mengungguli laju calon lain. Kandidat gubernur lainnya, seperti Usman Ja’far (UJ), Osman Sapta Odang (OSO), dan Akil Mochtar (AM) –sekalipun tidak selalu menggunakan isu agama dan etnis, namun diramalkan akan membuat dukungan orang Melayu- Islam pecah. Pecahan ini yang akan memuluskan kemenangan Cornelis.
Apakah calon Dayak yang bersama UJ, OSO dan AM tidak berpengaruh? Agaknya tidak banyak. Nomor satu lebih menarik pemilih dibandingkan nomor dua.
“Kalau ada nomor satu, mengapa pilih nomor dua,”
Dan ternyata kemudian menurut hitung-hitungan pengamat, perolehan suara Cornelis bergerak lurus dengan jumlah komunitas Dayak dan Cina. Pengamat cukup yakin hal itu.
Sekalipun, kenyataannya ada kekecualian. Ada orang Islam atau Melayu yang memilih Cornelis. Atau sebaliknya ada orang Dayak dan Kristen yang memilih UJ, OSO atau AM.
Tetapi, meskipun isu etnisitas dan agama digunakan Cornelis dalam Pilkada Kalbar ketika itu, namun, tidak di semua tempat isu itu digunakan. Ada situasi khusus. Kampanye dengan mengangkat isu “Orang diri’”, “Dayak”, “Kristiani”, bahkan “Pribumi” dan “Marginal”, dipakai silih berganti.
Kadang kala isu loyalitas partai yang digunakan. Komando Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) digunakan dalam mesin perjuangan Cornelis.
Organisasi seperti Keluarga Besar Putra Putri Polri (KBPPP) juga digunakan untuk menunjukkan dukungan politik.
Selain itu, Cornelis juga mendekatkan diri pada tokoh di luar tokoh Dayak dan Kristen.


Kini, Cornelis telah satu tahun menjadi gubernur Kalbar. Banyak kegiatan bernuansa itu selama satu tahun pemerintahannya. Simbol-simbol etnisitas dan agama diakomodir.
Saya kira, pasti dana yang dikucurkan Cornelis untuk mendukung kegiatan atas nama agama dan etnik dalam satu tahun pertama kegiatannya, pasti cukup besar. Kegiatan-kegiatan organisasi ini –baik kegiatan di Kalbar, maupun kegiatan keluar Kalbar, perlu dukungan dana, dan dana itu dipinta dari gubernur.
Apa yang penting adalah, sejauh ini Cornelis tetap piawi di antara isu-isu itu. Managemennya bagus. Dia memperhatikan kepentingan kelompok Dayak, Kristen. Tetapi dia juga tidak mengabaikan kepentingan Melayu, Islam, dan yang lainnya.
Salah satu contoh yang mengesankan ketika acara Natal Bersama dan Peringatan 80 tahun RS Antonius. Cornelis menghentikan pidatonya selama beberapa menit untuk menghormati azan Magrib.
“Untuk menghormati saudara kita yang muslim,” katanya.
Cornelis juga menunjukkan hal itu ketika memilih pejabat yang akan membantunya menerajui Kalbar. Sebenarnya, sah-sah saja semua jabatan itu dipilih dari orang Dayak, orang Kristen, bahkan, juga dari pendukung dan kaum kerabatnya sekalipun. Itu hak prerogatif dia sebagai gubernur.
Namun, lihatlah kemudian dalam struktur ‘Kabinet Pelangi” yang dilantik beberapa hari lalu. Ada banyak orang Melayu di sana. Ada banyak orang Islam.
Nyatanya Cornelis juga melihat pengangkatan orang yang membantunya dari sudut kompetensi –setidaknya kemampuan managerial. Orang-orang yang ditempatkan di sana memenuhi syarat-syarat formal. Perubahan ‘nuansa’ etnisitas dan agama drastis. Seperti yang dikhawatirkan orang dahulu, Cornelis tidak membalap habis jabatan di level provinsi untuk etnis, agama, dan kelompoknya.
Tahun-tahun ke depan, hal seperti itu akan terus berlangsung. Nuansa etnisitas dan agama akan terus terasa.
Semua itu akan menjadi ujian bagi Cornelis. Apakah dia mampu menunjukkan sisi kenegarawanannya atau tidak? Apakah dia benar-benar seorang pemimpin bagi rakyat Kalbar?
Apakah kekaguman kita pada kepiawiannya memanage isu etnisitas dan agama akan terus berlanjut?
Semoga.




Baca Selengkapnya...

MIMPI DI BORNEO (Kumpulan Cerpen Mahasiswa STAIN Pontianak)

Mimpi di Borneo

Borneo
Tanah dengan sejuta harapan
Bermimpilah di sana dengan mimpi-mimpi indah

Jejaklah kakimu di sana
Tancapkan dengan kuat
Melangkahlah dengan tangkas
Gapailah impianmu


Oleh: Yusriadi

Mimpi di Borneo. Itulah buku berisi 11 cerita yang ditulis oleh sepuluh mahasiswa yang mengikuti kelas Feature, Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Jurusan Dakwah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak, plus seorang dosen pengampu matakuliah tersebut.
Buku ini diterbitkan oleh STAIN Pontianak Press tahun 2009, dengan editor Ambaryani dan Marisa Syakirin.




Sebelas bagian itu adalah:
Pada bagian pertama, cerpen tulisan Herianto berjudul “Perjuangan Seorang Ayah”. Tulisan ini mengisahkan bagaimana beratnya perjuangan ayah membesarkan anaknya, seorang diri setelah istrinya tiada. Kisah ayah yang bertanggung jawab. Tanggung jawab ini dibawanya hingga ajal menjemput.
Bagian kedua berjudul “Wonder Women Class” karya Hardianti. Isinya, tentang sekelompok mahasiswa perempuan menghadapi godaan dan tantangan. Ada isu perkuliahan. Ada juga isu asmara.
Bagian ketiga berjudul “Kenangan di Batu Ampar” tulisan Ira Humairah. Tulisan berisi pengalaman penulis ketika mengikuti kegiatan Masa Bhakti Mahasiswa angkatan tahun 2008 di Batu Ampar. Batu Ampar, nama tempat di kabupaten Kubu Raya. Letaknya di selatan Pontianak.
Bagian keempat berjudul “Selamat Berjuang Ksatriaku” tulisan Erni Purwanti. Tulisan ini bercerita tentang percintaan aktivis muda Islam. Cinta memberi warna dalam gerakan mereka.
Bagian kelima berjudul “Liburan Kami Kali Itu” tulisan Linda Puji Rahayu. Tulisan ini bercerita tentang perjalanan penulis ke Mempawah, ibukota kabupaten Pontianak. Penulis menggambarkan lika-liku perjalanan, dan hiruk pikuk suasana. Ada bumbu lucu dan ceria, khas anak muda.
Bagian keenam berjudul “Semua Demi Orang Tua”, tulisan Badliana. Tulisan ini berkisah tentang seorang anak yang berbakti pada orang tua.
Bagian ketujuh berjudul “Ta’aruf” tulisan Marisa Syakirin. Tulisan ini bercerita tentang cinta seorang gadis yang pernah mengalami patah hati. Tulisan ini menggambarkan kepasrahan seorang anak manusia setelah mendapat cobaan yang berat dalam kehidupannya.
Bagian kedelapan berjudul “Kado Terakhir” tulisan Ambaryani. Penulis menceritakan perjalanan hidup seorang mahasiswa yang menderita penyakit jantung. Penyakit ini diketahui setelah dia dikerjain oleh teman-temannya. Penyakit itu pula yang membawa pergi meninggalkan dunia fana ini.
Bagian kesembilan “Maafkan Aku” tulisan Erika Sulistia Mayda. Kisah ini berkisar seputar kehidupan di pondok pesantren, dengan berbagai warna. Konflik hidup bersama dirangkai menjadi jalinan cerita yang menarik pada bagian ini.
Bagian kesepuluh “Mimpi di Borneo” tulisan Septian Utut. Kisah ini bercerita seputar perpindahan seorang anak dari Jawa ke Pontianak. Ada mimpi indah. Ada tekanan psikologis. Ada proses adaptasi. Tidak mudah. Namun, di balik kesulitan itu ada kebahagian yang menjumput. Anak yang terpisah dari ayah bisa berkumpul lagi. Hati yang terpisah oleh mimpi bisa menyatu dalam realiti.
Bagian kesebelas “Pilihanku” oleh Yusriadi. Bagian ini mengisahkan perjalanan hati seorang mahasiswi yang kemudian memilih temannya sendiri sebagai tambatan. Tidak instant. Tidak serta merta. Prosesnya panjang. Walaupun begitu alurnya mengalir dengan lembut dan apik. Tidak neko-neko. Tidak melanggar etika dan moral.




Baca Selengkapnya...

Rabu, 14 Januari 2009

Membicarakan Bupati KKU, Hildi Hamid

Oleh
Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune


Hildi Hamid. Nama itu cukup menonjol dalam pandangan banyak orang di Kalbar sekarang ini. Saya memberikan catatan khusus terhadap tokoh yang 10 tahun lalu tidak cukup diperhitungkan itu.



Program pendidikan gratis cukup menawan. Kebijakan meningkatkan anggaran pendidikan di KKU yang mencapai 23 % adalah kebijakan yang luar biasa.
Luar biasa karena kebijakan itu sudah menimbulkan tarik menarik yang kuat. Tidak mudah. Sepanjang saya membuat liputan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan di pemerintah kota Pontianak dahulu, saya memahami persoalan anggaran adalah persoalan rumit. Rumit karena ada kepentingan di sana. Ada kepentingan rakyat, ada kepentingan hasil musyawarah pembangunan –kelompok kelas menengah, ada kepentingan pejabat, ada juga kepentingan politisi. Ada juga kepentingan kontraktor.
Macam-macam.
Banyak orang kaya di daerah kita ada kaitan dengan kepentingan-kepentingan itu. Orang-orang kaya di sekitar kita banyak yang hidup dari sumber anggaran; baik langsung maupun tidak langsung. Ada pimpinan proyek, ada kontraktor, dan ada mitra kontraktor.
Pembahasan anggaran juga rumit. Rumit juga karena ini menyangkut hitung-hitungan. Ada pos-pos yang sudah harus diisi. Mengisi pos formal sebagaimana yang tercantum dalam pagu yang biasa mungkin tidak susah, yang susah adalah bersikap luwes terhadap pagu itu. Sebabnya, kepentingan anggaran tidak pernah kaku. Selalu harus ada kebijakan anggaran untuk menyesuaikan kehidupan yang dinamis.
Karena itu, selalu kita dengar ada yang mengatakan perubahan mudah disebutkan tetapi sulit dilakukan. Boleh tanya pada semua kuasa anggaran untuk mendapatkan informasi bagaimana sulitnya 'pekerjaan itu'. Bahkan, saya kira semua pejabat administrasi yang mendampingi seorang kepala, mulai dari Sekretaris Daerah, hingga pejabat kepala Tata Usaha, semua pernah merasakan hal yang sama. Jika mereka tidak mampu menikmati pekerjaan, mungkin awal-awal mereka sudah menyerah.
Di tengah situasi seperti ini tentu perubahan yang besar sulit dilakukan. Dan apa yang diperlihatkan di Kayong Utara, bisa dilakukan. Ada kebijakan Hildi Hamid. Dan ada penyesuaian yang bisa dilakukan Tim Anggaran KKU.
Selama ini, banyak orang yang mengatakan dirinya memperhatikan pendidikan, namun sebenarnya perhatian itu hanya di mulut. Termasuk juga banyak orang yang menjanjikan perhatian pada rakyatnya, tetapi sebenarnya perhatian yang mereka berikan sangat terbatas. Pada tataran praktis mereka tidak dapat melaksanakannya karena kekuatan tekanan tidak diberikan. Lalu, akhirnya apa yang mereka katakan lebih banyak slogannya dibandingkan aksinya.
Lalu muncullah ungkapan: "Sulit. Saya tidak didukung staf,"
Kedua, Hildi membuat program pelatihan untuk pendamping desa. Sistem advokasi seperti ini memang mengingatkan kita pada program pemerintah dahulu dengan konsep sarjana penggerak pedesaan. Tetapi, saya kira paradigma berbeda. Saya menebaknya demikian karena saya melihat bagaimana Hildi melibatkan expect dari kalangan lembaga pendampingan–kalangan LSM.
Saya masih percaya, orang-orang di lembaga pendampingan ini berbeda cara pikirnya dengan tutor-tutor yang memandu sarjana penggerak pedesaan, dahulu.
Lalu, saya berpikir andai saja sarjana pedesaan ini juga dibekali dengan ilmu riset dan ilmu menulis sudah pasti hasil dampingan akan sangat maksimal. Bak mendayung, sekali dayung dua tiga pulau terlampaui.
Pendampingan saja tanpa bahan pertimbangan pendampingan yang cukup dan kuat –yang bahan itu akan lebih baik jika diperoleh melalui riset, bisa membuat pendamping tidak dapat membuat keputusan yang tepat. Keputusan yang tepat sangat berguna untuk mengambil tindakan yang tepat.


Baca Selengkapnya...

Rabu, 07 Januari 2009

Sebelum Tim Teknik - Tim Hukum Untan Bentrok

Oleh: Yusriadi

“Saaaayooo’. Saaaayoo’”
“Saaaayooo’. Saaayoo’”
Teriakan itu membahana. Membentuk koor. Ramai. Sebuah nyanyian. Renyah.
Teriakan itu terdengar dari kelompok mahasiswa yang kebanyakan berpakaian hitam, dengan syal warna biru laut yang diikatkan di lengan kanan.


Itu mahasiswa Teknik Universitas Tanjungpura Pontianak. Mereka sedang memberikan ‘spirit’ untuk timnya – kesebelasan Fakultas Teknik, yang sedang menghadapi kesebelasan Fakultas Hukum. Kedua kesebelasan ini bertemu dalam ajang kompetisi Sepakbola Mahasiswa yang diselenggarakan FKIP Untan.
Pertandingan sore itu –20 November 2008, dilaksanakan di Stadion Sultan Syarif Abdurrahman Pontianak. Stadion utama di Kalimantan Barat.
Sesekali juga terdengar yel-yel Fakultas Teknik. Lagu “Ospek”. Sesekali terdengar teriakan tak tentu-tentu.
Puluhan –bahkan ratusan mahasiswa berpakaian khusus duduk di tribun utama, bagian kanan Tribun Kehormatan. Pendukung tim Fakultas Teknik. Sedangkan, di bagian kiri Tribun Kehormatan, agaknya pendukung Fakultas Hukum. Dibandingkan pendukung Fakultas Teknik, penduduk Fakultas Hukum kalah suara. Kalah ramai. Kalah meriah.
Hari itu kebetulan saya duduk di tribun bagian kanan bersama Ibrahim. Ibrahim dosen Komunikasi, di Jurusan Dakwah di STAIN Pontianak. Saya katakan kebetulan karena sebelum masuk ke stadion saya tidak tahu kalau pertandingan yang akan saya saksikan adalah pertarungan besar. Saya datang sebenarnya hendak menyaksikan pertandingan Tim Dakwah. Ingin melihat ‘anak-anak’ main. Ingin memberikan semangat.
Tapi, rupanya Tim Dakwah sudah main. Mereka main pada pertandingan pertama. Kalah. Karena sudah terlanjur datang, saya dan Ibrahim bertahan. Tidak apa menonton pertandingan Fakultas Teknik – Fakultas Hukum.
Saya kira pertandingan pasti akan seru. Kedua tim memiliki nama dalam dunia sepak bola mahasiswa.
Dugaan saya memang benar. Pertandingan berjalan seru. Fakultas Teknik lebih unggul dalam penguasaan bola. Saya tertarik pada penampilan pemain tengah mereka. Pemain Nomor 7. Dialah pengatur irama permainan. Dia jenderal di Tim Teknik. Teknik bermainnya bagus.
Namun, pertahanan Tim Fakultas Hukum sekalipun tidak menonjol, tetapi bagus –bahkan sangat bagus. Kolektif. Meskipun sepanjang pertandingan mereka tertekan, namun tidak mudah bagi Teknik membobol pertahanan mereka. Sampai akhir pertandingan, Teknik hanya bisa unggul 1 gol saja.
Saya rasa dari sisi lain, Tim Teknik agak kurang beruntung karena seharusnya jika melihat dari keseluruhan pertandingan mereka layak menang lebih dari satu gol.
Saya kira penonton sangat puas dengan hasil ini. Pendukung Fakultas Teknik puas karena timnya menang. Pendukung Fakultas Hukum juga puas. Mereka bisa menerima kekalahan.

***

Namun, meskipun di lapangan kedua tim bermain bagus dan sportif, situasi di tribun penonton menurut saya agak keterlaluan. Olok-olokan antara kelompok di sebelah kanan Tribune dan sebelah kiri ‘luar biasa’.
Ada beberapa kali terjadi rengsekan.
“Bisa kelahi nanti,”
Saya sempat mendengar Ibrahim.
Saya mengiyakan.
Saya sempat membayangkan kalau sampai ribut bagaimana. Ada beberapa pendukung perempuan. Saya tidak melihat polisi –setidaknya polisi berpakaian seragam di sekitar kami duduk.
Sampai akhir pertandingan, suasananya aman. Saya dan Ibrahim kembali ke kantor Harian Borneo Tribune. Kami berusaha keluar lebih awal dari penonton yang lain. Takut terjebak kemacetan. Saya masih harus menyelesaikan pekerjaan di kantor. Deadlinenya sudah lewat.
Saya tidak tahu apa yang terjadi kemudian, sampai saya mendapat kabar keesokan harinya.
“Kampus Fakultas Hukum bederai”.
“Kaca pecah.”
“Ada keributan antar mahasiswa Teknik dan Hukum. Karena sepakbola,”
Saya langsung teringat tontonan kemarin.
Ternyata Ibrahim benar. Ternyata memang ada perkelahian.
Menyedihkan.
Lebih menyedihkan ternyata bentrok ini membuat kompetisi sepakbola secara dihentikan.


Baca Selengkapnya...

Futsal dan Buah Pisang: Psikologi Orang Kalah

Oleh: Yusriadi

“Bang Yus, lihat ini!”
Fahmi Ichwan, staf pracetak di koran kami menyodorkan koran Borneo Tribune (Selasa, 6/12), persis saat aku hendak mendudukkan badanku di kursi lipat, di ruang Pusat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (P3M) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak.
Dia menunjukkan tulisan “Suara Enggang” di halaman 1 koran ini.
Tulisan Budi Rahman. Judulnya “Kemenangan Itu Enak Diomongkan”




“Ngelagak die,”
Aku diam.
“Kita ditulisnya,”
Aku mulai menebak apa maksud Fahmi.
Aku mulai membaca tulisan itu.
Pada bagian awal dia menulis tentang arti dan makna kemenangan. Lalu dia mengaitkan kesana kemari. Tersambunglah cerita dia soal timnya yang menang main futsal Minggu malam (4/1/2009).
Benar. Dia melagakkan kemenangannya itu. Dia menceritakan bagaimana timnya menang dalam permainan futsal Minggu malam.
Dan dia mengura-urakan bagaimana senangnya dia dengan kemenangannya itu.
“O, itu dia”.
“Senang benar dia.”
“Biarlah. Biar dia rajin nulis”.
“Tapi dia tak fair”.
Aku lalu menunjukkan pada Fahmi dua hal. Pertama, Budi tidak menceritakan bahwa kemenangannya didapat dengan mudah. Budi memang bermain cantik malam itu. Tanto Yakobus, tandemnya di lini depan juga bermain bagus. Gol-gol yang mereka ciptakan sangat indah. Gaya Tanto, seperti gaya Romario, pemain Brazil era tahun 80-an.
Kami kalah beruntung. Aku sudah berjibaku. Jatuh bangun. Fahmi sudah berusaha. Begitu juga Hentakun, Andi dan Edo. Tembakan kami pas-pas di gawang. Entah berapa kali membentur tiang, atau beberapa centi di atas mistar. Gawang Bang Fakun seperti diselimuti jala keberuntungan.
Budi tidak menceritkan bahwa kami kurang beruntung karena tim kami 5 orang melawan tim Budi yang berjumlah 6 orang. Bayangkan, 5 lawan 6. Bak kata, 11 pemain melawan 10 pemain. Kalau jumlahnya sama mungkin kami tidak serepot malam itu.
Kedua, Budi bikin strategi ‘kasih umpan’ di luar lapangan. Malam itu, dia membeli satu tandan pisang lemak manis di Jalan Purnama. Katanya dia keluar modal Rp11.000. Pisang itu diumpannya pada tim kami. Begitu dia datang ke lapangan, pisang itu langsung diletakkan di depan kami.
“Makan jak ii...”
Ya, tentu saja kami makan umpannya dengan lahap. Satu, dua, tiga.
Begitu Budi menawarkan pisang dengan logat Sambasnya yang agak nyangkut-nyangut. Maklum dia bukan penutur asli. Dia mengaku bisa bahasa Sambas karena pernah bertugas di Biro Sambas beberapa pekan. Tapi, dia rajin melatih bahasanya itu dengan Bang Fakun, atau Mbak Tika –yang mau melayaninya ‘berbahasa Sambas ala Budi’.
Penawarannya, gayanya, sama manisnya dibandingkan pisang lemak manis yang dibawanya.
Hasilnya memang luar biasa. Baru mulai main, kawan-kawan sudah jatuh bangun.
“Berat perut”.
“Alamak tak bise bekejar,”
Celaka dua belas.
Celake pisang.
Pisang yang di dalam perut mulai berontak ke atas bawah karena dibawa lari.
Tentu saja akselerasi kawan-kawan jadi terbatas. Gerakan tidak lincah seperti biasa –setidaknya dibandingkan pertandingan Minggu malam sebelumnya saat tim kami mengalahkan Tim Budi. –Catatan tambahan, Minggu lalu jumlah pemainnya sama banyak dan Budi tidak memberi umpan buah pisang.
Setelah selesai main, baru kami komplen pada Budi.
“Parah, kau Bud.... Pakai ilmu pisang,”
Budi hanya cengar cengir. Cupingnya kembang. Lalu dia tertawa ngakak. Lebih dahsyat dibandingkan kalau dia tertawa saat baca rubrik Skumba.
Geraaam. Rasanya, pengin aku melemparkan kulit pisang ke wajahnya.
Untung badan dia besar. Kalau kecil, pasti aku mengajak kawan-kawan mengepung Budi dan menyumpalkan pisang dengan kulit-kulitnya ke mulut itu. Biar sekalian dia tidak bisa jumawa dengan kemenangan yang menurut tim kami, tidak fair.
Ya, maklumlah, psikologi orang-orang yang kalah. Agak mudah geram.
Tak dapat menerima kekalahan dengan lapang dada. Apalagi kalau melihat yang menang tertawa jumawa. Memang enak ditertawakan sebagai pecunda?
Kalau ada jalur komplen –misalnya ke Ombudsmen atau ke Mahkamah Konstitusi, tentu prilaku jumawa ini sudah kami laporkan. Tak soal akan menang atau kalah nanti.
Lalu, aku, bisik-bisik pada teman satu tim.
“Minggu depan, giliran kita umpan dia. Mungkin kita umpan dia dengan durian saja. Biar celake durian membuatnya tidak bisa mengejar bola. Lalu kita cukur habis tim mereka. Kalau perlu 10 – 0. Biar dua minggu dia tak bunyi.”
“Tak perlu Bang. Minggu depan tim kita lengkap. Bang Nur Is sudah datang,”
Nur Is adalah bek tangguh tim kami. Susah menghadapinya.
“Tak apa, kita beli pemain baru,”
“Siapa?”
“Tantra, boleh?”
Aku masem-masem. Tidak mungkin. Terlalu kecil untuk menghadang pergerakan Budi.
Mungkin lebih baik ajak Muhlis, atau Ula. Muhlis dan Ula badannya besar tinggi. Mereka bisa menghambat Budi.
Bujuk-bujuk jak.


Baca Selengkapnya...

Minggu, 04 Januari 2009

Di Tengah Krisis Itu...., Pangan Solusinya


Oleh: Yusriadi
Borneo Tribune, Pontianak

Krisis keuangan global yang terjadi tahun 2008 memang mengguncangkan ekonomi Indonesia. Pemberitaan media membuat semuanya mudah diikuti. Perkembangan bursa saham dunia, dampak-dampak yang terjadi, tindakan-tindakan penyelamatan, dll., begitu mudah diikuti.
Di mana-mana orang membicarakan dampak krisis. Penurunan harga beli pedagang, dan peningkatan harga jual komoditas tertentu menjadi tema penting, karena menyangkut sendi-sendi kehidupan masyarakat. Di kantor, di pasar, hatta di rumah pun orang merasakan dampaknya.



Saya termasuk orang yang mengikuti perkembangan ini. Walaupun tidak secara intens, tetapi garis besar persoalan, punca, dan sebagainya, saya ikuti. Seperti juga orang banyak, saya menyimak karena krisis bersentuhan langsung dengan kehidupan saya sehari-hari.
“Karet sekarang tidak dibeli orang. Pedagang masih nunggu keadaan,”
“Toke karet kita rugi besar. Jatuh tedudok. Dia beli harga Rp 9000, sekarang dijual Rp 6000”.
“Kalau mau cari motor bekas, sekaranglah waktunya. Ada yang jual motor kredit Rp1 juta”.
“Adik saya karyawan sawit, kena PHK,”
“Perusahaan sawit merumahkan karyawan”.
“Ada keluarga saya sopir truk sawit, sekarang tidak bekerja”.
“Saya tidak tahu bagaimana membiayai anak-anak kuliah, sekarang”.
Pelbagai informasi ini saya terima.
Saya mendengar dengan seksama. Tapi, saya cemas.
Saya seperti melihat dampak buruknya. Bayang-bayang kekalutan seperti berada di depan mata. Tidak bisa ditangani.
Ya, karet dan sawit, selama ini menjadi andalan perekonomian orang kampung di pedalaman, katakanlah di Kapuas Hulu, Sintang, Melawi, Sanggau, Landak. Saya kira, Ketapang juga sangat bergantung pada dua sektor ini.
Dua usaha ini telah menggeser peran pertanian padi. Bahkan, padi, sudah mulai kehilangan ‘mukjizatnya’ membantu orang kelaparan. Usaha peladangan sekarang ini jarang sekali mampu menghasilkan padi yang dapat disimpan sampai satu tahun. Saya seringkali menemukan hasil ladang hanya mampu menyuplai makan penduduk selama setengah musim. Orang yang berladang harus membeli beras toko atau beras ili’ –begitu biasa disebut, agar terus makan. Kesan saya sekarang, orang berladang karena mereka merasa perlu menjaga tradisi. Jika tidak berladang orang merasa tradisi sebagian dari tradisi seperti hilang dari diri mereka.
“Untuk nanam pulut,”
“Untuk burung pipit,”
Emak saya membahasakan begitu kalau mereka berladang di lahan yang kecil. Jadi kalau sudah begini, bukan hasil padi yang mereka pikirkan.
Lahan sekarang sudah sangat terbatas. Penduduk banyak. Lahan sekarang juga tidak subur lagi. Harus dibantu pakai pupuk. Sedangkan pupuk mahal –dan malah sering dikeluhkan: tidak ada.

***

Saya semakin cemas karena Pemerintah -- seperti diberitakan media -- tidak bisa berbuat banyak. Pemerintah sudah mengumpulkan pengusaha sawit dan juga pengusaha karet, mendiskusikan persoalan itu. Namun, jalan keluar sesungguhnya belum ketemu. Maklum, ini krisis global, terlalu berat orang lokal menghadapinya. Masalahnya orang lokal sangat tergantung pada orang global itu.
“Di luar kuasa kita,”
Kata beberapa pejabat daerah seperti dikutip media ketika mereka dimintai tanggapan seputar anjloknya harga karet dan sawit.
Gubernur Cornelis seperti disampaikan dalam diskusi refleksi akhir tahun yang diselenggarakan Harian Borneo Tribune (30/12) mengatakan Kalbar sudah mengirimkan surat kepada Menteri Keuangan RI. Jadi, keputusan pada akhirnya sangat tergantung pada pusat, pada orang di atas. Kalau keputusan yang diambil sesuai dan mampu meringankan beban masyarakat di tengah konflik, lumayan. Jika keputusan tidak kunjung diambil, atau kalaupun diambil keputusan tidak menyelesaikan masalah, tentu persoalan yang dihadapi menjadi lebih runyam.
Lalu apa tindakan lokal untuk menghadapi persoalan itu? Apa yang bisa dilakukan petani karet dan petani sawit di tengah situasi seperti ini?
Saya jadi teringat solusi yang akan diperhatikan Gubernur Cornelis.
“Pangan,”
Di tengah krisis seperti ini, di tengah kepasrahan yang dipilih, pemerintah memilih solusi dengan program ketersediaan pangan masyarakat. Krisis bagaimanapun, masyarakat tetap makan. Keterpenuhan kebutuhan yang lain menyusul.
Anggota DPRD Kalbar Michael Yan memberikan pandangan senada. Pangan penting diperhatikan di tengah krisis. Bahkan, walaupun Michael Yan optimis krisis ini tidak akan lama, namun, perhatian terhadap pangan mestinya tidak hanya pada saat krisis. Harus selalu diperhatikan. Apalagi potensi alam di Kalbar ini besar dan memungkinkan.
Saya kira solusi ini, solusi yang arif. Paling tidak ada plan penting yang bisa diambil pemerintah menghadapi situasi yang sulit.
Bak kata orang, kalau masih ada beras, amanlah periuk. Aman juga kampung tengah. Lauk bisa dicari. Kayu bakar bisa dicari. Tinggal memasak saja, lagi.
Kalau masih bisa makan, tenanglah pokoknya.




Baca Selengkapnya...

Sabtu, 03 Januari 2009

Buku: DARI WAK GATAK KE KAMPUNG BETING


Buku ini berisi catatan perjalanan peserta pelatihan metode penelitian berbasis participatory action research (PAR) yang diselenggarakan STAIN POntianak, Desember 2008.




Baca Selengkapnya...

Catatan untuk Buku: DARI WAK GATAK KE KAMPUNG BETING

Oleh: Yusriadi

Buku “Catatan Perjalanan dari Wak Gatak ke Kampung Beting” akan dilaunching sebentar lagi. Buku ini adalah buku yang sederhana. Tetapi, sekaligus buku yang menakjubkan.




Sederhana, karena isi buku adalah catatan perjalanan delapan (8) peserta –dari lebih 20 peserta, yang tergabung dalam kegiatan pelatihan peneliti Participatory Action Research (PAR) yang dilaksanakan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak, Desember lalu.
Peserta mencatat waktu kegiatan, apa yang mereka lihat. Apa yang mereka dengar. Apa yang mereka bicarakan. Bahkan, sesekali dicatat juga apa yang mereka pikirkan.
Pasti, catatan seumpama itu bisa dibuat oleh semua orang. Bedanya, mungkin pada kedalaman dan pada keteperincian. Mungkin juga ada beda dari sisi bagaimana cara mengungkapnnya.
Jangankan dosen, sebenarnya catatan seperti ini bisa dibuat oleh mahasiswa, atau siswa sekolah menengah atas.
Soal sebenarnya: mau atau tidak.
Sebab sering kali orang tidak mau melakukan itu. Sering kali orang tidak sempat melakukan hal itu karena banyak kesibukan.
Sering kali orang tidak mau melakukan karena hal seperti itu terlalu sederhana. Terlalu kecil dan remeh temeh.
Tetapi, walaupun remeh temeh, tetapi ketika saya membaca semua tulisan itu, saya menemukan keajaibannya.
Bukan saja saya merasa seperti terlibat dalam semua petualangan itu, atau karena saya dapat membayang pengalaman masing-masing penulis. Saya takjub karena menemukan banyak hal baru di sini.
Semua itu bermula ketika saya membuat pengantar untuk buku ini. Saya membuat tulisan pengantar berjudul: “Usaha Kecil untuk Impian yang Lebih Besar”.
Melalui tulisan pengantar ini saya ingin mencari kelebihan yang disajikan buku ini, dan saya memikirkan sumbangan apa yang bisa diberikan buku ini untuk pemberdayaan masyarakat di tiga lokasi: Parit Wak Gatak, TPI dan Kampung Beting.
Dan, saya menemukan. Data yang disajikan, meskipun dalam bentuk data mentah, justru memperlihatkan kekayaan.
Ada dua hal yang membuat saya terperangah setelah menggeluti tulisan ini. Pertama adalah soal perubahan. Perubahan apa yang sedang terjadi di tengah masyarakat. Dan kedua, bagaimana masyarakat bersikap terhadap perubahan itu.

***

TPI adalah singkatan dari Tempat Pelelangan Ikan. Fasilitas ini dibangun sebagai tempat kapal ikan berhenti dan bongkar muat. Tidak terlalu jelas apakah ada pelelangan dilakukan di sini.
Pada mulanya, kampung di sini adalah perkebunan kelapa, yang kemudian menjadi perkebunan karet. Setelah itu menjadi tempat menanam padi, lalu menjadi perumahan. Sekarang perumahan tumbuh di mana-mana. Sangat padat. Bersambung-sambung. Padatnya TPI sudah sama padatnya dengan perumahan seperti Perumnas di tengah kota Pontianak.
Perumahan yang dibangun itu menjadikan TPI sebagai tempat yang majemuk. Orang datang dari mana-mana. Orang dari berbagai daerah asal dan suku, serta dari berbagai jenis pekerjaan, berkumpul di sini. Sangat terbuka.
Keberadaan TPI juga menarik. Tembok-tembok TPI menjadi tembok yang membatasi tempat itu dengan masyarakat sekitar. TPI, tempat pendaratan ikan, tempat kapal berlabuh, juga menjadi tempat awak-awak kapal mendarat. Tempat orang berkumpul.
Memang ada rizki yang terciprat dari sana. Perdagangan kecil marak.
Tetapi, pendaratan juga mendatangkan ancaman bagi masyarakat sekitar. Lihat sikap yang diperlihatkan anak-anak perempuan yang dilaporkan Hermansyah, penulis bagian ini.
Mereka takut. ”Untuk apa Om tanya-tanya,” jawab seorang dengan ketus, lalu pergi. Sikap yang mengherankan. Berbeda dibandingkan sikap anak-anak lelaki yang dengan ramah melayaninya melakukan wawancara.
Mengapa mereka takut?
Mereka takut bukan karena mereka tidak mau membantu. Mereka takut karena ada yang mereka khawatirkan. Orang di TPI khawatir anak-anak perempuan mereka ’diincar’ oleh orang-orang kapal. Karena itu mereka melarang anak perempuan dekat dengan sembarang orang. Tidak boleh juga melayani percakapan. Larangan itu tidak berlaku pada anak lelaki.

***

Informasi dari Kampung Beting, Pontianak Timur juga menarik. Juniawati melaporkan sesuatu yang ironi terjadi.
Beting adalah sejarah kota Pontianak. Ini cikal bakal kota ini. Nenek moyang merekalah pendiri kota ini.
Namun, di sisi lain, pembangunan di sini ‘agak tertinggal’. Jalan menuju perumahan adalah jalan kecil. Sebagian hanyalah jalan kayu: gertak.
Rumah-rumah padat dan agak sederhana. Jemuran diletakkan di depan rumah, di sepanjang jalan.
Tidak ada sekolah yang elit di sini. Bahkan sekadar sekolah menegangah atas.
Jumlah anak-anak yang bersekolah juga terbatas.
Keadaan ekonomi di sini juga tidak cukup baik. Setidaknya jika dibandingkan keadaan yang bisa dilihat di seberang mereka: di pasar Senghie.
Pasar yang ada masih serupa pasar tradisional, yang mungkin tidak berubah sejak lebih 300 tahun lalu.
Bahkan, belakangan Kampung Beting menjadi wilayah baru yang menyeramkan. Angker. Dengar saja apa kesan orang luar yang masuk ke sini.
Yang terjadi sekarang, Kampung Beting tertutup. Ada pagar maya –yang tidak terlihat mata membatasi. Membatasi orang luar, dan mungkin juga membatasi orang dalam itu sendiri.
Saya melihatnya sebagai pembatas yang muncul menyusul perlawanan penduduk setempat terhadap perubahan. Pembatas ini muncul sebagai bentuk protes penduduk setempat terhadap ironi yang disajikan di depan mereka.
Lalu, apakah keadaan ini akan terus bertahan? Atau, bisakah mereka terus bertahan di tengah keterbatasan dan ironi itu? Siapa yang akan membawa mereka keluar?
Pertanyaan ini membuat saya jadi teringat pada pemilihan walikota Pontianak beberapa waktu lalu. Pontianak Timur, termasuk Kampung Beting, merupakan daerah yang paling banyak mendapat sorotan selama masa kampanye pemilihan walikota Pontianak. Waktu itu kandidat menjual ketertinggalan Pontianak Timur untuk mencari simpati orang-orang Pontianak Timur. Beberapa kandidat berjanji akan meningkatkan pembangunan di Pontianak Timur. Wilayah ini akan dijadikan sebagai prioritas.
Tunggu saja!

***

Apa yang ditemukan di Parit Wak Gatak juga tidak kalah menarik. Situasi yang diperlihatkan berbeda dan bahkan bertolak belakang. Parit ini, adalah daerah yang makmur. Tanahnya subur. Penduduk di sini kebanyakan orang Madura dan sedikit Bugis. Masyarakatnya rajin. Ekonomi nampak agak lebik baik. Dan rancak. Jenis makanan luar laris manis. Rumah penduduk besar dan permanen.
Tetapi, pendidikan tidak cukup baik. Sekolah yang ada memprihatinkan. Sekolah bocor. Kalau hujan, anak-anak pindah belajar ke masjid. Ruang belajar juga terbatas. Satu ruang untuk dua kelas. Guru yang mengajar juga terbatas. Maklum, sekolah swasta.
Selain itu, pemasaran produk tidak cukup baik. Jalan masuk ke kampung belum bagus. Jalannya lebar. Bila hujan, jalan becek. Terhambat.
Pemasaran sangat tergantung pada “peraih” yang datang dari luar. Peraihlah yang membeli hasil tani mereka. Harganya tentu saja agak lebih miring.
Tetapi dari data yang disajikan di buku ini, dapat diramalkan perubahan yang hebat sedang terjadi. Lahan pertanian yang subur itu mulai berpindah tangan. Pembelinya adalah orang yang berasal dari kota Pontianak. Orang kaya.
Tidak jauh dari Parit Wak Gatak sudah berdiri perumahan. Lahan untuk perumahan akan melebar menggeser lahan untuk pertanian. Pasti penduduk luar akan masuk.
Mampukah orang kampung bersaing dengan orang luar –ketika pendidikan mereka terbatas? Mampukah mereka menghadapi orang luar ketika keterbatasan pengalaman mereka hanya sebatas kehidupan kampung mereka?
Lihat saja nanti.
Saya kira dilihat dari perspektif sosial, apa yang diperlihatkan di tiga tempat ini memperlihat respon yang berbeda terhadap perubahan yang terjadi di sekitar mereka. Dan ini tentu saja akan menjadi sesuatu yang menarik untuk terus diamati. Sampai pada batas-batas tertentu.
Saya kira jika mau peduli, fenomena ini tentu tidak boleh diabaikan begitu saja. Di sinilah advokasi sesungguhnya diperlukan oleh masyarakat. Lebih dari sekadar teriak-teriak.



Baca Selengkapnya...

Kembang Api di Pontianak


Pesta kembang api juga mewarnai pergantian tahun di kota Pontianak, Kalimantan Barat. Masyarakat kota turun jalan membuat suasana sangat meriah. Foto Lukas Wijanarko/Borneo Tribune.



Baca Selengkapnya...

Bunga Api di Langit Kota Pontianak

Oleh: Yusriadi

Pukul 00.00 tanggal 1 Januari 2009.
Malam yang istimewa. Malam yang ditunggu-tunggu. Malam ritual bagi banyak orang. Ada yang menggelar pesta. Ada yang menggelar refleksi. Ada yang menggelar aksi konvoi. Bahkan, sekadar ‘bekondan’ dengan music cadas di pinggir jalan, atau sekadar buat jagung bakar bareng keluarga di halaman rumah.



Saya, termasuk orang yang harus menganggap malam ini istimewa juga. Menyambut pergantian tahun dengan sambutan khas.
Sebagai awak koran Borneo Tribune, kami ngumpul di Cafe Roof, Hotel Peony, Jalan Gajahmada Pontianak. Kami merayakan pergantian tahun dengan makan bersama untuk membangun kebersamaan. Lalu, ada acara hiburan.
Mula-mula penghiburnya, ‘artis Cafe Roof’. Lalu kemudian orang-orang Borneo Tribune menyumbangkan lagu.
Mula-mula, Rizky Wahyuni menyanyikan lagu “Sempurna” yang dipopulerkan oleh Gita Gutawa. Keren abis! Nadanya ngemat – kata orang Melayu Pontianak. Gaya menyanyinya, sudah mirip penyanyi pentas. Lihat misalnya, dua tiga jemari tangan kanannya yang memegang mike digerak-gerakkan mengiringi rentak irama anggukan kepala dan musik.
Wartawan baru di Borneo Tribune yang mulanya saya kenal sebagai aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Pontianak, memukau orang yang hadir di cafe malam itu. Tepuk tangan bergemuruh. Sangat menghibur.
Rizky juga mendampingi Mbak Dwi saat menyanyikan lagu “Laskar Pelangi”. Walaupun rada ketinggalan nada gitar yang mengiringi lagu, namun, penampilan duet ini membuat pendengar asyik. Terbayang film Laskar Pelangi.
Setelah itu, Zulfakar, awak bagian pemasaran. Suara emasnya membuat kami takjub. Benar-benar penyanyi. Dia juga terlihat sangat menikmati pertunjukannya malam itu. Saya kira dia adalah artis yang kesasar jadi awak pemasaran. Sungguh, kalau dia melamar jadi penyanyi, garansi akan diterima.
Penampilannya juga maching. Kalau pernah lihat Imam S Arifin, begitulah gayanya malam itu. Mungkin seperti pinang dibelah-belah-lah.
Lalu Budi Rahman, redaktur muda di Borneo Tribune. Meskipun suaranya ‘agak parau’ semangat menyanyinya luar biasa. Sedikit latihan, pasti ‘pitch control’-nya –pinjam istilah Mbak Iie’ – Tri Utami, pada acara Akademi Fantasi Indosiar (AFI), ok. Dan, dia memang harus banyak latihan jika kelak nekat terjun ke pentas politik. Mantan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Pontianak ini pernah terjun dalam pemilihan Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kota Pontianak, beberapa bulan lalu. Namun, kursi organisasi kepemudaan ini gagal diraihnya.
“Kurang vitamin,”
“Memang di mana-mana tak ada yang bilang suara saya harmoni. Begitulah,” kata Budi Rahman.
Tetapi, dia janji akan terus menyanyi.
Muhlis Suhaeri, redaktur Borneo Tribune yang paling dibanggakan di kalangan orang Tribune sepanjang tahun 2008 –dia meraih dua penghargaan Mohtar Lubis Award dan Adi Warta, Sampoerna, untuk karyanya ‘Lost Generation’, juga menyumbangkan lagu Mother, How Are To Day. Dia juga menyanyikan lagu Iwan Fals berjudul “Ibu”.
Suprianto alias Po’i, juga ikut ambil bagian. Suaranya mantap, dan menghibur. “Ketahuan yaaa sering ke karaoke,”
Begitu kawan-kawan berkelakar.
Setelah itu, acara yang dipandu Budi Rahman, dilanjutkan dengan permainan kecil ‘baca puisi’. Mula-mula Bang Wito –Suwito, MH., Direktur Borneo Tribune Pontianak. Lalu, saya, Nur Is, Budi Rahman, Muhlis, Bang Fakun.
Dilanjutkan kelompok perempuan. Dwi Syafrianti, Mbak Ana -- istrinya Bang Wito, Rizky, Julianti, Lina, dan Suryani.
Mering, yang nama kerennya Wisnu Pamungkas, didaulat membaca puisi tunggal. Lalu Pak Agus Parakesit, awak Bagian Umum. Puisinya yang dibaca adalah “Lima Enggang Gading”. Puisi itu diciptakan Wisnu Pamungkas saat kami mempersiapkan kelahiran koran Borneo Tribune. Isinya, tentang semangat, cita dan harapan. Isinya ekspresif. Maklum, penciptanya terlibat dalam isi yang diciptakan.
Terakhir ada sambutan-sambutan yang disampaikan Bang Wito dan Nur Is. Mereka menyampaikan harapan-harapan dan pesan-pesan.

***

Lebih istimewa lagi, saya melewati detik pergantian tahun di Pontianak. Benar-benar detik. Bukannya ‘malam’.
Pada detik-detik menjelang pergantian tahun saya melihat pemandangan yang indah. Luar biasa.
Saya berdiri di jendela cafe yang sengaja dibuka, bersama banyak orang malam itu. Seluruh awak redaksi. Pak Suhaili, Manager Hotel juga ada di sana malam itu.
Semua melihat ke arah timur, Jalan Gajahmada, Pontianak.
Kembang api bertaburan menghiasi di langit kota Pontianak. Saya mencoba menghitung berapa kali kembang api memecah di udara. Mula-mula dapat. Satu, dua, sepuluh, dua puluh. Tetapi seterusnya, lupa.
Saya yakin ada ratusan kali percikan kembang api menerangi langit kota Pontianak malam itu, dari tempat yang dapat saya lihat.
Dari posisi di ketinggian yang saya kira tak kurang dari 16 meter itu, saya melihat jelas. Orang-orang yang meletakkan kembang api, membakarnya, api meluncur ke udara yang menimbulkan bunyi yang bersiutan. Lalu ledakan yang cukup memekakkan, hingga bunga api muncul dan padam. Warna warni. Merah, kuning, hijau. Percikan bunga api membentuk berbagai variasi.
Saya sangat terkesan melihat kembang api yang memercik bagai air mancur. Lalu sisanya, asap. Saya juga mencium bau asap itu. Sangat dekat.
Saya dapat menikmati dan meresapinya. Saya dapat mengenal jenis kembang api dan harganya sekaligus. Ada Poi, yang menjelaskan tentang kembang api pada saya. Awak percetakan di Borneo Tribune itu, mengerti betul.
Saya sangat tertarik. Beberapa kali saya mengucap. Baru kali ini saya melihat kembang api begitu rupa, dan menyaksikan dari dekat dan menikmati. Menyaksikan dengan sungguh-sungguh.
Sebelum ini saya hanya melihat sepintas. Melihat dengan ketidaksukaan. Bunyi ledakannya membuat telinga saya pekak. Ledakan juga membuat hati saya tidak nyaman: uang ratusan ribu dibakar percuma hanya untuk efek percikan bunga api yang sesaat. Keterlaluan.
“Satu kotak ada yang Rp750 ribu, ada juga yang Rp1 juta,” kata Poi.
Bah! Saya geleng kepala. Uang sebanyak itu dibakar hanya dalam hitungan menit. Padalah mencarinya susah banget. Ada orang yang harus bekerja banting tulang satu bulan untuk mendapat uang segitu. Saya sering mikir, di mana sensitivitas sosial orang yang membeli kembang api itu?
Dan malam itu, ratusan juta rupiah jadi uang hangus. Saya kira, kesediaan membakar uang sejumlah itu juga istimewa. Andai saja kesediaan menyumbang untuk ‘pesta kembang api di pergantian tahun dialihkan pada kesediaan menyumbang untuk beasiswa anak yang tidak mampu, atau untuk pembangunan ekonomi skala kecil, sudah pasti banyak yang bisa dibuat.
“Ah... mungkin ini yang dinamakan rizki mata. Bukan rizki perut.”
Buktinya, walaupun jutaan rupiah ranap menjadi asap, namun, ada juga kepuasan diperoleh di sana.
Mungkin begitukah seharusnya?



Baca Selengkapnya...