Sabtu, 03 Januari 2009

Bunga Api di Langit Kota Pontianak

Oleh: Yusriadi

Pukul 00.00 tanggal 1 Januari 2009.
Malam yang istimewa. Malam yang ditunggu-tunggu. Malam ritual bagi banyak orang. Ada yang menggelar pesta. Ada yang menggelar refleksi. Ada yang menggelar aksi konvoi. Bahkan, sekadar ‘bekondan’ dengan music cadas di pinggir jalan, atau sekadar buat jagung bakar bareng keluarga di halaman rumah.



Saya, termasuk orang yang harus menganggap malam ini istimewa juga. Menyambut pergantian tahun dengan sambutan khas.
Sebagai awak koran Borneo Tribune, kami ngumpul di Cafe Roof, Hotel Peony, Jalan Gajahmada Pontianak. Kami merayakan pergantian tahun dengan makan bersama untuk membangun kebersamaan. Lalu, ada acara hiburan.
Mula-mula penghiburnya, ‘artis Cafe Roof’. Lalu kemudian orang-orang Borneo Tribune menyumbangkan lagu.
Mula-mula, Rizky Wahyuni menyanyikan lagu “Sempurna” yang dipopulerkan oleh Gita Gutawa. Keren abis! Nadanya ngemat – kata orang Melayu Pontianak. Gaya menyanyinya, sudah mirip penyanyi pentas. Lihat misalnya, dua tiga jemari tangan kanannya yang memegang mike digerak-gerakkan mengiringi rentak irama anggukan kepala dan musik.
Wartawan baru di Borneo Tribune yang mulanya saya kenal sebagai aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Pontianak, memukau orang yang hadir di cafe malam itu. Tepuk tangan bergemuruh. Sangat menghibur.
Rizky juga mendampingi Mbak Dwi saat menyanyikan lagu “Laskar Pelangi”. Walaupun rada ketinggalan nada gitar yang mengiringi lagu, namun, penampilan duet ini membuat pendengar asyik. Terbayang film Laskar Pelangi.
Setelah itu, Zulfakar, awak bagian pemasaran. Suara emasnya membuat kami takjub. Benar-benar penyanyi. Dia juga terlihat sangat menikmati pertunjukannya malam itu. Saya kira dia adalah artis yang kesasar jadi awak pemasaran. Sungguh, kalau dia melamar jadi penyanyi, garansi akan diterima.
Penampilannya juga maching. Kalau pernah lihat Imam S Arifin, begitulah gayanya malam itu. Mungkin seperti pinang dibelah-belah-lah.
Lalu Budi Rahman, redaktur muda di Borneo Tribune. Meskipun suaranya ‘agak parau’ semangat menyanyinya luar biasa. Sedikit latihan, pasti ‘pitch control’-nya –pinjam istilah Mbak Iie’ – Tri Utami, pada acara Akademi Fantasi Indosiar (AFI), ok. Dan, dia memang harus banyak latihan jika kelak nekat terjun ke pentas politik. Mantan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Pontianak ini pernah terjun dalam pemilihan Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kota Pontianak, beberapa bulan lalu. Namun, kursi organisasi kepemudaan ini gagal diraihnya.
“Kurang vitamin,”
“Memang di mana-mana tak ada yang bilang suara saya harmoni. Begitulah,” kata Budi Rahman.
Tetapi, dia janji akan terus menyanyi.
Muhlis Suhaeri, redaktur Borneo Tribune yang paling dibanggakan di kalangan orang Tribune sepanjang tahun 2008 –dia meraih dua penghargaan Mohtar Lubis Award dan Adi Warta, Sampoerna, untuk karyanya ‘Lost Generation’, juga menyumbangkan lagu Mother, How Are To Day. Dia juga menyanyikan lagu Iwan Fals berjudul “Ibu”.
Suprianto alias Po’i, juga ikut ambil bagian. Suaranya mantap, dan menghibur. “Ketahuan yaaa sering ke karaoke,”
Begitu kawan-kawan berkelakar.
Setelah itu, acara yang dipandu Budi Rahman, dilanjutkan dengan permainan kecil ‘baca puisi’. Mula-mula Bang Wito –Suwito, MH., Direktur Borneo Tribune Pontianak. Lalu, saya, Nur Is, Budi Rahman, Muhlis, Bang Fakun.
Dilanjutkan kelompok perempuan. Dwi Syafrianti, Mbak Ana -- istrinya Bang Wito, Rizky, Julianti, Lina, dan Suryani.
Mering, yang nama kerennya Wisnu Pamungkas, didaulat membaca puisi tunggal. Lalu Pak Agus Parakesit, awak Bagian Umum. Puisinya yang dibaca adalah “Lima Enggang Gading”. Puisi itu diciptakan Wisnu Pamungkas saat kami mempersiapkan kelahiran koran Borneo Tribune. Isinya, tentang semangat, cita dan harapan. Isinya ekspresif. Maklum, penciptanya terlibat dalam isi yang diciptakan.
Terakhir ada sambutan-sambutan yang disampaikan Bang Wito dan Nur Is. Mereka menyampaikan harapan-harapan dan pesan-pesan.

***

Lebih istimewa lagi, saya melewati detik pergantian tahun di Pontianak. Benar-benar detik. Bukannya ‘malam’.
Pada detik-detik menjelang pergantian tahun saya melihat pemandangan yang indah. Luar biasa.
Saya berdiri di jendela cafe yang sengaja dibuka, bersama banyak orang malam itu. Seluruh awak redaksi. Pak Suhaili, Manager Hotel juga ada di sana malam itu.
Semua melihat ke arah timur, Jalan Gajahmada, Pontianak.
Kembang api bertaburan menghiasi di langit kota Pontianak. Saya mencoba menghitung berapa kali kembang api memecah di udara. Mula-mula dapat. Satu, dua, sepuluh, dua puluh. Tetapi seterusnya, lupa.
Saya yakin ada ratusan kali percikan kembang api menerangi langit kota Pontianak malam itu, dari tempat yang dapat saya lihat.
Dari posisi di ketinggian yang saya kira tak kurang dari 16 meter itu, saya melihat jelas. Orang-orang yang meletakkan kembang api, membakarnya, api meluncur ke udara yang menimbulkan bunyi yang bersiutan. Lalu ledakan yang cukup memekakkan, hingga bunga api muncul dan padam. Warna warni. Merah, kuning, hijau. Percikan bunga api membentuk berbagai variasi.
Saya sangat terkesan melihat kembang api yang memercik bagai air mancur. Lalu sisanya, asap. Saya juga mencium bau asap itu. Sangat dekat.
Saya dapat menikmati dan meresapinya. Saya dapat mengenal jenis kembang api dan harganya sekaligus. Ada Poi, yang menjelaskan tentang kembang api pada saya. Awak percetakan di Borneo Tribune itu, mengerti betul.
Saya sangat tertarik. Beberapa kali saya mengucap. Baru kali ini saya melihat kembang api begitu rupa, dan menyaksikan dari dekat dan menikmati. Menyaksikan dengan sungguh-sungguh.
Sebelum ini saya hanya melihat sepintas. Melihat dengan ketidaksukaan. Bunyi ledakannya membuat telinga saya pekak. Ledakan juga membuat hati saya tidak nyaman: uang ratusan ribu dibakar percuma hanya untuk efek percikan bunga api yang sesaat. Keterlaluan.
“Satu kotak ada yang Rp750 ribu, ada juga yang Rp1 juta,” kata Poi.
Bah! Saya geleng kepala. Uang sebanyak itu dibakar hanya dalam hitungan menit. Padalah mencarinya susah banget. Ada orang yang harus bekerja banting tulang satu bulan untuk mendapat uang segitu. Saya sering mikir, di mana sensitivitas sosial orang yang membeli kembang api itu?
Dan malam itu, ratusan juta rupiah jadi uang hangus. Saya kira, kesediaan membakar uang sejumlah itu juga istimewa. Andai saja kesediaan menyumbang untuk ‘pesta kembang api di pergantian tahun dialihkan pada kesediaan menyumbang untuk beasiswa anak yang tidak mampu, atau untuk pembangunan ekonomi skala kecil, sudah pasti banyak yang bisa dibuat.
“Ah... mungkin ini yang dinamakan rizki mata. Bukan rizki perut.”
Buktinya, walaupun jutaan rupiah ranap menjadi asap, namun, ada juga kepuasan diperoleh di sana.
Mungkin begitukah seharusnya?



0 komentar: