Sabtu, 03 Januari 2009

Catatan untuk Buku: DARI WAK GATAK KE KAMPUNG BETING

Oleh: Yusriadi

Buku “Catatan Perjalanan dari Wak Gatak ke Kampung Beting” akan dilaunching sebentar lagi. Buku ini adalah buku yang sederhana. Tetapi, sekaligus buku yang menakjubkan.




Sederhana, karena isi buku adalah catatan perjalanan delapan (8) peserta –dari lebih 20 peserta, yang tergabung dalam kegiatan pelatihan peneliti Participatory Action Research (PAR) yang dilaksanakan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak, Desember lalu.
Peserta mencatat waktu kegiatan, apa yang mereka lihat. Apa yang mereka dengar. Apa yang mereka bicarakan. Bahkan, sesekali dicatat juga apa yang mereka pikirkan.
Pasti, catatan seumpama itu bisa dibuat oleh semua orang. Bedanya, mungkin pada kedalaman dan pada keteperincian. Mungkin juga ada beda dari sisi bagaimana cara mengungkapnnya.
Jangankan dosen, sebenarnya catatan seperti ini bisa dibuat oleh mahasiswa, atau siswa sekolah menengah atas.
Soal sebenarnya: mau atau tidak.
Sebab sering kali orang tidak mau melakukan itu. Sering kali orang tidak sempat melakukan hal itu karena banyak kesibukan.
Sering kali orang tidak mau melakukan karena hal seperti itu terlalu sederhana. Terlalu kecil dan remeh temeh.
Tetapi, walaupun remeh temeh, tetapi ketika saya membaca semua tulisan itu, saya menemukan keajaibannya.
Bukan saja saya merasa seperti terlibat dalam semua petualangan itu, atau karena saya dapat membayang pengalaman masing-masing penulis. Saya takjub karena menemukan banyak hal baru di sini.
Semua itu bermula ketika saya membuat pengantar untuk buku ini. Saya membuat tulisan pengantar berjudul: “Usaha Kecil untuk Impian yang Lebih Besar”.
Melalui tulisan pengantar ini saya ingin mencari kelebihan yang disajikan buku ini, dan saya memikirkan sumbangan apa yang bisa diberikan buku ini untuk pemberdayaan masyarakat di tiga lokasi: Parit Wak Gatak, TPI dan Kampung Beting.
Dan, saya menemukan. Data yang disajikan, meskipun dalam bentuk data mentah, justru memperlihatkan kekayaan.
Ada dua hal yang membuat saya terperangah setelah menggeluti tulisan ini. Pertama adalah soal perubahan. Perubahan apa yang sedang terjadi di tengah masyarakat. Dan kedua, bagaimana masyarakat bersikap terhadap perubahan itu.

***

TPI adalah singkatan dari Tempat Pelelangan Ikan. Fasilitas ini dibangun sebagai tempat kapal ikan berhenti dan bongkar muat. Tidak terlalu jelas apakah ada pelelangan dilakukan di sini.
Pada mulanya, kampung di sini adalah perkebunan kelapa, yang kemudian menjadi perkebunan karet. Setelah itu menjadi tempat menanam padi, lalu menjadi perumahan. Sekarang perumahan tumbuh di mana-mana. Sangat padat. Bersambung-sambung. Padatnya TPI sudah sama padatnya dengan perumahan seperti Perumnas di tengah kota Pontianak.
Perumahan yang dibangun itu menjadikan TPI sebagai tempat yang majemuk. Orang datang dari mana-mana. Orang dari berbagai daerah asal dan suku, serta dari berbagai jenis pekerjaan, berkumpul di sini. Sangat terbuka.
Keberadaan TPI juga menarik. Tembok-tembok TPI menjadi tembok yang membatasi tempat itu dengan masyarakat sekitar. TPI, tempat pendaratan ikan, tempat kapal berlabuh, juga menjadi tempat awak-awak kapal mendarat. Tempat orang berkumpul.
Memang ada rizki yang terciprat dari sana. Perdagangan kecil marak.
Tetapi, pendaratan juga mendatangkan ancaman bagi masyarakat sekitar. Lihat sikap yang diperlihatkan anak-anak perempuan yang dilaporkan Hermansyah, penulis bagian ini.
Mereka takut. ”Untuk apa Om tanya-tanya,” jawab seorang dengan ketus, lalu pergi. Sikap yang mengherankan. Berbeda dibandingkan sikap anak-anak lelaki yang dengan ramah melayaninya melakukan wawancara.
Mengapa mereka takut?
Mereka takut bukan karena mereka tidak mau membantu. Mereka takut karena ada yang mereka khawatirkan. Orang di TPI khawatir anak-anak perempuan mereka ’diincar’ oleh orang-orang kapal. Karena itu mereka melarang anak perempuan dekat dengan sembarang orang. Tidak boleh juga melayani percakapan. Larangan itu tidak berlaku pada anak lelaki.

***

Informasi dari Kampung Beting, Pontianak Timur juga menarik. Juniawati melaporkan sesuatu yang ironi terjadi.
Beting adalah sejarah kota Pontianak. Ini cikal bakal kota ini. Nenek moyang merekalah pendiri kota ini.
Namun, di sisi lain, pembangunan di sini ‘agak tertinggal’. Jalan menuju perumahan adalah jalan kecil. Sebagian hanyalah jalan kayu: gertak.
Rumah-rumah padat dan agak sederhana. Jemuran diletakkan di depan rumah, di sepanjang jalan.
Tidak ada sekolah yang elit di sini. Bahkan sekadar sekolah menegangah atas.
Jumlah anak-anak yang bersekolah juga terbatas.
Keadaan ekonomi di sini juga tidak cukup baik. Setidaknya jika dibandingkan keadaan yang bisa dilihat di seberang mereka: di pasar Senghie.
Pasar yang ada masih serupa pasar tradisional, yang mungkin tidak berubah sejak lebih 300 tahun lalu.
Bahkan, belakangan Kampung Beting menjadi wilayah baru yang menyeramkan. Angker. Dengar saja apa kesan orang luar yang masuk ke sini.
Yang terjadi sekarang, Kampung Beting tertutup. Ada pagar maya –yang tidak terlihat mata membatasi. Membatasi orang luar, dan mungkin juga membatasi orang dalam itu sendiri.
Saya melihatnya sebagai pembatas yang muncul menyusul perlawanan penduduk setempat terhadap perubahan. Pembatas ini muncul sebagai bentuk protes penduduk setempat terhadap ironi yang disajikan di depan mereka.
Lalu, apakah keadaan ini akan terus bertahan? Atau, bisakah mereka terus bertahan di tengah keterbatasan dan ironi itu? Siapa yang akan membawa mereka keluar?
Pertanyaan ini membuat saya jadi teringat pada pemilihan walikota Pontianak beberapa waktu lalu. Pontianak Timur, termasuk Kampung Beting, merupakan daerah yang paling banyak mendapat sorotan selama masa kampanye pemilihan walikota Pontianak. Waktu itu kandidat menjual ketertinggalan Pontianak Timur untuk mencari simpati orang-orang Pontianak Timur. Beberapa kandidat berjanji akan meningkatkan pembangunan di Pontianak Timur. Wilayah ini akan dijadikan sebagai prioritas.
Tunggu saja!

***

Apa yang ditemukan di Parit Wak Gatak juga tidak kalah menarik. Situasi yang diperlihatkan berbeda dan bahkan bertolak belakang. Parit ini, adalah daerah yang makmur. Tanahnya subur. Penduduk di sini kebanyakan orang Madura dan sedikit Bugis. Masyarakatnya rajin. Ekonomi nampak agak lebik baik. Dan rancak. Jenis makanan luar laris manis. Rumah penduduk besar dan permanen.
Tetapi, pendidikan tidak cukup baik. Sekolah yang ada memprihatinkan. Sekolah bocor. Kalau hujan, anak-anak pindah belajar ke masjid. Ruang belajar juga terbatas. Satu ruang untuk dua kelas. Guru yang mengajar juga terbatas. Maklum, sekolah swasta.
Selain itu, pemasaran produk tidak cukup baik. Jalan masuk ke kampung belum bagus. Jalannya lebar. Bila hujan, jalan becek. Terhambat.
Pemasaran sangat tergantung pada “peraih” yang datang dari luar. Peraihlah yang membeli hasil tani mereka. Harganya tentu saja agak lebih miring.
Tetapi dari data yang disajikan di buku ini, dapat diramalkan perubahan yang hebat sedang terjadi. Lahan pertanian yang subur itu mulai berpindah tangan. Pembelinya adalah orang yang berasal dari kota Pontianak. Orang kaya.
Tidak jauh dari Parit Wak Gatak sudah berdiri perumahan. Lahan untuk perumahan akan melebar menggeser lahan untuk pertanian. Pasti penduduk luar akan masuk.
Mampukah orang kampung bersaing dengan orang luar –ketika pendidikan mereka terbatas? Mampukah mereka menghadapi orang luar ketika keterbatasan pengalaman mereka hanya sebatas kehidupan kampung mereka?
Lihat saja nanti.
Saya kira dilihat dari perspektif sosial, apa yang diperlihatkan di tiga tempat ini memperlihat respon yang berbeda terhadap perubahan yang terjadi di sekitar mereka. Dan ini tentu saja akan menjadi sesuatu yang menarik untuk terus diamati. Sampai pada batas-batas tertentu.
Saya kira jika mau peduli, fenomena ini tentu tidak boleh diabaikan begitu saja. Di sinilah advokasi sesungguhnya diperlukan oleh masyarakat. Lebih dari sekadar teriak-teriak.



0 komentar: