Minggu, 18 Januari 2009

Etnisitas dan Agama dalam Kepemimpinan Kalbar

Oleh: Yusriadi
Borneo Tribune, Pontianak

Isu etnisitas dan agama sangat kental dalam kehidupan sosial politik Kalbar. Isu ini bisa jadi positif jika dikelola dengan baik, dan bisa jadi negatif bila salah menanganinya. Isu ini akan terus menjadi ujian bagi Cornelis, yang menjabat sebagai gubernur Kalbar satu tahun lalu.

Cornelis naik karena kepiawaiannya melihat fenomena etnisitas dan agama di Kalbar.
Itulah kesimpulan saya ketika dahulu mendengar Cornelis memenangkan Pilkada Kalbar. Kala itu lebih satu tahun lalu.
Sebagian bagian dari orang Kalbar saya mengikuti perkembangan politik itu. Tahap demi tahap Pilkada. Mulai dari proses pencalonan, pemungutan suara dan perhitungan suara. Liputan-liputan media membantu saya menyimak semua perkembangan itu.
Selain tentu saja, saya mendengar bisik-bisik dari orang-orang yang terlibat dalam lingkaran politik. Sesekali saya berdiskusi dengan mereka. Dapatlah saya banyak informasi mengenai hal itu.
Di antara sekian banyak informasi yang saya dapatkan adalah saya mendapatkan compac disk yang berisi rekaman kampanye Cornelis. Dari satu rumah panjang ke rumah panjang lain. Dari satu gereja ke gereja lain. Dari satu kampung ke kampung lain.
Musik latar. Isi ajakan. Muatan propaganda. Simbol-simbol yang digunakan dalam CD itu menjadi bahan pembicaraan. Tetapi, saya tidak tertarik membicarakan seperti yang orang bicarakan.
Saya konsen dalam studi etnisitas dan identitas. Saya maklum penggunaan identitas. Saya mengerti duduk persoalan. Karena itu apa yang digunakan Cornelis bagi saya adalah sesuatu yang bisa dipahami. Saya mengerti kepentingan pragmatis di balik penggunaan itu. Mungkin satu-satunya yang mengkhawatirkan saya adalah kalau propaganda itu membakar semangat dan kemudian semangat itu membakar dan menghanguskan orang lain. Saya maklum ini daerah konflik.
Lebih dari itu tidak. Bahkan menurut saya, Cornelis piawai.
Saya juga mengaitkan perkembangan itu dengan perkembangan lain. Pada mulanya dia akan memilih pendamping yang muslim. Suryansyah namanya. Suryansyah dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU) mula-mula digadang untuk menjadi pendampingnya. Ura-uranya sudah nampak. Orang-orang di kalangan Nahdliyin sudah bersemangat menerima kemungkinan itu.
Tetapi, ada beberapa nama lain juga disodorkan kepada ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kalbar ini. Kabarnya sangat banyak.
Namun, kemudian Cornelis lebih memilih Christiandy Sanjaya. Christiandy, orang Cina. Mengapa dia pilih Christiandy?
“Saya ingin menang,” begitu kata Cornelis kemudian soal pilihannya itu.
Itu dikatakannya saat menjawab pertanyaan saya dalam acara Refleksi Akhir Tahun di Hotel Gajahmada Pontianak, (30/12/08). Satu tahun setelah dia dilantik sebagai gubernur Kalbar.
Sebenarnya saya sudah lama mendengar hal itu. Ada teman saya yang menjadi tim Cornelis yang memberitahu saya.
“Cornelis memilih Christiandy karena dia mau menang. Bukan pertimbangan lain.”
“Dia punya hitung-hitungan sendiri,”
Apa hubungannya Christiandy dan kemenangan Cornelis?
Hitungan sederhana saja. Menurut hitung-hitungan Cornelis, suara orang Dayak bulat mendukungnya. Dia percaya mendapat dukungan penuh karena dialah satu-satunya calon gubernur yang orang Dayak. Calon yang lain, Melayu.
Dukungan solid ini ditambah lagi suara orang Cina. Orang percaya komunitas Cina ini termasuk solid. Soliditas ini pasti akan dapat mengungguli laju calon lain. Kandidat gubernur lainnya, seperti Usman Ja’far (UJ), Osman Sapta Odang (OSO), dan Akil Mochtar (AM) –sekalipun tidak selalu menggunakan isu agama dan etnis, namun diramalkan akan membuat dukungan orang Melayu- Islam pecah. Pecahan ini yang akan memuluskan kemenangan Cornelis.
Apakah calon Dayak yang bersama UJ, OSO dan AM tidak berpengaruh? Agaknya tidak banyak. Nomor satu lebih menarik pemilih dibandingkan nomor dua.
“Kalau ada nomor satu, mengapa pilih nomor dua,”
Dan ternyata kemudian menurut hitung-hitungan pengamat, perolehan suara Cornelis bergerak lurus dengan jumlah komunitas Dayak dan Cina. Pengamat cukup yakin hal itu.
Sekalipun, kenyataannya ada kekecualian. Ada orang Islam atau Melayu yang memilih Cornelis. Atau sebaliknya ada orang Dayak dan Kristen yang memilih UJ, OSO atau AM.
Tetapi, meskipun isu etnisitas dan agama digunakan Cornelis dalam Pilkada Kalbar ketika itu, namun, tidak di semua tempat isu itu digunakan. Ada situasi khusus. Kampanye dengan mengangkat isu “Orang diri’”, “Dayak”, “Kristiani”, bahkan “Pribumi” dan “Marginal”, dipakai silih berganti.
Kadang kala isu loyalitas partai yang digunakan. Komando Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) digunakan dalam mesin perjuangan Cornelis.
Organisasi seperti Keluarga Besar Putra Putri Polri (KBPPP) juga digunakan untuk menunjukkan dukungan politik.
Selain itu, Cornelis juga mendekatkan diri pada tokoh di luar tokoh Dayak dan Kristen.


Kini, Cornelis telah satu tahun menjadi gubernur Kalbar. Banyak kegiatan bernuansa itu selama satu tahun pemerintahannya. Simbol-simbol etnisitas dan agama diakomodir.
Saya kira, pasti dana yang dikucurkan Cornelis untuk mendukung kegiatan atas nama agama dan etnik dalam satu tahun pertama kegiatannya, pasti cukup besar. Kegiatan-kegiatan organisasi ini –baik kegiatan di Kalbar, maupun kegiatan keluar Kalbar, perlu dukungan dana, dan dana itu dipinta dari gubernur.
Apa yang penting adalah, sejauh ini Cornelis tetap piawi di antara isu-isu itu. Managemennya bagus. Dia memperhatikan kepentingan kelompok Dayak, Kristen. Tetapi dia juga tidak mengabaikan kepentingan Melayu, Islam, dan yang lainnya.
Salah satu contoh yang mengesankan ketika acara Natal Bersama dan Peringatan 80 tahun RS Antonius. Cornelis menghentikan pidatonya selama beberapa menit untuk menghormati azan Magrib.
“Untuk menghormati saudara kita yang muslim,” katanya.
Cornelis juga menunjukkan hal itu ketika memilih pejabat yang akan membantunya menerajui Kalbar. Sebenarnya, sah-sah saja semua jabatan itu dipilih dari orang Dayak, orang Kristen, bahkan, juga dari pendukung dan kaum kerabatnya sekalipun. Itu hak prerogatif dia sebagai gubernur.
Namun, lihatlah kemudian dalam struktur ‘Kabinet Pelangi” yang dilantik beberapa hari lalu. Ada banyak orang Melayu di sana. Ada banyak orang Islam.
Nyatanya Cornelis juga melihat pengangkatan orang yang membantunya dari sudut kompetensi –setidaknya kemampuan managerial. Orang-orang yang ditempatkan di sana memenuhi syarat-syarat formal. Perubahan ‘nuansa’ etnisitas dan agama drastis. Seperti yang dikhawatirkan orang dahulu, Cornelis tidak membalap habis jabatan di level provinsi untuk etnis, agama, dan kelompoknya.
Tahun-tahun ke depan, hal seperti itu akan terus berlangsung. Nuansa etnisitas dan agama akan terus terasa.
Semua itu akan menjadi ujian bagi Cornelis. Apakah dia mampu menunjukkan sisi kenegarawanannya atau tidak? Apakah dia benar-benar seorang pemimpin bagi rakyat Kalbar?
Apakah kekaguman kita pada kepiawiannya memanage isu etnisitas dan agama akan terus berlanjut?
Semoga.




2 komentar:

Zibanex Dayu Rara mengatakan...

artikelnya bagus.. i like it.. Btw saya suka dengan perkataan Pak Kornelis yg " kalau takut jangan berani2- kalau berani jangan takut2" saya rasa perkataannya ini memiliki pengaruh yang sangat besar dalam memuluskan perjalanannya ke kursi Gubernur. setidaknya itu menurut saya. saya waktu itu juga memilih Pak Kornelis. bukan berarti karena dia org dayak atw wakilnya org cina, tapi saya melihat keberaniannya dan motivasinya yg luar biasa! tpi kalau masalah etnisitas dan agama dlm sebuah politik itu mah biasa. mengapa?? di indonesia kan memang bgitu sistem nya. contohna di negara kita, gak pernah saya mendengar menteri org dayak/cina / agamanya kristen atau yg diluar agama islam lainnya.apalagi mau jadi presiden? mungkin kalau ada yg jadi menteri bisa2 langsung lengser karena banyak pendemo anti kristen /anti dayak/anti cina dan apalah untuk mencari kesalahannya. Indonesia masih kental dengan sifat diskriminasinya, dan mementingkan satu gologan/satu pihak saja. makanya jgn heran itulah Indonesia. jadi UUD '45, dan 5 dasar pancasila gak menjamin adanya keadilan yg 100%, hanya diatas kertas saja. saya juga mengakui pak Kornelis menang karena banyaknya dukungan dari dua kubu pendukung yaitu dayak dan cina! saya rasa itu fer-fer aja. Justru memang seharusnya begitu! untuk masalah kepiawaian Pak Kornelis, 4 thumbs up for him!! sorry komennya kepanjangan dan agak melenceng dr topik, tp inilah isi pemikiran saya yg kecewa dgn sistem hukum Pemerintah kita di Indonesia. yg bertolak belakang dari sistem hukum yg real, yg seharusnya dipakai di Indonesia. salam........

Yusriadi mengatakan...

Terima kasih atas komentarnya.
Saya sependapat dengan Anda.