Rabu, 07 Januari 2009

Futsal dan Buah Pisang: Psikologi Orang Kalah

Oleh: Yusriadi

“Bang Yus, lihat ini!”
Fahmi Ichwan, staf pracetak di koran kami menyodorkan koran Borneo Tribune (Selasa, 6/12), persis saat aku hendak mendudukkan badanku di kursi lipat, di ruang Pusat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (P3M) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak.
Dia menunjukkan tulisan “Suara Enggang” di halaman 1 koran ini.
Tulisan Budi Rahman. Judulnya “Kemenangan Itu Enak Diomongkan”




“Ngelagak die,”
Aku diam.
“Kita ditulisnya,”
Aku mulai menebak apa maksud Fahmi.
Aku mulai membaca tulisan itu.
Pada bagian awal dia menulis tentang arti dan makna kemenangan. Lalu dia mengaitkan kesana kemari. Tersambunglah cerita dia soal timnya yang menang main futsal Minggu malam (4/1/2009).
Benar. Dia melagakkan kemenangannya itu. Dia menceritakan bagaimana timnya menang dalam permainan futsal Minggu malam.
Dan dia mengura-urakan bagaimana senangnya dia dengan kemenangannya itu.
“O, itu dia”.
“Senang benar dia.”
“Biarlah. Biar dia rajin nulis”.
“Tapi dia tak fair”.
Aku lalu menunjukkan pada Fahmi dua hal. Pertama, Budi tidak menceritakan bahwa kemenangannya didapat dengan mudah. Budi memang bermain cantik malam itu. Tanto Yakobus, tandemnya di lini depan juga bermain bagus. Gol-gol yang mereka ciptakan sangat indah. Gaya Tanto, seperti gaya Romario, pemain Brazil era tahun 80-an.
Kami kalah beruntung. Aku sudah berjibaku. Jatuh bangun. Fahmi sudah berusaha. Begitu juga Hentakun, Andi dan Edo. Tembakan kami pas-pas di gawang. Entah berapa kali membentur tiang, atau beberapa centi di atas mistar. Gawang Bang Fakun seperti diselimuti jala keberuntungan.
Budi tidak menceritkan bahwa kami kurang beruntung karena tim kami 5 orang melawan tim Budi yang berjumlah 6 orang. Bayangkan, 5 lawan 6. Bak kata, 11 pemain melawan 10 pemain. Kalau jumlahnya sama mungkin kami tidak serepot malam itu.
Kedua, Budi bikin strategi ‘kasih umpan’ di luar lapangan. Malam itu, dia membeli satu tandan pisang lemak manis di Jalan Purnama. Katanya dia keluar modal Rp11.000. Pisang itu diumpannya pada tim kami. Begitu dia datang ke lapangan, pisang itu langsung diletakkan di depan kami.
“Makan jak ii...”
Ya, tentu saja kami makan umpannya dengan lahap. Satu, dua, tiga.
Begitu Budi menawarkan pisang dengan logat Sambasnya yang agak nyangkut-nyangut. Maklum dia bukan penutur asli. Dia mengaku bisa bahasa Sambas karena pernah bertugas di Biro Sambas beberapa pekan. Tapi, dia rajin melatih bahasanya itu dengan Bang Fakun, atau Mbak Tika –yang mau melayaninya ‘berbahasa Sambas ala Budi’.
Penawarannya, gayanya, sama manisnya dibandingkan pisang lemak manis yang dibawanya.
Hasilnya memang luar biasa. Baru mulai main, kawan-kawan sudah jatuh bangun.
“Berat perut”.
“Alamak tak bise bekejar,”
Celaka dua belas.
Celake pisang.
Pisang yang di dalam perut mulai berontak ke atas bawah karena dibawa lari.
Tentu saja akselerasi kawan-kawan jadi terbatas. Gerakan tidak lincah seperti biasa –setidaknya dibandingkan pertandingan Minggu malam sebelumnya saat tim kami mengalahkan Tim Budi. –Catatan tambahan, Minggu lalu jumlah pemainnya sama banyak dan Budi tidak memberi umpan buah pisang.
Setelah selesai main, baru kami komplen pada Budi.
“Parah, kau Bud.... Pakai ilmu pisang,”
Budi hanya cengar cengir. Cupingnya kembang. Lalu dia tertawa ngakak. Lebih dahsyat dibandingkan kalau dia tertawa saat baca rubrik Skumba.
Geraaam. Rasanya, pengin aku melemparkan kulit pisang ke wajahnya.
Untung badan dia besar. Kalau kecil, pasti aku mengajak kawan-kawan mengepung Budi dan menyumpalkan pisang dengan kulit-kulitnya ke mulut itu. Biar sekalian dia tidak bisa jumawa dengan kemenangan yang menurut tim kami, tidak fair.
Ya, maklumlah, psikologi orang-orang yang kalah. Agak mudah geram.
Tak dapat menerima kekalahan dengan lapang dada. Apalagi kalau melihat yang menang tertawa jumawa. Memang enak ditertawakan sebagai pecunda?
Kalau ada jalur komplen –misalnya ke Ombudsmen atau ke Mahkamah Konstitusi, tentu prilaku jumawa ini sudah kami laporkan. Tak soal akan menang atau kalah nanti.
Lalu, aku, bisik-bisik pada teman satu tim.
“Minggu depan, giliran kita umpan dia. Mungkin kita umpan dia dengan durian saja. Biar celake durian membuatnya tidak bisa mengejar bola. Lalu kita cukur habis tim mereka. Kalau perlu 10 – 0. Biar dua minggu dia tak bunyi.”
“Tak perlu Bang. Minggu depan tim kita lengkap. Bang Nur Is sudah datang,”
Nur Is adalah bek tangguh tim kami. Susah menghadapinya.
“Tak apa, kita beli pemain baru,”
“Siapa?”
“Tantra, boleh?”
Aku masem-masem. Tidak mungkin. Terlalu kecil untuk menghadang pergerakan Budi.
Mungkin lebih baik ajak Muhlis, atau Ula. Muhlis dan Ula badannya besar tinggi. Mereka bisa menghambat Budi.
Bujuk-bujuk jak.


0 komentar: