Senin, 19 Januari 2009

Kabar Politik dari Ulu

Oleh Yusriadi

“Mulai ramai dah kinih,”
Simbol-simbol partai terpacak di mana-mana. Bendera. Umbul-umbul. Baleho.
Wajah caleg mejeng di mana-mana. Warnanya macam-macam. Gayanya, canggih dan menawan.
Semuanya berisi ajakan memilih. Atau paling tidak: pilih saya.
Itulah cerita seorang teman dari Kapuas Hulu belum lama ini. Dia berkisah panjang lebar, sepanjang pertanyaan saya yang juga mengalir entah ke mana-mana.



Asyik. Saya suka mendengar perkembangan politik dari kampung. Bukan karena saya suka politik. Tidak. Saya suka karena cerita ini membuat pikiran saya melayang ke mana-mana tentang kampung halaman. Kampung saya Riam Panjang, 100 kilometer sebelum Putussibau. Kami lebih mudah menyebutnya dekat Tepuai, ibukota kecamatan Hulu Gurung.
Sebagai jurnalis cerita apapun ya didengar. Informasi kecil sekalipun diburu dan dikejar.

***

Cerita dari Ulu ini bagi saya juga memberikan gambaran bahwa situasi politik di level nasional dan regional juga merambah ke kampung-kampung di Kapuas Hulu.
Ulu, meskipun nun jauh di sana, tapi tidak ketinggalan.
Ini contoh globalisai yang melanda rakyat kita. Ini keadaan yang menunjukkan betapa masyarakat kita sudah menjadi warga dunia. Mereka sudah menjadi bagian dari perkembangan di sisi lain.
Contoh ini melengkapi contoh sebelumnya. Krisis ekonomi dunia membuat orang di kampung, di Kapuas Hulu menderita. Menderita benar. Sangat.
Ihwalnya bermula dari harga karet yang jatuh menjunam. Harga karet yang sebelumnya bisa di atas Rp10 ribu, tiba-tiba turun menjadi hanya Rp3000. Bahkan, sempat beberapa hari tidak terbeli.
Perkembangan ini membuat pendapatan masyarakat jadi berkurang drastis. Sebelumnya orang kampung bisa dapat Rp60 ribu sekali turun, setelah krisis, orang hanya bisa dapat Rp 20 ribu.
Pendapatan Rp20 ribu membuat orang merana. Beli beras, lauk pauk, beli gula kopi, beli rokok tembakau, beli minyak garam, sudah pas-pasan. Padahal orang sudah terlanjur menyekolahkan anak ke Pontianak. Orang sudah terlanjur mengambil motor kredit yang setiap bulan harus dilunasi.
Pening.
Masyarakat menjadi susah. Beban mereka jadi berat. Sampai sampai ada yang terpaksa mengembalikan motor kredit karena tak mampu melanjutkan pembayaran cicilan. Itulah terpaan globalisasi yang membuat mereka lunglai.
Apakah globalisasi politik ini akan membuat mereka juga lunglai? Entahlah.
Tetapi, mungkin juga tidak. Sebab, pertahanan sosial orang kampung ini cukup kuat.
Namun, cerita teman, sekarang ini, saat caleg jor-joran promosi masyarakat diam-diam sudah punya pilihan. Mereka tidak terombang-ambing.
Katanya, kebanyakan orang mengatakan mereka akan memilih orang-orang yang mereka kenal. Orang yang dekat dengan mereka. Pada level pertama, keluarga. Pada level kedua, orang sekampung, atau sedaerah. Agama tidak disebut, karena di bagian selatan ini daerah homogen. Semuanya muslim. Calon yang memperebutkan suara mereka –yang berasal dari daerah ini, juga muslim. Ini faktor emosional.
Kedekatan emosional akan menjadi faktor penting. Begitulah kira-kira.
Saya bertanya.
“Sekarang, yang bersaing ini keluarga semua. Bagaimana orang memilih?”
Ternyata, yang akan mereka pilih adalah orang yang selama ini ‘mudah’. Orang yang selama ini membantu mereka dipinta atau tidak. Orang yang selama ini tidak sombong.
“Jasa itu diingat orang,”
“Bantuan akan terus dikenang,”
“Sikap baik akan dijadikan catatan,”
Saya tentu saja maklum. Dalam politik memang begitu juga. Ada konsep patron dan klien. Orang yang selalu membantu akan dibantu. Orang yang bisa menjadi tempat bergantung akan dijadikan tempat bergantung.
Faktor lain tidak penting. Apakah calon itu pendidikan tinggi –sarjana atau cuma tamat SMA, tidak jadi pertimbangan. Seperti apakah program calon itu, juga tidak dipertimbangkan. Malah, di tingkat orang kampung sekarang program seorang caleg hanya angin lalu. Sehingga jarang-jarang ada orang yang menyimak benar-benar apa isi baleho caleg.
Sikap ini tentu rumit juga. Perubahan yang diharapkan pasti sulit.
Tetapi sebaliknya sikap seperti ini bagian dari seleksi alam juga. Mereka yang baik yang akan bertahan. Mereka yang tidak baik akan tersisih. Jatuh. Gugur. Jadi, dengan cara seperti ini masyarakat memilih yang terbaik menurut mereka.
Saya kira ini juga bagian dari pertahanan sosial (social defence) yang menarik dicermati dalam konteks otonomi daerah dan dalam konteks globalisasi. Masyarakat lokal membentengi dari dari kemungkinan sesuatu dari luar yang menurut mereka tidak baik. Ada kearifan di sana.
Cara ini sejalan dengan uforia otonomi daerah. Orang daerah untuk orang daerah. Orang daerahlah yang bisa mengerti apa yang ada di daerah mereka. Orang sendirilah yang dapat memperjuangkan kepentingan sendiri.
Lantas, dengan keadaan seperti ini orang-orang luar tentu akan sulit masuk. Caleg titipan mungkin tidak akan terpilih. Caleg droping partai tidak akan mendapat tempat sekarang ini.
Ah, tiba-tiba saya merasa kasihan pada mereka, caleg yang tidak punya basis akar rumput. Saya kasihan pada politisi yang datang dari jauh. Sudah susah payah mereka mempromosikan diri. Sudah mahal-mahal mereka mengiklankan diri. Ternyata, tak ada pula orang memilihnya.
Apa ndak gila jadinya.





0 komentar: