Minggu, 18 Januari 2009

Saya Pengin Bisa Menulis

Oleh Yusriadi


"Saya pengin bisa buat buku,"
Itu kata seorang teman saat melihat buku baru yang kami terbitkan.
Saya tersenyum melihat polahnya. Senang juga melihat dia memberikan apresiasi seperti itu. Lebih senang lagi karena buku yang saya tunjukkan bisa membakar semangatnya. Buku kami bisa memberinya motivasi.



"Gimana caranya ya?"
Dia bertanya lagi. Cukup serius. Saya tidak lagi tersenyum.
Saya ingat bukan baru kali ini saja saya mendengar orang ingin membuat buku. Sudah sering. Saya tidak bisa menghitungnya. Teman wartawan. Teman dosen dan guru. Mahasiswa. Juga para aktivis.
Kata-kata itu sering saya dengar sesering itu usaha saya memberikan motivasi agar orang mau menulis pengalaman-pengalaman hidup mereka.
Tetapi, kerap kali keinginan itu tidak menjadi kenyataan.
Habis tertiup angin. Hilang begitu saja.
Buku yang ingin ditulis tidak pernah wujud. Bahkan tulisan yang dijanjikan tidak pernah ada. Hatta, satu kata pun tidak.
"Aduhhhh... tak jadi-jadi,"
"Sibuk terus. Belum sempat,"
"Susah nak mulainye,"
Alasan.
Banyak lagi. Seabreg-abreg.
Kadang-kadang saya bertanya.
"Masih ada lagi alasannya?"
Lalu, ujung-ujung.
"Ha....ha... ha..."

***

Tertawa adalah jawabannya. Banyak makna di balik tawa itu. Tawa itu bagi saya sama saja. Saya mengira memang lebih mudah mengumbar janji dibandingkan menunaikannya. Lebih enak memasang target daripada melaksanakannya.
Dan, begitulah. Bukan cuma mereka. Di mana-mana begitu.
Selalu ada orang yang memberikan alasan tidak menulis karena tidak punya waktu untuk menulis. Mereka jenis ini cenderung mengatakan mereka tidak bisa menulis karena sedang fokus pada 'kesibukan' itu. Mereka, bisa jadi memang tidak punya waktu yang tersedia karena benar-benar sibuk. Tetapi, bisa jadi juga sebenarnya waktu yang masih tersisa ada, namun mereka tidak bisa berkonsentrasi. Mereka tidak bisa menulis karena sedang banyak pikiran, banyak yang dipikirkan. Kononnya begitu.
Ada yang tidak menulis karena mereka tidak memiliki bahan yang bisa ditulis. Tidak ada bahan. Mereka seperti ini tidak banyak membaca. Juga tidak banyak mengamati dan memperhatikan keadaan di sekitar mereka.
Ada yang tidak menulis karena tidak bisa menulis. Mereka tidak memiliki kemampuan itu. Mereka tidak dapat merangkai kata, menyusun kalimat membentuk paragraf. Yang mereka miliki hanya kemampuan berbicara. Mereka lahir dan besar dari peradaban lisan. Ngomong jak.
Di atas dari semua itu, ada yang tidak menulis karena memang mereka malas menulis. Sering saya melihat bahwa alasan-alasan yang dikemukakan, yang macam-macam itu, sebenarnya hanya untuk menutupi rasa malas itu.
Misalnya, alasan tidak punya waktu, padahal saya merasa mereka belum memakai menit demi menit kehidupan mereka. Mereka tidak benar-benar kehabisan waktu, sehingga tidak ada lagi waktu yang tersisa. Masih banyak waktu tersisa. Yang berprofesi sebagai ibu-ibu rumah tangga - selain mengajar, masih memiliki waktu untuk menonton sintron. Masih punya waktu ngerumpi, dll.
Mereka juga tidak benar-benar yakin mereka tidak bisa menulis. Pendidikan mereka tinggi. Umumnya pernah kuliah. Sekalipun cuma Diploma 2. Apalagi kebanyakan mereka yang berjanji menulis adalah mereka yang berpendidikan tinggi. S-1. Jadi, sangat meragukan, benarkah orang itu tidak bisa merangkai kata? Benarkah dia tidak bisa menyusun kalimat? Lalu, bagaimana dahulu mereka menulis skripsi? Bagaimana mereka menulis makalah untuk tugas selama kuliah? Bagaimana mereka membuat makalah untuk kenaikan pangkat mereka?
Saya juga percaya mereka memiliki bahan yang cukup untuk menulis karena bahan yang mereka mau tulis adalah bahan yang sudah ada di dalam pikiran mereka. Tidak perlu mencari.
Inilah kadang-kadang membuat saya lebih mudah mentertawakan teman-teman yang mengatakan mau menulis, namun tulisannya tidak jadi-jadi.
Dan, mereka bisa ikut tertawa karena menyadari apa yang berada di balik "alasan-alasan itu".




0 komentar: