Selasa, 17 Februari 2009

Kabar dari Ulu: “Kini Lebih Banyak Orang Pakai Kompor Gas”

Oleh Yusriadi

Emak memberitahu saya, bahwa di kampung kami, Riam Panjang, yang nun jauh di pedalaman Kapuas Hulu, sebagian besar orang sudah pakai kompor gas.
“Kebanyak orang sudah pakai,”
Saya percaya Emak. Selalu.


Tetapi, informasi ini membuat saya terkejut. Saya tidak membayangkan hal itu. Dalam bayangan saya, orang di kampung masih sangat tergantung pada kompor minyak tanah, dan dapur kayu.
Walaupun kayu api mulai agak sulit diperoleh, walau minyak tanah sering sukar didapat, namun, dugaan saya, tradisi berkompor minyak dan berdapur kayu, pasti sulit dilepaskan. Ada banyak faktor. Faktor sosial. Faktor ekonomi.
Lagi, gas khan mahal.
Orang yang tinggal di dekat kota saja susah lepas dari minyak tanah.
Tengok program konversi kompor minyak tanah ke kompor gas yang dicanangkan pemerintah: susah berjalan. Tidak semua masyarakat bisa beralih. Tidak semua orang mau. Macam-macam alasannya.
Saya lantas menyebutkan nama beberapa tetangga kami. Pak Ngah, adik bapak, tetangga di sebelah kanan rumah.
“Rumah Pak Ngah?”
“Sudah. Mereka pakai sudah lama,”
Ahmad Azmi, anak Pak Ngah, yang hari itu menemani kami ngobrol, membenarkan.
“Auk, dari dulu’ udah pakai gas,”
“Mak Imun?”
“O, udah. Malah sidak ada dua tabung,”
Imun, adalah nama tetangga sebelah kiri rumah kami. Dia janda. Umurnya sudah 50an.
Beberapa lagi nama saya sebutkan. Emak menjawab, dengan kata sudah, atau belum.
“Orang mau kompor gas karena cepat masak. Bersih,”
“Orang mau kompor gas karena cari minyak tanah susah,”
Nah, ini dia. Saya antusias.
Kata Emak, suatu ketika dahulu harga minyak tanah di kampung kami mencapai Rp 7000 per liter. Satu kali isi kompor sekurangnya dua liter. Beberapa hari sudah habis. Isi lagi. Beli lagi. Susah lagi.
“Ndak ke kompor gas mahal? Tabung mahal. Beli gas juga mahal?”
“Sesuailah dengan penghasil masyarakat. Daluk, karet ‘kan mahal,”
Ya, dahulu –beberapa bulan lalu, harga karet mahal. Satu kilo Rp 12 ribu.
Minimal sekali menyadap karet, orang bisa dapat 5 kilogram. Ada banyak juga yang bisa mendapat 10 kilogram.
Saya teringat dahulu waktu masih menyadap karet –kira-kira 20-an tahun lalu. Saya bisa dapat 7 kilo getah. Emak yang menyadap di kebun karet yang lain, dapat lebih banyak dari itu. Belum lagi kakak dan adik saya. Dahulu, kami bisa mendapat 15 kilogram satu pagi. Tapi, waktu itu harga getah masih murah.
“Orang pakai kompor gas ada rasa mewah, nak Mak?”
“Auk, apa na gensi ugak,”
Orang dapat menggunakan kompor gas karena gas agak mudah diperoleh. Pedagang-pedagang di kampung yang turun ke Pontianak belanja, bila kembali ke kampung membawa tabung gas yang terisi.
Tetapi, penggunaan kompor gas tidak serta merta membuat penduduk meninggalkan kompor minyak tanah atau dapur kayu. Kadang pakai kompor gas. Kadang pakai dapur kayu. Keduanya saling mengisi.
Saya lantas membayangkan situasi itu. Sungguh hebat.
Saya sendiri, yang kononnya tinggal di kota Pontianak, sampai sekarang belum bersentuhan dengan kompor gas.
Saya tahu kelebihan kompor gas. Tetapi, saya tidak mengindahkan kelebihan itu. Ada alasan untuk tidak beralih dari tradisi berkompor minyak tanah. Ini rahasia perusahaan.
Lalu, saya berpikir, kalau kompor gas menjadi salah satu simbol kemajuan, orang di kampung saya, lebih maju dari saya.
Makanya, saya kira, jangan pernah menganggap orang kampung tidak maju. Kalau menganggap orang kampung tidak maju, anggapan itu pasti meleset.
Orang kampung sangat maju. Di kampung sangat banyak parabola. Orang kampung bisa menonton TV apa saja, mulai dari siaran TVRI –dan TV itu agak jarang ditonton, hingga siaran dari TV Perancis. Di kota? Berapa banyak orang yang “punya TV” bisa menangkap siaran yang banyak? Terbatas. Langganannya agak mahal.
Motor? Sekarang orang kampung banyak yang punya motor. Hampir tiap rumah punya motor. Sekalipun, motor yang mereka beli lebih banyak beli dengan cara kredit.
Telepon? Hampir semua orang –terutama kaum muda punya HP. Dan, umumnya HP budak-budak kampung itu jenis HP mahal. HP yang ada kamera. HP yang bisa simpan banyak lagu. Mereka putar lagi di rumah. Mereka juga bisa putar lagu di kebun sambil menyadap karet.
Kata Emak, orang kampung bisa ‘maju’ seperti itu karena harga karet mahal. Beberapa bulan lalu harga karet per kilo di atas Rp 12 ribuan.
Siapa yang mampu beli kontan mereka membeli ‘barang-barang kemajuan itu’ dengan cara kontan. Barang yang tidak, membeli barang itu dengan cara kredit. Prosedur yang mudah membuat mereka gampang mengambil kredit.
Tetapi saya juga dengar cerita, sekarang harga karet anjlok. Masyarakat merasa terpukul. Kredit motor tak terbayar. Beberapa diambil agen. Mungkin tabung gas yang kosong bisa tak terisi.
Apakah kemajuan itu akan meninggalkan mereka? Apakah mereka masih tetap dapat mengiringi kemajuan itu?
Entah. Lihat saja nanti.




0 komentar: