Minggu, 01 Februari 2009

“Kami Tidak Minta Dilahirkan Berbeda”

Oleh: Yusriadi

“Kami tidak minta dilahirkan berbeda”.
Itulah kata yang dilontarkan seorang mahasiswa dalam diskusi akhir tahun Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), awal pekan lalu di Gedung KNPI Pontianak.
Saya menjadi pembicara dalam diskusi petang itu, bersama Dr. William Chang, Ofm Cap.
Romo William –begitu mahasiswa memanggil beliau dalam forum itu, menyampaikan “Damai dalam perspektif teologis,”. Saya, disodorkan tema: “Tantangan mewujudkan damai dalam masyarakat majemuk”. Seharusnya ada lagi beberapa pembicara dalam diskusi itu. Namun mereka tidak hadir.
Bahkan setelah jam 7.30 malam itu, Romo William undur diri, ada kegiatan lain. Saya tampil solo.
Saya melayani komentar para aktivis itu. Banyak hal dikomentari mereka. Mulai hal-hal di sekitar mereka, sekitar Kalbar, sekitar Indonesia, hingga hal yang jauh tentang kebijakan Amerika nun di sana.
Dari sekian banyak komentar itu, Saya memberikan stressing terhadap statemen mahasiswa tentang perbedaan ini karena statemen ini sering kali kita dengar di Pontianak. Terutama dahulu, sering saya dengar dari mulut teman-teman Madura, ketika membicarakan konflik di Kalbar. Hampir tiap forum ‘rekonsiliasi’, forum ‘damai’, ungkapan itu terlontar.
Benarkah kita tidak minta dilahirkan berbeda? Benarkah kita tidak ingin berbeda dibandingkan orang lain?
Saya menanggapi komentar mahasiswa tersebut.
“Mungkin benar kita tidak minta dilahirkan berbeda. Tetapi, pada praktiknya kita menciptakan perbedaan di antara kita. Kita membuat perbedaan-perbedaan itu. Kita mempertahankan perbedaan.”
Saya mengatakan begitu karena menurut saya, perbedaan itu identitas. Identitas itu cirri. Ciri yang membedakan, dan ciri yang juga bisa digunakan untuk mempersamakan.
Di internal mahasiswa, berdiri organisasi PMKRI. Ada Gerakan Mahasiswa Kristen (GMKI), ada Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), ada juga Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Organisasi ini bentukan mahasiswa. Dan orang yang hadir di dalam forum diskusi itu mempertahankan perbedaan itu. Mereka suka dengan perbedaan itu.
Mengapa tidak bersatu saja di bawah bendera organisasi yang sama? Mengapa tidak melebur saja dan berbagi gerakan dalam satu organisasi?
Dalam soal agama juga begitu. Saya katakan, mereka boleh mencatat bahwa agama juga identitas yang diciptakan. Kita bisa mengingat kapan istilah Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Khong Hucu digunakan.
Ada pelajaran sejarah yang membantu kita mengetahui tahun berapa nama itu mulai diperkenalkan. Tahun berapa tokoh-tokoh pembawa agama itu dilahirkan.
Dalam soal etnik juga begitu. Kapan istilah Melayu digunakan, kapan istilah Dayak dipilih, kapan istilah Cina, kapan istilah Tionghoa, istilah Madura, dll, kita dengar.
Lalu, sekarang, tentu saja terasa aneh ketika ada di antara kita yang protes: tidak minta perbedaan itu diciptakan. Padahal pada sisi lain kita mempertahankan perbedaan itu.
“Kalau kita tidak suka dengan perbedaan itu, kita bisa menghapusnya. Kita bisa mendekonstruksi identitas-identitas itu. Tidak usah dipakai lagi,”
Tidak ada urusan kita mempertahankan nama PMKRI, GMKI, PMII, HMI. Tidak ada urusan kita mempertahankan istilah Melayu, Dayak, Cina, Tionghoa, Maduran, Jawa. Tidak ada urusan juga kita mempertahankan identitas Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, Khong Hucu.
“Bagaimana?”
Peserta terdiam.
“Kalau dunia ini satu mana indah?!”
Kata mahasiswa yang lain.
Lha, itu dia. Mau indah dengan keragaman, tetapi kemudian keragaman itu menimbulkan masalah. Konflik. Lalu, cup! Tak jadi. Padahal sudah cah palit.
Tetapi, kita menyadari, ini adalah pilihan. Pilihan orang untuk berbeda dibandingkan orang lain. Tentu kita sendiri yang tahu mengapa kita ingin berbeda, mengapa kita ingin orang tertentu terkeluar dari identitas yang kita pilih, dan orang tertentu masuk dalam kelompok identitas yang kita pilih.
Hatta, kita juga harus menyadari bahwa ketika kita memilih berbeda, orang lain juga tentu akan memilih berbeda. Pilihan orang lain tidak selalu sama dengan pilihan yang kita buat.
Kadang pun, orang lain menamakan kita, tidak seperti yang kita kehendaki.
Apakah kita emosional? Apakah kita akan marah? Apakah kita akan kesal?
Bah, naïf sekali –walaupun pasti sama naïfnya dengan orang lain yang mengidentifikasikan orang lain dengan identitas tertentu –padahal dia tahu identifikasi itu tidak disukai.
Kita juga harus merenung apakah identitas yang diberikan orang lain kepada kita ‘mengada-ada?” Karena, sering kali kita yang sebenarnya tidak sadar warna, jenis, dan bentuk kita yang diidentifikasi orang. Sering kali orang tidak sadar, ada emblem yang kita gunakan tanpa justru membuat ciri berbeda di mata orang lain.
Perbedaan itu tidak selalu harus banyak. Satu pun cukup.


0 komentar: