Jumat, 20 Februari 2009

Kemarau dan Kabut Asap di Pontianak

Oleh
Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune

Asap.
Di mana-mana ada asap. Pagi, siang, malam. Asap.
Dari mana sumbernya? Ada yang bilang perusahaan bakar lahan untuk perkebunan. Ada yang bilang asap berasal dari lahan pertanian yang dibakar petani. Ada yang bilang, asal itu dari kebakaran hutan dan kebakaran lahan gambut.


Ya, mungkin mereka benar. Titik api – hot spot, terpotret satelit ada di sekitar kawasan hutan, di kawasan-kawasan perkebunan.
Tetapi, jujur saja, kadang saya ragu, apa benar asap yang saya sedot masuk ke paru-paru saya itu berasal dari hutan nun jauh di sana?
Saya ingin membantah.
Saya merasa asap yang saya hirup dengan nafas ngos-ngos itu, adalah asap yang dibakar orang di pekarangan.
Sore, beberapa hari lalu, pulang dari kantor, saya melintasi beberapa ruas jalan di kota ini. Saya lewat gang. Saya memintas jalan kecil. Lewat juga di komplek perumahan.
Saya menghitung ada enam tempat orang membakar sampah. Apinya bisa dilihat dari pinggir jalan.
Saya mencium aroma khas: bau plastic yang terbakar.
Asap. Saya tidak ragu bahwa asap yang saya hirup itu berasal dari asap pembakaran kecil yang saya lihat.
Selalunya saya merungut dalam hati.
Orang yang membakar sampah tidak tahu betapa menderitanya saya mencium asap pembakaran itu.
Ingin rasanya saya mendatangkan teman saya yang suka menyumpah. Saya pernah dengar dia marah: “Bodo bale’, siape yang membakar sampah ni?!. Padamkan ndak!. Angos nanti rumah orang,”
Saya tidak tega menyumpah mereka-mereka itu, walaupun ingin.
Saya melihat, biasanya yang membakar itu orang-orang tua. Nenek-nenek. Kakek-kakek. Anak muda jarang sekali.
Mereka membakar karena mereka orang pembersih. Mereka orang rajin.
Orang yang membakar sampah itu, berniat baik. Musim sekarang, sampah kering. Mudah dibakar. Lalu mereka kumpulkan. Mereka tumpukkan. Mereka bakar barang itu. Lalu, asap membumbung.
Lalu, kita menghirup asapnya. Ngos-ngosan.
Lalu kita menderita penyakit nafas saluran atas (ISPA). Ada yang jatok-jatok ke asma.
Lalu, mata kita terkena asap. Pedas. Iritasi.
Mereka yang membakar tidak merasa bersalah. Mereka tidak merasa salah telah melakukan pencemaran udara.
Mereka senang-senang saja melakukan itu.
“Hobby,” kata seorang teman.
Membakar sampah memang bagian dari budaya kita menghilangkan sampah. –Kita belum terbiasa membuang sampah di tempat sampah, secara baik dan benar.
Membakar sampah menjadi pekerjaan mengasyikkan.
Saya ingat dahulu tahun 1997. Ketika saya sampai di Kota Kajang, di Selangor. Saya membakar sampah di depan rumah. Teman saya cepat-cepat mengingatkan saya:
“Heh, jangan bakar sampah. Nanti ditangkap,”
Saya tentu saja terkejut. Membakar sampah bisa ditangkap? Waktu itu saya hanya heran. Heran buangettt.
Tidak lama setelah jerebu kiriman dari Kalimantan sampai di Malaysia, setelah media memberitakan komentar kekesalan orang Malaysia terhadap asap kiriman Indonesia --- Kalimantan dan Sumatera, saya menyadari mengapa orang membakar sampah harus ditangkap.
Dan, justru sekarang, saya berharap aturan seperti itu juga berlaku di Kalimantan Barat. Mungkin tidak ditangkap. Mungkin, orang yang membakar didatangi petugas lingkungan dan satpol PP. Petugas ini yang mengingatkan agar sampah tidak dibakar. Petugas yang kemudian memadamkan api.
Mungkin.
Kadang kala saya menghayal menjadi tokoh super yang terbang membawa air dan memadamkan api-api itu. Saya akan datangi tempat pembakaran itu dan mencurahkan air yang saya bawa. Sampai padam.
Dan, malangnya saya bukan orang super. Saya hanya orang yang berharap udara di sekitar tetap bersih. Tetap segar.
Saya yakin jika budaya membakar itu bisa diubah, pasti kabut asap tidak akan sedahsyat sekarang – di setiap musim kering. Tak lagi kita dengar orang berteriak: “ISPA- ISPA”.


0 komentar: